Rose yang dijemput dari rumahnya, setelah sampai dia langsung masuk kamar. Bahkan suamiku yang bertanya pun tak digubrisnya.
"Rose kenapa, Bu?"
"Biasa, merajuk. Saat kami jemput tadi dia nggak mau pulang, malah Mamanya ajukan syarat yang berat," jawabku sembari duduk di kursi disamping suamiku.
"Memangnya syarat apa?" tanya Bapak ingin tau.
"Ya mengenai kebiasaan bangun siangnya itu. Besan minta kita nggak mengusik tidurnya, juga jangan menyuruh-nyuruh Rose kerja ini itu," kataku menghela nafas.
"Jadi bagaimana? Apa Ibu setujui?"
"Terpaksa, Pak. Biar Rose mau pulang, tapi Ibu juga bilang bagaimanapun Darma itu suaminya Rose lebih berhak mengatur Rose. Ibu juga akan bantu membimbingnya agar bisa berubah," kataku semangat.
"Betul itu, Bu. Walaupun Rose menantu tapi sudah menjadi keluarga kita, anak kita ya jadi sudah tanggung jawab kita juga yang menasehati dan membimbingnya," ucap Bapak memberi dukungan.
"Tumben Bapak dukung Ibu, biasanya cuma mencela," ucapku menyindirnya.
Bapak cuma terkekeh melihatku, lalu menyesap kopi yang tinggal separuh. Hari ini kami berdua tidak ke sawah karena urusan Rose ini, tapi tidak apalah yang penting dia mau pulang.
"Bapak udah makan?" tanyaku sambil berjalan ke kamar berganti baju.
"Ya blom toh, Bu. Mau makan pake apa?"
"Ya sudah, Ibu ganti baju dulu trus masak," kataku dari dalam kamar.
"Bapak mau ke ladang kita dulu, mau lihat ada nggak sayur yang bisa dipanen," ujar bapak yang ku balas anggukan.
Aku pun berjalan menuju dapur, melihat tong beras sudah kosong. Berencana mau beli, saat mau keluar rumah ditegur Darma.
"Mau kemana, Bu?"
"Beli beras, di tong udah habis. Ibu mau masak, Bapakmu blom makan," jawabku.
"Sini, biar Darma aja yang beli berasnya," katanya kemudian masuk kedalam kamar.
"Ini duitnya, Nak!"
"Nggak usah, Bu. Pake duit Darma aja, ibu simpan aja uang ibu," tolak Darma.
Saat Darma mau keluar, Rose memanggil. "Mas, jangan lupa beli makanan ya!" rayunya.
"Makan aja yang kamu tau, bantu ibu masak sana!" desis Darma.
"Ssstt, sudah kamu beli beras dan makanan buat Rose. Ingat yang ibu bilang sama kamu tadi," ucapku mengingatkan Darma harus bersabar dulu.
Setelah Darma pergi, Rose masuk lagi ke dalam kamar. Aku pun menghampirinya di kamar. "Rose, kamu lagi ngapain Nak?"
"Bukan urusan ibu, ngapain masuk kesini," jawabnya masih saja ketus.
"Ibu mau masak, apa kamu nggak mau belajar masak? Biar pinter," rayuku agar Rose bisa berubah sedikit demi sedikit.
"Nggak mau lah, apa ibu lupa pesan Mamaku tadi? Jangan suruh Rose ini itu," ujarnya sambil memainkan ponsel.
"Ya sudah, tapi kalo nggak mau masak, kamu cuci baju ya! Lihat baju kotor Darma itu udah numpuk di keranjang," kataku menunjuk keranjang pakaian kotor disudut kamar.
"Males lah, kemarin kenapa nggak Ibu cuci waktu Rose di rumah Mama?"
"Nggak boleh sama Darma, kan dia punya istri. Kalo bukan kamu yang nyuci siapa lagi," aku masih berusaha bersikap lembut.
"Ya sudah biarkan aja nggak usah dicuci," sahutnya kesal.
