Darma yang semakin emosi mendengar mertuanya mengepalkan tangannya. Saat akan beranjak bangun, aku mencegah Darma agar bersabar dulu. Darma pun menuruti lalu duduk kembali, walau dengan hati dongkol.
"Bagaimana, besan? Setuju nggak?" tanya orang tua Rose dengan mencibir
Aku menghela nafas sebentar, sungguh permintaan yang berat. Seharusnya sebagai seorang ibu ingin anaknya menjadi baik dan sholehah. Akan tetapi, wanita yang seumuran didepanku ini malah ingin terus memanjakan anaknya.
Namun, aku tak ingin menyerah dulu sebelum berusaha. Tak ada kata terlambat untuk berubah, selagi kita terus ikhtiar dibarengi doa, insya Allah seberat apapun ujian hidup ini bisa dilewati.
"Baiklah besan, kami setuju. Namun, setelah di rumah kami harap besan bisa maklum bahwa Darma sebagai suami lebih berhak terhadap diri Rose. Bagaimanapun setelah menikah, surga Rose terletak pada suaminya. Selama saya masih hidup, saya akan menjaga Rose dan membimbing mereka berdua," janjiku pada besan untuk meyakinkannya.
Terlihat besan mengangguk tanda setuju juga, maka dipanggilah Rose ke depan. "Ros ... Kemari Nak! Temui suami dan mertuamu!"
Rose keluar dengan wajah masam, dia sama sekali tidak senang melihat kami. Mungkin dalam hatinya masih dongkol, kemudian duduk bergelayut manja di samping Mamanya.
"Rose, mereka mau menjemput kamu pulang. Sana ikut mereka, bagaimanapun kamu masih istri sah Darma," ucap besan pada Rose.
"Rose nggak mau, Ma! Ntar mereka menyuruh-nyuruh Rose lagi, enak disini Rose bisa santai tanpa capek-capek," jawab Rose merengek.
Melihat tingkahnya, aku tersenyum. "Rose, ikut kami pulang ya! Lihat suamimu juga udah minta maaf, kemarin itu dia hanya khilaf. Kan kamu tau sendiri kalo Darma juga dalam keadaan sakit."
Rose menatap Darma tajam, kemudian beralih padaku. Sinar matanya masih menunjukkan keraguan, aku menyenggol Darma agar mengatakan sesuatu.
"Rose, kamu pulang ya! Mas minta maaf, Mas janji nggak bakal marah lagi," ucap Darma dengan mata berbinar.
Syukurlah, anakku sudah mengesampingkan egonya. Aku tau sebenarnya Darma anak yang baik, hanya perlu sedikit bimbingan. Insya Allah dia akan jadi imam yang baik untuk istrinya.
Akhirnya Rose luluh dan setuju, walaupun sifat manjanya masih terlihat karena terus dekat dengan Mamanya. "Sudah, kamu tak usah khawatir. Mertua kamu udah janji sama Mama tadi, nggak akan menyuruhmu dan mengusik tidurmu," hibur besan pada anaknya.
Aku yang mendengarnya tersenyum kecut, seharusnya besan tidak mengatakan itu karena Rose bisa semakin manja dan keenakan. Namun, semua sudah terjadi aku tak bisa juga ikut campur selama masih dirumah besan.
Setelah berganti pakaian, Rose ikut kami pulang, dia tidak membawa pakaian karena saat pergi juga tidak membawa apa-apa.
"Kami pamit, ya besan!" ucapku sambil menyalaminya.
"Iya, hati-hati dijalan. Ingat jaga anakku, jangan buat dia susah atau marah," pintanya.
Aku mengangguk, kemudian kami menyetop taksi. Darma duduk di depan sedangkan aku dan Rose duduk di belakang. Selama perjalanan Rose hanya diam membisu, aku juga tak ingin bicara, nanti saja setelah di rumah.
Taksi berhenti didepan rumah, setelah turun Rose langsung ngeloyor masuk ke dalam rumah. Tidak mau menunggu bahkan menuntunku keluar dari mobil. Darma yang melihat tingkah istrinya hanya menggelengkan kepala, tidak ada sopannya pada mertua. Kemudian Darma menuntunku keluar mobil.
"Sudah, biarkan aja dulu dia. Baru pulang, biar nggak merajuk lagi," kataku mencekal lengan Darma saat dia akan menghampiri Rose.
"Kamu mesti sabar menghadapi istrimu, jangan pakai kemarahan atau kekerasan," nasehatku.
