Nibras melonggarkan dasinya sesaat ia duduk di belakang kemudi Audi A5-nya. Pria itu menyandarkan kepala ke kursi seiring dengan kedua kelopak matanya tertutup.
Tiga hari ia menyibukkan diri dengan segala meeting yang sengaja ia lalukan di luar kantor agar pikirannya terdistraksi tetapi tetap saja selalu kembali pada Agnia.
"Ah, sial." Nibras bergumam lirih sembari melepaskan kacamata lalu meletakkannya di kotak penyimpanan dekat persneling.
Wajah pusat pasi mantan istrinya itu terus-terusan hadir seakan melekat begitu kuat. Tak tahan lagi, ia menekan-nekan dashboard untuk mencari nomor asistennya lalu melakukan panggilan.
"Ya, Pak?" sapa Gunawan setelah tersambung.
"How's everything?" tanya Nibras dengan suara lirih.
"Are you OK, Sir?" Ganti Gunawan bertanya sedikit khawatir.
"Agnia sudah masuk ke kantor?" Nibras tak memedulikan asistennya.
"Ya, sejak dua hari yang lalu."
"Bagaimana dia?"
"Masih lengkap. Dua tang
Saat jarinya nyaris menyentuh layar, sebuah panggilan masuk atas nama Hakeem Shadeeq, sang ayah, tampak menggantikan nama Agnia.Pria itu terdiam sebentar, memikirkan alasan apa yang mendorong ayahnya menghubunginya sebelum ia menerima panggilan tersebut. "Ya, Ayah.""Kau kenal dengan Shania?" Tanpa basa basi pria baya di seberang sana langsung bertanya.Dahi Nibras mengernyit. "Shania? Maksud Ayah, Shania Tasrif?""Ya. Putri dari Budi Tasrif, menteri ESDM sekaligus penguasa tambang nikel di Kalimantan itu. Masih ingat?"Menebak-nebak kemana arah pembicaraan ini, Nibras menjawab 'ingat' dengan singkat."Nanti akan ada makan malam bersama dengan keluarga mereka. Bersiap dan datanglah ke Citilites, jam tujuh malam."Baru hendak membuka mulut untuk menjawab, panggilan itu diputus begitu saja. Helaan napas spontan terlolos dari bibir Nibras seiring ia menyandarkan siku ke jendela, lalu memijit pelipisnya.Meski pria itu tahu hubungannya dengan sang ayah memang tidak dekat, tetap saja mela
Seperti dugaan Nibras, makan malam ini bagaikan makan malam bersama dengan rekan bisnisnya. Percakapan seputar pekerjaan dan pencapaian menjadi topik utama antara Hakeem dan Budi Tasrif meski sesekali tawa kedua paruh baya itu menghiasi.Nibras terlalu sibuk memusatkan perhatian pada makanan di depannya hingga tak mengindahkan segala gerak gerik dan tanda yang dilakukan oleh gadis cantik berambut sebahu, Shania.Sejak keluarga Shadeeq masuk ke dalam ruang VIP yang direservasi oleh ayahnya, Shania tak pernah melepas kedua maniknya dari pria yang dulu ia kenal sebagai bocah ingusan tersebut.Tak menyangka dirinya, Nibras tumbuh sebagai seorang pria dewasa yang begitu mengagumkan baik secara fisik maupun prestasi.Tiada cela dari pria ini kecuali berita perceraiannya yang tidak terlalu mengganggu Shania.Ia tak keberatan menerima seorang duda jika akan mendapatkan sebuah paket lengkap yang sempurna.“Kau single, 'kan?” Pertanyaan yang
Sepasang mata bulat itu menatap tak percaya ke arah Nibras. Pria itu bahkan tak dapat berpikir apapun kecuali mengamati reaksi mantan istrinya yang masih saja berdiri kaku.Entah berapa lama mereka saling memandang hingga akhirnya Agnia membalikkan badan dan pergi begitu saja dengan terburu. Seketika Nibras mendorong tubuh Shania hendak menyusul, membuat wanita cantik itu sedikit memekik kaget. “Nibras! Mau kemana kau?” Langkah pria itu terhenti. Tercekat dirinya memikirkan reaksi spontan dirinya.'Ya, mau kemana dirinya?' Ia pasti sudah gila jika ia benar-benar menyusul mantan istrinya itu! Nibras mendengkus kasar sembari mengusap tengkuknya. Kepalanya tiba-tiba merasa penat karena kejadian yang tidak ia sangka. Lamunannya terhenti ketika sepasang lengan melingkar di pinggang yang membuatnya terkejut. Shania berada tepat di belakannya, menempel begitu erat. “Jangan pergi…” Sekuat tenaga meski tidak kasar, Nibras melepaskan
MM - 17Agnia sempat tercekat saat mendengar perintah tak bersahabat dari mantan suaminya itu. Seketika wajahnya berubah masam. "Tidak, terima kasih. Aku bisa pulang sendiri. Taksi akan datang sebentar lagi."Nibras berjalan mendekati Agnia, membuat perempuan itu spontan bergerak mundur.“M-mau apa-”"Kau tak bisa menunggu sendirian di sini. Ini sudah larut malam! Naik!" titah Nibras tidak main-main.“Sudah saya bilang, saya akan naik taksi saja!”Pria itu menghela napas, tak menyangka mantan istrinya ini akan menjadi sangat keras kepala. "Taksi yang datang akan lama!"Keringat gugup mulai membasahi telapak tangan Agnia. Ia memikirkan sesuatu agar tidak lebih menarik perhatian orang-orang karena beberapa sudah melihat ke arah mereka.Tiba-tiba seorang pria berseragam sekuriti menghampiri dan menyentuh lengan Nibras pelan. “Eh, Pak. Maaf. Apakah itu mobil Anda?”Nibras yang sedang berada dalam mood yang sangat buruk itu, menoleh dan menatap tak ramah pada pria tersebut. “Ya. Kenapa?”“
