Seketika Nibras menegang. Khawatir tak dapat lagi ia tahan hingga begitu tampak di wajahnya. Pria itu bahkan telah berdiri dari duduknya. “Di mana dia dirawat?”
Bernard menatap ke arah Nibras, bertanya-tanya atas reaksi yang sedikit berlebihan dari Nibras secara pria ini tidak mengenal Agnia. Ia melihat sekilas ke arah Gunawan yang sudah tersenyum kikuk.
"Ehm." Bernard berdeham sebentar, berusaha tidak menampakkan keheranannya. "Agnia sedang istirahat di rumah saja. Kemarin menurut staf, ia jatuh pingsan dan dibawa ke IGD-"
"IGD?" Wajah Nibras semakin pasih. Ia nyaris balik badan dan pergi dari sana untuk mencari Agnia jika Gunawan tak menahannya. Bernard semakin kebingungan.
"Pak..." Sang asisten berbisik, menyentuh lengannya untuk menyuruhnya duduk kembali
"But she's-"
"Pak!" Kali ini Gunawan berkata dengan tegas, tatapannya lekatnya sedikit mengingatkan.
Nibras pun seketika tersadar akan sikapnya yang spontan dan tidak
Agnia meremas jemarinya hingga kukunya memutih. Tatapan Nibras begitu tajam terhunjam hingga membuatnya nyaris tak dapat bernapas dengan benar. Belum lagi sang mantan suami berdiri menjulang di sisi tempat tidur dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana, begitu dekat dengannya membuat atmosfir di kamar itu semakin menyesakkan. Ia menyesal tidak mencegah Gunawan yang tadi pamit keluar hingga harus merasa begitu kikuk dan serba salah. “Duduklah,” pinta Agnia lirih, mengacu pada kursi yang ada di dekat Nibras. “Kenapa kau bisa sakit?” tanya Nibras, mengacuhkan permintaan Agnia. Tak lepas ia menatap lekat wanita itu. “Ya, bisa saja kalau sudah waktunya sakit!” sahut Agnia sembari menatap mantan suaminya sedikit kesal. Meski sedikit pasih, raut wajah Agnia yang merajuk itu tampak menggemaskan, nyaris membuat tawa Nibras terlepas. Beruntung ia cukup sigap untuk tetap bersikap datar. Ia mendekatkan diri ke ranjang hingga Agnia spontan memundurkan tubuhnya ke sisi lain kasur
Nibras melonggarkan dasinya sesaat ia duduk di belakang kemudi Audi A5-nya. Pria itu menyandarkan kepala ke kursi seiring dengan kedua kelopak matanya tertutup.Tiga hari ia menyibukkan diri dengan segala meeting yang sengaja ia lalukan di luar kantor agar pikirannya terdistraksi tetapi tetap saja selalu kembali pada Agnia."Ah, sial." Nibras bergumam lirih sembari melepaskan kacamata lalu meletakkannya di kotak penyimpanan dekat persneling.Wajah pusat pasi mantan istrinya itu terus-terusan hadir seakan melekat begitu kuat. Tak tahan lagi, ia menekan-nekan dashboard untuk mencari nomor asistennya lalu melakukan panggilan."Ya, Pak?" sapa Gunawan setelah tersambung."How's everything?" tanya Nibras dengan suara lirih."Are you OK, Sir?" Ganti Gunawan bertanya sedikit khawatir."Agnia sudah masuk ke kantor?" Nibras tak memedulikan asistennya."Ya, sejak dua hari yang lalu.""Bagaimana dia?""Masih lengkap. Dua tang
Saat jarinya nyaris menyentuh layar, sebuah panggilan masuk atas nama Hakeem Shadeeq, sang ayah, tampak menggantikan nama Agnia.Pria itu terdiam sebentar, memikirkan alasan apa yang mendorong ayahnya menghubunginya sebelum ia menerima panggilan tersebut. "Ya, Ayah.""Kau kenal dengan Shania?" Tanpa basa basi pria baya di seberang sana langsung bertanya.Dahi Nibras mengernyit. "Shania? Maksud Ayah, Shania Tasrif?""Ya. Putri dari Budi Tasrif, menteri ESDM sekaligus penguasa tambang nikel di Kalimantan itu. Masih ingat?"Menebak-nebak kemana arah pembicaraan ini, Nibras menjawab 'ingat' dengan singkat."Nanti akan ada makan malam bersama dengan keluarga mereka. Bersiap dan datanglah ke Citilites, jam tujuh malam."Baru hendak membuka mulut untuk menjawab, panggilan itu diputus begitu saja. Helaan napas spontan terlolos dari bibir Nibras seiring ia menyandarkan siku ke jendela, lalu memijit pelipisnya.Meski pria itu tahu hubungannya dengan sang ayah memang tidak dekat, tetap saja mela