Saat berjalan menuju rumah, tetangga sebelah yang bernama Bude Rami terus melihat kami. Kemudian menghampiri, kami sudah tau tetangga yang satu ini suka kepo urusan orang.
"Dari mana Mbakyu? Kok pada rame-rame pulang naik taksi?" tanyanya ingin tau.
"Dari rumah besan, Ram. Rose kangen sama Mamanya," jawabku sambil tersenyum.
"Oh, kirain ada apa. Kemarin aku lihat Rose berjalan keluar sendiri dan menyetop taksi. Secara dia kan gak pernah keluar, apalagi bangun juga siang-siang," cemooh Bude Rami sinis.
"Iya, mungkin karena kangen jadi nggak sabaran menunggu kami hingga dia pergi sendiri," ucapku lirih.
"Ya sudah, kami masuk kedalam dulu ya, Ram," kataku yang tidak ingin lagi berlama-lama bisa jadi gibahi menantuku.
Sudah bukan rahasia, kalo kebiasaan Rose sudah diketahui tetangga. Saat itu masih jam tujuh, aku yang bersiap akan ke sawah kedatangan tetangga yang ingin meminjam parutan kelapa.
"Mbakyu, sudah masak?" tanyanya kepo.
"Belum, nanti aja setelah pulang dari sawah," jawabku sambil mengambil parutan di atas almari.
"Loh, memang kemana mantumu Mbak? Kan seharusnya dia yang masak," tanyanya lagi sambil celingukan mencari Rose.
"Ssttt, dia masih dikamar," kataku pelan agar Rose tidak dengar bisa-bisa dia mengamuk.
"Oalah, Mbakyu enak benar menantumu. Udah siang masih aja ngorok di kamarnya," Tanpa aku ketahui tetangga itu membuka pintu kamar Rose yang sedikit terbuka karena saat pergi kerja Darma tidak menutup rapat pintu.
Aku pun menarik tangannya, agar pergi dan tidak memberitahu siapapun. Namun, siapa yang menyangka berita itu akhirnya tersebar seluruh kampung.
Sejak saat itu, Rose tidak mau keluar rumah walau hanya sekedar belanja di warung. Bahkan jika ada tukang rujak ataupun tukang makanan lewat hanya menyuruh suaminya ataupun kadang memanggilku.
"Bu ... Itu ada tukang bakso. Sana belikan untukku," titahnya dengan berteriak.
Aku yang masih di kamar mandi mencuci pakaian tak menggubris. "Beli sendiri sana! Kan bisa dipanggil biar tukang baksonya datang," ujarku dengan setengah teriak juga.
Aku pun melanjutkan cucian, tanpa kusadari Rose sudah berkacak pinggang didepan pintu kamar mandi. "Udah beli baksonya?"
"Apanya beli, udah pergi dia! Kan tadi nyuruh Ibu manggil tapi Ibu nggak mau, sebel!" jawabnya ketus.
"Ibu masih nyuci, kamu tinggal manggil aja tukang baksonya pasti mendekat," kataku sambil membilas pakaian.
"Aku nggak mau keluar, mau taruh dimana mukaku? Ini semua gara-gara Ibu udah buat aku malu, Ibu pasti udah bilang seluruh kampung kalo Rose suka bangun siang, iya kan!" bentaknya.
"Ya Allah, Rose. Ibu nggak ada cerita, saat itu lagi ada tamu mereka bertanya dimana kamu. Tanpa Ibu ketahui tetangga itu melihat kamu masih tidur di kamar," aku menjelaskan yang sesungguhnya.
"Sama aja, Ibu pasti bilang aku masih tidur. Trus tetangga kepo itu masuk kamarku dan tersebar semua. Saat aku ke warung semua orang menggunjingku. Aku jadi malu, tau nggak Ibu!" hardiknya kasar kemudian berlalu dan masuk kedalam kamar itu karena aku mendengar suara pintu dibanting.
"Ya Allah, kuatkan hatiku!" ujarku sembari mengelus dada.