"Nanti Darma nggak punya ganti untuk kerja, Rose. Apa kamu suka Darma kerja pake baju kucel dan bau? Apa kamu mau digunjing orang lagi?" jebak ku agar Rose sadar.
"Ibu bawel banget sih! Udah sana keluar masak, nggak usah ikut campur urusanku. Atau aku adukan lagi sama Mamaku," ancam Rose mengusirku lalu menutup pintu kamarnya dan mengunci.
Aku hanya menggelengkan kepala, sabar jangan dulu menyerah. Aku harus kuat dan tetap optimis, gumam ku dalam hati.
Sambil menunggu Darma membeli beras, aku mulai menggoreng ikan asin dan sambal, serta sayur kangkung yang di panen dari ladang semalem.
"Assalamualaikum ... Bu Khadijah!" panggil seseorang dari depan.
"Wa'alaikumussalam," jawabku berjalan kedepan.
"Aih, Bu Ustadzah. Mari masuk!" kataku mempersilahkan.
"Terima kasih," jawab ustadzah Aisyah.
"Tumben, ustadzah Aisyah kemari. Ada apa gerangan toh?" tanyaku setelah tamu duduk dan menghidangkan minum.
"Maaf kalo kedatangan saya mengganggu, Bu Khadijah," ucapnya sungkan.
"Nggak apa-apa kok, saya juga baru siap masak," jawabku tersenyum.
"Begini loh, Bu. Hari Jumat nanti ada pengajian di rumah saya, jadi saya minta bantuan Bu Khadijah untuk memasak. Karena saya tau masakan Bu Khadijah paling enak di kampung ini," puji Ustadzah Aisyah.
"Ustadzah bisa aja, masakan saya sederhana kok dibilang enak," ujarku malu.
"Bener loh, bahkan ibu-ibu yang lain juga bilang sama saya. Jadi mau kan Bu Khadijah bantu saya?" tanyanya berharap.
"Baiklah, Ustadzah. Saya akan bantu semampunya, semoga masakan saya sesuai selera," jawabku luluh.
"Insya Allah sesuai selera, Bu Khadijah jangan takut ntar kalo nggak habis bisa dibawa pulang nanti," kata Ustadzah tersenyum.
Ustadzah meminum teh yang aku hidangkan, lalu celingukan mencari sesuatu. "Oh ya, menantunya kemana Bu?"
"Lagi istirahat di kamar, apa perlu saya panggil?" tanyaku.
Ustadzah Aisyah mengangguk, aku berjalan menuju kamar Rose dan mengetuk pintunya. "Rose, buka pintunya. Ada tamu yang ingin ketemu kamu."
"Ibu apa-apaan sih! Ganggu aja terus, berisik tau nggak!" teriak Rose dari dalam.
Aku tersenyum kecut saat pandanganku beralih ke Ustadzah Aisyah yang terkejut mendengar teriakan Rose.
"Rose, Ustadzah Aisyah ingin ngobrol sama kamu. Keluar lah!" kataku terus mengetuk pintunya.
Akhirnya pintu dibuka, nongol wajah masam Rose dibalik pintu. "Ada apa rupanya?"
Aku menarik tangan Rose agar duduk dan mengobrol dengan tamu. Kulihat Ustadzah Aisyah terus tersenyum walaupun wajah Rose jutek.
"Nak Rose, maaf mengganggu istirahatnya," kata Ustadzah mengawali pembicaraan karena Rose cuma diam.
"Sudah tau tapi tetap aja mengganggu," sindir Rose.
Aku menjawil tangannya dan berbisik, "Jangan gitu, nggak sopan. Beliau seorang Ustadzah, harus kita hormati."
Rose merengut dan aku meminta maaf atas kelakuan Rose barusan.
"Sudah nggak apa-apa, saya cuma ingin bilang Insya Allah Jumat ada pengajian di rumah saya, kamu datang ya bersama Ibumu," ajak Ustadzah merayu Rose.
"Nggak mau, aku malu. Ini semua gara-gara Ibu yang udah bilang keseluruh kampung," kata Rose menohok hatiku.
