Pagi itu, Agnia duduk di depan meja kerjanya. Tugasnya sebagai manajer operasional memaksanya untuk selalu siap menghadapi segala situasi.
Tumpukan email yang menunggu balasan dan laporan yang perlu dicek menjadi makanan sehari-hari. Kantor cabang memang baru saja buka, tetapi promosi yang dilakukan sejak lama membuat klien berdatangan dengan mudah.
Agnia menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa lelah yang menggelayuti pikirannya.
Selama seminggu terakhir, Agnia sengaja menghindari Nibras. Pria itu selalu mencari-cari kesempatan untuk berbicara dengannya, tapi Agnia menolak. Selain urusan pekerjaan, ia tidak mau berkomunikasi dengan Nibras.
Keputusan ini bukan tanpa alasan. Mereka memiliki sejarah yang rumit dan Agnia tidak ingin membiarkan masa lalu menghantui pekerjaannya saat ini.
Saat sedang serius dengan dokumen di tangan, tiba-tiba ponsel di mejanya berdering.
“Tuan Brogran…” Sembari memikirkan apa yang men
Nibras yang sedang duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop tanpa benar-benar fokus. Pikirannya melayang-layang antara pekerjaan yang harus diselesaikan dan keadaan pribadinya yang semakin rumit.Akhir-akhir ini, Nibras merasa dirinya nyaris seperti sosok yang tak bernyawa. Bergerak tapi kosong. Apapun yang ia lakukan bagaikan sebuah rutinitas tanpa sebuah arti. Sejak perdebatan terakhirnya dengan Agnia, Nibras semakin tak tenang dan tak dapat tidur dengan nyenyak. Intensitas dirinya untuk mengonsumsi obat yang diresepkan Gary padanya malah kembali sering. "Sialan. Aku tak menyangka semuanya akan menjadi seperti ini." Sedikit menggerutu, Nibras mengeluhkan keadaan dirinya sendiri. Ia benar-benar tak dapat fokus pada berkas-berkas yang ada di depannya sekarang.Saat Nibras cukup lama terbalut dalam kecemasan, ponsel miliknya yang berada di atas meja bergetar. Ia melihat nama Stuart di layar yang menyala. Bergegas, diambilnya benda pipih itu untuk menerima panggilan. “Morning, Tu
Mendapat telpon seperti itu dari sepupunya, Gary tidak berpikir dua kali. Dia meraih kunci mobilnya dan bergegas keluar dari apartemennya.Kantor Nibras lebih dekat dari tempat tinggalnya, jadi dia tahu dia harus cepat.Sepanjang perjalanan, pikiran Gary melayang-layang. Dia mengenal Nibras dengan baik, dan serangan panik ini bukanlah sesuatu yang asing. Namun, kali ini terdengar lebih serius.Ketika Gary tiba di lobi gedung kantor Nibras, ia segera turun tanpa mematikan mesin membuat sekuriti yang berjaga mendekat dan menegurnya.“Maaf, Pak Gary-”Menatap tajam sekaligus memohong, Gary memotong dan menjelaskan. "Pak Nibras sedang sakit dan saya ke sini untuk menjemputnya! Tolong awasi mobil saya!”"Ba-baik, Pak! Silahkan naik!" Karena sekuriti itu tau jika Gary memang kerabat dari Nibras, ia pun segera melakukan apa yang diperintahkan.Dengan langkah terburu, Gary segera menuju lantai di mana Nibras berada tanpa memedulikan baik sapaan
Gary memandang Nibras dengan serius, menyadari bahwa sepupunya itu berada dalam dilema besar. "Dengar, Nibras. Kamu harus minta maaf pada Agnia dengan cara yang benar. Pikirkan bagaimana perasaannya atas semua yang telah terjadi," kata Gary dengan nada penuh penekanan.“Aku? Minta maaf?” Manik hitam pekat Nibras seketika melebar.Detik berikutnya, Nibras tampak menggeleng dan menolak gagasan itu. "Aku memang meminta saran padamu tetapi jangan kau suruh aku merendahkan diri seperti ini, Gary!" katanya sedikit tak terima, meskipun hatinya sendiri mulai meragukan ketegasannya.Gary menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum melanjutkan. Ia sudah menduga sepupunya ini akan menolak mentah-mentah sarannya."Ini bukan soal merendahkan diri, Nibras. Ini tentang menunjukkan bahwa kamu benar-benar peduli padanya dan bersedia memperbaiki kesalahanmu.“Kalau kau sungguh-sungguh ingin hubunganmu dengan Agnia kembali membaik, kau harus bi
Nibras berdiri kaku di depan pintu, hatinya berdebar kencang. Ia sudah membayangkan berbagai kemungkinan, namun semuanya terasa menakutkan.Mungkinkah Agnia akan mengusirnya setelah apa yang terjadi tempo hari? Mengingat amarah yang meluap-luap di antara mereka, Nibras siap menghadapi yang terburuk.Mereka masih saling menatap tanpa mengatakan apapun. Melihat Agnia tak kunjung mengatakan apapun, pria itu nyaris pamit untuk pulang dan menyerahkan kue yang ia bawa meski entah seperti apa wujudnya.Apalagi tiba-tiba wanita itu mengalihkan pandangannya ke arah lain membuat hati Nibras semakin teremas, perih.“Masuklah.” Suara lirih Agnia mampu membuat Nibras tergugu. Pria itu pikir, Agnia akan mengusirnya. Meski diucapkan dengan nada yang datar dan dingin, tetapi sepertinya mantan istrinya itu masih memiliki hati mengajaknya masuk ke dalam rumah. Agnia bergerak untuk membuka pintu yang terkunci, lalu membiarkan pintu tersebut terbuka setelah masuk ke dalam dan pria itu mengikutnya.Begitu