Rose yang dijemput dari rumahnya, setelah sampai dia langsung masuk kamar. Bahkan suamiku yang bertanya pun tak digubrisnya."Rose kenapa, Bu?""Biasa, merajuk. Saat kami jemput tadi dia nggak mau pulang, malah Mamanya ajukan syarat yang berat," jawabku sembari duduk di kursi disamping suamiku."Memangnya syarat apa?" tanya Bapak ingin tau."Ya mengenai kebiasaan bangun siangnya itu. Besan minta kita nggak mengusik tidurnya, juga jangan menyuruh-nyuruh Rose kerja ini itu," kataku menghela nafas."Jadi bagaimana? Apa Ibu setujui?""Terpaksa, Pak. Biar Rose mau pulang, tapi Ibu juga bilang bagaimanapun Darma itu suaminya Rose lebih berhak mengatur Rose. Ibu juga akan bantu membimbingnya agar bisa berubah," kataku semangat."Betul itu, Bu. Walaupun Rose menantu tapi sudah menjadi keluarga kita, anak kita ya jadi sudah tanggung jawab kita juga yang menasehati dan membimbingnya," ucap Bapak memberi
Sepulangnya Ustadzah Aisyah, aku yang akan kembali ke dapur mendengar derap suara kaki melangkah masuk."Assalamualaikum,""Wa'alaikumussalam," jawabku menoleh kebelakang, rupanya Darma baru saja pulang dengan menenteng belanjaan."Ini, Bu. Belanjanya, semoga cukup untuk stok seminggu," ucap Darma menyerahkan kantong plastik ukuran besar."Ya Allah, Nak. Banyak banget belanjanya," kataku berbinar sambil melihat isinya.Ada beras sepuluh kilo, minyak goreng, sabun cuci dan sabun mandi, sampo, tepung, dan lainnya semua lengkap di beli Darma.Saat asyik mengeluarkan isi belanjaan, Rose keluar dari kamar. Mungkin dia mendengar Darma sudah pulang."Mas, mana makanan pesananku?" tanyanya sambil mengambil kantong plastik dan mengacak isinya."Nggak beli!" sahut Darma."Kenapa? Mas nggak tega keluar uang untukku? Dasar pelit!" cemooh Rose memonyongkan bibirnya."
"Ayo Bu, Rose, kita masuk kedalam. Apa Rose mau bantu ibu memasak?""Ogah, Rose nggak pintar masak. Biar ibu aja yang masak," ucap Rose menolak.Aku menatap Ustadzah dan meminta pengertiannya agar Ustadzah Aisyah mau memaklumi."Kalo begitu, kamu ikut saya aja. Mau kan?" tawar Ustadzah."Kemana?" tanya Rose penasaran.Tanpa menjawab, Ustadzah menggandeng Rose lalu di bawah masuk ke dalam rumah. Sementara aku menuju dapur dan langsung memasak, melihat semua bahan tersedia aku pun paham. Ustadzah Aisyah ingin aku memasak soto ayam.Di dapur, aku tidak sendiri. Ada seorang art Ustadzah, usianya masih muda. Art itu hanya di tugaskan untuk membantuku, seperti memotong sayur dan bumbu.Sibuk di dapur, aku tidak tau apa yang di perbuat Ustadzah Aisyah dengan menantuku. Selama dia tidak membuat masalah, aku pun tenang. Semoga saja di tangan Ustadzah, Rose bisa berubah sedikit demi sedikit.
Saat asyik makan, tiba-tiba terjadi keributan di luar. "Ada apa ini?" tanya Ustadzah Aisyah keluar."Permisi Ustadzah, Bu Ijah nya ada?" tanya Mang Asep celingukan."Ada di dalam, ada apa Mang?" tanya Ustadzah Aisyah bergegas memanggilku ke belakang."Bu Ijah, di cariin Mang Asep di depan!""Ada apa Ustadzah?""Nggak tau, coba datangi dulu. Sepertinya dia cemas!" jawab Ustadzah Aisyah.Aku pun bergegas ke depan dan menghampiri Mang Asep. "Ada apa Mang?""Bu Ijah, gawat. Cepat pulang, mantumu ... Ayo ikut saya!" ajak Mang Asep terburu-buru."Rose? Kenapa dengan dia, Mang?" tanyaku gelisah."Sudah, kita pulang dulu!" ujar Mang Asep."Ya sudah, saya pamit dulu sama Ustadzah Aisyah!" kataku sembari masuk ke dalam."Ada apa Bu Khadijah?" tanya Ustadzah Aisyah."Sesuatu terjadi pada Rose, entah apa. Saya pulang dulu ya Ustadzah mau lih
