"Ayo Bu, Rose, kita masuk kedalam. Apa Rose mau bantu ibu memasak?"
"Ogah, Rose nggak pintar masak. Biar ibu aja yang masak," ucap Rose menolak.
Aku menatap Ustadzah dan meminta pengertiannya agar Ustadzah Aisyah mau memaklumi.
"Kalo begitu, kamu ikut saya aja. Mau kan?" tawar Ustadzah.
"Kemana?" tanya Rose penasaran.
Tanpa menjawab, Ustadzah menggandeng Rose lalu di bawah masuk ke dalam rumah. Sementara aku menuju dapur dan langsung memasak, melihat semua bahan tersedia aku pun paham. Ustadzah Aisyah ingin aku memasak soto ayam.
Di dapur, aku tidak sendiri. Ada seorang art Ustadzah, usianya masih muda. Art itu hanya di tugaskan untuk membantuku, seperti memotong sayur dan bumbu.
Sibuk di dapur, aku tidak tau apa yang di perbuat Ustadzah Aisyah dengan menantuku. Selama dia tidak membuat masalah, aku pun tenang. Semoga saja di tangan Ustadzah, Rose bisa berubah sedikit demi sedikit.
Saat mengaduk soto yang hampir matang, aku di kejutkan dengan panggilan Ustadzah. Kukira sesuatu yang buruk telah terjadi, aku segera keluar dari dapur dan menuju ruang tengah.
Sesampainya di sana, aku tertegun. Masya Allah, benarkah itu Rose. Wanita muda yang berdiri di depanku ini begitu anggun, memakai gamis dan jelbab besar.
"Gimana Bu Khadijah? Rose cantik kan?" puji Ustadzah Aisyah meminta pendapatku mengenai penampilan Rose.
"Masya Allah, cantik! Rose, kamu lebih cantik memakai gamis dan jelbab," kataku berbinar.
"Cantik apanya sih, Bu? Panas tau nggak!" protes Rose mengibaskan jelbab karena panas.
"Itu karena kamu belum terbiasa Ros, kalo nggak latihan dulu ya!" rayu Ustadzah Aisyah.
"Ogah, sekarang aku buka gamis ini Ustadzah. Aku nggak mau pake lagi, gerah. Lagian ngapain sih di rumah aja pake beginian," cemooh Rose mencibir.
"Ya sudah, nggak apa-apa. Perlahan-lahan aja memakainya. Itu gamis dan jelbab saya kasih buat kamu," kata Ustadzah Aisyah tersenyum.
Rose lalu buru-buru membuka gamis dan jelbab, kemudian mencampakkannya di kursi. Aku cuma terenyuh melihat sikapnya yang tak sopan dan membantunya melipat gamis dan jelbab.
Rose duduk dengan mengibaskan tangannya ke wajah, menyeka keringat yang mungkin kepanasan saat memakai gamis tadi. Aku maklum Rose belum terbiasa, karena hari-harinya cuma memakai baju pendek.
"Rose, kalaupun tidak mau memakai gamis ini nanti saat pengajian pakai kerudung ya!" rayuku.
"Aku mau pulang aja deh, Bu. Bosen banget di sini, lagian untuk apa ikut pengajian. Nggak ada untungnya!" cerca Rose.
"Kalo kamu pulang, ibu nggak ada teman jalan nanti. Kalo tidak mau dengar pengajian, kamu bisa di dapur bantu ibu nanti," kataku masih coba membujuknya.
"Ibu udah mulai bawel lagi, ingat pesan Mamaku. Kalo ibu masih tetap memaksa, lebih baik aku tidak mau lagi keluar rumah untuk seterusnya!" hardik Rose dengan suara keras.
"Sudah, Bu Khadijah nggak usah di paksa lagi. Dan Rose, nggak boleh begitu terhadap ibu. Walaupun dia mertuamu tapi sudah menjadi ibumu, berdosa melawan orang tua," ucap Ustadzah Aisyah menegur Rose.
Rose pun segera melengos pergi sambil menatap tak suka padaku dan Ustadzah Aisyah. Entah dengan cara apalagi aku harus menasehatinya, aku masih berusaha sabar dan lembut tidak mau memakai kekerasan.