Seperti dugaan Nibras, makan malam ini bagaikan makan malam bersama dengan rekan bisnisnya. Percakapan seputar pekerjaan dan pencapaian menjadi topik utama antara Hakeem dan Budi Tasrif meski sesekali tawa kedua paruh baya itu menghiasi.Nibras terlalu sibuk memusatkan perhatian pada makanan di depannya hingga tak mengindahkan segala gerak gerik dan tanda yang dilakukan oleh gadis cantik berambut sebahu, Shania.Sejak keluarga Shadeeq masuk ke dalam ruang VIP yang direservasi oleh ayahnya, Shania tak pernah melepas kedua maniknya dari pria yang dulu ia kenal sebagai bocah ingusan tersebut.Tak menyangka dirinya, Nibras tumbuh sebagai seorang pria dewasa yang begitu mengagumkan baik secara fisik maupun prestasi.Tiada cela dari pria ini kecuali berita perceraiannya yang tidak terlalu mengganggu Shania.Ia tak keberatan menerima seorang duda jika akan mendapatkan sebuah paket lengkap yang sempurna.“Kau single, 'kan?” Pertanyaan yang
Sepasang mata bulat itu menatap tak percaya ke arah Nibras. Pria itu bahkan tak dapat berpikir apapun kecuali mengamati reaksi mantan istrinya yang masih saja berdiri kaku.Entah berapa lama mereka saling memandang hingga akhirnya Agnia membalikkan badan dan pergi begitu saja dengan terburu. Seketika Nibras mendorong tubuh Shania hendak menyusul, membuat wanita cantik itu sedikit memekik kaget. “Nibras! Mau kemana kau?” Langkah pria itu terhenti. Tercekat dirinya memikirkan reaksi spontan dirinya.'Ya, mau kemana dirinya?' Ia pasti sudah gila jika ia benar-benar menyusul mantan istrinya itu! Nibras mendengkus kasar sembari mengusap tengkuknya. Kepalanya tiba-tiba merasa penat karena kejadian yang tidak ia sangka. Lamunannya terhenti ketika sepasang lengan melingkar di pinggang yang membuatnya terkejut. Shania berada tepat di belakannya, menempel begitu erat. “Jangan pergi…” Sekuat tenaga meski tidak kasar, Nibras melepaskan
MM - 17Agnia sempat tercekat saat mendengar perintah tak bersahabat dari mantan suaminya itu. Seketika wajahnya berubah masam. "Tidak, terima kasih. Aku bisa pulang sendiri. Taksi akan datang sebentar lagi."Nibras berjalan mendekati Agnia, membuat perempuan itu spontan bergerak mundur.“M-mau apa-”"Kau tak bisa menunggu sendirian di sini. Ini sudah larut malam! Naik!" titah Nibras tidak main-main.“Sudah saya bilang, saya akan naik taksi saja!”Pria itu menghela napas, tak menyangka mantan istrinya ini akan menjadi sangat keras kepala. "Taksi yang datang akan lama!"Keringat gugup mulai membasahi telapak tangan Agnia. Ia memikirkan sesuatu agar tidak lebih menarik perhatian orang-orang karena beberapa sudah melihat ke arah mereka.Tiba-tiba seorang pria berseragam sekuriti menghampiri dan menyentuh lengan Nibras pelan. “Eh, Pak. Maaf. Apakah itu mobil Anda?”Nibras yang sedang berada dalam mood yang sangat buruk itu, menoleh dan menatap tak ramah pada pria tersebut. “Ya. Kenapa?”“
