Keesokan harinya, aku sengaja masak pagi-pagi untuk dibawa kerumah sakit. Rose pasti ingin masakan ku, karena selama ini aku yang memasak dan Rose tidak pernah mengeluh.
"Nak, udah siap belum?" tanyaku sambil mengetuk pintu kamar Darma.
Tidak ada sahutan dari dalam, aku coba ketuk lagi. Mungkin Darma masih tidur, biasa saat ada Rose di rumah Darma cepat bangun bahkan tanpa perlu aku mengetuk pintu.
"Darma ... Ayo bangun, anter ibu ke rumah sakit," pintaku.
Tak lama pintu terbuka, berdiri Darma yang masih menguap karena ngantuk.
"H'mm, ada apa Bu? Masih pagi udah banguni Darma?" tanyanya dengan mata masih merem.
"Anter ibu kerumah sakit, ibu bawakan makanan untuk Rose," jawabku sumringah.
"Ngapain kesana lagi, Bu? Ntar diusir Mamanya Rose, apa ibu nggak marah?" Darma terlihat malas dan berjalan menuju ranjang dan akan tidur kembali.
"Kamu kok tidur lagi, Nak? Sudah salat Subuh dulu
"Kamu udah makan Rose? Ini ibu masakan kesukaanmu," kataku sambil membuka rantangan."Taruh aja di situ, aku belum lapar," jawab Rose ketus."Mama kemana, Rose? Dari tadi nggak nampak!" ujar Darma sambil celingukan.Sedari tadi Darma hanya diam memperhatikan aku dan Rose bicara. Sengaja aku minta Darma tidak banyak bicara agar suasana tidak keruh."Mama keluar membeli sarapan," jawab Rose pendek."Ya udah, kita tunggu besan aja trus minta izin untuk membawamu pulang," kataku sambil menutup rantang."Aku nggak mau pulang, Bu. Aku mau di rumah Mama aja, lebih tenang dan nggak berisik ibu ganggu terus," cibir Rose melipat tangannya."Kalo kamu mau di rumah Mamamu, nggak apa-apa Rose. Mungkin kamu bisa cepat sembuh disana," kataku menatap Rose sendu."Pasti cepat sembuh, dong! Kan Mama tidak pernah menyuruh Rose ini itu, jadi Rose bisa tidur sampai lama," ujar Rose senang.
Aku juga tidak rela di hina terus-terusan, aku kasihan melihat Darma. Kulihat Rose hanya diam memperhatikan keributan ini, aku heran dimana perasaannya itu, sama sekali tidak perduli.Darma juga menatap Rose tajam, sepertinya Darma sepemikiran denganku. Darma berjalan mendekati Rose dan berkata tegas."Rose, katakan sekali lagi kamu ikut kami pulang atau ikut Mamamu?" tanya Darma sembari menunjuk dia dan mertuanya."Tentu aja aku ikut Mamaku, dong!" jawab Rose ketus."Baiklah, kalo begitu Bu sekarang ini Darma minta izin," ucap Darma tegas, aku mengerti apa yang mau di ucapkan nya. Itu sesuatu yang akan buat dia berpisah dari Rose, Darma pasti udah mantap hingga dia mesti mengatakannya.Apakah aku harus mengangguk dan memberi izin?Darma masih terus menatap menunggu persetujuanku. Aku masih bimbang dan bergantian menatap Darma dan Rose. Namun, Rose tetap acuh terhadap peringatan Darma."Darma,
Memasuki awal baru pernikahan, Darma dan Rose sungguh berbahagia. Aku dan suamiku juga menaruh harapan pada menantu satu-satunya agar dapat memberikan kontribusinya untuk keluarga kami.Namun, lambat laun sikap dan tingkah Rose semakin membuatku terkejut. Di awal pengantin baru kami memahami bahwa masih wajar manten bangun agak siang. Akan tetapi, Rose terus-terusan bangun siang dan seperti ogah mengurus Darma yang akan berangkat kerja. Ditambah lagi sifatnya yang pemalas dan selalu di kamar.Setiap dinasehati selalu membantah dan marah. Hingga bicara kepadaku dengan suara keras, demi Darma aku selalu bersabar. Memberi arahan dan juga doa agar Rose mau berubah.Tak terasa air mataku menetes, mengingat kejadian dulu. Darma segera menghapus air mataku, "Sudah, Bu. Darma nggak apa-apa. Ibu nggak usah sedih.""Maafkan ibu, Darma. Gegara ibu yang selalu nasehati Rose, rumah tangga kalian hancur," ujarku menggenggam tangan Darma.
