Darma masih memperhatikan gelas itu, tak ada bekas lipstik. Di dekatkan ke hidung untuk mencium aromanya, tidak juga berbau. Darma jadi penasaran wanita seperti apa dia?
"Kenapa, Nak? Kok dari tadi lihatin gelas terus?" tanyaku heran.
"Nggak apa-apa, Bu," ujar Darma sambil meletakkan gelas di meja.
"Trus, gimana tadi di rumah Mama Rose kok kamu pulang-pulang kesal?"
"Gimana nggak kesal, Bu. Udah berbaik hati Darma mau mengantar koper, sampai sana malah di sindir terus. Darma dikatakan suami yang nggak becus, udah miskin belagu. Andaikan kalo nggak ingat kami udah pisah, pasti udah Darma hajar tuh mulut!" sergahnya marah.
"Ya sudahlah, yang penting kamu nggak lakukan apa-apa. Lebih baik lupakan aja, jalan kamu masih panjang. Ibu yakin kamu pasti bisa mendapatkan istri yang baik dan sholehah kelak," ucapku menyemangatinya.
"Aamiin, Darma juga ingin punya istri seperti ibu yang baik, lembut juga sabar,"
Saat keluar kamar akan memberitahu Fatimah, dia sedang mengobrol dengan Bude Rami. Aduh, jangan sampai jadi gosip nanti. Apa kata orang kalo sampai tau Fatimah datang, sedangkan Darma baru saja cerai."Loh, ada Rami juga disini," kataku begitu keluar rumah."Iya, Mbak. Aku terkejut loh Fatimah bisa kesini, emang kenal dimana Mbak?" tanya Bude Rami terheran-heran."Itu tadi pas mau pulang dari pasar, Fatimah membantu mengantar sampai rumah," jelas ku senang.Rami mengangguk dan tersenyum, aku heran kenapa dia terlihat senang juga? Tak lama Darma sudah selesai dan berdiri di sebelahku."Bu, Darma sudah siap!" ujarnya tiba-tiba."Fatimah, mencari dompetnya sama Darma ya! Kenalkan ini anak ibu," kataku sambil mengenalkan mereka.Darma mengulurkan tangannya hendak bersalaman, tapi di sambut Fatimah dengan bersedekap tangan di dada. "Fatimah," ucapnya lembut.Darma pun terkesima melihat
"Maaf Bu. Apa Darma tinggal bersama ibu?""Iya, karena Darma cuma anak satu-satunya saya. Jadi ya daripada tinggal sendiri bagus bersama kami di sini," jawabku jujur.Pria itu terus memandangi rumah, menatap kesana kemari. Aku dan Rami heran tapi ingin bertanya sepertinya tak sopan. Pria itu lalu mengangguk setelah puas menelisik rumah sederhanaku.Tak lama terdengar suara motor berhenti didepan rumah. Aku melongok ternyata Darma sudah pulang, aku segera ke depan setelah permisi pada pria di dalam."Nak, kok udah pulang? Apa udah ketemu dompetnya?" tanyaku sedikit khawatir kalau-kalau dompet Fatimah tak ketemu."Alhamdulillah, udah ketemu. Bu. Tadi ada seorang ibu tua yang berjualan pisang yang menemukannya. Untung ibu itu baik dan mau memulangkan dompet Fatimah. Ibu itu bahkan cerita, menunggu sampai pemilik dompet mencari. Akhirnya Fatimah berterima kasih dan memboyong pisang jualan ibu itu. Ini sebagian diberi untuk
