Menjemput Rose

Aku berjalan menuju kamar Darma, saat kulihat dia meringkuk dibawah ranjang dengan tatapan bengong. 

"Ya Allah, Nak. Kenapa kamu? Trus mana Rose?" tanyaku celingukan. 

"Dia pergi, Bu!" 

"Apa? Pergi kemana? Kenapa nggak kamu cari?" cerca ku cemas. 

Aku takut kalo Rose pulang ke rumahnya, mengadu pada orangtuanya. Pasti bisa malu kami sekeluarga, apalagi mengingat orang tua Rose yang temperamental. Aku hanya bisa berdoa semoga Rose tidak kesana. 

"Ayo cari istrimu, Nak! Apa kamu mau di omel mertuamu?" Aku mendesak agar Darma bangkit mencari Rose. 

Namun, Darma tak bergeming sedikitpun dari duduknya. Dia sangat marah atas perlakuan Rose tadi, terlihat dari wajahnya yang memerah. 

"Coba kamu jelaskan apa yang terjadi tadi?" tanyaku ingin tau. 

"Ibu lihat kan di dapur, semua berantakan karena ulah Rose. Saat Darma masih memberi makan ayam, Rose yang bangun tidur terus berteriak. 

Darma pun menghampirinya, mencoba melihat apa yang dia teriaki. Ternyata nasi sudah tercecer dibawah dan mangkuk serta piring berjatuhan," kata Darma menjelaskan. 

"Mas, apa ini? Mana makanan buatku, kok tinggal segini? Kalian tega nggak ngasih aku lauk untuk makan!" ujar Rose dengan suara melengking. 

"Itu apa? Itu lauk sengaja Ibu sisakan untukmu, malah kamu hamburkan kebawah," jawab Darma masih berusaha tenang. 

"Lauk segini mana cukup buatku, apa Ibu sengaja? Apa karena aku bangun kesiangan jadi Ibu merasa aku nggak perlu makan, hah!" bentak Rose. 

"Apa kamu bilang? Kamu sendiri aja nggak mau mengurus Mas sakit tadi pagi, Ibu masih berbaik hati memasak. Kamu malah enakan tidur, memangnya kamu ratu di rumah ini!" hardik Darma geram. 

"Ya, aku memang ratu. Di rumah Mamaku tak pernah sekalipun aku mengerjakan tugas yang patut dikerjakan babu," ucap Rose sinis. 

"Dasar istri tak tau malu, pergi kamu dari rumah ini. Pergi!" usir Darma kalap. 

"Baiklah, aku pergi. Kamu lihat Mas, akan aku adukan pada orang tuaku," umpat Rose mendengus seraya pergi dari rumah. 

Mendengar cerita Darma, seketika kakiku lemas. Rose pasti kerumah orang tuanya, pantas saja Darma tidak mau mencari. Bagaimana aku harus menghadapi orang tua Rose, bila mereka menuntut ini itu. 

Aku akui keluarga Rose lumayan berada, saat menikah dengan Darma dulu, orang tua Rose menentang. Akan tetapi karena kegigihan Darma menyakinkan mertua nya, akhirnya mereka luluh dan memberi restu. 

Sebagai seorang anak yang dididik manja, Rose terbiasa santai, tidak pernah memegang pekerjaan apapun. Namun, setelah menikah bukan berarti Rose juga mesti santai dan tidak melakukan apa-apa untuk suaminya. 

Aku juga tidak memberi pekerjaan yang berat, Rose tidak pernah aku suruh ke sawah. Hanya di rumah saja, mengerjakan pekerjaan ringan seperti memasak dan membersihkan rumah. 

Soal cucian, aku juga tak pernah menyuruh Rose. Aku masih bisa mencuci sendiri pakaianku dan suami. Sebagai mertua tak banyak memang tuntutan, hanya ingin mendidik Rose menjadi istri yang baik dan solehah untuk suaminya. 

Apalagi Rose punya kebiasaan buruk, yaitu suka bangun siang. Disaat orang lain sudah berpeluh keringat dibawah matahari, dia malah masih nyenyak tidur. Sholat Subuh pun jarang hampir tak pernah dilaksanakannya. 

