Nibras memandang layar ponselnya dengan ekspresi gelisah. Pesan-pesan singkat yang ia kirimkan kepada Agnia tak pernah dibalas. Hatinya terasa berat, terjebak dalam hampa tanpa kabar dari wanita yang ia akhir-akhir menguras perhatian pun emosinya.Kepalanya semakin terasa penat karena melewati akhir minggu yang tak tenang. Ingatannya segera melompat pada insiden yang membuat hubungannya dan Agnia semakin merenggang dan tegang.Setelah melontarkan kalimat yang sepertinya begitu menyakitkan mantan istrinya, mereka kembali berselisih kali ini lebih sengit dari sebelumnya hingga berakhir Agnia mengusir dirinya.Melupakan niatnya untuk minta maaf, Nibras malah melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya membuat pria itu kembali menyesal.Pagi itu, di kantornya yang sepi, Nibras duduk di meja kerjanya dengan tumpukan dokumen yang seharusnya menjadi fokusnya, tetapi pikirannya terus melayang pada Agnia.“Hah, sial.” Terkekeh masam, pria itu memutar kursinya ke arah jendela lebar yang a
Menunggu memang sesuatu yang tidak mengenakkan. Begitulah yang Nibras rasakan saat ini, menanti kemunculan Gunawan untuk memberikan informasi yang ia minta mengenai Agnia. Karena itulah pria itu sudah berada di kantornya pagi-pagi sekali.Semalaman, Nibras tak dapat tidur hanya memikirkan hal tersebut. Bahkan saking tidak sabarnya, ia menghubungi Gunawan di tengah malam tetapi berujung dengan panggilan tak terjawab.Selama dua tahun pernikahan mereka, Nibras belum pernah merasakan seperti ini terhadap mantan istrinya itu, yang ia sendiri tak tahu apa.Ada sesuatu yang mendesaknya untuk mengetahui lebih banyak tentang kehidupan Agnia sekarang. Terutama hal yang paling wanita itu sukai, sesuatu yang bisa membuatnya kembali dekat dengan Agnia, meski hanya dalam bayangan.Pria itu sedang berdiri di depan jendela lebar yang ada di belakang meja kerjanya. Wajahnya tampak serius ditambah dengan kedua tangan yang telah berada dalam sak celananya membuat pria itu
Pagi itu, Agnia duduk di depan meja kerjanya. Tugasnya sebagai manajer operasional memaksanya untuk selalu siap menghadapi segala situasi.Tumpukan email yang menunggu balasan dan laporan yang perlu dicek menjadi makanan sehari-hari. Kantor cabang memang baru saja buka, tetapi promosi yang dilakukan sejak lama membuat klien berdatangan dengan mudah.Agnia menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa lelah yang menggelayuti pikirannya.Selama seminggu terakhir, Agnia sengaja menghindari Nibras. Pria itu selalu mencari-cari kesempatan untuk berbicara dengannya, tapi Agnia menolak. Selain urusan pekerjaan, ia tidak mau berkomunikasi dengan Nibras.Keputusan ini bukan tanpa alasan. Mereka memiliki sejarah yang rumit dan Agnia tidak ingin membiarkan masa lalu menghantui pekerjaannya saat ini.Saat sedang serius dengan dokumen di tangan, tiba-tibaponsel di mejanya berdering.“Tuan Brogran…” Sembari memikirkan apa yang men