"Mau, mau Pak! Tapi saya bekerja bagian apa, Pak? Soalnya saya nggak ada pengetahuan dan ilmu," jawab Darma lesu."Kamu nggak usah khawatir, nanti ada yang mengajari. Kamu bekerja sebagai kepala pabrik. Tugasmu hanya mengawasi dan bertanggung jawab atas jalannya pabrik. Kamu juga bisa melaporkan pada saya kalo terjadi masalah pada pabrik," jelas Pak Radit menerangkan.Darma tertegun, dia pasti tak menyangka akan diperkerjakan sebagai kepala pabrik. Darma lalu menatapku meminta persetujuan, aku menyerahkan semua keputusan di tangan Darma."Bapak tau, dirimu orang jujur dan bertanggung jawab. Maka bapak percayakan pabrik padamu. Dulu kepala pabrik telah menggelapkan uang, jadi setelah membayar denda, kepala pabrik itu saya pecat," ujar Pak Radit geram."Tapi Pak, saya merasa takut. Kalo pabrik nanti bermasalah setelah saya menjabat sebagai kepala pabrik," kata Darma masygul."Jangan takut, saya yakin kamu mampu unt
Acara syukuran di adakan keesokan harinya, tak banyak memang yang diundang. Hanya beberapa tetangga dekat saja seperti Rami, Ratna, Sari, Bu Tejo dan Mang Asep."Wah, wah, selamat ya Mbak Ijah. Darma udah jadi Bos," seru Mang Asep."Makasih, Mang. Bukan Bos tapi kepala pabrik," jawabku tersenyum."Sama aja loh, Bu Ijah. Kepala pabrik ya berarti Bos, kan tugasnya hanya ngawasi pabrik," timpal Sari menyambung."Ya udah, terserah kalian aja mau nyebutnya apa. Kami semua minta doanya agar Darma bisa menjalankan tugasnya dengan baik," pintaku."Aamiin," ucap mereka semua serempak.Setelah mereka duduk berkumpul di ruang tamu, dibantu Fatimah aku membawa keluar kue dan nasi beserta lauk pauk lezat. Ya, sengaja aku masak usai mendapat ide kemarin. Aku segan kalo hanya menyediakan kue saja, jadi ingin berbagi sedikit rezeki. Semoga awal yang bagus untuk menjemput rezeki kelak.Saat Fatimah mengh
Darma menyuruh Rose keluar dan bicara di depan. "Sebenarnya apa mau kamu kesini?""Nggak ada, aku hanya ingin lihat keadaan kamu sejak pisah denganku. Pasti Mas tambah susahkan!" ejek Rose."Kalo cuma itu mau kamu, lebih baik kamu pulang sana. Mas nggak ada waktu meladeni kamu," kata Darma kesal sambil menunjuk jalan.Aku yang melihatnya sudah tau pasti Darma menyuruh Rose pergi. Lagian juga kedatangan Rose bukan waktu yang tepat. Hanya membuat malu orang-orang."Si Rose itu memang nggak ada akhlak, sudahlah menjadi mantu selalu bangun kesiangan, males juga gak ada sopan santun lagi. Bagus kalo Darma sudah menceraikannya," ucap Rami yang di jawab anggukan mereka semua."Betul itu, Ram! Kalo Rose yang jadi mantuku udah ku lempar dia dari dulu," timpal Bu Tejo geram.Aku hanya mendengarkan sumpah serapah mereka pada Rose. Aku tak mau berkomentar karena mereka juga melihat sendiri bagaimana kelakuan Rose. Apa
"Gimana ya, Bu! Kalo anak-anak disini mau, Fatimah bersedia. Hanya aja nggak bisa setiap hari datang, karena Fatimah juga ada jadwal ngajar pondok. Paling ada sisa waktu dua hari seminggu, yaitu hari Sabtu dan Minggu," jawab Fatimah galau."Itupun nggak apa-apa, Neng! Daripada anak-anak nggak ngaji sama sekali, Neng juga bisa mengajari mereka sholat nanti."Fatimah mengangguk, terlihat dia sedang memikirkan sesuatu. "Maaf, Bu. Kalo ngajar disini, tempatnya dimana ya?" tanya Fatimah, ternyata sedang memikirkan tempat."Bagaimana kalo di rumah Mbak Ijah aja?" tawar Rami yang membuatku terkejut.Bagaimana tidak terkejut, bisa-bisanya Rami memberi solusi yang tidak ku duga. Rumahku terlalu sederhana, apa anak-anak betah nanti?"Apa bagusnya nggak di mesjid aja?" tanyaku mengasih solusi."Fatimah nggak mau, Bu! Di mesjid terlalu terbuka dan bersinggungan dengan lelaki yang bukan muhrim," jawabnya menolak.
