"How's your feeling?"
Itu adalah pertanyaan yang pertama kali Nibras dengar setelah ia membuka kedua matanya dan dibiarkan terdiam beberapa saat.
Perlahan, Nibras menoleh ke asal suara. Ada Gary sedang duduk di sofa tunggal dekat jendela. Nibras semakin menyadari jika ia sedang berada di kamar tidurnya di apartemennya sendiri.
"Kau menginap di sini?" tanya Nibras dengan suara lirih dan serak. Entah mengapa ia merasa lelah sekali.
Gary hanya mengangguk. Dari tatapan sepupunya, Nibras tau jika semalam dirinya mengalami hal yang tidak mengenakkan. Pria itu pun perlahan teringat jika ia mengalami panic attack di depan rumah Agnia.
Nibras tertegun sebentar karena kejadian semalam kembali terputar. Perlahan, pria itu mendudukkan diri di pinggiran ranjang.
"Kau mau kemana? Istirahatlah. Ini hari Sabtu," tukas Gary mengingatkan sembari berdiri lalu berjalan mendekat.
Nibras memegangi kepalanya yang menunduk dengan kedua tangan
Nibras memasuki cafe yang dijadikan tempat pertemuan dengan Arjuna sedikit terburu.Ia masih sedikit pusing tetapi ia mengabaikannya. Mungkin, obat penghilang nyeri yang diberi Gary akan ia minum nanti setelah berdiskusi.Pria itu segera mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru cafe dan menemukan sosok yang ia cari.Dengan langkah yang penuh percaya diri, Nibras bergegas menuju Arjuna yang telah menunggunya di sudut yang tidak terlalu ramai.Melihat kedatangan Nibras, Arjuna segera berdiri dan menyodorkan tangan untuk menyalaminya. “Pagi, Pak.”Tersenyum tipis, Nibras menggerakkan dagunya untuk menyuruh Arjuna kembali duduk pun dengan dirinya memilih kursi yang berseberangan.“Bapak mau pesan dulu?” tawar Arjuna sebelum mereka mulai di bagian yang sangat serius dan penting, dan diangguki oleh Nibras.Arjuna segera mengangkat tangan untuk memanggil pelayan. “Mau pesan apa?”“Espresso saja.”“Bapak mau sarapan? Roti isi
Nibras mematung mendapati seorang pria yang tentu ia kenali berada di dalam kontrakan Agnia dan menyambutnya dengan senyum tanpa beban. "Bernard..." Bahkan hanya itu reaksi yang dapat Nibras lakukan saat berada situasi yang tidak mengenakkan baginya. "Ini benar-benar di luar prediksi. Saya tak menyangka akan bertemu dengan Anda di sini, Tuan Shadeeq," seru Bernard tampak antusias, membuka pintu lebih lebar. Senyum kikuk terulas di wajah Nibras. Pria itu berusaha untuk tampak sesopan yang ia bisa. "Yah, benar-benar sangat mengejutkan." Tentu saja gerutuan tak berhenti di dalam hatinya. "Siapa yang datang?" Suara lembut terdengar disusul dengan sosok Agnia yang muncul dari balik punggung pria itu. Agnia tampak sama terkejutnya dengan Nibras. Apalagi melihat tatapan menghunjam dari mantan suaminya. Namun, ia acuhkan mengingat ada Bernard di antara mereka. Ia tak ingin suasana menjadi kacau dan terlebih lagi, tak ingin Bernard mengetahui masa lalunya dengan Nibras. “Pak Nibras.” Ag
Jika Nibras tidak ingat di mana ia berada, sudah pasti ia akan menerjang Bernard saat itu juga. Senyum pria itu semakin tampak menyebalkan seakan ingin memberi kesan jika pria itu memiliki hubungan yang cukup dekat dengan mantan istrinya.Hati Nibras semakin berontak, tetapi ia juga harus menjaga nama baik Agnia agar tidak tercemar akibat ulahnya.“Ah, begitu.” Berusaha sangat keras, Nibras menjaga intonasi bicaranya. Pria itu sengaja menyandarkan punggung ke sofa agar dirinya terlihat lebih santai dan tentu saja ingin memperlihatkan jika dirinya juga dapat nyaman berada di tempat itu.Sepertinya, usaha Nibras sedikit memberi pengaruh pada Benard. Raut wajah rekan kerja sang mantan istri sedikit terusik melihat sikap Nibras yang tampak santai.Semakin bersemangat membuat pria di depannya resah, Nibras terdorong untuk menggerakkan lengan kiri dan meletakkannya begitu saja di atas sandaran sofa sementara kakinya menyilang dengan elegan.“Yah, sesama rekan kerja memang seharusnya saling
