Seperti dugaan Nibras, makan malam ini bagaikan makan malam bersama dengan rekan bisnisnya. Percakapan seputar pekerjaan dan pencapaian menjadi topik utama antara Hakeem dan Budi Tasrif meski sesekali tawa kedua paruh baya itu menghiasi.
Nibras terlalu sibuk memusatkan perhatian pada makanan di depannya hingga tak mengindahkan segala gerak gerik dan tanda yang dilakukan oleh gadis cantik berambut sebahu, Shania.
Sejak keluarga Shadeeq masuk ke dalam ruang VIP yang direservasi oleh ayahnya, Shania tak pernah melepas kedua maniknya dari pria yang dulu ia kenal sebagai bocah ingusan tersebut.
Tak menyangka dirinya, Nibras tumbuh sebagai seorang pria dewasa yang begitu mengagumkan baik secara fisik maupun prestasi.
Tiada cela dari pria ini kecuali berita perceraiannya yang tidak terlalu mengganggu Shania. Ia tak keberatan menerima seorang duda jika akan mendapatkan sebuah paket lengkap yang sempurna.
“Kau single, 'kan?” Pertanyaan yang
Sepasang mata bulat itu menatap tak percaya ke arah Nibras. Pria itu bahkan tak dapat berpikir apapun kecuali mengamati reaksi mantan istrinya yang masih saja berdiri kaku.Entah berapa lama mereka saling memandang hingga akhirnya Agnia membalikkan badan dan pergi begitu saja dengan terburu. Seketika Nibras mendorong tubuh Shania hendak menyusul, membuat wanita cantik itu sedikit memekik kaget. “Nibras! Mau kemana kau?” Langkah pria itu terhenti. Tercekat dirinya memikirkan reaksi spontan dirinya.'Ya, mau kemana dirinya?' Ia pasti sudah gila jika ia benar-benar menyusul mantan istrinya itu! Nibras mendengkus kasar sembari mengusap tengkuknya. Kepalanya tiba-tiba merasa penat karena kejadian yang tidak ia sangka. Lamunannya terhenti ketika sepasang lengan melingkar di pinggang yang membuatnya terkejut. Shania berada tepat di belakannya, menempel begitu erat. “Jangan pergi…” Sekuat tenaga meski tidak kasar, Nibras melepaskan
MM - 17Agnia sempat tercekat saat mendengar perintah tak bersahabat dari mantan suaminya itu. Seketika wajahnya berubah masam. "Tidak, terima kasih. Aku bisa pulang sendiri. Taksi akan datang sebentar lagi."Nibras berjalan mendekati Agnia, membuat perempuan itu spontan bergerak mundur.“M-mau apa-”"Kau tak bisa menunggu sendirian di sini. Ini sudah larut malam! Naik!" titah Nibras tidak main-main.“Sudah saya bilang, saya akan naik taksi saja!”Pria itu menghela napas, tak menyangka mantan istrinya ini akan menjadi sangat keras kepala. "Taksi yang datang akan lama!"Keringat gugup mulai membasahi telapak tangan Agnia. Ia memikirkan sesuatu agar tidak lebih menarik perhatian orang-orang karena beberapa sudah melihat ke arah mereka.Tiba-tiba seorang pria berseragam sekuriti menghampiri dan menyentuh lengan Nibras pelan. “Eh, Pak. Maaf. Apakah itu mobil Anda?”Nibras yang sedang berada dalam mood yang sangat buruk itu, menoleh dan menatap tak ramah pada pria tersebut. “Ya. Kenapa?”“
Pertanyaan Agnia cukup menggelitik Nibras. "Kenapa? Kau cemburu?"Agnia mendecih. "Tidak. Jika dia memang kekasihmu, seharusnya kau malu dengan segala sikapmu padaku itu!"Alis tebal Nibras terangkat. "Sikapku? Yang mana?""Semuanya!" Agnia sudah mengerutkan bibirnya hingga nampak menggemaskan. Perhatian Nibras seketika turun pada bibir sedikit pucat itu.‘Astaga, Nibras! Kau sedang menyetir!’ rutuknya dalam hati lalu kembali fokus pada jalanan.“Aku tak paham dengan maksudmu,” ucap Nibras pelan.Agnia terlihat telah bersedekap. “Apa kau mengikutiku ke Citilites?” tanyanya tanpa basa basi membuat manik hitam Nibras membelalak di balik kacamatanya.Spontan pria itu terbahak sangat keras hingga membuat Agnia terlonjak kaget.“A-apanya yang lucu? Aku ‘kan hanya bertanya!” Wajah Agnia yang sedikit memerah itu semakin merengut.“Kau pikir aku mengikutimu?” Nibras melirik sekilas dengan satu alis sudah terangkat.“Kenapa tidak? Kau bahkan tiba-tiba saja datang ke rumahku!” sahut Agnia masih