Nibras yang sedang duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop tanpa benar-benar fokus. Pikirannya melayang-layang antara pekerjaan yang harus diselesaikan dan keadaan pribadinya yang semakin rumit.Akhir-akhir ini, Nibras merasa dirinya nyaris seperti sosok yang tak bernyawa. Bergerak tapi kosong. Apapun yang ia lakukan bagaikan sebuah rutinitas tanpa sebuah arti. Sejak perdebatan terakhirnya dengan Agnia, Nibras semakin tak tenang dan tak dapat tidur dengan nyenyak. Intensitas dirinya untuk mengonsumsi obat yang diresepkan Gary padanya malah kembali sering. "Sialan. Aku tak menyangka semuanya akan menjadi seperti ini." Sedikit menggerutu, Nibras mengeluhkan keadaan dirinya sendiri. Ia benar-benar tak dapat fokus pada berkas-berkas yang ada di depannya sekarang.Saat Nibras cukup lama terbalut dalam kecemasan, ponsel miliknya yang berada di atas meja bergetar. Ia melihat nama Stuart di layar yang menyala. Bergegas, diambilnya benda pipih itu untuk menerima panggilan. “Morning, Tu
Mendapat telpon seperti itu dari sepupunya, Gary tidak berpikir dua kali. Dia meraih kunci mobilnya dan bergegas keluar dari apartemennya.Kantor Nibras lebih dekat dari tempat tinggalnya, jadi dia tahu dia harus cepat.Sepanjang perjalanan, pikiran Gary melayang-layang. Dia mengenal Nibras dengan baik, dan serangan panik ini bukanlah sesuatu yang asing. Namun, kali ini terdengar lebih serius.Ketika Gary tiba di lobi gedung kantor Nibras, ia segera turun tanpa mematikan mesin membuat sekuriti yang berjaga mendekat dan menegurnya.“Maaf, Pak Gary-”Menatap tajam sekaligus memohong, Gary memotong dan menjelaskan. "Pak Nibras sedang sakit dan saya ke sini untuk menjemputnya! Tolong awasi mobil saya!”"Ba-baik, Pak! Silahkan naik!" Karena sekuriti itu tau jika Gary memang kerabat dari Nibras, ia pun segera melakukan apa yang diperintahkan.Dengan langkah terburu, Gary segera menuju lantai di mana Nibras berada tanpa memedulikan baik sapaan
Gary memandang Nibras dengan serius, menyadari bahwa sepupunya itu berada dalam dilema besar. "Dengar, Nibras. Kamu harus minta maaf pada Agnia dengan cara yang benar. Pikirkan bagaimana perasaannya atas semua yang telah terjadi," kata Gary dengan nada penuh penekanan.“Aku? Minta maaf?” Manik hitam pekat Nibras seketika melebar.Detik berikutnya, Nibras tampak menggeleng dan menolak gagasan itu. "Aku memang meminta saran padamu tetapi jangan kau suruh aku merendahkan diri seperti ini, Gary!" katanya sedikit tak terima, meskipun hatinya sendiri mulai meragukan ketegasannya.Gary menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum melanjutkan. Ia sudah menduga sepupunya ini akan menolak mentah-mentah sarannya."Ini bukan soal merendahkan diri, Nibras. Ini tentang menunjukkan bahwa kamu benar-benar peduli padanya dan bersedia memperbaiki kesalahanmu.“Kalau kau sungguh-sungguh ingin hubunganmu dengan Agnia kembali membaik, kau harus bi
Nibras berdiri kaku di depan pintu, hatinya berdebar kencang. Ia sudah membayangkan berbagai kemungkinan, namun semuanya terasa menakutkan.Mungkinkah Agnia akan mengusirnya setelah apa yang terjadi tempo hari? Mengingat amarah yang meluap-luap di antara mereka, Nibras siap menghadapi yang terburuk.Mereka masih saling menatap tanpa mengatakan apapun. Melihat Agnia tak kunjung mengatakan apapun, pria itu nyaris pamit untuk pulang dan menyerahkan kue yang ia bawa meski entah seperti apa wujudnya.Apalagi tiba-tiba wanita itu mengalihkan pandangannya ke arah lain membuat hati Nibras semakin teremas, perih.“Masuklah.” Suara lirih Agnia mampu membuat Nibras tergugu. Pria itu pikir, Agnia akan mengusirnya. Meski diucapkan dengan nada yang datar dan dingin, tetapi sepertinya mantan istrinya itu masih memiliki hati mengajaknya masuk ke dalam rumah. Agnia bergerak untuk membuka pintu yang terkunci, lalu membiarkan pintu tersebut terbuka setelah masuk ke dalam dan pria itu mengikutnya.Begitu