"Memangnya malu kenapa?" tanya Ustadzah Aisyah tak mengerti.
"Tanya aja sama Ibu ini, udahlah aku nggak mau, Ibu aja yang datang. Permisi!" sahut Rose beranjak pergi lalu masuk ke kamar lagi. Suara debum pintu ditutup terdengar kuat.
Lagi-lagi aku harus menahan malu atas kelakuan menantuku itu, tapi Ustadzah Aisyah tidak permasalahkan. Beliau memang berjiwa besar dan berhati lembut. Sudah banyak orang yang insyaf atas bimbingannya. Semoga saja dengan ikut pengajian Rose bisa berubah, tapi mengajaknya itu yang sulit karena dia tidak mau keluar rumah.
"Maaf ya Ustadzah Aisyah, sebenarnya Rose sudah jadi gunjingan orang kampung makanya dia nggak mau keluar rumah," kataku menghela nafas.
"Ada masalah apa ya, Bu?"
"Saat itu ada tetangga yang datang, lalu melihat Rose masih tidur. Makanya berita itu tersebar," jawabku.
"Mengapa mereka bisa begitu? Apa Rose memang suka bangun siang?" tebak Ustadzah Aisyah.
Aku mengangguk, kemudian menceritakan kebiasaan buruk Rose itu juga syarat dari Mamanya yang membuatku harus tambah sabar dan kuat menghadapi Rose.
"Saya salut pada kesabaran Bu Khadijah, semoga Allah SWT memandang niat ibu. Doa yang makbul itu ya doa orang tua pada anaknya. Terus semangat dan berdoa ya, Bu! Insya Allah saya bantu membimbingnya, mengadakan pengajian ini tujuannya agar semuanya mendapat ilmu dan hidayah," ucap Ustadzah Aisyah menerangkan.
Setelah puas mengobrol, Ustadzah Aisyah pamit dan titip salam untuk Rose. Aku mengantar sampai ke pintu depan dan meminta doanya.
Sepulangnya Ustadzah Aisyah, aku yang akan kembali ke dapur mendengar derap suara kaki melangkah masuk."Assalamualaikum,""Wa'alaikumussalam," jawabku menoleh kebelakang, rupanya Darma baru saja pulang dengan menenteng belanjaan."Ini, Bu. Belanjanya, semoga cukup untuk stok seminggu," ucap Darma menyerahkan kantong plastik ukuran besar."Ya Allah, Nak. Banyak banget belanjanya," kataku berbinar sambil melihat isinya.Ada beras sepuluh kilo, minyak goreng, sabun cuci dan sabun mandi, sampo, tepung, dan lainnya semua lengkap di beli Darma.Saat asyik mengeluarkan isi belanjaan, Rose keluar dari kamar. Mungkin dia mendengar Darma sudah pulang."Mas, mana makanan pesananku?" tanyanya sambil mengambil kantong plastik dan mengacak isinya."Nggak beli!" sahut Darma."Kenapa? Mas nggak tega keluar uang untukku? Dasar pelit!" cemooh Rose memonyongkan bibirnya."
"Ayo Bu, Rose, kita masuk kedalam. Apa Rose mau bantu ibu memasak?""Ogah, Rose nggak pintar masak. Biar ibu aja yang masak," ucap Rose menolak.Aku menatap Ustadzah dan meminta pengertiannya agar Ustadzah Aisyah mau memaklumi."Kalo begitu, kamu ikut saya aja. Mau kan?" tawar Ustadzah."Kemana?" tanya Rose penasaran.Tanpa menjawab, Ustadzah menggandeng Rose lalu di bawah masuk ke dalam rumah. Sementara aku menuju dapur dan langsung memasak, melihat semua bahan tersedia aku pun paham. Ustadzah Aisyah ingin aku memasak soto ayam.Di dapur, aku tidak sendiri. Ada seorang art Ustadzah, usianya masih muda. Art itu hanya di tugaskan untuk membantuku, seperti memotong sayur dan bumbu.Sibuk di dapur, aku tidak tau apa yang di perbuat Ustadzah Aisyah dengan menantuku. Selama dia tidak membuat masalah, aku pun tenang. Semoga saja di tangan Ustadzah, Rose bisa berubah sedikit demi sedikit.