Nibras tergugu setelah mendengar kalimat itu keluar dari Agnia seiring sang mantan istri keluar dan sedikit membanting pintu mobil. Tidak. Bukan ini yang Nibras inginkan… “Sial.” Nibras mendesis sembari memukul kemudi mobil pelan. Helaan napas kesal terlolos begitu saja sembari ia melepas kacamata. Menyandarkan kepala ke kursi dan memejamkan mata, ia memijit pucuk hidungnya seraya merenungi sikapnya yang sepertinya memang terlalu berlebihan. Nibras benar-benar tak dapat menahan diri untuk tidak bersikap seperti tadi terhadap Agnia. Perasaan yang ada dalam dirinya itu terlalu besar dan mendorongnya untuk berbuat sesuka hatinya. Saat berusaha untuk menenangkan diri, suara getaran terdengar samar membuat Nibras perlahan membuka kelopak matanya. Pandangannya mencari-cari keberadaan benda tersebut. Cahaya berpendar dari lantai kursi penumpang sebelahnya, menarik atensi Nibras. Pria itu segera melepas sabuk pengaman dan melongok. Dahinya berkerut saat melihat sebuah ponsel dengan pangg
"How's your feeling?"Itu adalah pertanyaan yang pertama kali Nibras dengar setelah ia membuka kedua matanya dan dibiarkan terdiam beberapa saat.Perlahan, Nibras menoleh ke asal suara. Ada Gary sedang duduk di sofa tunggal dekat jendela.Nibras semakin menyadari jika ia sedang berada di kamar tidurnya di apartemennya sendiri."Kau menginap di sini?" tanya Nibras dengan suara lirih dan serak. Entah mengapa ia merasa lelah sekali.Gary hanya mengangguk. Dari tatapan sepupunya, Nibras tau jika semalam dirinya mengalami hal yang tidak mengenakkan.Pria itu pun perlahan teringat jika ia mengalami panic attack di depan rumah Agnia.Nibras tertegun sebentar karena kejadian semalam kembali terputar. Perlahan, pria itu mendudukkan diri di pinggiran ranjang."Kau mau kemana? Istirahatlah. Ini hari Sabtu," tukas Gary mengingatkan sembari berdiri lalu berjalan mendekat.Nibras memegangi kepalanya yang menunduk dengan kedua tangan
Nibras memasuki cafe yang dijadikan tempat pertemuan dengan Arjuna sedikit terburu.Ia masih sedikit pusing tetapi ia mengabaikannya. Mungkin, obat penghilang nyeri yang diberi Gary akan ia minum nanti setelah berdiskusi.Pria itu segera mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru cafe dan menemukan sosok yang ia cari.Dengan langkah yang penuh percaya diri, Nibras bergegas menuju Arjuna yang telah menunggunya di sudut yang tidak terlalu ramai.Melihat kedatangan Nibras, Arjuna segera berdiri dan menyodorkan tangan untuk menyalaminya. “Pagi, Pak.”Tersenyum tipis, Nibras menggerakkan dagunya untuk menyuruh Arjuna kembali duduk pun dengan dirinya memilih kursi yang berseberangan.“Bapak mau pesan dulu?” tawar Arjuna sebelum mereka mulai di bagian yang sangat serius dan penting, dan diangguki oleh Nibras.Arjuna segera mengangkat tangan untuk memanggil pelayan. “Mau pesan apa?”“Espresso saja.”“Bapak mau sarapan? Roti isi