Agnia menatap lekat ke arah manik hitam pekat milik sang mantan suami itu. Terhenyak tetapi berusaha tenang, ia malah mendapati sebuah kesungguhan dan ketulusan di sana.Itu adalah pertama kali Agnia melihat Nibras seperti itu dan seketika menyentuh dan menghangatkan relung hatinya, tetapi miris sekaligus hadir mengingat selama dua tahun pernikahan hal itu tak pernah ditunjukkan oleh Nibras.Jemarinya yang berada di pangkuan saling meremas, berharap itu semua ada tipuan dan ia tidak ingin masuk dalam sebuah perangkap!Agnia berusaha mengusir rasa yang baru saja datang lalu menghela napas panjang."Nibras, aku sangat lelah. Aku sedang tidak punya energi untuk membicarakan ini sekarang. Bisakah kita melakukannya di lain waktu?" ucapnya sedikit memohon. "Aku tak ingin jika ini diteruskan akan menjadi percakapan yang tidak sehat.”Nibras ingin sekali protes tetapi kata-kata Gary selalu terngiang selalu mengingatkan untuk menahan diri. “Ya, tentu saja.” Sedikit kikuk, pria itu mengulas sen
Pertanyaan Gary tentang rencana Nibras untuk kembali menikahi Agnia, semalam sungguh mengusiknya hingga tidak dapat tidur dengan nyenyak. Bahkan hari ini, ia tidak dapat fokus pada pekerjaannya.Pikiran Nibras terus berputar-putar, mencari cara untuk memperbaiki hubungannya dengan Agnia. Pria itu bahkan tak mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan oleh Gunawan.Sudah hampir sepuluh menit asistennya itu berdiri di hadapannya, membaca jadwal kerja hari ini dan beberapa laporan penting.Nibras tersesat, terperangkap dalam berkas-berkas yang diberikan oleh Gunawan beberapa waktu lalu. Ia lebih sibuk dengan map yang berisikan daftar hal-hal yang disukai oleh Agnia. Kedua maniknya tak berhenti memindai, mencoba memikirkan hal mana yang harus ia lakukan terlebih dahulu."Pak Nibras. Apakah semua penjelasan saya sudah cukup jelas?" tanya Gunawan, suaranya penuh harap meski ia tahu atasannya tidak mendengarkan. Setidaknya, ia telah menjalankan pekerjaannya dengan benar!"Pak Nibras?" pan
Informasi mengenai keluarga Agnia yang Nibras terima dari Gunawan beberapa hari lalu membuatnya selalu resah nyaris tiap hari. Apalagi belum ada perkembangan lebih lanjut dari asistennya itu mapun Arjuna.Beruntung pekerjaan yang harus Nibras urusi di kantor cukup banyak sehingga pikirannya sering teralihkan meski terkadang masalah itu kembali muncul.Sejak mendengar kabar tersebut, ingin sekali Nibras menghubungi Agnia tetapi mengingat wanita itu bahkan belum memberikan reaksi atas permintaan maafnya membuat dirinya urung.Bisa-bisa Agnia kembali marah jika mengetahui dirinya melakukan penyelidikan tanpa sepengetahuan sang mantan istri.“Ah, tapi mengingat aku pernah membawakannya kue kesukaannya sepertinya Agnia juga tau jika aku melakukan itu,” gumam Nibras mengingat-ingat."Haah!" Pria itu membuang napas keras dan kasar sembari melepas kacamata dan meletakkannya di meja sedikit asal. Segera dilonggarkannya dasi, berharap penat yang
Entah helaan napas keberapa yang telah Agnia lakukan dalam hari ini. Benaknya tidak bosan-bosan memutar ulang momen Nibras meminta maaf padanya. Wanita itu ingin sekali tidak memikirkan hal tersebut tetapi dirinya selalu saja kalah hingga akhirnya menyerah dan membiarkannya.Masih terasa, getaran suara Nibras saat mengucapkan maaf padanya. Kalimat yang diucapkan begitu tulus dan jujur, sesuatu yang tidak pernah Agnia bayangkan akan keluar dari mulut pria itu yang selama ini ia kenal kaku dan dingin.Jika setelah perceraian itu terjadi, ia lebih memilih momen yang menyakitkan, entah mengapa kali ini Agnia malah mengingat-ingat kebaikan Nibras selama pernikahan dua tahun mereka, meski dapat dihitung dengan jari.Atau mungkin, Agnia yang tak ingin mengingatnya sebagai kebaikan?Perlahan, Agnia meraih ponsel yang ia letakkan di dekatnya lalu membuka histori komunikasi antara dirinya dan Nibras. Wanita itu menghela napas seraya meletakkan kembali benda pipih itu setelah tak menemukan apapu