Keesokan harinya, aku sengaja masak pagi-pagi untuk dibawa kerumah sakit. Rose pasti ingin masakan ku, karena selama ini aku yang memasak dan Rose tidak pernah mengeluh."Nak, udah siap belum?" tanyaku sambil mengetuk pintu kamar Darma.Tidak ada sahutan dari dalam, aku coba ketuk lagi. Mungkin Darma masih tidur, biasa saat ada Rose di rumah Darma cepat bangun bahkan tanpa perlu aku mengetuk pintu."Darma ... Ayo bangun, anter ibu ke rumah sakit," pintaku.Tak lama pintu terbuka, berdiri Darma yang masih menguap karena ngantuk."H'mm, ada apa Bu? Masih pagi udah banguni Darma?" tanyanya dengan mata masih merem."Anter ibu kerumah sakit, ibu bawakan makanan untuk Rose," jawabku sumringah."Ngapain kesana lagi, Bu? Ntar diusir Mamanya Rose, apa ibu nggak marah?" Darma terlihat malas dan berjalan menuju ranjang dan akan tidur kembali."Kamu kok tidur lagi, Nak? Sudah salat Subuh dulu
"Kamu udah makan Rose? Ini ibu masakan kesukaanmu," kataku sambil membuka rantangan."Taruh aja di situ, aku belum lapar," jawab Rose ketus."Mama kemana, Rose? Dari tadi nggak nampak!" ujar Darma sambil celingukan.Sedari tadi Darma hanya diam memperhatikan aku dan Rose bicara. Sengaja aku minta Darma tidak banyak bicara agar suasana tidak keruh."Mama keluar membeli sarapan," jawab Rose pendek."Ya udah, kita tunggu besan aja trus minta izin untuk membawamu pulang," kataku sambil menutup rantang."Aku nggak mau pulang, Bu. Aku mau di rumah Mama aja, lebih tenang dan nggak berisik ibu ganggu terus," cibir Rose melipat tangannya."Kalo kamu mau di rumah Mamamu, nggak apa-apa Rose. Mungkin kamu bisa cepat sembuh disana," kataku menatap Rose sendu."Pasti cepat sembuh, dong! Kan Mama tidak pernah menyuruh Rose ini itu, jadi Rose bisa tidur sampai lama," ujar Rose senang.
Aku juga tidak rela di hina terus-terusan, aku kasihan melihat Darma. Kulihat Rose hanya diam memperhatikan keributan ini, aku heran dimana perasaannya itu, sama sekali tidak perduli.Darma juga menatap Rose tajam, sepertinya Darma sepemikiran denganku. Darma berjalan mendekati Rose dan berkata tegas."Rose, katakan sekali lagi kamu ikut kami pulang atau ikut Mamamu?" tanya Darma sembari menunjuk dia dan mertuanya."Tentu aja aku ikut Mamaku, dong!" jawab Rose ketus."Baiklah, kalo begitu Bu sekarang ini Darma minta izin," ucap Darma tegas, aku mengerti apa yang mau di ucapkan nya. Itu sesuatu yang akan buat dia berpisah dari Rose, Darma pasti udah mantap hingga dia mesti mengatakannya.Apakah aku harus mengangguk dan memberi izin?Darma masih terus menatap menunggu persetujuanku. Aku masih bimbang dan bergantian menatap Darma dan Rose. Namun, Rose tetap acuh terhadap peringatan Darma."Darma,
Memasuki awal baru pernikahan, Darma dan Rose sungguh berbahagia. Aku dan suamiku juga menaruh harapan pada menantu satu-satunya agar dapat memberikan kontribusinya untuk keluarga kami.Namun, lambat laun sikap dan tingkah Rose semakin membuatku terkejut. Di awal pengantin baru kami memahami bahwa masih wajar manten bangun agak siang. Akan tetapi, Rose terus-terusan bangun siang dan seperti ogah mengurus Darma yang akan berangkat kerja. Ditambah lagi sifatnya yang pemalas dan selalu di kamar.Setiap dinasehati selalu membantah dan marah. Hingga bicara kepadaku dengan suara keras, demi Darma aku selalu bersabar. Memberi arahan dan juga doa agar Rose mau berubah.Tak terasa air mataku menetes, mengingat kejadian dulu. Darma segera menghapus air mataku, "Sudah, Bu. Darma nggak apa-apa. Ibu nggak usah sedih.""Maafkan ibu, Darma. Gegara ibu yang selalu nasehati Rose, rumah tangga kalian hancur," ujarku menggenggam tangan Darma.