Nibras mematung mendapati seorang pria yang tentu ia kenali berada di dalam kontrakan Agnia dan menyambutnya dengan senyum tanpa beban. "Bernard..." Bahkan hanya itu reaksi yang dapat Nibras lakukan saat berada situasi yang tidak mengenakkan baginya. "Ini benar-benar di luar prediksi. Saya tak menyangka akan bertemu dengan Anda di sini, Tuan Shadeeq," seru Bernard tampak antusias, membuka pintu lebih lebar. Senyum kikuk terulas di wajah Nibras. Pria itu berusaha untuk tampak sesopan yang ia bisa. "Yah, benar-benar sangat mengejutkan." Tentu saja gerutuan tak berhenti di dalam hatinya. "Siapa yang datang?" Suara lembut terdengar disusul dengan sosok Agnia yang muncul dari balik punggung pria itu. Agnia tampak sama terkejutnya dengan Nibras. Apalagi melihat tatapan menghunjam dari mantan suaminya. Namun, ia acuhkan mengingat ada Bernard di antara mereka. Ia tak ingin suasana menjadi kacau dan terlebih lagi, tak ingin Bernard mengetahui masa lalunya dengan Nibras. “Pak Nibras.” Ag
Jika Nibras tidak ingat di mana ia berada, sudah pasti ia akan menerjang Bernard saat itu juga. Senyum pria itu semakin tampak menyebalkan seakan ingin memberi kesan jika pria itu memiliki hubungan yang cukup dekat dengan mantan istrinya.Hati Nibras semakin berontak, tetapi ia juga harus menjaga nama baik Agnia agar tidak tercemar akibat ulahnya.“Ah, begitu.” Berusaha sangat keras, Nibras menjaga intonasi bicaranya. Pria itu sengaja menyandarkan punggung ke sofa agar dirinya terlihat lebih santai dan tentu saja ingin memperlihatkan jika dirinya juga dapat nyaman berada di tempat itu.Sepertinya, usaha Nibras sedikit memberi pengaruh pada Benard. Raut wajah rekan kerja sang mantan istri sedikit terusik melihat sikap Nibras yang tampak santai.Semakin bersemangat membuat pria di depannya resah, Nibras terdorong untuk menggerakkan lengan kiri dan meletakkannya begitu saja di atas sandaran sofa sementara kakinya menyilang dengan elegan.“Yah, sesama rekan kerja memang seharusnya saling
Nibras menarik napas panjang, menekan gejolak emosi yang mulai menguasai dirinya. Dengan senyum tipis namun penuh kendali, ia menoleh ke arah Agnia. "Agnia, mari ke meja VVIP. Ada beberapa tamu penting yang ingin kuperkenalkan padamu."Agnia terdiam sejenak, matanya melirik ke arah Bernard yang masih berdiri di sampingnya. Bernard, yang biasanya percaya diri, kini tampak ragu-ragu."Aku... sebaiknya?" gumam Bernard pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri apakah ia harus ikut.“Tidak perlu, Bernard. Aku rasa kau akan lebih nyaman menikmati suasana di sini. Ada banyak hidangan dan minuman yang bisa kau nikmati,” ujar Nibras cepat, menatap Bernard dengan senyum formal yang tajam seperti pisau.Tanpa menunggu jawaban, Nibras menyentuh punggung Agnia ringan, mengarahkannya untuk berjalan bersamanya. Bernard mengangguk pelan, meski jelas terlihat ada sedikit keraguan di matanya. Ia mundur selangkah, menyembunyikan rasa kikuknya di balik senyuman. "Baiklah, Pak Nibras. Selamat menikmati
Agnia melangkah memasuki ballroom yang megah dengan tatapan terpana. Gedung ini bukan sembarang tempat. Hanya kalangan atas yang bisa menyewa gedung sebesar ini, dan tentu saja, HS Group adalah salah satunya.Segala sesuatunya terlihat luar biasa. Lampu kristal yang menggantung tinggi, langit-langit yang dipenuhi ornamen indah, serta orang-orang yang mengenakan pakaian mewah, semuanya seakan mengundang rasa takjub.Agnia memandang sekelilingnya dengan mata terbuka lebar. Ada rasa kagum, tapi juga sedikit cemas menyusup di hati.Agnia tahu betul, acara seperti ini dihadiri oleh orang-orang berpengaruh. Masing-masing tamu berlomba untuk menarik perhatian dan memperkenalkan diri. Mereka mengenakan pakaian yang mencolok, dengan aksesori mewah dan tatapan tajam, seakan-akan ingin menunjukkan siapa diri mereka.Tapi, Agnia berbeda. Dia memilih untuk tampil dengan sederhana. Dengan gaun satin champagne yang elegan, dipadukan dengan perhiasan minimalis yang hanya