Agnia menatap lekat ke arah manik hitam pekat milik sang mantan suami itu. Terhenyak tetapi berusaha tenang, ia malah mendapati sebuah kesungguhan dan ketulusan di sana.Itu adalah pertama kali Agnia melihat Nibras seperti itu dan seketika menyentuh dan menghangatkan relung hatinya, tetapi miris sekaligus hadir mengingat selama dua tahun pernikahan hal itu tak pernah ditunjukkan oleh Nibras.Jemarinya yang berada di pangkuan saling meremas, berharap itu semua ada tipuan dan ia tidak ingin masuk dalam sebuah perangkap!Agnia berusaha mengusir rasa yang baru saja datang lalu menghela napas panjang."Nibras, aku sangat lelah. Aku sedang tidak punya energi untuk membicarakan ini sekarang. Bisakah kita melakukannya di lain waktu?" ucapnya sedikit memohon. "Aku tak ingin jika ini diteruskan akan menjadi percakapan yang tidak sehat.”Nibras ingin sekali protes tetapi kata-kata Gary selalu terngiang selalu mengingatkan untuk menahan diri. “Ya, tentu saja.” Sedikit kikuk, pria itu mengulas sen
Nibras menarik napas panjang, menekan gejolak emosi yang mulai menguasai dirinya. Dengan senyum tipis namun penuh kendali, ia menoleh ke arah Agnia. "Agnia, mari ke meja VVIP. Ada beberapa tamu penting yang ingin kuperkenalkan padamu."Agnia terdiam sejenak, matanya melirik ke arah Bernard yang masih berdiri di sampingnya. Bernard, yang biasanya percaya diri, kini tampak ragu-ragu."Aku... sebaiknya?" gumam Bernard pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri apakah ia harus ikut.“Tidak perlu, Bernard. Aku rasa kau akan lebih nyaman menikmati suasana di sini. Ada banyak hidangan dan minuman yang bisa kau nikmati,” ujar Nibras cepat, menatap Bernard dengan senyum formal yang tajam seperti pisau.Tanpa menunggu jawaban, Nibras menyentuh punggung Agnia ringan, mengarahkannya untuk berjalan bersamanya. Bernard mengangguk pelan, meski jelas terlihat ada sedikit keraguan di matanya. Ia mundur selangkah, menyembunyikan rasa kikuknya di balik senyuman. "Baiklah, Pak Nibras. Selamat menikmati
Agnia melangkah memasuki ballroom yang megah dengan tatapan terpana. Gedung ini bukan sembarang tempat. Hanya kalangan atas yang bisa menyewa gedung sebesar ini, dan tentu saja, HS Group adalah salah satunya.Segala sesuatunya terlihat luar biasa. Lampu kristal yang menggantung tinggi, langit-langit yang dipenuhi ornamen indah, serta orang-orang yang mengenakan pakaian mewah, semuanya seakan mengundang rasa takjub.Agnia memandang sekelilingnya dengan mata terbuka lebar. Ada rasa kagum, tapi juga sedikit cemas menyusup di hati.Agnia tahu betul, acara seperti ini dihadiri oleh orang-orang berpengaruh. Masing-masing tamu berlomba untuk menarik perhatian dan memperkenalkan diri. Mereka mengenakan pakaian yang mencolok, dengan aksesori mewah dan tatapan tajam, seakan-akan ingin menunjukkan siapa diri mereka.Tapi, Agnia berbeda. Dia memilih untuk tampil dengan sederhana. Dengan gaun satin champagne yang elegan, dipadukan dengan perhiasan minimalis yang hanya
