"Rose, kenapa nggak masak?" tanyaku begitu pulang dari sawah.
"Ngantuk, Bu. Lagian ngapain sih pagi-pagi udah masak? Kalo mau sarapan beli aja, gitu kok repot!" jawabnya ketus lalu membaringkan tubuhnya lagi.
Aku cuma menggeleng kepala melihat kelakuan menantuku yang super males dan manja itu. Bukannya aku keras, tapi tiap hari setelah aku dan suami pulang dari sawah tak pernah ada masakan terhidang di meja.
Kalo sudah begitu, aku juga yang memasak. Badan sudah pegal sehabis dari sawah, sampai rumah mesti memasak lagi. Menantuku itu kalo belum jam sepuluh belum puas tidurnya, entah kenapa anakku bisa punya istri sepertinya.
Pernah aku menasehatinya agar bangun pagi, tapi lagi-lagi dia hanya membantah. "Rose, bangun udah siang! Nggak bagus bangun siang ntar rezekinya dipatuk ayam!"
"Halah, kata siapa? Itu cuma mitos doang, ngapain percaya gituan!" ucapnya sinis sembari melengos masuk kedalam kamar.
"Sudah, Bu. Kalo dia nggak mau nggak usah dipaksa, daripada ribut ntar di dengar tetangga, malu kita," tegur suamiku.
"Iya, Pak. Cuma ya nggak bisa juga di biarkan terus nanti jadi kebiasaan," omel ku.
"Bapak tau, pelan-pelan aja dinasehati. Kalo dia merajuk mengadu sama orang tuanya, mau taruh dimana muka kita?"
"Ish, bapak cumanya membela menantu aja. Sebel!" kataku sambil berjalan menuju dapur.
Di dapur, sembari memasak tak hentinya aku berfikir bagaimana agar Rose bisa bangun pagi dan memasak. Ingin minta bantuan anakku, tapi cuma dianggap angin lalu saja.
Anakku Darma, tidak pernah sekalipun menegur istrinya. Pergi kerja mungkin dia tak pernah sarapan, tapi Darma tak mengeluh. Darma bekerja di pabrik kain, gaji tak seberapa banyak.
"Nak, nasehati istrimu! Jangan suka bangun siang, nggak bagus!" kataku suatu malam pada Darma selesai makan.
"Sudahlah, Bu! Suka hati dia aja, yang penting dia senang," jawab Darma acuh. Begitulah selalu yang dikatakannya bila aku sudah bicara mengenai istrinya.
"Sekarang kamu bisa bilang begitu, tapi nanti lihatlah! Jangan sampai kamu menyesal, nggak berkah seorang istri bangun siang apalagi nggak sholat Subuh, nggak ada rezekinya!" ucapku dengan intonasi tinggi.
Darma terdiam, cukup membuat dia berpikir ulang. Memang kalo tidak ditegur dari sekarang nanti jadi kebiasaan yang susah diubah.
Namun, Darma tidak menegur itu juga karena sudah tau watak istrinya. Selalu membantah. Pernah suatu pagi Darma membangunkan Rose, tapi susah sampai Darma sudah kehabisan akal.
Darma pun membiarkan istrinya, yang penting Rose tidak berbuat macem-macem dan selalu di rumah.
Namun, pagi itu tidak seperti biasanya. Darma yang bangun sedari Subuh sudah merasakan tidak enak badan. Darma bolak balik buang air besar, aku yang lagi di dapur memasak air panas melihat Darma berulang kali ke toilet.
"Kenapa kamu, Nak?" tanyaku saat dia keluar sekian kalinya.
"Perut Darma mules, Bu! Mungkin masuk angin," ucapnya sambil memegang perutnya dan duduk di meja makan.
"Tunggu, ibu buatkan teh manis hangat," kataku sambil menuju dapur.
Darma mengangguk, kemudian masuk ke kamar membangunkan istrinya. "Ros, bangun ...," Darma mengguncang tubuh Rose.
Rose cuma menggeliat kemudian tertidur lagi. Darma kembali mengguncang dengan sedikit kasar. "Rose, tolonglah bangun. Perut Mas sakit ini," keluh Darma merintih.
"Apa sih Mas? Ganggu orang tidur aja!" omel Rose sembari menguap.
"Mas masuk angin, tolong kamu kerokin badan Mas," pinta Darma.