Agnia menggigit bibirnya, merasa sedikit kikuk sekaligus tertarik. “Aku... tidak ingin merepotkanmu,” katanya pelan, lalu menambahkan, “Aku pikir kau tak tertarik untuk datang.” Bernard terkekeh pelan, masih bersandar di pintu. “Sepertinya kau tidak pernah memberi kesempatan padaku untuk memutuskan sendiri,” katanya, nadanya setengah bercanda namun ada kejujuran yang jelas. “Jadi, bagaimana? Boleh aku menemanimu malam ini?” Agnia merasa pipinya sedikit memerah, tapi ia mengangguk perlahan, merasakan kehangatan di balik sorot mata Bernard yang tampak lebih lembut dari biasanya. “Tentu… kalau kau benar-benar mau ikut,” jawabnya sambil tersenyum kecil, dan tiba-tiba saja malam yang ia pikir akan terasa biasa-biasa saja berubah menjadi lebih spesial. Bernard tersenyum, menatap Agnia sejenak sebelum berkata, “Baiklah, Agnia. Kalau begitu, mari kita pergi.” *** Selama perjalanan menuju gedung pencakar langit tempat acara tersebut diadakan, Agnia semakin merasa cemas. Tubuhnya te
Agnia tiba di rumah tanpa hambatan di jalan. Begitu masuk, ia langsung menuju kamar mandi, membersihkan diri dengan teliti.Matanya melirik ke cermin, sedikit terkejut saat menyadari betapa detilnya ia merapikan diri dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah tubuhnya tak boleh sedikit pun kurang sempurna. Selesai mandi, ia memakaikan tubuhnya dengan jubah mandi, lalu mulai membongkar lemarinya.Di sana, Agnia mencari-cari gaun yang cocok untuk pesta perusahaan Nibras malam ini—acara mewah yang jelas akan dipenuhi oleh para petinggi bisnis. Ia tahu ini kesempatan penting, bukan hanya untuk tampil, tapi untuk memperluas koneksi. Nyaris setengah jam berlalu, kamar yang awalnya rapi kini penuh dengan tumpukan gaun yang ia coba dan singkirkan satu per satu. Gaun-gaun warna-warni tergeletak di mana-mana, sementara Agnia berdiri di depan cermin dengan wajah bingung, menghela napas berat.“Astaga, kenapa rasanya tidak ada yang cocok?” gumamny
Rapat mingguan baru saja selesai, dan Agnia melangkah cepat menuju ruang kerjanya. Langkah kakinya terdengar tegas. Suara sepatu yang bersinggungan dengan lantai kantornya nyaris berdebum, seakan waktu tak memberinya kesempatan untuk sekadar menoleh.Bernard, yang duduk di kursi tak jauh dari pintu, memperhatikan dengan seksama. Ada yang berbeda dari Agnia hari ini—langkahnya tergesa-gesa, wajahnya sedikit tegang, dan jemarinya bahkan tak henti-hentinya mengetuk-ngetuk tali tas yang tersampir di bahunya.Tak biasanya Agnia bersikap demikian.Bernard, yang merasa terpanggil oleh rasa ingin tahu, berdiri dan melangkah cepat, mensejajarkan langkahnya dengan Agnia yang seakan tak melihat kehadirannya di samping.“Kau tergesa-gesa sekali, Agnia,” katanya sambil tersenyum kecil, mencoba melumerkan suasana. “Apa ada masalah yang sedang terjadi?”Agnia hanya menghela napas, mengangkat bahunya tanpa menatap Bernard. Tangannya y
“Ada beberapa perkembangan terbaru yang ingin aku laporkan mengenai perusahaan konstruksi kita.” Lyman membuka pembicaraan, suaranya tenang penuh keyakinan. “Setelah mengalami kemacetan finansial beberapa waktu lalu, perusahaan kita mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Aku telah melakukan berbagai langkah strategis untuk memastikan HB Construction kembali ke jalur yang benar.”Anderson mendengarkan dengan seksama, matanya fokus pada Lyman. Tiara, di sisi lain, tampak lebih khawatir, meskipun berusaha menyembunyikannya di balik wajahnya yang tenang. Mereka berdua tahu betapa pentingnya stabilitas finansial bagi perusahaan tersebut, dan kabar tentang perkembangan perusahaan itu tentu menjadi hal yang penting.“Aku juga sudah mendapatkan sumber dana tambahan yang akan sangat membantu kita ke depan,” lanjut Lyman, nada suaranya penuh percaya diri. “Nibras, mantan suami Agnia, telah setuju untuk mendanai perusahaan kita. Dengan begitu, uang yang masuk dari dia akan menjadi keuntungan