Nibras memandang layar ponselnya dengan ekspresi gelisah. Pesan-pesan singkat yang ia kirimkan kepada Agnia tak pernah dibalas. Hatinya terasa berat, terjebak dalam hampa tanpa kabar dari wanita yang ia akhir-akhir menguras perhatian pun emosinya.Kepalanya semakin terasa penat karena melewati akhir minggu yang tak tenang. Ingatannya segera melompat pada insiden yang membuat hubungannya dan Agnia semakin merenggang dan tegang.Setelah melontarkan kalimat yang sepertinya begitu menyakitkan mantan istrinya, mereka kembali berselisih kali ini lebih sengit dari sebelumnya hingga berakhir Agnia mengusir dirinya.Melupakan niatnya untuk minta maaf, Nibras malah melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya membuat pria itu kembali menyesal.Pagi itu, di kantornya yang sepi, Nibras duduk di meja kerjanya dengan tumpukan dokumen yang seharusnya menjadi fokusnya, tetapi pikirannya terus melayang pada Agnia.“Hah, sial.” Terkekeh masam, pria itu memutar kursinya ke arah jendela lebar yang a
Menunggu memang sesuatu yang tidak mengenakkan. Begitulah yang Nibras rasakan saat ini, menanti kemunculan Gunawan untuk memberikan informasi yang ia minta mengenai Agnia. Karena itulah pria itu sudah berada di kantornya pagi-pagi sekali.Semalaman, Nibras tak dapat tidur hanya memikirkan hal tersebut. Bahkan saking tidak sabarnya, ia menghubungi Gunawan di tengah malam tetapi berujung dengan panggilan tak terjawab.Selama dua tahun pernikahan mereka, Nibras belum pernah merasakan seperti ini terhadap mantan istrinya itu, yang ia sendiri tak tahu apa.Ada sesuatu yang mendesaknya untuk mengetahui lebih banyak tentang kehidupan Agnia sekarang. Terutama hal yang paling wanita itu sukai, sesuatu yang bisa membuatnya kembali dekat dengan Agnia, meski hanya dalam bayangan.Pria itu sedang berdiri di depan jendela lebar yang ada di belakang meja kerjanya. Wajahnya tampak serius ditambah dengan kedua tangan yang telah berada dalam sak celananya membuat pria itu
Pagi itu, Agnia duduk di depan meja kerjanya. Tugasnya sebagai manajer operasional memaksanya untuk selalu siap menghadapi segala situasi.Tumpukan email yang menunggu balasan dan laporan yang perlu dicek menjadi makanan sehari-hari. Kantor cabang memang baru saja buka, tetapi promosi yang dilakukan sejak lama membuat klien berdatangan dengan mudah.Agnia menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa lelah yang menggelayuti pikirannya.Selama seminggu terakhir, Agnia sengaja menghindari Nibras. Pria itu selalu mencari-cari kesempatan untuk berbicara dengannya, tapi Agnia menolak. Selain urusan pekerjaan, ia tidak mau berkomunikasi dengan Nibras.Keputusan ini bukan tanpa alasan. Mereka memiliki sejarah yang rumit dan Agnia tidak ingin membiarkan masa lalu menghantui pekerjaannya saat ini.Saat sedang serius dengan dokumen di tangan, tiba-tibaponsel di mejanya berdering.“Tuan Brogran…” Sembari memikirkan apa yang men
Nibras yang sedang duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop tanpa benar-benar fokus. Pikirannya melayang-layang antara pekerjaan yang harus diselesaikan dan keadaan pribadinya yang semakin rumit.Akhir-akhir ini, Nibras merasa dirinya nyaris seperti sosok yang tak bernyawa. Bergerak tapi kosong. Apapun yang ia lakukan bagaikan sebuah rutinitas tanpa sebuah arti. Sejak perdebatan terakhirnya dengan Agnia, Nibras semakin tak tenang dan tak dapat tidur dengan nyenyak. Intensitas dirinya untuk mengonsumsi obat yang diresepkan Gary padanya malah kembali sering. "Sialan. Aku tak menyangka semuanya akan menjadi seperti ini." Sedikit menggerutu, Nibras mengeluhkan keadaan dirinya sendiri. Ia benar-benar tak dapat fokus pada berkas-berkas yang ada di depannya sekarang.Saat Nibras cukup lama terbalut dalam kecemasan, ponsel miliknya yang berada di atas meja bergetar. Ia melihat nama Stuart di layar yang menyala. Bergegas, diambilnya benda pipih itu untuk menerima panggilan. “Morning, Tu
Mendapat telpon seperti itu dari sepupunya, Gary tidak berpikir dua kali. Dia meraih kunci mobilnya dan bergegas keluar dari apartemennya.Kantor Nibras lebih dekat dari tempat tinggalnya, jadi dia tahu dia harus cepat.Sepanjang perjalanan, pikiran Gary melayang-layang. Dia mengenal Nibras dengan baik, dan serangan panik ini bukanlah sesuatu yang asing. Namun, kali ini terdengar lebih serius.Ketika Gary tiba di lobi gedung kantor Nibras, ia segera turun tanpa mematikan mesin membuat sekuriti yang berjaga mendekat dan menegurnya.“Maaf, Pak Gary-”Menatap tajam sekaligus memohong, Gary memotong dan menjelaskan. "Pak Nibras sedang sakit dan saya ke sini untuk menjemputnya! Tolong awasi mobil saya!”"Ba-baik, Pak! Silahkan naik!" Karena sekuriti itu tau jika Gary memang kerabat dari Nibras, ia pun segera melakukan apa yang diperintahkan.Dengan langkah terburu, Gary segera menuju lantai di mana Nibras berada tanpa memedulikan baik sapaan