"Males lah, suruh ibu aja sana! Aku nggak bisa," sahut Rose kembali akan tidur.
"Kamu kan istri, Mas! Kok semuanya nyuruh ibu, lalu kerjamu apa?" kata Darma mulai emosi.
"Kenapa kamu marah, Mas! Nggak senang? Baiklah aku pulang aja kerumah orang tuaku," ancam Rose beranjak bangun.
Aku yang mendengar keributan mereka segera menengahi dan masuk kedalam. "Sudah sini biar ibu yang kerokin," sahutku.
"Nah, gitu dong. Ibu aja yang kerjakan, udah sana, Mas. Aku mau tidur lagi, awas kalo dibanguni!" cibir Rose.
Dengan jengkel dan malu, Darma keluar dari kamar. "Huh, dasar istri tak tau diri. Bisanya cuma tidur, ntar ada geledek nyambar pun nggak tau," umpat Darma menyumpahi istrinya.
Aku yang mendengar segera menegurnya. "Husst, nggak boleh ngomong gitu. Pamali, ucapan adalah doa!"
"Abisnya Darma kesal, Bu. Sakit gini kalo bukan istri yang ngurus siapa lagi? Masa' iya terus repotin ibu," sungut Darma.
"Ya sudah, ibu nggak repot. Anak ibu cuma kamu satu-satunya, selama kalian tinggal di sini ibu akan bantu semampu ibu," kataku menenangkan Darma.
Selesai kerokan, tubuh Darma kembali hangat. Aku menyuruhnya minum teh manis yang kubuat tadi, lalu menyuruh Darma tidur kembali sembari menungguku membuat sarapan.
Hari ini Darma kuminta cuti dari kerja, awalnya dia memaksa ingin bekerja tapi aku larang. Bapak yang terbangun heran melihatku sepagi ini sudah masak.
"Loh, Bu. Tumben udah masak?" tanya Bapak begitu keluar kamar. Kamar kami berada dibelakang dekat dapur, jadi jika keluar langsung mengarah ke dapur.
"Iya Pak, ibu buat sarapan untuk Darma. Masuk angin dia, tadi aja baru ibu kerokin," jawabku yang masih mengaduk sayur bayam.
Hari ini aku masak sayur bayam bening, tempe goreng dan sambel terasi. Masakan yang disukai suamiku dan Darma. Siap masak, aku bangunkan Darma yang tertidur di sofa.
Bapak yang juga jarang makan pagi sangat lahap, bahkan tambah dua kali. Begitu juga Darma, kami makan bertiga saja. Rose jangan ditanya, jam tujuh masih di alam mimpi.
Usai sarapan, aku dan suamiku berangkat ke sawah setelah memberikan Darma obat. "Karena kamu di rumah, nanti bantu bapak berikan ayam makan dibelakang rumah, ya Le," titah bapak pada Darma yang dibalas anggukan.
Sepulang dari sawah, saat menuju dapur aku terkejut. Ceceran nasi dimana-mana, bahkan mangkuk dan piring berjatuhan dari rak. Aku memanggil Darma, namun tidak disahuti.
"Darma ... Dimana kamu, Nak? Kenapa di dapur berserak begini," kataku sembari memungut mangkuk dan piring lalu meletakkan ke atas meja.
Aku berjalan menuju kamar Darma, saat kulihat dia meringkuk dibawah ranjang dengan tatapan bengong.
"Ya Allah, Nak. Kenapa kamu? Trus mana Rose?" tanyaku celingukan.
"Dia pergi, Bu!"