'Gusti Allah, bantu aku memberi nasehat pada menantuku itu' gumam ku berdoa dalam hati.
Melihatku terdiam mematung, Ustadzah Aisyah segera menepuk pundak ku. "Sudah Bu Khadijah, sabar ya! Biar saja dia pulang dulu, semoga setelah pulang nanti hatinya telah dingin dari kemarahan."
Aku mengangguk, "Saya minta maaf atas kelakuan menantuku ya Ustadzah!"
"Ya, nggak apa-apa Bu. Saya udah biasa menghadapi orang-orang seperti Rose, bahkan ada yang lebih parah," balas Ustadzah menghiburku.
"Kalo gitu saya lanjutkan memasak ya, Ustadzah. Tinggal masak nasi, apa Ustadzah mau cicipi soto buatan saya?"
"Baiklah, yuk kita ke dapur."
"Gimana, enak nggak Ustadzah?" tanyaku saat soto sudah di cicipi olehnya.
"Masya Allah, mantul Bu. Sedap benar masakan soto ibu," puji Ustadzah Aisyah mengacungkan jempol.
"Alhamdulillah, ternyata Ustadzah suka," kataku bersyukur.
Aku pun melanjutkan memasak yang lain, seperti masak nasi dan goreng bawang serta kerupuk. Sementara Ustadzah Aisyah sibuk menata ruang tamu dan tengah untuk di pake pengajian.
Sudah tengah hari, pengajian di adakan siap Dzuhur. Namun, sebagian hadirin sudah banyak yang datang. Mereka ingin sholat bareng Ustadzah. Aku kagum begitu antusias mereka mengikuti pengajian ini.
Melihat itu, aku jadi teringat Rose. Sedang apa menantuku saat ini, apa dia tidur lagi. Kalo aku tidak di rumah siapa yang akan membangunkannya untuk sholat. Hatiku cemas memikirkannya, semoga saja bapak di rumah mau memberitahu nya bila akan sholat.
Setelah sholat Dzuhur, aku kembali ke dapur. Memeriksa masakan tadi, semua sudah siap terhidang di meja. Namun, tiba-tiba petir menggelegar mengejutkan semua hadirin yang datang.
Mendung datang secara tiba-tiba dan tak diduga. Untung saja hari ini aku tidak ada menjemur pakaian, jadi aku tidak perlu pusing. Karena jika menyuruh Rose pasti tidak akan dikerjakannya.
Pengajian pun dimulai, Ustadzah Aisyah memanggilku agar duduk bergabung ke depan. Masalah dapur di serahkan pada art nya. Ustadzah Aisyah memberikan beberapa ceramah terkait hubungan antara sesama makhluk dengan penciptanya.
Beginilah ceramah yang Ustadzah Aisyah sampaikan :
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan berikanlah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS adz-Dzaariyaat ayat 55)
Ayat ini menjelaskan bahwa peringatan dalam bentuk ayat-ayat al-Quran maupun hadits-hadits yang shahih berupa janji-janji dan ancaman dari Allah akan memberikan manfaat hanya kepada hati orang yang beriman.
Karena orang yang beriman, jika diingatkan dengan ayat-ayat Allah, mereka akan menerimanya dengan sepenuh jiwa dan ketundukan. Mereka tidak akan berlaku bagaikan orang yang tuli dan buta ketika datang peringatan dari Allah:
“dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang yang tuli dan buta” (QS al-Furqan: 73)
Orang yang mendapatkan manfaat dari peringatan adalah orang yang beriman. Sedangkan orang yang tidak mendapat manfaat dari peringatan adalah orang yang tidak beriman, bisa jadi imannya sudah hilang atau kurang imannya. Karena itu, lihatlah keadaanmu. Jika engkau mendengar peringatan dari ayat-ayat Allah apakah engkau menjadi ingat dan takut. Jika demikian, pujilah Allah karena itu menunjukkan bahwa engkau beriman. Namun, jika dengan adanya peringatan hatimu tidak terpengaruh, tetap saja keras, maka janganlah cela kecuali diri sendiri. Hendaknya engkau segera kembali kepada Allah, hingga bisa mendapat manfaat dari pemberian peringatan dengan ayat-ayatNya. Ayat ini juga menunjukkan bahwa semakin kuat keimanan, semakin besar dan agung manfaat yang diterima seseorang ketika mendapatkan peringatan dari ayat-ayat Allah maupun hadits-hadits Rasulullah shollallahu alaihi wasallam.