Saat asyik makan, tiba-tiba terjadi keributan di luar. "Ada apa ini?" tanya Ustadzah Aisyah keluar."Permisi Ustadzah, Bu Ijah nya ada?" tanya Mang Asep celingukan."Ada di dalam, ada apa Mang?" tanya Ustadzah Aisyah bergegas memanggilku ke belakang."Bu Ijah, di cariin Mang Asep di depan!""Ada apa Ustadzah?""Nggak tau, coba datangi dulu. Sepertinya dia cemas!" jawab Ustadzah Aisyah.Aku pun bergegas ke depan dan menghampiri Mang Asep. "Ada apa Mang?""Bu Ijah, gawat. Cepat pulang, mantumu ... Ayo ikut saya!" ajak Mang Asep terburu-buru."Rose? Kenapa dengan dia, Mang?" tanyaku gelisah."Sudah, kita pulang dulu!" ujar Mang Asep."Ya sudah, saya pamit dulu sama Ustadzah Aisyah!" kataku sembari masuk ke dalam."Ada apa Bu Khadijah?" tanya Ustadzah Aisyah."Sesuatu terjadi pada Rose, entah apa. Saya pulang dulu ya Ustadzah mau lih
Keesokan harinya, aku sengaja masak pagi-pagi untuk dibawa kerumah sakit. Rose pasti ingin masakan ku, karena selama ini aku yang memasak dan Rose tidak pernah mengeluh."Nak, udah siap belum?" tanyaku sambil mengetuk pintu kamar Darma.Tidak ada sahutan dari dalam, aku coba ketuk lagi. Mungkin Darma masih tidur, biasa saat ada Rose di rumah Darma cepat bangun bahkan tanpa perlu aku mengetuk pintu."Darma ... Ayo bangun, anter ibu ke rumah sakit," pintaku.Tak lama pintu terbuka, berdiri Darma yang masih menguap karena ngantuk."H'mm, ada apa Bu? Masih pagi udah banguni Darma?" tanyanya dengan mata masih merem."Anter ibu kerumah sakit, ibu bawakan makanan untuk Rose," jawabku sumringah."Ngapain kesana lagi, Bu? Ntar diusir Mamanya Rose, apa ibu nggak marah?" Darma terlihat malas dan berjalan menuju ranjang dan akan tidur kembali."Kamu kok tidur lagi, Nak? Sudah salat Subuh dulu
"Kamu udah makan Rose? Ini ibu masakan kesukaanmu," kataku sambil membuka rantangan."Taruh aja di situ, aku belum lapar," jawab Rose ketus."Mama kemana, Rose? Dari tadi nggak nampak!" ujar Darma sambil celingukan.Sedari tadi Darma hanya diam memperhatikan aku dan Rose bicara. Sengaja aku minta Darma tidak banyak bicara agar suasana tidak keruh."Mama keluar membeli sarapan," jawab Rose pendek."Ya udah, kita tunggu besan aja trus minta izin untuk membawamu pulang," kataku sambil menutup rantang."Aku nggak mau pulang, Bu. Aku mau di rumah Mama aja, lebih tenang dan nggak berisik ibu ganggu terus," cibir Rose melipat tangannya."Kalo kamu mau di rumah Mamamu, nggak apa-apa Rose. Mungkin kamu bisa cepat sembuh disana," kataku menatap Rose sendu."Pasti cepat sembuh, dong! Kan Mama tidak pernah menyuruh Rose ini itu, jadi Rose bisa tidur sampai lama," ujar Rose senang.