Aku berjalan menuju kamar Darma, saat kulihat dia meringkuk dibawah ranjang dengan tatapan bengong."Ya Allah, Nak. Kenapa kamu? Trus mana Rose?" tanyaku celingukan."Dia pergi, Bu!""Apa? Pergi kemana? Kenapa nggak kamu cari?" cerca ku cemas.Aku takut kalo Rose pulang ke rumahnya, mengadu pada orangtuanya. Pasti bisa malu kami sekeluarga, apalagi mengingat orang tua Rose yang temperamental. Aku hanya bisa berdoa semoga Rose tidak kesana."Ayo cari istrimu, Nak! Apa kamu mau di omel mertuamu?" Aku mendesak agar Darma bangkit mencari Rose.Namun, Darma tak bergeming sedikitpun dari duduknya. Dia sangat marah atas perlakuan Rose tadi, terlihat dari wajahnya yang memerah."Coba kamu jelaskan apa yang terjadi tadi?" tanyaku ingin tau."Ibu lihat kan di dapur, semua berantakan karena ulah Rose. Saat Darma masih memberi makan ayam, Rose yang bangun tidur terus berteriak.D
Darma yang semakin emosi mendengar mertuanya mengepalkan tangannya. Saat akan beranjak bangun, aku mencegah Darma agar bersabar dulu. Darma pun menuruti lalu duduk kembali, walau dengan hati dongkol."Bagaimana, besan? Setuju nggak?" tanya orang tua Rose dengan mencibirAku menghela nafas sebentar, sungguh permintaan yang berat. Seharusnya sebagai seorang ibu ingin anaknya menjadi baik dan sholehah. Akan tetapi, wanita yang seumuran didepanku ini malah ingin terus memanjakan anaknya.Namun, aku tak ingin menyerah dulu sebelum berusaha. Tak ada kata terlambat untuk berubah, selagi kita terus ikhtiar dibarengi doa, insya Allah seberat apapun ujian hidup ini bisa dilewati."Baiklah besan, kami setuju. Namun, setelah di rumah kami harap besan bisa maklum bahwa Darma sebagai suami lebih berhak terhadap diri Rose. Bagaimanapun setelah menikah, surga Rose terletak pada suaminya. Selama saya masih hidup, saya akan menjaga Rose dan membimbi
Rose yang dijemput dari rumahnya, setelah sampai dia langsung masuk kamar. Bahkan suamiku yang bertanya pun tak digubrisnya."Rose kenapa, Bu?""Biasa, merajuk. Saat kami jemput tadi dia nggak mau pulang, malah Mamanya ajukan syarat yang berat," jawabku sembari duduk di kursi disamping suamiku."Memangnya syarat apa?" tanya Bapak ingin tau."Ya mengenai kebiasaan bangun siangnya itu. Besan minta kita nggak mengusik tidurnya, juga jangan menyuruh-nyuruh Rose kerja ini itu," kataku menghela nafas."Jadi bagaimana? Apa Ibu setujui?""Terpaksa, Pak. Biar Rose mau pulang, tapi Ibu juga bilang bagaimanapun Darma itu suaminya Rose lebih berhak mengatur Rose. Ibu juga akan bantu membimbingnya agar bisa berubah," kataku semangat."Betul itu, Bu. Walaupun Rose menantu tapi sudah menjadi keluarga kita, anak kita ya jadi sudah tanggung jawab kita juga yang menasehati dan membimbingnya," ucap Bapak memberi
Sepulangnya Ustadzah Aisyah, aku yang akan kembali ke dapur mendengar derap suara kaki melangkah masuk."Assalamualaikum,""Wa'alaikumussalam," jawabku menoleh kebelakang, rupanya Darma baru saja pulang dengan menenteng belanjaan."Ini, Bu. Belanjanya, semoga cukup untuk stok seminggu," ucap Darma menyerahkan kantong plastik ukuran besar."Ya Allah, Nak. Banyak banget belanjanya," kataku berbinar sambil melihat isinya.Ada beras sepuluh kilo, minyak goreng, sabun cuci dan sabun mandi, sampo, tepung, dan lainnya semua lengkap di beli Darma.Saat asyik mengeluarkan isi belanjaan, Rose keluar dari kamar. Mungkin dia mendengar Darma sudah pulang."Mas, mana makanan pesananku?" tanyanya sambil mengambil kantong plastik dan mengacak isinya."Nggak beli!" sahut Darma."Kenapa? Mas nggak tega keluar uang untukku? Dasar pelit!" cemooh Rose memonyongkan bibirnya."
"Ayo Bu, Rose, kita masuk kedalam. Apa Rose mau bantu ibu memasak?""Ogah, Rose nggak pintar masak. Biar ibu aja yang masak," ucap Rose menolak.Aku menatap Ustadzah dan meminta pengertiannya agar Ustadzah Aisyah mau memaklumi."Kalo begitu, kamu ikut saya aja. Mau kan?" tawar Ustadzah."Kemana?" tanya Rose penasaran.Tanpa menjawab, Ustadzah menggandeng Rose lalu di bawah masuk ke dalam rumah. Sementara aku menuju dapur dan langsung memasak, melihat semua bahan tersedia aku pun paham. Ustadzah Aisyah ingin aku memasak soto ayam.Di dapur, aku tidak sendiri. Ada seorang art Ustadzah, usianya masih muda. Art itu hanya di tugaskan untuk membantuku, seperti memotong sayur dan bumbu.Sibuk di dapur, aku tidak tau apa yang di perbuat Ustadzah Aisyah dengan menantuku. Selama dia tidak membuat masalah, aku pun tenang. Semoga saja di tangan Ustadzah, Rose bisa berubah sedikit demi sedikit.