Agnia menggigit bibirnya, merasa sedikit kikuk sekaligus tertarik. “Aku... tidak ingin merepotkanmu,” katanya pelan, lalu menambahkan, “Aku pikir kau tak tertarik untuk datang.” Bernard terkekeh pelan, masih bersandar di pintu. “Sepertinya kau tidak pernah memberi kesempatan padaku untuk memutuskan sendiri,” katanya, nadanya setengah bercanda namun ada kejujuran yang jelas. “Jadi, bagaimana? Boleh aku menemanimu malam ini?” Agnia merasa pipinya sedikit memerah, tapi ia mengangguk perlahan, merasakan kehangatan di balik sorot mata Bernard yang tampak lebih lembut dari biasanya. “Tentu… kalau kau benar-benar mau ikut,” jawabnya sambil tersenyum kecil, dan tiba-tiba saja malam yang ia pikir akan terasa biasa-biasa saja berubah menjadi lebih spesial. Bernard tersenyum, menatap Agnia sejenak sebelum berkata, “Baiklah, Agnia. Kalau begitu, mari kita pergi.” *** Selama perjalanan menuju gedung pencakar langit tempat acara tersebut diadakan, Agnia semakin merasa cemas. Tubuhnya te
Agnia tiba di rumah tanpa hambatan di jalan. Begitu masuk, ia langsung menuju kamar mandi, membersihkan diri dengan teliti.Matanya melirik ke cermin, sedikit terkejut saat menyadari betapa detilnya ia merapikan diri dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah tubuhnya tak boleh sedikit pun kurang sempurna. Selesai mandi, ia memakaikan tubuhnya dengan jubah mandi, lalu mulai membongkar lemarinya.Di sana, Agnia mencari-cari gaun yang cocok untuk pesta perusahaan Nibras malam ini—acara mewah yang jelas akan dipenuhi oleh para petinggi bisnis. Ia tahu ini kesempatan penting, bukan hanya untuk tampil, tapi untuk memperluas koneksi. Nyaris setengah jam berlalu, kamar yang awalnya rapi kini penuh dengan tumpukan gaun yang ia coba dan singkirkan satu per satu. Gaun-gaun warna-warni tergeletak di mana-mana, sementara Agnia berdiri di depan cermin dengan wajah bingung, menghela napas berat.“Astaga, kenapa rasanya tidak ada yang cocok?” gumamny
Rapat mingguan baru saja selesai, dan Agnia melangkah cepat menuju ruang kerjanya. Langkah kakinya terdengar tegas. Suara sepatu yang bersinggungan dengan lantai kantornya nyaris berdebum, seakan waktu tak memberinya kesempatan untuk sekadar menoleh.Bernard, yang duduk di kursi tak jauh dari pintu, memperhatikan dengan seksama. Ada yang berbeda dari Agnia hari ini—langkahnya tergesa-gesa, wajahnya sedikit tegang, dan jemarinya bahkan tak henti-hentinya mengetuk-ngetuk tali tas yang tersampir di bahunya.Tak biasanya Agnia bersikap demikian.Bernard, yang merasa terpanggil oleh rasa ingin tahu, berdiri dan melangkah cepat, mensejajarkan langkahnya dengan Agnia yang seakan tak melihat kehadirannya di samping.“Kau tergesa-gesa sekali, Agnia,” katanya sambil tersenyum kecil, mencoba melumerkan suasana. “Apa ada masalah yang sedang terjadi?”Agnia hanya menghela napas, mengangkat bahunya tanpa menatap Bernard. Tangannya y
“Ada beberapa perkembangan terbaru yang ingin aku laporkan mengenai perusahaan konstruksi kita.” Lyman membuka pembicaraan, suaranya tenang penuh keyakinan. “Setelah mengalami kemacetan finansial beberapa waktu lalu, perusahaan kita mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Aku telah melakukan berbagai langkah strategis untuk memastikan HB Construction kembali ke jalur yang benar.”Anderson mendengarkan dengan seksama, matanya fokus pada Lyman. Tiara, di sisi lain, tampak lebih khawatir, meskipun berusaha menyembunyikannya di balik wajahnya yang tenang. Mereka berdua tahu betapa pentingnya stabilitas finansial bagi perusahaan tersebut, dan kabar tentang perkembangan perusahaan itu tentu menjadi hal yang penting.“Aku juga sudah mendapatkan sumber dana tambahan yang akan sangat membantu kita ke depan,” lanjut Lyman, nada suaranya penuh percaya diri. “Nibras, mantan suami Agnia, telah setuju untuk mendanai perusahaan kita. Dengan begitu, uang yang masuk dari dia akan menjadi keuntungan