Seminggu setelah Rose resmi bercerai, Rose yang telah berhasil menjual rumah Mamanya segera membeli rumah di dekat sini. Darma yang membantu mencari akhirnya dapat rumah di depan kecamatan perbatasan antar kampung.Kebetulan pemilik rumah juga mau pindah, jadi Rose pun setuju membelinya. Rose sengaja pilih rumah yang tidak terlalu besar. Karena cuma ditempati sendiri, namun perabotan lengkap karena Rose membawa dari rumah Mamanya.Aku dan Fatimah membantu Rose membersihkan rumahnya, pekerjaan akan ringan bila dikerjakan bersama-sama. Darma juga membantu mengangkat dan menggeser perabot yang besar.Sore itu akhirnya pekerjaan selesai, Rose yang dibantu Fatimah memasak lauk dan menggoreng mendoan untuk cemilan. Kami semua makan dengan nikmat, beberapa tetangga juga turut membantu seperti Rami, Ratna dan Mang Asep.Kami juga berkenalan dengan tet
Sudah tiga hari, semenjak Darma dan Fatimah bulan madu, hari ini mereka mengabarkan akan pulang. Aku dan Rose pun sibuk membersihkan rumah agar setelah mereka di rumah merasa nyaman.Selama Rose di rumah, aku mengajarkannya masak. Baru beberapa hari Rose sudah bisa memasak nasi, merebus sayur dan sambal. Masih masak yang ringan dulu dikuasai, Alhamdulillah.Rose pun begitu gembira bisa memasak beberapa lauk, walaupun rasa masih terus diperbaiki tapi lumayanlah. Sengaja hari ini Rose yang masak agar Darma dan Fatimah bisa memberi nilai.Selesai pekerjaan rumah, aku dan Rose duduk santai di teras. Sambil mengobrol, Rose berbicara banyak hal dan meminta pendapatku."Bu, Rose berpikir akan menjual rumah Mama," katanya serius."Loh, kenapa dijual? Nanti setelah menikah kamu bisa tempati lagi," ucapku kaget.
Setelah bertegur sapa dan meminta maaf pada para tetangga, aku menuntun Rose masuk kedalam rumah. Karena kamar cuma dua, jadi Rose tidur dikamar bersamaku.Fatimah membantu membawakan tas Rose ke dalam kamarku. Kamarku selalu bersih dan rapi karena tiap hari disapu Fatimah. Rumah dan halaman juga bersih. Sementara Darma meletakkan rantang di dapur.Aku menyuruh Rose agar beristirahat dulu dikamar sampai pulih kembali. Rose pun menurut dan membaringkan tubuhnya di kasur. Kasur bekas pernikahan mereka dulu, karna Darma dan Fatimah sekarang memakai spring bed.Memastikan Rose tidur, aku baru keluar kamar. Fatimah berada di dapur mencuci piring, mungkin pagi tadi belum sempat mencuci. Aku pun berjalan menghampirinya."Imah, perlu ibu bantu?" tanyaku."Nggak usah, Bu! Udah mau siap, oh Imah bisa minta tolong ibu a
Sudah beberapa jam, semenjak Rose dibius belum sadar juga. Hari sudah malam, berkali-kali perawat masuk mengecek. Perawat mengatakan butuh beberapa jam untuk menghilangkan pengaruh obat bius.Aku pun melaksanakan sholat magrib di samping ranjang Rose, memohon pada Allah SWT atas kesembuhan Rose. Siap sholat, aku mengaji berharap alunan ayat suci bisa masuk meresapi ke kalbu Rose.Benar saja, saat khusyuk mengaji jari tangan Rose mulai bergerak. Diikuti mata yang terbuka, aku pun menghentikan ngaji. Tampak Rose berkedip-kedip, lalu menoleh kesamping."Rose, kamu udah sadar Nak?" tanyaku sambil mengelus bahunya."Ibu?" katanya kaget."Iya, ini ibu. Bagaimana keadaanmu? Mana yang sakit?"Rose menggeleng, kemudian dia terisak menangis. Bahunya berguncang, aku pun menepuk bahunya