Aku juga tidak rela di hina terus-terusan, aku kasihan melihat Darma. Kulihat Rose hanya diam memperhatikan keributan ini, aku heran dimana perasaannya itu, sama sekali tidak perduli.Darma juga menatap Rose tajam, sepertinya Darma sepemikiran denganku. Darma berjalan mendekati Rose dan berkata tegas."Rose, katakan sekali lagi kamu ikut kami pulang atau ikut Mamamu?" tanya Darma sembari menunjuk dia dan mertuanya."Tentu aja aku ikut Mamaku, dong!" jawab Rose ketus."Baiklah, kalo begitu Bu sekarang ini Darma minta izin," ucap Darma tegas, aku mengerti apa yang mau di ucapkan nya. Itu sesuatu yang akan buat dia berpisah dari Rose, Darma pasti udah mantap hingga dia mesti mengatakannya.Apakah aku harus mengangguk dan memberi izin?Darma masih terus menatap menunggu persetujuanku. Aku masih bimbang dan bergantian menatap Darma dan Rose. Namun, Rose tetap acuh terhadap peringatan Darma."Darma,
Memasuki awal baru pernikahan, Darma dan Rose sungguh berbahagia. Aku dan suamiku juga menaruh harapan pada menantu satu-satunya agar dapat memberikan kontribusinya untuk keluarga kami.Namun, lambat laun sikap dan tingkah Rose semakin membuatku terkejut. Di awal pengantin baru kami memahami bahwa masih wajar manten bangun agak siang. Akan tetapi, Rose terus-terusan bangun siang dan seperti ogah mengurus Darma yang akan berangkat kerja. Ditambah lagi sifatnya yang pemalas dan selalu di kamar.Setiap dinasehati selalu membantah dan marah. Hingga bicara kepadaku dengan suara keras, demi Darma aku selalu bersabar. Memberi arahan dan juga doa agar Rose mau berubah.Tak terasa air mataku menetes, mengingat kejadian dulu. Darma segera menghapus air mataku, "Sudah, Bu. Darma nggak apa-apa. Ibu nggak usah sedih.""Maafkan ibu, Darma. Gegara ibu yang selalu nasehati Rose, rumah tangga kalian hancur," ujarku menggenggam tangan Darma.
"Loh, Darma mau kemana Mbakyu?" tanyanya kepo."Mau kerumah Mamanya Rose," jawabku"Mau pindah kesana ya, Mbak?""Nggak, cuma nganter semua pakaian Rose.""Loh, memang kenapa Mbak?" tanyanya lagi."Darma sudah pisah dengan Rose.""Apa?" kata Rami terkejut."Kenapa Mbakyu, kok bisa sampe pisah?" tanyanya kepo.Aku menghela nafas, patut kah ku ceritakan ini. Takutnya jadi aib dan tersebar seluruh kampung. Namun, kalo tidak ku ceritakan juga khawatir terjadi fitnah, toh akhirnya juga mereka akan tau."Semua udah keputusan Darma, Ram. Sebagai ibu, Mbak juga udah berusaha menasehati Rose. Akan tetapi, Rose tetap aja keras kepala. Jadi, Darma lebih berhak membuat keputusan," jelas ku agar Rami tidak menduga-duga nanti."Maksudnya Mbak, Rose udah nggak mau balik kesini lagi?""Iya, Ram. Apalagi Mamanya Rose terus merongrong, hingga Rose lebih memili
Seminggu setelah Rose resmi bercerai, Rose yang telah berhasil menjual rumah Mamanya segera membeli rumah di dekat sini. Darma yang membantu mencari akhirnya dapat rumah di depan kecamatan perbatasan antar kampung.Kebetulan pemilik rumah juga mau pindah, jadi Rose pun setuju membelinya. Rose sengaja pilih rumah yang tidak terlalu besar. Karena cuma ditempati sendiri, namun perabotan lengkap karena Rose membawa dari rumah Mamanya.Aku dan Fatimah membantu Rose membersihkan rumahnya, pekerjaan akan ringan bila dikerjakan bersama-sama. Darma juga membantu mengangkat dan menggeser perabot yang besar.Sore itu akhirnya pekerjaan selesai, Rose yang dibantu Fatimah memasak lauk dan menggoreng mendoan untuk cemilan. Kami semua makan dengan nikmat, beberapa tetangga juga turut membantu seperti Rami, Ratna dan Mang Asep.Kami juga berkenalan dengan tet
Sudah tiga hari, semenjak Darma dan Fatimah bulan madu, hari ini mereka mengabarkan akan pulang. Aku dan Rose pun sibuk membersihkan rumah agar setelah mereka di rumah merasa nyaman.Selama Rose di rumah, aku mengajarkannya masak. Baru beberapa hari Rose sudah bisa memasak nasi, merebus sayur dan sambal. Masih masak yang ringan dulu dikuasai, Alhamdulillah.Rose pun begitu gembira bisa memasak beberapa lauk, walaupun rasa masih terus diperbaiki tapi lumayanlah. Sengaja hari ini Rose yang masak agar Darma dan Fatimah bisa memberi nilai.Selesai pekerjaan rumah, aku dan Rose duduk santai di teras. Sambil mengobrol, Rose berbicara banyak hal dan meminta pendapatku."Bu, Rose berpikir akan menjual rumah Mama," katanya serius."Loh, kenapa dijual? Nanti setelah menikah kamu bisa tempati lagi," ucapku kaget.