Gunawan terpana sejenak, bingung dengan perubahan mendadak ini. "Tapi, Pak, acara sebesar itu memerlukan persiapan yang cukup panjang. Kita perlu waktu lebih dari seminggu untuk mengatur semuanya."Nibras berdiri dari kursinya, menghampiri Gunawan dengan sorot mata yang tajam. "Kita tidak punya waktu untuk itu. Aku ingin acara ini terjadi minggu depan, apapun caranya. Jika perlu, libatkan semua staf dan sumber daya yang kita miliki. Ini bukan tentang ulang tahun perusahaan, Gunawan. Ini lebih dari itu."Gunawan hanya bisa mengangguk, meskipun masih diliputi oleh rasa tak percaya dan dongkol tentu saja. Ia tak percaya atasannya akan memutuskan sesuatu yang cukup besar hanya karena mengedepankan ego semata.Setelah Gunawan pergi untuk memulai persiapan, Nibras duduk kembali di kursinya, membiarkan pikiran-pikiran liar berputar di kepalanya.Pria itu tahu bahwa keputusannya ini berisiko, namun dia juga sadar bahwa kesempatan untuk mendekatkan dirinya kembali pada Agnia mungkin tidak akan
Ucapan Agnia terasa dingin, menegaskan batasan yang jelas antara mereka. Nibras tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada sikap Agnia yang tegas dan penuh percaya diri.Pria itu ingat betul, inilah salah satu alasan mengapa ia semakin tertarik pada wanita ini. Agnia berubah menjadi wanita yang kuat, dan kekuatan itulah yang selalu membuat Nibras tertantang.Namun, di balik kekagumannya, Nibras tidak bisa menahan diri untuk tidak merencanakan sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan bisnis.Dia ingin melihat apakah dia masih memiliki kekuasaan atas Agnia, atau setidaknya, apakah dia masih bisa mempengaruhinya seperti dulu.“Baiklah,” Nibras menjawab, meski di dalam hatinya dia tidak berniat untuk sepenuhnya mematuhi permintaan Agnia. “Mari kita mulai.”***Pertemuan antara HS Funding & Investment dengan FutureIt berjalan tanpa hambatan. Nibras memimpin rapat dengan ketenangan yang nyaris tak tertandingi, menyingkirkan semua potensi gangguan pribadi.Pikirannya yang biasanya dipenuhi
Mendengar itu, Agnia tersentak, matanya melebar. Ia menatap Bernard dengan ekspresi yang sulit diartikan. Sejenak, ruangan itu terasa semakin sunyi.Waktu seakan berhenti, dan hanya ada mereka berdua di sana, terjebak dalam percakapan yang tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar diskusi pekerjaan.Bernard tahu, dengan mengucapkan kalimat itu, ia baru saja melangkah ke wilayah yang belum pernah ia sentuh sebelumnya.Namun, entah mengapa, ia merasa lega. Mungkin karena akhirnya ia berani mengungkapkan sesuatu yang selama ini terpendam.Agnia, masih terdiam, merasakan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat. Kalimat Bernard bukan hanya sebuah pengakuan, tetapi juga sebuah tantangan yang membuatnya berpikir lebih dalam.Ia tahu, perasaannya terhadap Bernard adalah campuran antara kekaguman dan rasa hormat, tetapi apakah itu cukup untuk menjadi sesuatu yang lebih?“Bernard, aku…” Agnia terdiam sejenak, mencoba merangkai kata. “Kau tahu, aku tidak pernah mudah