"Apa didepan udah selesai beres-beres nya, Pak?" tanyaku sambil mengelap meja."Sudah, kalo masih ada sisa lauk bawakan untuk Fatimah, Bu!" titah Bapak."Hem, bapak udah mulai perhatian nih sama calon mantu," godaku."Ssttt, jangan keras-keras Bu! Ntar didengar Fatimah, bapak malu," ucap bapak ngeloyor pergi.Aku lalu mengambil rantang dan mengisi nasi serta lauk, hingga empat rantang juga kue tak ketinggalan."Untuk siapa, Bu?" tanya Fatimah saat aku menyodorkan rantang padanya."Ini kamu bawa pulang, untuk orang tuamu.""Nggak usah, Bu! Nanti disini nggak ada lauk," tolaknya halus."Ada, sini liat masih banyak di almari," kataku menarik tangan Fatimah.Selesai semua pekerjaan, Fatimah akan pamit pulang. Memang sudah sore dan mendung bergelayut di atas. Sebelum hujan, Fatimah bergegas pulang.Fatimah menyalami dan mencium tanganku dengan takzim.
Sesuai kesepakatan, Darma akan memulai pekerjaan barunya sebagai kepala pabrik. Aku sudah bangun sedari subuh, menyiapkan sarapan dan bekal untuk di bawa Darma. Walaupun sebagai kepala pabrik, aku menyuruh Darma agar berhemat dulu."Bu, Pak, Darma pamit ya mau berangkat kerja!" ujarnya sambil mencium tangan dengan takzim."Iya, hati-hati dijalan," sahutku."Kerja yang baik-baik, Le. Jangan sombong dan selalu rendah hati," timpal bapak memberi nasehat."Iya Pak, Darma pamit. Assalamualaikum!""Wa'alaikumussalam," jawab kami serempak.Kami mengantar Darma sampai depan pintu. Melihatnya menaiki motor, mendoakan keselamatan dan keberhasilan kerjanya."Alhamdulillah, ya Pak! Sekarang Darma bisa bekerja yang lumayan," ucapku begitu Darma sudah me
Seminggu setelah Rose resmi bercerai, Rose yang telah berhasil menjual rumah Mamanya segera membeli rumah di dekat sini. Darma yang membantu mencari akhirnya dapat rumah di depan kecamatan perbatasan antar kampung.Kebetulan pemilik rumah juga mau pindah, jadi Rose pun setuju membelinya. Rose sengaja pilih rumah yang tidak terlalu besar. Karena cuma ditempati sendiri, namun perabotan lengkap karena Rose membawa dari rumah Mamanya.Aku dan Fatimah membantu Rose membersihkan rumahnya, pekerjaan akan ringan bila dikerjakan bersama-sama. Darma juga membantu mengangkat dan menggeser perabot yang besar.Sore itu akhirnya pekerjaan selesai, Rose yang dibantu Fatimah memasak lauk dan menggoreng mendoan untuk cemilan. Kami semua makan dengan nikmat, beberapa tetangga juga turut membantu seperti Rami, Ratna dan Mang Asep.Kami juga berkenalan dengan tet
Sudah tiga hari, semenjak Darma dan Fatimah bulan madu, hari ini mereka mengabarkan akan pulang. Aku dan Rose pun sibuk membersihkan rumah agar setelah mereka di rumah merasa nyaman.Selama Rose di rumah, aku mengajarkannya masak. Baru beberapa hari Rose sudah bisa memasak nasi, merebus sayur dan sambal. Masih masak yang ringan dulu dikuasai, Alhamdulillah.Rose pun begitu gembira bisa memasak beberapa lauk, walaupun rasa masih terus diperbaiki tapi lumayanlah. Sengaja hari ini Rose yang masak agar Darma dan Fatimah bisa memberi nilai.Selesai pekerjaan rumah, aku dan Rose duduk santai di teras. Sambil mengobrol, Rose berbicara banyak hal dan meminta pendapatku."Bu, Rose berpikir akan menjual rumah Mama," katanya serius."Loh, kenapa dijual? Nanti setelah menikah kamu bisa tempati lagi," ucapku kaget.