Setelah bertegur sapa dan meminta maaf pada para tetangga, aku menuntun Rose masuk kedalam rumah. Karena kamar cuma dua, jadi Rose tidur dikamar bersamaku.Fatimah membantu membawakan tas Rose ke dalam kamarku. Kamarku selalu bersih dan rapi karena tiap hari disapu Fatimah. Rumah dan halaman juga bersih. Sementara Darma meletakkan rantang di dapur.Aku menyuruh Rose agar beristirahat dulu dikamar sampai pulih kembali. Rose pun menurut dan membaringkan tubuhnya di kasur. Kasur bekas pernikahan mereka dulu, karna Darma dan Fatimah sekarang memakai spring bed.Memastikan Rose tidur, aku baru keluar kamar. Fatimah berada di dapur mencuci piring, mungkin pagi tadi belum sempat mencuci. Aku pun berjalan menghampirinya."Imah, perlu ibu bantu?" tanyaku."Nggak usah, Bu! Udah mau siap, oh Imah bisa minta tolong ibu a
Sudah beberapa jam, semenjak Rose dibius belum sadar juga. Hari sudah malam, berkali-kali perawat masuk mengecek. Perawat mengatakan butuh beberapa jam untuk menghilangkan pengaruh obat bius.Aku pun melaksanakan sholat magrib di samping ranjang Rose, memohon pada Allah SWT atas kesembuhan Rose. Siap sholat, aku mengaji berharap alunan ayat suci bisa masuk meresapi ke kalbu Rose.Benar saja, saat khusyuk mengaji jari tangan Rose mulai bergerak. Diikuti mata yang terbuka, aku pun menghentikan ngaji. Tampak Rose berkedip-kedip, lalu menoleh kesamping."Rose, kamu udah sadar Nak?" tanyaku sambil mengelus bahunya."Ibu?" katanya kaget."Iya, ini ibu. Bagaimana keadaanmu? Mana yang sakit?"Rose menggeleng, kemudian dia terisak menangis. Bahunya berguncang, aku pun menepuk bahunya
Sampai di rumah, kulihat Darma baru saja keluar dari mobil. Aku dan Fatimah menyongsong kedatangan Darma dengan cemas."Gimana, keadaan Rose dan Mamanya?" tanyaku tak sabar.Darma menjatuhkan tubuhnya di kursi, sembari menghela napas. Aku dan Fatimah saling pandang ingin tau."Rose dan Mamanya udah dibawa ke rumah sakit, Bu! Mamanya Rose masuk UGD dan Rose dibius agar tenang karena terus meracau," jelas Darma."Ya, Allah! Sebenarnya ada apa kok Mamanya Rose bisa sampai di tusuk suaminya, Mas?"" tanya Fatimah."Blom diketahui apa motif penusukan itu, karena Rose sebagai saksi pun masih trauma. Jadi blom bisa dimintai keterangan, tunggu sampe Rose sadar dan normal kembali," jawab Darma.Aku hanya menggeleng sedih mendengar cerita Darma. Kasihan Rose, padahal baru saja mereguk kebahagiaan sebagai pengantin baru tapi harus mengalami kejadian mengerikan ini.Wa