(disarikan dari transkrip ceramah Syaikh Ibnu Utsaimin dalam menafsirkan surat adz-Dzaariyaat)Hadirin mendengarkan dengan penuh keyakinan dan khidmat. Itu terlihat dari wajah-wajah mereka, bahkan ada juga yang mencatat dibuku isi ceramahnya. Hingga ceramah itu selesai di tutup dengan dzikir dan doa.
Acara berlanjut ke hidangan, Ustadzah Aisyah menyuruh para hadirin untuk makan. Tak lupa juga mengatakan bahwa yang memasak sotonya adalah aku. Banyak para hadirin yang memuji hingga aku pun menjadi malu. Ustadzah Aisyah hanya tersenyum melihatku yang salah tingkah.
Saat asyik makan, tiba-tiba terjadi keributan di luar. "Ada apa ini?" tanya Ustadzah Aisyah keluar.
"Permisi Ustadzah, Bu Ijah nya ada?" tanya Mang Asep celingukan.
"Ada di dalam, ada apa Mang?" tanya Ustadzah Aisyah bergegas memanggilku ke belakang.
"Bu Ijah, di cariin Mang Asep di depan!"
"Ada apa Ustadzah?"
"Nggak tau, coba datangi dulu. Sepertinya dia cemas!" jawab Ustadzah Aisyah.
Aku pun bergegas ke depan dan menghampiri Mang Asep. "Ada apa Mang?"
"Bu Ijah, gawat. Cepat pulang, mantumu ... Ayo ikut saya!" ajak Mang Asep terburu-buru.
Saat asyik makan, tiba-tiba terjadi keributan di luar. "Ada apa ini?" tanya Ustadzah Aisyah keluar."Permisi Ustadzah, Bu Ijah nya ada?" tanya Mang Asep celingukan."Ada di dalam, ada apa Mang?" tanya Ustadzah Aisyah bergegas memanggilku ke belakang."Bu Ijah, di cariin Mang Asep di depan!""Ada apa Ustadzah?""Nggak tau, coba datangi dulu. Sepertinya dia cemas!" jawab Ustadzah Aisyah.Aku pun bergegas ke depan dan menghampiri Mang Asep. "Ada apa Mang?""Bu Ijah, gawat. Cepat pulang, mantumu ... Ayo ikut saya!" ajak Mang Asep terburu-buru."Rose? Kenapa dengan dia, Mang?" tanyaku gelisah."Sudah, kita pulang dulu!" ujar Mang Asep."Ya sudah, saya pamit dulu sama Ustadzah Aisyah!" kataku sembari masuk ke dalam."Ada apa Bu Khadijah?" tanya Ustadzah Aisyah."Sesuatu terjadi pada Rose, entah apa. Saya pulang dulu ya Ustadzah mau lih
Keesokan harinya, aku sengaja masak pagi-pagi untuk dibawa kerumah sakit. Rose pasti ingin masakan ku, karena selama ini aku yang memasak dan Rose tidak pernah mengeluh."Nak, udah siap belum?" tanyaku sambil mengetuk pintu kamar Darma.Tidak ada sahutan dari dalam, aku coba ketuk lagi. Mungkin Darma masih tidur, biasa saat ada Rose di rumah Darma cepat bangun bahkan tanpa perlu aku mengetuk pintu."Darma ... Ayo bangun, anter ibu ke rumah sakit," pintaku.Tak lama pintu terbuka, berdiri Darma yang masih menguap karena ngantuk."H'mm, ada apa Bu? Masih pagi udah banguni Darma?" tanyanya dengan mata masih merem."Anter ibu kerumah sakit, ibu bawakan makanan untuk Rose," jawabku sumringah."Ngapain kesana lagi, Bu? Ntar diusir Mamanya Rose, apa ibu nggak marah?" Darma terlihat malas dan berjalan menuju ranjang dan akan tidur kembali."Kamu kok tidur lagi, Nak? Sudah salat Subuh dulu
"Kamu udah makan Rose? Ini ibu masakan kesukaanmu," kataku sambil membuka rantangan."Taruh aja di situ, aku belum lapar," jawab Rose ketus."Mama kemana, Rose? Dari tadi nggak nampak!" ujar Darma sambil celingukan.Sedari tadi Darma hanya diam memperhatikan aku dan Rose bicara. Sengaja aku minta Darma tidak banyak bicara agar suasana tidak keruh."Mama keluar membeli sarapan," jawab Rose pendek."Ya udah, kita tunggu besan aja trus minta izin untuk membawamu pulang," kataku sambil menutup rantang."Aku nggak mau pulang, Bu. Aku mau di rumah Mama aja, lebih tenang dan nggak berisik ibu ganggu terus," cibir Rose melipat tangannya."Kalo kamu mau di rumah Mamamu, nggak apa-apa Rose. Mungkin kamu bisa cepat sembuh disana," kataku menatap Rose sendu."Pasti cepat sembuh, dong! Kan Mama tidak pernah menyuruh Rose ini itu, jadi Rose bisa tidur sampai lama," ujar Rose senang.