Saat asyik makan, tiba-tiba terjadi keributan di luar. "Ada apa ini?" tanya Ustadzah Aisyah keluar."Permisi Ustadzah, Bu Ijah nya ada?" tanya Mang Asep celingukan."Ada di dalam, ada apa Mang?" tanya Ustadzah Aisyah bergegas memanggilku ke belakang."Bu Ijah, di cariin Mang Asep di depan!""Ada apa Ustadzah?""Nggak tau, coba datangi dulu. Sepertinya dia cemas!" jawab Ustadzah Aisyah.Aku pun bergegas ke depan dan menghampiri Mang Asep. "Ada apa Mang?""Bu Ijah, gawat. Cepat pulang, mantumu ... Ayo ikut saya!" ajak Mang Asep terburu-buru."Rose? Kenapa dengan dia, Mang?" tanyaku gelisah."Sudah, kita pulang dulu!" ujar Mang Asep."Ya sudah, saya pamit dulu sama Ustadzah Aisyah!" kataku sembari masuk ke dalam."Ada apa Bu Khadijah?" tanya Ustadzah Aisyah."Sesuatu terjadi pada Rose, entah apa. Saya pulang dulu ya Ustadzah mau lih
Keesokan harinya, aku sengaja masak pagi-pagi untuk dibawa kerumah sakit. Rose pasti ingin masakan ku, karena selama ini aku yang memasak dan Rose tidak pernah mengeluh."Nak, udah siap belum?" tanyaku sambil mengetuk pintu kamar Darma.Tidak ada sahutan dari dalam, aku coba ketuk lagi. Mungkin Darma masih tidur, biasa saat ada Rose di rumah Darma cepat bangun bahkan tanpa perlu aku mengetuk pintu."Darma ... Ayo bangun, anter ibu ke rumah sakit," pintaku.Tak lama pintu terbuka, berdiri Darma yang masih menguap karena ngantuk."H'mm, ada apa Bu? Masih pagi udah banguni Darma?" tanyanya dengan mata masih merem."Anter ibu kerumah sakit, ibu bawakan makanan untuk Rose," jawabku sumringah."Ngapain kesana lagi, Bu? Ntar diusir Mamanya Rose, apa ibu nggak marah?" Darma terlihat malas dan berjalan menuju ranjang dan akan tidur kembali."Kamu kok tidur lagi, Nak? Sudah salat Subuh dulu
"Kamu udah makan Rose? Ini ibu masakan kesukaanmu," kataku sambil membuka rantangan."Taruh aja di situ, aku belum lapar," jawab Rose ketus."Mama kemana, Rose? Dari tadi nggak nampak!" ujar Darma sambil celingukan.Sedari tadi Darma hanya diam memperhatikan aku dan Rose bicara. Sengaja aku minta Darma tidak banyak bicara agar suasana tidak keruh."Mama keluar membeli sarapan," jawab Rose pendek."Ya udah, kita tunggu besan aja trus minta izin untuk membawamu pulang," kataku sambil menutup rantang."Aku nggak mau pulang, Bu. Aku mau di rumah Mama aja, lebih tenang dan nggak berisik ibu ganggu terus," cibir Rose melipat tangannya."Kalo kamu mau di rumah Mamamu, nggak apa-apa Rose. Mungkin kamu bisa cepat sembuh disana," kataku menatap Rose sendu."Pasti cepat sembuh, dong! Kan Mama tidak pernah menyuruh Rose ini itu, jadi Rose bisa tidur sampai lama," ujar Rose senang.