"Nak, kenapa kamu nggak bisa mengontrol emosimu. Bagaimanapun dia istrimu, wanita pilihanmu sendiri. Dia hanya perlu dididik agar berubah, apa kamu lupa perjuanganmu dulu untuk menikahinya?" kataku memberi nasehat. 

Kulihat Darma hanya menundukkan kepalanya, "Bu, maafkan Darma belum bisa jadi suami yang baik. Darma masih perlu bimbingan Ibu," sesal Darma. 

"Baiklah, sekarang kamu susul Rose dan bawa pulang kembali. Jangan lupa meminta maaf pada Rose dan orang tuanya," pintaku menepuk pundak Darma. 

Darma bangkit dan merapikan pakaiannya, kemudian berjalan keluar rumah dengan langkah gontai. Darma harus siap diomeli mertuanya nanti, apapun yang dikatakan orang tua Rose, Darma tidak akan membantah. 

***** 

Beberapa jam kemudian terdengar orang mengucapkan salam. "Assalamualaikum." 

"Wa'alaikumussalam," jawabku sembari membuka mukena. 

Saat aku keluar kamar, kulihat Darma sudah duduk berdiam diri di kursi tamu. Aku tak melihat Rose, apakah Darma tidak berhasil membawanya pulang. 

"Mana Rose, Nak?" tanyaku celingukan. 

"Dia tidak mau pulang, masih ingin berada di rumah Mamanya," jawab Darma sambil menghembuskan nafasnya. 

"Ya sudah kalo gitu, biar dia tenangkan diri disana beberapa hari," sahutku tenang. 

"Tapi, Bu. Mertuaku bilang saat jemput Rose nanti Ibu di suruh ikut," kata Darma menatap mataku galau. 

"Nggak apa-apa, biar Ibu ikut nanti. Bagaimanapun Ibu juga bertanggungjawab membawa menantu Ibu pulang ke rumah ini," jawabku tersenyum menghibur hati Darma. 

***** 

Tiga hari kemudian, aku yang sudah bersiap-siap mengajak Darma untuk menjemput Rose. Dari rumah aku sudah berdoa, semoga Allah SWT memberikan keselamatan dan kemudahan dalam menghadapi besan nanti. 

Dengan penuh keyakinan dan langkah mantap Darma mengetuk pintu rumah besan. Terdengar pintu terbuka, muncul wanita berperawakan tua keluar. 

Melihatku dan Darma dengan tatapan sinis. "Masuk!" serunya tak ramah. 

Kami mengikuti orang tua Rose yang duluan masuk. Setelah mempersilahkan kami duduk, aku segera berucap. 

"Maaf, besan. Tujuan kami datang ingin menjemput Rose," kataku dengan senyum ramah. 

"Untuk apa dia pulang kerumah kalian? Apa ingin kalian siksa anakku, bukankah dia sudah di usir dari rumah kalian," ucap besan ketus. 

"Nggak besan, Darma saat itu hanya emosi sesaat aja. Dia nggak berfikir jernih, karena saat itu pun dia lagi sakit. Harap besan mau memaklumi," jawabku sambil menatap Darma yang sedang menundukkan kepalanya. 

"Oke, tapi dengan syarat jangan pernah menyuruh Rose memasak atau melakukan pekerjaan lainnya. Juga jangan usik dia yang lagi tidur, dia memang bangun siang di sini, tapi kami nggak pernah memarahinya," titah besan yang membuatku dan Darma saling pandang. 

"Saya tidak bermaksud mengusik tidurnya, besan. Saya cuma ingin Rose bisa menjadi seorang istri yang baik juga Solehah dengan bangun pagi selain bisa sholat Subuh juga bisa mengurus suaminya yang akan pergi kerja," ucapku lembut supaya besan tidak tersinggung. 

"Halah, kurasa Darma pun bisa mengurus dirinya sendiri. Apalagi Ibu juga di rumah bisa membantu Darma menyiapkan sarapan," lagi-lagi besan tetap ngotot. 

Darma yang semakin emosi mendengar mertuanya mengepalkan tangannya. Saat akan beranjak bangun, aku mencegah Darma agar bersabar dulu. Darma pun menuruti lalu duduk kembali, walau dengan hati dongkol. 

"Bagaimana, besan? Setuju nggak?" tanya orang tua Rose dengan mencibir