Pertanyaan Agnia cukup menggelitik Nibras. "Kenapa? Kau cemburu?"Agnia mendecih. "Tidak. Jika dia memang kekasihmu, seharusnya kau malu dengan segala sikapmu padaku itu!"Alis tebal Nibras terangkat. "Sikapku? Yang mana?""Semuanya!" Agnia sudah mengerutkan bibirnya hingga nampak menggemaskan. Perhatian Nibras seketika turun pada bibir sedikit pucat itu.‘Astaga, Nibras! Kau sedang menyetir!’ rutuknya dalam hati lalu kembali fokus pada jalanan.“Aku tak paham dengan maksudmu,” ucap Nibras pelan.Agnia terlihat telah bersedekap. “Apa kau mengikutiku ke Citilites?” tanyanya tanpa basa basi membuat manik hitam Nibras membelalak di balik kacamatanya.Spontan pria itu terbahak sangat keras hingga membuat Agnia terlonjak kaget.“A-apanya yang lucu? Aku ‘kan hanya bertanya!” Wajah Agnia yang sedikit memerah itu semakin merengut.“Kau pikir aku mengikutimu?” Nibras melirik sekilas dengan satu alis sudah terangkat.“Kenapa tidak? Kau bahkan tiba-tiba saja datang ke rumahku!” sahut Agnia masih
Nibras tergugu setelah mendengar kalimat itu keluar dari Agnia seiring sang mantan istri keluar dan sedikit membanting pintu mobil. Tidak. Bukan ini yang Nibras inginkan… “Sial.” Nibras mendesis sembari memukul kemudi mobil pelan. Helaan napas kesal terlolos begitu saja sembari ia melepas kacamata. Menyandarkan kepala ke kursi dan memejamkan mata, ia memijit pucuk hidungnya seraya merenungi sikapnya yang sepertinya memang terlalu berlebihan. Nibras benar-benar tak dapat menahan diri untuk tidak bersikap seperti tadi terhadap Agnia. Perasaan yang ada dalam dirinya itu terlalu besar dan mendorongnya untuk berbuat sesuka hatinya. Saat berusaha untuk menenangkan diri, suara getaran terdengar samar membuat Nibras perlahan membuka kelopak matanya. Pandangannya mencari-cari keberadaan benda tersebut. Cahaya berpendar dari lantai kursi penumpang sebelahnya, menarik atensi Nibras. Pria itu segera melepas sabuk pengaman dan melongok. Dahinya berkerut saat melihat sebuah ponsel dengan pangg
Nibras menarik napas panjang, menekan gejolak emosi yang mulai menguasai dirinya. Dengan senyum tipis namun penuh kendali, ia menoleh ke arah Agnia. "Agnia, mari ke meja VVIP. Ada beberapa tamu penting yang ingin kuperkenalkan padamu."Agnia terdiam sejenak, matanya melirik ke arah Bernard yang masih berdiri di sampingnya. Bernard, yang biasanya percaya diri, kini tampak ragu-ragu."Aku... sebaiknya?" gumam Bernard pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri apakah ia harus ikut.“Tidak perlu, Bernard. Aku rasa kau akan lebih nyaman menikmati suasana di sini. Ada banyak hidangan dan minuman yang bisa kau nikmati,” ujar Nibras cepat, menatap Bernard dengan senyum formal yang tajam seperti pisau.Tanpa menunggu jawaban, Nibras menyentuh punggung Agnia ringan, mengarahkannya untuk berjalan bersamanya. Bernard mengangguk pelan, meski jelas terlihat ada sedikit keraguan di matanya. Ia mundur selangkah, menyembunyikan rasa kikuknya di balik senyuman. "Baiklah, Pak Nibras. Selamat menikmati
Agnia melangkah memasuki ballroom yang megah dengan tatapan terpana. Gedung ini bukan sembarang tempat. Hanya kalangan atas yang bisa menyewa gedung sebesar ini, dan tentu saja, HS Group adalah salah satunya.Segala sesuatunya terlihat luar biasa. Lampu kristal yang menggantung tinggi, langit-langit yang dipenuhi ornamen indah, serta orang-orang yang mengenakan pakaian mewah, semuanya seakan mengundang rasa takjub.Agnia memandang sekelilingnya dengan mata terbuka lebar. Ada rasa kagum, tapi juga sedikit cemas menyusup di hati.Agnia tahu betul, acara seperti ini dihadiri oleh orang-orang berpengaruh. Masing-masing tamu berlomba untuk menarik perhatian dan memperkenalkan diri. Mereka mengenakan pakaian yang mencolok, dengan aksesori mewah dan tatapan tajam, seakan-akan ingin menunjukkan siapa diri mereka.Tapi, Agnia berbeda. Dia memilih untuk tampil dengan sederhana. Dengan gaun satin champagne yang elegan, dipadukan dengan perhiasan minimalis yang hanya