Sampai di rumah, kulihat Darma baru saja keluar dari mobil. Aku dan Fatimah menyongsong kedatangan Darma dengan cemas."Gimana, keadaan Rose dan Mamanya?" tanyaku tak sabar.Darma menjatuhkan tubuhnya di kursi, sembari menghela napas. Aku dan Fatimah saling pandang ingin tau."Rose dan Mamanya udah dibawa ke rumah sakit, Bu! Mamanya Rose masuk UGD dan Rose dibius agar tenang karena terus meracau," jelas Darma."Ya, Allah! Sebenarnya ada apa kok Mamanya Rose bisa sampai di tusuk suaminya, Mas?"" tanya Fatimah."Blom diketahui apa motif penusukan itu, karena Rose sebagai saksi pun masih trauma. Jadi blom bisa dimintai keterangan, tunggu sampe Rose sadar dan normal kembali," jawab Darma.Aku hanya menggeleng sedih mendengar cerita Darma. Kasihan Rose, padahal baru saja mereguk kebahagiaan sebagai pengantin baru tapi harus mengalami kejadian mengerikan ini.Wa
Tok, tok, tok,"Imah, bangun Nak! Sudah sore, udah sholat Ashar blom?" panggilku diluar pintu kamar.Tak lama, bunyi pintu terbuka. Muncul wajah Darma yang masih ngantuk. Aku pun terkejut, ternyata Darma udah pulang."Loh, kapan kamu pulang Nak? Kok ibu nggak tau?" tanyaku."Tadi, Bu! Ibu masih tidur jadi Imah bilang nggak usah ganggu ibu jadi Darma istirahat dulu," kata Darma sambil menguap."Ya udah, kamu mandi sana sholat Ashar. Imah udah bangun blom?" tanyaku tersenyum."Blom, Bu! Sepertinya Imah ngantuk berat," ujar Darma sambil melirik istrinya."Iya, dia tadi nyuci banyak. Mau ibu bantuin tapi nggak boleh sama Imah," jelas ku.Lalu Darma keluar setelah mengambil handuk, masuk ke kamar mandi. Aku pun
Kami pun makan dengan suasana hati sedih, lalu terdengar suara orang mengucapkan salam. "Assalamualaikum!"Kami saling berpandangan, siapa yang masih pagi sudah bertamu. Walau dengan keheranan, kami bertiga gegas ke depan."Wa'alaikumussalam!"Saat bertatap muka pada tamu, kami semua terkejut. Beberapa polisi berseragam sudah berdiri di depan pintu, aku yang tidak mengerti ada apa segera bertanya."Maaf, Pak! Ada apa ya bapak-bapak polisi kemari?""Kami ingin membawa saudara Darma ke kantor polisi," jawab salah seorang polisi."Apa? Memangnya kenapa Pak dengan anak saya?" tanyaku shock."Maaf, Bu! Kami bukan menangkap saudara Darma, tapi kami membutuhkannya sebagai saksi!" jelas komandan polisi.Beberapa tetangga juga
Sepulang dari rumah Fatimah, diantar supir tetangga sampailah kami di rumah. Bapak yang mengeluh tidak enak badan segera masuk kamar berbaring. Terlihat wajahnya begitu lelah.Setelah mengganti baju dan membersihkan diri, aku pun membuat wedang jahe dan membawanya ke dalam kamar. Bapak sudah tertidur pulas."Pak, minum dulu wedang nya keburu dingin," kataku sambil mengguncang tubuh bapak lembut.Bapak terbangun walau dengan susah payah, matanya seakan susah untuk dibuka. Aku membantunya bangun dan duduk, dengan pelan menyesap wedang yang sudah hangat.Kemudian bapak minta berbaring lagi. "Bapak capek? Ibu pijetin ya!" kataku yang dibalas anggukannya.Dengan penuh sayang, aku memijat badan bapak. Perlahan mata bapak membuka dan menatap langit-langit. Pandanganya kosong, aku yang sedikit heran mengajak bapak bi
"Saya terima nikahnya Fatimah binti Abdullah, dengan mahar seperangkat alat sholat dibayar tunai!" ucap Darma lancar."Bagaimana, bapak-bapak?" tanya penghulu pada hadirin."Sah!" seru ramai suara hadirin menyatakan ijab qobul itu sah."Alhamdulillah," ucapku senang.Ya, hari ini adalah pernikahan Darma dan Fatimah. Sebelum mengadakan upacara adat temu pengantin, dilakukan akad nikah terlebih dahulu.Fatimah duduk di samping Darma dengan anggun. Balutan kebaya gamis dan mahkota yang menghiasi kepalanya sungguh indah. Kecantikan Fatimah begitu membuat pangling siapapun yang melihat.Bahkan saat Fatimah keluar dari kamar, Darma sampai tak berkedip memandangnya. Aku pun menyenggol lengannya agar Darma bersabar sambil terkekeh.Selesai ijab qob