"Loh, Darma mau kemana Mbakyu?" tanyanya kepo."Mau kerumah Mamanya Rose," jawabku"Mau pindah kesana ya, Mbak?""Nggak, cuma nganter semua pakaian Rose.""Loh, memang kenapa Mbak?" tanyanya lagi."Darma sudah pisah dengan Rose.""Apa?" kata Rami terkejut."Kenapa Mbakyu, kok bisa sampe pisah?" tanyanya kepo.Aku menghela nafas, patut kah ku ceritakan ini. Takutnya jadi aib dan tersebar seluruh kampung. Namun, kalo tidak ku ceritakan juga khawatir terjadi fitnah, toh akhirnya juga mereka akan tau."Semua udah keputusan Darma, Ram. Sebagai ibu, Mbak juga udah berusaha menasehati Rose. Akan tetapi, Rose tetap aja keras kepala. Jadi, Darma lebih berhak membuat keputusan," jelas ku agar Rami tidak menduga-duga nanti."Maksudnya Mbak, Rose udah nggak mau balik kesini lagi?""Iya, Ram. Apalagi Mamanya Rose terus merongrong, hingga Rose lebih memili
Motor itu di kendarai wanita berjilbab panjang, saat membuka helmnya aku terpana. 'Masya Allah, cantik tenan wanita di depanku ini' aku bergumam dalam hati."Assalamualaikum, Bu!" sapa nya ramah dan tersenyum."Wa'alaikumussalam," jawabku tak menyangka dia akan menyapaku."Sepertinya ibu sudah lama menunggu angkutan, mari saya bantu," ucapnya sambil menenteng belanjaan ku.Aku hanya mengangguk dan memperhatikannya. Sungguh cantik dan lembut, perawakannya juga sesuai. Wanita muda itu terus tersenyum karena terus ku perhatikan. Satu plastik di letakkan di depan, di bawah ada jok untuk barang.Motor merek Scoopy memang sangat cocok untuk di kendarai wanita, juga mudah untuk membawa barang. Satu plastik lagi aku pegang di belakang, agar wanita itu tidak susah."Saya bantu antar ibu kerumah, ya! Dimana rumah ibu?" tanyanya."Rumah ibu di jalan sentosa, Nak!" jawabku tersenyum."Oh ya u
Darma masih memperhatikan gelas itu, tak ada bekas lipstik. Di dekatkan ke hidung untuk mencium aromanya, tidak juga berbau. Darma jadi penasaran wanita seperti apa dia?"Kenapa, Nak? Kok dari tadi lihatin gelas terus?" tanyaku heran."Nggak apa-apa, Bu," ujar Darma sambil meletakkan gelas di meja."Trus, gimana tadi di rumah Mama Rose kok kamu pulang-pulang kesal?""Gimana nggak kesal, Bu. Udah berbaik hati Darma mau mengantar koper, sampai sana malah di sindir terus. Darma dikatakan suami yang nggak becus, udah miskin belagu. Andaikan kalo nggak ingat kami udah pisah, pasti udah Darma hajar tuh mulut!" sergahnya marah."Ya sudahlah, yang penting kamu nggak lakukan apa-apa. Lebih baik lupakan aja, jalan kamu masih panjang. Ibu yakin kamu pasti bisa mendapatkan istri yang baik dan sholehah kelak," ucapku menyemangatinya."Aamiin, Darma juga ingin punya istri seperti ibu yang baik, lembut juga sabar,"