Tok, tok, tok,"Imah, bangun Nak! Sudah sore, udah sholat Ashar blom?" panggilku diluar pintu kamar.Tak lama, bunyi pintu terbuka. Muncul wajah Darma yang masih ngantuk. Aku pun terkejut, ternyata Darma udah pulang."Loh, kapan kamu pulang Nak? Kok ibu nggak tau?" tanyaku."Tadi, Bu! Ibu masih tidur jadi Imah bilang nggak usah ganggu ibu jadi Darma istirahat dulu," kata Darma sambil menguap."Ya udah, kamu mandi sana sholat Ashar. Imah udah bangun blom?" tanyaku tersenyum."Blom, Bu! Sepertinya Imah ngantuk berat," ujar Darma sambil melirik istrinya."Iya, dia tadi nyuci banyak. Mau ibu bantuin tapi nggak boleh sama Imah," jelas ku.Lalu Darma keluar setelah mengambil handuk, masuk ke kamar mandi. Aku pun
Kami pun makan dengan suasana hati sedih, lalu terdengar suara orang mengucapkan salam. "Assalamualaikum!"Kami saling berpandangan, siapa yang masih pagi sudah bertamu. Walau dengan keheranan, kami bertiga gegas ke depan."Wa'alaikumussalam!"Saat bertatap muka pada tamu, kami semua terkejut. Beberapa polisi berseragam sudah berdiri di depan pintu, aku yang tidak mengerti ada apa segera bertanya."Maaf, Pak! Ada apa ya bapak-bapak polisi kemari?""Kami ingin membawa saudara Darma ke kantor polisi," jawab salah seorang polisi."Apa? Memangnya kenapa Pak dengan anak saya?" tanyaku shock."Maaf, Bu! Kami bukan menangkap saudara Darma, tapi kami membutuhkannya sebagai saksi!" jelas komandan polisi.Beberapa tetangga juga
Sepulang dari rumah Fatimah, diantar supir tetangga sampailah kami di rumah. Bapak yang mengeluh tidak enak badan segera masuk kamar berbaring. Terlihat wajahnya begitu lelah.Setelah mengganti baju dan membersihkan diri, aku pun membuat wedang jahe dan membawanya ke dalam kamar. Bapak sudah tertidur pulas."Pak, minum dulu wedang nya keburu dingin," kataku sambil mengguncang tubuh bapak lembut.Bapak terbangun walau dengan susah payah, matanya seakan susah untuk dibuka. Aku membantunya bangun dan duduk, dengan pelan menyesap wedang yang sudah hangat.Kemudian bapak minta berbaring lagi. "Bapak capek? Ibu pijetin ya!" kataku yang dibalas anggukannya.Dengan penuh sayang, aku memijat badan bapak. Perlahan mata bapak membuka dan menatap langit-langit. Pandanganya kosong, aku yang sedikit heran mengajak bapak bi
"Saya terima nikahnya Fatimah binti Abdullah, dengan mahar seperangkat alat sholat dibayar tunai!" ucap Darma lancar."Bagaimana, bapak-bapak?" tanya penghulu pada hadirin."Sah!" seru ramai suara hadirin menyatakan ijab qobul itu sah."Alhamdulillah," ucapku senang.Ya, hari ini adalah pernikahan Darma dan Fatimah. Sebelum mengadakan upacara adat temu pengantin, dilakukan akad nikah terlebih dahulu.Fatimah duduk di samping Darma dengan anggun. Balutan kebaya gamis dan mahkota yang menghiasi kepalanya sungguh indah. Kecantikan Fatimah begitu membuat pangling siapapun yang melihat.Bahkan saat Fatimah keluar dari kamar, Darma sampai tak berkedip memandangnya. Aku pun menyenggol lengannya agar Darma bersabar sambil terkekeh.Selesai ijab qob