Gunawan terpana sejenak, bingung dengan perubahan mendadak ini. "Tapi, Pak, acara sebesar itu memerlukan persiapan yang cukup panjang. Kita perlu waktu lebih dari seminggu untuk mengatur semuanya."Nibras berdiri dari kursinya, menghampiri Gunawan dengan sorot mata yang tajam. "Kita tidak punya waktu untuk itu. Aku ingin acara ini terjadi minggu depan, apapun caranya. Jika perlu, libatkan semua staf dan sumber daya yang kita miliki. Ini bukan tentang ulang tahun perusahaan, Gunawan. Ini lebih dari itu."Gunawan hanya bisa mengangguk, meskipun masih diliputi oleh rasa tak percaya dan dongkol tentu saja. Ia tak percaya atasannya akan memutuskan sesuatu yang cukup besar hanya karena mengedepankan ego semata.Setelah Gunawan pergi untuk memulai persiapan, Nibras duduk kembali di kursinya, membiarkan pikiran-pikiran liar berputar di kepalanya.Pria itu tahu bahwa keputusannya ini berisiko, namun dia juga sadar bahwa kesempatan untuk mendekatkan dirinya kembali pada Agnia mungkin tidak akan
Ucapan Agnia terasa dingin, menegaskan batasan yang jelas antara mereka. Nibras tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada sikap Agnia yang tegas dan penuh percaya diri.Pria itu ingat betul, inilah salah satu alasan mengapa ia semakin tertarik pada wanita ini. Agnia berubah menjadi wanita yang kuat, dan kekuatan itulah yang selalu membuat Nibras tertantang.Namun, di balik kekagumannya, Nibras tidak bisa menahan diri untuk tidak merencanakan sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan bisnis.Dia ingin melihat apakah dia masih memiliki kekuasaan atas Agnia, atau setidaknya, apakah dia masih bisa mempengaruhinya seperti dulu.“Baiklah,” Nibras menjawab, meski di dalam hatinya dia tidak berniat untuk sepenuhnya mematuhi permintaan Agnia. “Mari kita mulai.”***Pertemuan antara HS Funding & Investment dengan FutureIt berjalan tanpa hambatan. Nibras memimpin rapat dengan ketenangan yang nyaris tak tertandingi, menyingkirkan semua potensi gangguan pribadi.Pikirannya yang biasanya dipenuhi
Mendengar itu, Agnia tersentak, matanya melebar. Ia menatap Bernard dengan ekspresi yang sulit diartikan. Sejenak, ruangan itu terasa semakin sunyi.Waktu seakan berhenti, dan hanya ada mereka berdua di sana, terjebak dalam percakapan yang tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar diskusi pekerjaan.Bernard tahu, dengan mengucapkan kalimat itu, ia baru saja melangkah ke wilayah yang belum pernah ia sentuh sebelumnya.Namun, entah mengapa, ia merasa lega. Mungkin karena akhirnya ia berani mengungkapkan sesuatu yang selama ini terpendam.Agnia, masih terdiam, merasakan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat. Kalimat Bernard bukan hanya sebuah pengakuan, tetapi juga sebuah tantangan yang membuatnya berpikir lebih dalam.Ia tahu, perasaannya terhadap Bernard adalah campuran antara kekaguman dan rasa hormat, tetapi apakah itu cukup untuk menjadi sesuatu yang lebih?“Bernard, aku…” Agnia terdiam sejenak, mencoba merangkai kata. “Kau tahu, aku tidak pernah mudah