Saat keluar kamar akan memberitahu Fatimah, dia sedang mengobrol dengan Bude Rami. Aduh, jangan sampai jadi gosip nanti. Apa kata orang kalo sampai tau Fatimah datang, sedangkan Darma baru saja cerai."Loh, ada Rami juga disini," kataku begitu keluar rumah."Iya, Mbak. Aku terkejut loh Fatimah bisa kesini, emang kenal dimana Mbak?" tanya Bude Rami terheran-heran."Itu tadi pas mau pulang dari pasar, Fatimah membantu mengantar sampai rumah," jelas ku senang.Rami mengangguk dan tersenyum, aku heran kenapa dia terlihat senang juga? Tak lama Darma sudah selesai dan berdiri di sebelahku."Bu, Darma sudah siap!" ujarnya tiba-tiba."Fatimah, mencari dompetnya sama Darma ya! Kenalkan ini anak ibu," kataku sambil mengenalkan mereka.Darma mengulurkan tangannya hendak bersalaman, tapi di sambut Fatimah dengan bersedekap tangan di dada. "Fatimah," ucapnya lembut.Darma pun terkesima melihat
"Maaf Bu. Apa Darma tinggal bersama ibu?""Iya, karena Darma cuma anak satu-satunya saya. Jadi ya daripada tinggal sendiri bagus bersama kami di sini," jawabku jujur.Pria itu terus memandangi rumah, menatap kesana kemari. Aku dan Rami heran tapi ingin bertanya sepertinya tak sopan. Pria itu lalu mengangguk setelah puas menelisik rumah sederhanaku.Tak lama terdengar suara motor berhenti didepan rumah. Aku melongok ternyata Darma sudah pulang, aku segera ke depan setelah permisi pada pria di dalam."Nak, kok udah pulang? Apa udah ketemu dompetnya?" tanyaku sedikit khawatir kalau-kalau dompet Fatimah tak ketemu."Alhamdulillah, udah ketemu. Bu. Tadi ada seorang ibu tua yang berjualan pisang yang menemukannya. Untung ibu itu baik dan mau memulangkan dompet Fatimah. Ibu itu bahkan cerita, menunggu sampai pemilik dompet mencari. Akhirnya Fatimah berterima kasih dan memboyong pisang jualan ibu itu. Ini sebagian diberi untuk
Seminggu setelah Rose resmi bercerai, Rose yang telah berhasil menjual rumah Mamanya segera membeli rumah di dekat sini. Darma yang membantu mencari akhirnya dapat rumah di depan kecamatan perbatasan antar kampung.Kebetulan pemilik rumah juga mau pindah, jadi Rose pun setuju membelinya. Rose sengaja pilih rumah yang tidak terlalu besar. Karena cuma ditempati sendiri, namun perabotan lengkap karena Rose membawa dari rumah Mamanya.Aku dan Fatimah membantu Rose membersihkan rumahnya, pekerjaan akan ringan bila dikerjakan bersama-sama. Darma juga membantu mengangkat dan menggeser perabot yang besar.Sore itu akhirnya pekerjaan selesai, Rose yang dibantu Fatimah memasak lauk dan menggoreng mendoan untuk cemilan. Kami semua makan dengan nikmat, beberapa tetangga juga turut membantu seperti Rami, Ratna dan Mang Asep.Kami juga berkenalan dengan tet
Sudah tiga hari, semenjak Darma dan Fatimah bulan madu, hari ini mereka mengabarkan akan pulang. Aku dan Rose pun sibuk membersihkan rumah agar setelah mereka di rumah merasa nyaman.Selama Rose di rumah, aku mengajarkannya masak. Baru beberapa hari Rose sudah bisa memasak nasi, merebus sayur dan sambal. Masih masak yang ringan dulu dikuasai, Alhamdulillah.Rose pun begitu gembira bisa memasak beberapa lauk, walaupun rasa masih terus diperbaiki tapi lumayanlah. Sengaja hari ini Rose yang masak agar Darma dan Fatimah bisa memberi nilai.Selesai pekerjaan rumah, aku dan Rose duduk santai di teras. Sambil mengobrol, Rose berbicara banyak hal dan meminta pendapatku."Bu, Rose berpikir akan menjual rumah Mama," katanya serius."Loh, kenapa dijual? Nanti setelah menikah kamu bisa tempati lagi," ucapku kaget.