Seminggu setelah Rose resmi bercerai, Rose yang telah berhasil menjual rumah Mamanya segera membeli rumah di dekat sini. Darma yang membantu mencari akhirnya dapat rumah di depan kecamatan perbatasan antar kampung.Kebetulan pemilik rumah juga mau pindah, jadi Rose pun setuju membelinya. Rose sengaja pilih rumah yang tidak terlalu besar. Karena cuma ditempati sendiri, namun perabotan lengkap karena Rose membawa dari rumah Mamanya.Aku dan Fatimah membantu Rose membersihkan rumahnya, pekerjaan akan ringan bila dikerjakan bersama-sama. Darma juga membantu mengangkat dan menggeser perabot yang besar.Sore itu akhirnya pekerjaan selesai, Rose yang dibantu Fatimah memasak lauk dan menggoreng mendoan untuk cemilan. Kami semua makan dengan nikmat, beberapa tetangga juga turut membantu seperti Rami, Ratna dan Mang Asep.Kami juga berkenalan dengan tet
Sudah tiga hari, semenjak Darma dan Fatimah bulan madu, hari ini mereka mengabarkan akan pulang. Aku dan Rose pun sibuk membersihkan rumah agar setelah mereka di rumah merasa nyaman.Selama Rose di rumah, aku mengajarkannya masak. Baru beberapa hari Rose sudah bisa memasak nasi, merebus sayur dan sambal. Masih masak yang ringan dulu dikuasai, Alhamdulillah.Rose pun begitu gembira bisa memasak beberapa lauk, walaupun rasa masih terus diperbaiki tapi lumayanlah. Sengaja hari ini Rose yang masak agar Darma dan Fatimah bisa memberi nilai.Selesai pekerjaan rumah, aku dan Rose duduk santai di teras. Sambil mengobrol, Rose berbicara banyak hal dan meminta pendapatku."Bu, Rose berpikir akan menjual rumah Mama," katanya serius."Loh, kenapa dijual? Nanti setelah menikah kamu bisa tempati lagi," ucapku kaget.
Setelah bertegur sapa dan meminta maaf pada para tetangga, aku menuntun Rose masuk kedalam rumah. Karena kamar cuma dua, jadi Rose tidur dikamar bersamaku.Fatimah membantu membawakan tas Rose ke dalam kamarku. Kamarku selalu bersih dan rapi karena tiap hari disapu Fatimah. Rumah dan halaman juga bersih. Sementara Darma meletakkan rantang di dapur.Aku menyuruh Rose agar beristirahat dulu dikamar sampai pulih kembali. Rose pun menurut dan membaringkan tubuhnya di kasur. Kasur bekas pernikahan mereka dulu, karna Darma dan Fatimah sekarang memakai spring bed.Memastikan Rose tidur, aku baru keluar kamar. Fatimah berada di dapur mencuci piring, mungkin pagi tadi belum sempat mencuci. Aku pun berjalan menghampirinya."Imah, perlu ibu bantu?" tanyaku."Nggak usah, Bu! Udah mau siap, oh Imah bisa minta tolong ibu a
Sudah beberapa jam, semenjak Rose dibius belum sadar juga. Hari sudah malam, berkali-kali perawat masuk mengecek. Perawat mengatakan butuh beberapa jam untuk menghilangkan pengaruh obat bius.Aku pun melaksanakan sholat magrib di samping ranjang Rose, memohon pada Allah SWT atas kesembuhan Rose. Siap sholat, aku mengaji berharap alunan ayat suci bisa masuk meresapi ke kalbu Rose.Benar saja, saat khusyuk mengaji jari tangan Rose mulai bergerak. Diikuti mata yang terbuka, aku pun menghentikan ngaji. Tampak Rose berkedip-kedip, lalu menoleh kesamping."Rose, kamu udah sadar Nak?" tanyaku sambil mengelus bahunya."Ibu?" katanya kaget."Iya, ini ibu. Bagaimana keadaanmu? Mana yang sakit?"Rose menggeleng, kemudian dia terisak menangis. Bahunya berguncang, aku pun menepuk bahunya