Agnia menggigit bibirnya, merasa sedikit kikuk sekaligus tertarik. “Aku... tidak ingin merepotkanmu,” katanya pelan, lalu menambahkan, “Aku pikir kau tak tertarik untuk datang.” Bernard terkekeh pelan, masih bersandar di pintu. “Sepertinya kau tidak pernah memberi kesempatan padaku untuk memutuskan sendiri,” katanya, nadanya setengah bercanda namun ada kejujuran yang jelas. “Jadi, bagaimana? Boleh aku menemanimu malam ini?” Agnia merasa pipinya sedikit memerah, tapi ia mengangguk perlahan, merasakan kehangatan di balik sorot mata Bernard yang tampak lebih lembut dari biasanya. “Tentu… kalau kau benar-benar mau ikut,” jawabnya sambil tersenyum kecil, dan tiba-tiba saja malam yang ia pikir akan terasa biasa-biasa saja berubah menjadi lebih spesial. Bernard tersenyum, menatap Agnia sejenak sebelum berkata, “Baiklah, Agnia. Kalau begitu, mari kita pergi.” *** Selama perjalanan menuju gedung pencakar langit tempat acara tersebut diadakan, Agnia semakin merasa cemas. Tubuhnya te
Agnia tiba di rumah tanpa hambatan di jalan. Begitu masuk, ia langsung menuju kamar mandi, membersihkan diri dengan teliti.Matanya melirik ke cermin, sedikit terkejut saat menyadari betapa detilnya ia merapikan diri dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah tubuhnya tak boleh sedikit pun kurang sempurna. Selesai mandi, ia memakaikan tubuhnya dengan jubah mandi, lalu mulai membongkar lemarinya.Di sana, Agnia mencari-cari gaun yang cocok untuk pesta perusahaan Nibras malam ini—acara mewah yang jelas akan dipenuhi oleh para petinggi bisnis. Ia tahu ini kesempatan penting, bukan hanya untuk tampil, tapi untuk memperluas koneksi. Nyaris setengah jam berlalu, kamar yang awalnya rapi kini penuh dengan tumpukan gaun yang ia coba dan singkirkan satu per satu. Gaun-gaun warna-warni tergeletak di mana-mana, sementara Agnia berdiri di depan cermin dengan wajah bingung, menghela napas berat.“Astaga, kenapa rasanya tidak ada yang cocok?” gumamny
Rapat mingguan baru saja selesai, dan Agnia melangkah cepat menuju ruang kerjanya. Langkah kakinya terdengar tegas. Suara sepatu yang bersinggungan dengan lantai kantornya nyaris berdebum, seakan waktu tak memberinya kesempatan untuk sekadar menoleh.Bernard, yang duduk di kursi tak jauh dari pintu, memperhatikan dengan seksama. Ada yang berbeda dari Agnia hari ini—langkahnya tergesa-gesa, wajahnya sedikit tegang, dan jemarinya bahkan tak henti-hentinya mengetuk-ngetuk tali tas yang tersampir di bahunya.Tak biasanya Agnia bersikap demikian.Bernard, yang merasa terpanggil oleh rasa ingin tahu, berdiri dan melangkah cepat, mensejajarkan langkahnya dengan Agnia yang seakan tak melihat kehadirannya di samping.“Kau tergesa-gesa sekali, Agnia,” katanya sambil tersenyum kecil, mencoba melumerkan suasana. “Apa ada masalah yang sedang terjadi?”Agnia hanya menghela napas, mengangkat bahunya tanpa menatap Bernard. Tangannya y
“Ada beberapa perkembangan terbaru yang ingin aku laporkan mengenai perusahaan konstruksi kita.” Lyman membuka pembicaraan, suaranya tenang penuh keyakinan. “Setelah mengalami kemacetan finansial beberapa waktu lalu, perusahaan kita mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Aku telah melakukan berbagai langkah strategis untuk memastikan HB Construction kembali ke jalur yang benar.”Anderson mendengarkan dengan seksama, matanya fokus pada Lyman. Tiara, di sisi lain, tampak lebih khawatir, meskipun berusaha menyembunyikannya di balik wajahnya yang tenang. Mereka berdua tahu betapa pentingnya stabilitas finansial bagi perusahaan tersebut, dan kabar tentang perkembangan perusahaan itu tentu menjadi hal yang penting.“Aku juga sudah mendapatkan sumber dana tambahan yang akan sangat membantu kita ke depan,” lanjut Lyman, nada suaranya penuh percaya diri. “Nibras, mantan suami Agnia, telah setuju untuk mendanai perusahaan kita. Dengan begitu, uang yang masuk dari dia akan menjadi keuntungan