Setelah bertegur sapa dan meminta maaf pada para tetangga, aku menuntun Rose masuk kedalam rumah. Karena kamar cuma dua, jadi Rose tidur dikamar bersamaku.Fatimah membantu membawakan tas Rose ke dalam kamarku. Kamarku selalu bersih dan rapi karena tiap hari disapu Fatimah. Rumah dan halaman juga bersih. Sementara Darma meletakkan rantang di dapur.Aku menyuruh Rose agar beristirahat dulu dikamar sampai pulih kembali. Rose pun menurut dan membaringkan tubuhnya di kasur. Kasur bekas pernikahan mereka dulu, karna Darma dan Fatimah sekarang memakai spring bed.Memastikan Rose tidur, aku baru keluar kamar. Fatimah berada di dapur mencuci piring, mungkin pagi tadi belum sempat mencuci. Aku pun berjalan menghampirinya."Imah, perlu ibu bantu?" tanyaku."Nggak usah, Bu! Udah mau siap, oh Imah bisa minta tolong ibu a
Sudah beberapa jam, semenjak Rose dibius belum sadar juga. Hari sudah malam, berkali-kali perawat masuk mengecek. Perawat mengatakan butuh beberapa jam untuk menghilangkan pengaruh obat bius.Aku pun melaksanakan sholat magrib di samping ranjang Rose, memohon pada Allah SWT atas kesembuhan Rose. Siap sholat, aku mengaji berharap alunan ayat suci bisa masuk meresapi ke kalbu Rose.Benar saja, saat khusyuk mengaji jari tangan Rose mulai bergerak. Diikuti mata yang terbuka, aku pun menghentikan ngaji. Tampak Rose berkedip-kedip, lalu menoleh kesamping."Rose, kamu udah sadar Nak?" tanyaku sambil mengelus bahunya."Ibu?" katanya kaget."Iya, ini ibu. Bagaimana keadaanmu? Mana yang sakit?"Rose menggeleng, kemudian dia terisak menangis. Bahunya berguncang, aku pun menepuk bahunya
Sampai di rumah, kulihat Darma baru saja keluar dari mobil. Aku dan Fatimah menyongsong kedatangan Darma dengan cemas."Gimana, keadaan Rose dan Mamanya?" tanyaku tak sabar.Darma menjatuhkan tubuhnya di kursi, sembari menghela napas. Aku dan Fatimah saling pandang ingin tau."Rose dan Mamanya udah dibawa ke rumah sakit, Bu! Mamanya Rose masuk UGD dan Rose dibius agar tenang karena terus meracau," jelas Darma."Ya, Allah! Sebenarnya ada apa kok Mamanya Rose bisa sampai di tusuk suaminya, Mas?"" tanya Fatimah."Blom diketahui apa motif penusukan itu, karena Rose sebagai saksi pun masih trauma. Jadi blom bisa dimintai keterangan, tunggu sampe Rose sadar dan normal kembali," jawab Darma.Aku hanya menggeleng sedih mendengar cerita Darma. Kasihan Rose, padahal baru saja mereguk kebahagiaan sebagai pengantin baru tapi harus mengalami kejadian mengerikan ini.Wa