Pertanyaan Agnia cukup menggelitik Nibras. "Kenapa? Kau cemburu?"Agnia mendecih. "Tidak. Jika dia memang kekasihmu, seharusnya kau malu dengan segala sikapmu padaku itu!"Alis tebal Nibras terangkat. "Sikapku? Yang mana?""Semuanya!" Agnia sudah mengerutkan bibirnya hingga nampak menggemaskan. Perhatian Nibras seketika turun pada bibir sedikit pucat itu.‘Astaga, Nibras! Kau sedang menyetir!’ rutuknya dalam hati lalu kembali fokus pada jalanan.“Aku tak paham dengan maksudmu,” ucap Nibras pelan.Agnia terlihat telah bersedekap. “Apa kau mengikutiku ke Citilites?” tanyanya tanpa basa basi membuat manik hitam Nibras membelalak di balik kacamatanya.Spontan pria itu terbahak sangat keras hingga membuat Agnia terlonjak kaget.“A-apanya yang lucu? Aku ‘kan hanya bertanya!” Wajah Agnia yang sedikit memerah itu semakin merengut.“Kau pikir aku mengikutimu?” Nibras melirik sekilas dengan satu alis sudah terangkat.“Kenapa tidak? Kau bahkan tiba-tiba saja datang ke rumahku!” sahut Agnia masih
Nibras tergugu setelah mendengar kalimat itu keluar dari Agnia seiring sang mantan istri keluar dan sedikit membanting pintu mobil. Tidak. Bukan ini yang Nibras inginkan… “Sial.” Nibras mendesis sembari memukul kemudi mobil pelan. Helaan napas kesal terlolos begitu saja sembari ia melepas kacamata. Menyandarkan kepala ke kursi dan memejamkan mata, ia memijit pucuk hidungnya seraya merenungi sikapnya yang sepertinya memang terlalu berlebihan. Nibras benar-benar tak dapat menahan diri untuk tidak bersikap seperti tadi terhadap Agnia. Perasaan yang ada dalam dirinya itu terlalu besar dan mendorongnya untuk berbuat sesuka hatinya. Saat berusaha untuk menenangkan diri, suara getaran terdengar samar membuat Nibras perlahan membuka kelopak matanya. Pandangannya mencari-cari keberadaan benda tersebut. Cahaya berpendar dari lantai kursi penumpang sebelahnya, menarik atensi Nibras. Pria itu segera melepas sabuk pengaman dan melongok. Dahinya berkerut saat melihat sebuah ponsel dengan pangg
"How's your feeling?"Itu adalah pertanyaan yang pertama kali Nibras dengar setelah ia membuka kedua matanya dan dibiarkan terdiam beberapa saat.Perlahan, Nibras menoleh ke asal suara. Ada Gary sedang duduk di sofa tunggal dekat jendela.Nibras semakin menyadari jika ia sedang berada di kamar tidurnya di apartemennya sendiri."Kau menginap di sini?" tanya Nibras dengan suara lirih dan serak. Entah mengapa ia merasa lelah sekali.Gary hanya mengangguk. Dari tatapan sepupunya, Nibras tau jika semalam dirinya mengalami hal yang tidak mengenakkan.Pria itu pun perlahan teringat jika ia mengalami panic attack di depan rumah Agnia.Nibras tertegun sebentar karena kejadian semalam kembali terputar. Perlahan, pria itu mendudukkan diri di pinggiran ranjang."Kau mau kemana? Istirahatlah. Ini hari Sabtu," tukas Gary mengingatkan sembari berdiri lalu berjalan mendekat.Nibras memegangi kepalanya yang menunduk dengan kedua tangan
Nibras memasuki cafe yang dijadikan tempat pertemuan dengan Arjuna sedikit terburu.Ia masih sedikit pusing tetapi ia mengabaikannya. Mungkin, obat penghilang nyeri yang diberi Gary akan ia minum nanti setelah berdiskusi.Pria itu segera mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru cafe dan menemukan sosok yang ia cari.Dengan langkah yang penuh percaya diri, Nibras bergegas menuju Arjuna yang telah menunggunya di sudut yang tidak terlalu ramai.Melihat kedatangan Nibras, Arjuna segera berdiri dan menyodorkan tangan untuk menyalaminya. “Pagi, Pak.”Tersenyum tipis, Nibras menggerakkan dagunya untuk menyuruh Arjuna kembali duduk pun dengan dirinya memilih kursi yang berseberangan.“Bapak mau pesan dulu?” tawar Arjuna sebelum mereka mulai di bagian yang sangat serius dan penting, dan diangguki oleh Nibras.Arjuna segera mengangkat tangan untuk memanggil pelayan. “Mau pesan apa?”“Espresso saja.”“Bapak mau sarapan? Roti isi