Sampai di rumah, kulihat Darma baru saja keluar dari mobil. Aku dan Fatimah menyongsong kedatangan Darma dengan cemas."Gimana, keadaan Rose dan Mamanya?" tanyaku tak sabar.Darma menjatuhkan tubuhnya di kursi, sembari menghela napas. Aku dan Fatimah saling pandang ingin tau."Rose dan Mamanya udah dibawa ke rumah sakit, Bu! Mamanya Rose masuk UGD dan Rose dibius agar tenang karena terus meracau," jelas Darma."Ya, Allah! Sebenarnya ada apa kok Mamanya Rose bisa sampai di tusuk suaminya, Mas?"" tanya Fatimah."Blom diketahui apa motif penusukan itu, karena Rose sebagai saksi pun masih trauma. Jadi blom bisa dimintai keterangan, tunggu sampe Rose sadar dan normal kembali," jawab Darma.Aku hanya menggeleng sedih mendengar cerita Darma. Kasihan Rose, padahal baru saja mereguk kebahagiaan sebagai pengantin baru tapi harus mengalami kejadian mengerikan ini.Wa
Tok, tok, tok,"Imah, bangun Nak! Sudah sore, udah sholat Ashar blom?" panggilku diluar pintu kamar.Tak lama, bunyi pintu terbuka. Muncul wajah Darma yang masih ngantuk. Aku pun terkejut, ternyata Darma udah pulang."Loh, kapan kamu pulang Nak? Kok ibu nggak tau?" tanyaku."Tadi, Bu! Ibu masih tidur jadi Imah bilang nggak usah ganggu ibu jadi Darma istirahat dulu," kata Darma sambil menguap."Ya udah, kamu mandi sana sholat Ashar. Imah udah bangun blom?" tanyaku tersenyum."Blom, Bu! Sepertinya Imah ngantuk berat," ujar Darma sambil melirik istrinya."Iya, dia tadi nyuci banyak. Mau ibu bantuin tapi nggak boleh sama Imah," jelas ku.Lalu Darma keluar setelah mengambil handuk, masuk ke kamar mandi. Aku pun
Kami pun makan dengan suasana hati sedih, lalu terdengar suara orang mengucapkan salam. "Assalamualaikum!"Kami saling berpandangan, siapa yang masih pagi sudah bertamu. Walau dengan keheranan, kami bertiga gegas ke depan."Wa'alaikumussalam!"Saat bertatap muka pada tamu, kami semua terkejut. Beberapa polisi berseragam sudah berdiri di depan pintu, aku yang tidak mengerti ada apa segera bertanya."Maaf, Pak! Ada apa ya bapak-bapak polisi kemari?""Kami ingin membawa saudara Darma ke kantor polisi," jawab salah seorang polisi."Apa? Memangnya kenapa Pak dengan anak saya?" tanyaku shock."Maaf, Bu! Kami bukan menangkap saudara Darma, tapi kami membutuhkannya sebagai saksi!" jelas komandan polisi.Beberapa tetangga juga
Sepulang dari rumah Fatimah, diantar supir tetangga sampailah kami di rumah. Bapak yang mengeluh tidak enak badan segera masuk kamar berbaring. Terlihat wajahnya begitu lelah.Setelah mengganti baju dan membersihkan diri, aku pun membuat wedang jahe dan membawanya ke dalam kamar. Bapak sudah tertidur pulas."Pak, minum dulu wedang nya keburu dingin," kataku sambil mengguncang tubuh bapak lembut.Bapak terbangun walau dengan susah payah, matanya seakan susah untuk dibuka. Aku membantunya bangun dan duduk, dengan pelan menyesap wedang yang sudah hangat.Kemudian bapak minta berbaring lagi. "Bapak capek? Ibu pijetin ya!" kataku yang dibalas anggukannya.Dengan penuh sayang, aku memijat badan bapak. Perlahan mata bapak membuka dan menatap langit-langit. Pandanganya kosong, aku yang sedikit heran mengajak bapak bi
"Saya terima nikahnya Fatimah binti Abdullah, dengan mahar seperangkat alat sholat dibayar tunai!" ucap Darma lancar."Bagaimana, bapak-bapak?" tanya penghulu pada hadirin."Sah!" seru ramai suara hadirin menyatakan ijab qobul itu sah."Alhamdulillah," ucapku senang.Ya, hari ini adalah pernikahan Darma dan Fatimah. Sebelum mengadakan upacara adat temu pengantin, dilakukan akad nikah terlebih dahulu.Fatimah duduk di samping Darma dengan anggun. Balutan kebaya gamis dan mahkota yang menghiasi kepalanya sungguh indah. Kecantikan Fatimah begitu membuat pangling siapapun yang melihat.Bahkan saat Fatimah keluar dari kamar, Darma sampai tak berkedip memandangnya. Aku pun menyenggol lengannya agar Darma bersabar sambil terkekeh.Selesai ijab qob