Setelah bertegur sapa dan meminta maaf pada para tetangga, aku menuntun Rose masuk kedalam rumah. Karena kamar cuma dua, jadi Rose tidur dikamar bersamaku.Fatimah membantu membawakan tas Rose ke dalam kamarku. Kamarku selalu bersih dan rapi karena tiap hari disapu Fatimah. Rumah dan halaman juga bersih. Sementara Darma meletakkan rantang di dapur.Aku menyuruh Rose agar beristirahat dulu dikamar sampai pulih kembali. Rose pun menurut dan membaringkan tubuhnya di kasur. Kasur bekas pernikahan mereka dulu, karna Darma dan Fatimah sekarang memakai spring bed.Memastikan Rose tidur, aku baru keluar kamar. Fatimah berada di dapur mencuci piring, mungkin pagi tadi belum sempat mencuci. Aku pun berjalan menghampirinya."Imah, perlu ibu bantu?" tanyaku."Nggak usah, Bu! Udah mau siap, oh Imah bisa minta tolong ibu a
Sudah beberapa jam, semenjak Rose dibius belum sadar juga. Hari sudah malam, berkali-kali perawat masuk mengecek. Perawat mengatakan butuh beberapa jam untuk menghilangkan pengaruh obat bius.Aku pun melaksanakan sholat magrib di samping ranjang Rose, memohon pada Allah SWT atas kesembuhan Rose. Siap sholat, aku mengaji berharap alunan ayat suci bisa masuk meresapi ke kalbu Rose.Benar saja, saat khusyuk mengaji jari tangan Rose mulai bergerak. Diikuti mata yang terbuka, aku pun menghentikan ngaji. Tampak Rose berkedip-kedip, lalu menoleh kesamping."Rose, kamu udah sadar Nak?" tanyaku sambil mengelus bahunya."Ibu?" katanya kaget."Iya, ini ibu. Bagaimana keadaanmu? Mana yang sakit?"Rose menggeleng, kemudian dia terisak menangis. Bahunya berguncang, aku pun menepuk bahunya
Sampai di rumah, kulihat Darma baru saja keluar dari mobil. Aku dan Fatimah menyongsong kedatangan Darma dengan cemas."Gimana, keadaan Rose dan Mamanya?" tanyaku tak sabar.Darma menjatuhkan tubuhnya di kursi, sembari menghela napas. Aku dan Fatimah saling pandang ingin tau."Rose dan Mamanya udah dibawa ke rumah sakit, Bu! Mamanya Rose masuk UGD dan Rose dibius agar tenang karena terus meracau," jelas Darma."Ya, Allah! Sebenarnya ada apa kok Mamanya Rose bisa sampai di tusuk suaminya, Mas?"" tanya Fatimah."Blom diketahui apa motif penusukan itu, karena Rose sebagai saksi pun masih trauma. Jadi blom bisa dimintai keterangan, tunggu sampe Rose sadar dan normal kembali," jawab Darma.Aku hanya menggeleng sedih mendengar cerita Darma. Kasihan Rose, padahal baru saja mereguk kebahagiaan sebagai pengantin baru tapi harus mengalami kejadian mengerikan ini.Wa