Tok, tok, tok,"Imah, bangun Nak! Sudah sore, udah sholat Ashar blom?" panggilku diluar pintu kamar.Tak lama, bunyi pintu terbuka. Muncul wajah Darma yang masih ngantuk. Aku pun terkejut, ternyata Darma udah pulang."Loh, kapan kamu pulang Nak? Kok ibu nggak tau?" tanyaku."Tadi, Bu! Ibu masih tidur jadi Imah bilang nggak usah ganggu ibu jadi Darma istirahat dulu," kata Darma sambil menguap."Ya udah, kamu mandi sana sholat Ashar. Imah udah bangun blom?" tanyaku tersenyum."Blom, Bu! Sepertinya Imah ngantuk berat," ujar Darma sambil melirik istrinya."Iya, dia tadi nyuci banyak. Mau ibu bantuin tapi nggak boleh sama Imah," jelas ku.Lalu Darma keluar setelah mengambil handuk, masuk ke kamar mandi. Aku pun
Kami pun makan dengan suasana hati sedih, lalu terdengar suara orang mengucapkan salam. "Assalamualaikum!"Kami saling berpandangan, siapa yang masih pagi sudah bertamu. Walau dengan keheranan, kami bertiga gegas ke depan."Wa'alaikumussalam!"Saat bertatap muka pada tamu, kami semua terkejut. Beberapa polisi berseragam sudah berdiri di depan pintu, aku yang tidak mengerti ada apa segera bertanya."Maaf, Pak! Ada apa ya bapak-bapak polisi kemari?""Kami ingin membawa saudara Darma ke kantor polisi," jawab salah seorang polisi."Apa? Memangnya kenapa Pak dengan anak saya?" tanyaku shock."Maaf, Bu! Kami bukan menangkap saudara Darma, tapi kami membutuhkannya sebagai saksi!" jelas komandan polisi.Beberapa tetangga juga
Sepulang dari rumah Fatimah, diantar supir tetangga sampailah kami di rumah. Bapak yang mengeluh tidak enak badan segera masuk kamar berbaring. Terlihat wajahnya begitu lelah.Setelah mengganti baju dan membersihkan diri, aku pun membuat wedang jahe dan membawanya ke dalam kamar. Bapak sudah tertidur pulas."Pak, minum dulu wedang nya keburu dingin," kataku sambil mengguncang tubuh bapak lembut.Bapak terbangun walau dengan susah payah, matanya seakan susah untuk dibuka. Aku membantunya bangun dan duduk, dengan pelan menyesap wedang yang sudah hangat.Kemudian bapak minta berbaring lagi. "Bapak capek? Ibu pijetin ya!" kataku yang dibalas anggukannya.Dengan penuh sayang, aku memijat badan bapak. Perlahan mata bapak membuka dan menatap langit-langit. Pandanganya kosong, aku yang sedikit heran mengajak bapak bi
"Saya terima nikahnya Fatimah binti Abdullah, dengan mahar seperangkat alat sholat dibayar tunai!" ucap Darma lancar."Bagaimana, bapak-bapak?" tanya penghulu pada hadirin."Sah!" seru ramai suara hadirin menyatakan ijab qobul itu sah."Alhamdulillah," ucapku senang.Ya, hari ini adalah pernikahan Darma dan Fatimah. Sebelum mengadakan upacara adat temu pengantin, dilakukan akad nikah terlebih dahulu.Fatimah duduk di samping Darma dengan anggun. Balutan kebaya gamis dan mahkota yang menghiasi kepalanya sungguh indah. Kecantikan Fatimah begitu membuat pangling siapapun yang melihat.Bahkan saat Fatimah keluar dari kamar, Darma sampai tak berkedip memandangnya. Aku pun menyenggol lengannya agar Darma bersabar sambil terkekeh.Selesai ijab qob