Gunawan terpana sejenak, bingung dengan perubahan mendadak ini. "Tapi, Pak, acara sebesar itu memerlukan persiapan yang cukup panjang. Kita perlu waktu lebih dari seminggu untuk mengatur semuanya."Nibras berdiri dari kursinya, menghampiri Gunawan dengan sorot mata yang tajam. "Kita tidak punya waktu untuk itu. Aku ingin acara ini terjadi minggu depan, apapun caranya. Jika perlu, libatkan semua staf dan sumber daya yang kita miliki. Ini bukan tentang ulang tahun perusahaan, Gunawan. Ini lebih dari itu."Gunawan hanya bisa mengangguk, meskipun masih diliputi oleh rasa tak percaya dan dongkol tentu saja. Ia tak percaya atasannya akan memutuskan sesuatu yang cukup besar hanya karena mengedepankan ego semata.Setelah Gunawan pergi untuk memulai persiapan, Nibras duduk kembali di kursinya, membiarkan pikiran-pikiran liar berputar di kepalanya.Pria itu tahu bahwa keputusannya ini berisiko, namun dia juga sadar bahwa kesempatan untuk mendekatkan dirinya kembali pada Agnia mungkin tidak akan
Ucapan Agnia terasa dingin, menegaskan batasan yang jelas antara mereka. Nibras tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada sikap Agnia yang tegas dan penuh percaya diri.Pria itu ingat betul, inilah salah satu alasan mengapa ia semakin tertarik pada wanita ini. Agnia berubah menjadi wanita yang kuat, dan kekuatan itulah yang selalu membuat Nibras tertantang.Namun, di balik kekagumannya, Nibras tidak bisa menahan diri untuk tidak merencanakan sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan bisnis.Dia ingin melihat apakah dia masih memiliki kekuasaan atas Agnia, atau setidaknya, apakah dia masih bisa mempengaruhinya seperti dulu.“Baiklah,” Nibras menjawab, meski di dalam hatinya dia tidak berniat untuk sepenuhnya mematuhi permintaan Agnia. “Mari kita mulai.”***Pertemuan antara HS Funding & Investment dengan FutureIt berjalan tanpa hambatan. Nibras memimpin rapat dengan ketenangan yang nyaris tak tertandingi, menyingkirkan semua potensi gangguan pribadi.Pikirannya yang biasanya dipenuhi
Mendengar itu, Agnia tersentak, matanya melebar. Ia menatap Bernard dengan ekspresi yang sulit diartikan. Sejenak, ruangan itu terasa semakin sunyi.Waktu seakan berhenti, dan hanya ada mereka berdua di sana, terjebak dalam percakapan yang tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar diskusi pekerjaan.Bernard tahu, dengan mengucapkan kalimat itu, ia baru saja melangkah ke wilayah yang belum pernah ia sentuh sebelumnya.Namun, entah mengapa, ia merasa lega. Mungkin karena akhirnya ia berani mengungkapkan sesuatu yang selama ini terpendam.Agnia, masih terdiam, merasakan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat. Kalimat Bernard bukan hanya sebuah pengakuan, tetapi juga sebuah tantangan yang membuatnya berpikir lebih dalam.Ia tahu, perasaannya terhadap Bernard adalah campuran antara kekaguman dan rasa hormat, tetapi apakah itu cukup untuk menjadi sesuatu yang lebih?“Bernard, aku…” Agnia terdiam sejenak, mencoba merangkai kata. “Kau tahu, aku tidak pernah mudah