Tok, tok, tok,"Imah, bangun Nak! Sudah sore, udah sholat Ashar blom?" panggilku diluar pintu kamar.Tak lama, bunyi pintu terbuka. Muncul wajah Darma yang masih ngantuk. Aku pun terkejut, ternyata Darma udah pulang."Loh, kapan kamu pulang Nak? Kok ibu nggak tau?" tanyaku."Tadi, Bu! Ibu masih tidur jadi Imah bilang nggak usah ganggu ibu jadi Darma istirahat dulu," kata Darma sambil menguap."Ya udah, kamu mandi sana sholat Ashar. Imah udah bangun blom?" tanyaku tersenyum."Blom, Bu! Sepertinya Imah ngantuk berat," ujar Darma sambil melirik istrinya."Iya, dia tadi nyuci banyak. Mau ibu bantuin tapi nggak boleh sama Imah," jelas ku.Lalu Darma keluar setelah mengambil handuk, masuk ke kamar mandi. Aku pun
Kami pun makan dengan suasana hati sedih, lalu terdengar suara orang mengucapkan salam. "Assalamualaikum!"Kami saling berpandangan, siapa yang masih pagi sudah bertamu. Walau dengan keheranan, kami bertiga gegas ke depan."Wa'alaikumussalam!"Saat bertatap muka pada tamu, kami semua terkejut. Beberapa polisi berseragam sudah berdiri di depan pintu, aku yang tidak mengerti ada apa segera bertanya."Maaf, Pak! Ada apa ya bapak-bapak polisi kemari?""Kami ingin membawa saudara Darma ke kantor polisi," jawab salah seorang polisi."Apa? Memangnya kenapa Pak dengan anak saya?" tanyaku shock."Maaf, Bu! Kami bukan menangkap saudara Darma, tapi kami membutuhkannya sebagai saksi!" jelas komandan polisi.Beberapa tetangga juga
Sepulang dari rumah Fatimah, diantar supir tetangga sampailah kami di rumah. Bapak yang mengeluh tidak enak badan segera masuk kamar berbaring. Terlihat wajahnya begitu lelah.Setelah mengganti baju dan membersihkan diri, aku pun membuat wedang jahe dan membawanya ke dalam kamar. Bapak sudah tertidur pulas."Pak, minum dulu wedang nya keburu dingin," kataku sambil mengguncang tubuh bapak lembut.Bapak terbangun walau dengan susah payah, matanya seakan susah untuk dibuka. Aku membantunya bangun dan duduk, dengan pelan menyesap wedang yang sudah hangat.Kemudian bapak minta berbaring lagi. "Bapak capek? Ibu pijetin ya!" kataku yang dibalas anggukannya.Dengan penuh sayang, aku memijat badan bapak. Perlahan mata bapak membuka dan menatap langit-langit. Pandanganya kosong, aku yang sedikit heran mengajak bapak bi
"Saya terima nikahnya Fatimah binti Abdullah, dengan mahar seperangkat alat sholat dibayar tunai!" ucap Darma lancar."Bagaimana, bapak-bapak?" tanya penghulu pada hadirin."Sah!" seru ramai suara hadirin menyatakan ijab qobul itu sah."Alhamdulillah," ucapku senang.Ya, hari ini adalah pernikahan Darma dan Fatimah. Sebelum mengadakan upacara adat temu pengantin, dilakukan akad nikah terlebih dahulu.Fatimah duduk di samping Darma dengan anggun. Balutan kebaya gamis dan mahkota yang menghiasi kepalanya sungguh indah. Kecantikan Fatimah begitu membuat pangling siapapun yang melihat.Bahkan saat Fatimah keluar dari kamar, Darma sampai tak berkedip memandangnya. Aku pun menyenggol lengannya agar Darma bersabar sambil terkekeh.Selesai ijab qob