Aku juga tidak rela di hina terus-terusan, aku kasihan melihat Darma. Kulihat Rose hanya diam memperhatikan keributan ini, aku heran dimana perasaannya itu, sama sekali tidak perduli.Darma juga menatap Rose tajam, sepertinya Darma sepemikiran denganku. Darma berjalan mendekati Rose dan berkata tegas."Rose, katakan sekali lagi kamu ikut kami pulang atau ikut Mamamu?" tanya Darma sembari menunjuk dia dan mertuanya."Tentu aja aku ikut Mamaku, dong!" jawab Rose ketus."Baiklah, kalo begitu Bu sekarang ini Darma minta izin," ucap Darma tegas, aku mengerti apa yang mau di ucapkan nya. Itu sesuatu yang akan buat dia berpisah dari Rose, Darma pasti udah mantap hingga dia mesti mengatakannya.Apakah aku harus mengangguk dan memberi izin?Darma masih terus menatap menunggu persetujuanku. Aku masih bimbang dan bergantian menatap Darma dan Rose. Namun, Rose tetap acuh terhadap peringatan Darma."Darma,
Memasuki awal baru pernikahan, Darma dan Rose sungguh berbahagia. Aku dan suamiku juga menaruh harapan pada menantu satu-satunya agar dapat memberikan kontribusinya untuk keluarga kami.Namun, lambat laun sikap dan tingkah Rose semakin membuatku terkejut. Di awal pengantin baru kami memahami bahwa masih wajar manten bangun agak siang. Akan tetapi, Rose terus-terusan bangun siang dan seperti ogah mengurus Darma yang akan berangkat kerja. Ditambah lagi sifatnya yang pemalas dan selalu di kamar.Setiap dinasehati selalu membantah dan marah. Hingga bicara kepadaku dengan suara keras, demi Darma aku selalu bersabar. Memberi arahan dan juga doa agar Rose mau berubah.Tak terasa air mataku menetes, mengingat kejadian dulu. Darma segera menghapus air mataku, "Sudah, Bu. Darma nggak apa-apa. Ibu nggak usah sedih.""Maafkan ibu, Darma. Gegara ibu yang selalu nasehati Rose, rumah tangga kalian hancur," ujarku menggenggam tangan Darma.
"Loh, Darma mau kemana Mbakyu?" tanyanya kepo."Mau kerumah Mamanya Rose," jawabku"Mau pindah kesana ya, Mbak?""Nggak, cuma nganter semua pakaian Rose.""Loh, memang kenapa Mbak?" tanyanya lagi."Darma sudah pisah dengan Rose.""Apa?" kata Rami terkejut."Kenapa Mbakyu, kok bisa sampe pisah?" tanyanya kepo.Aku menghela nafas, patut kah ku ceritakan ini. Takutnya jadi aib dan tersebar seluruh kampung. Namun, kalo tidak ku ceritakan juga khawatir terjadi fitnah, toh akhirnya juga mereka akan tau."Semua udah keputusan Darma, Ram. Sebagai ibu, Mbak juga udah berusaha menasehati Rose. Akan tetapi, Rose tetap aja keras kepala. Jadi, Darma lebih berhak membuat keputusan," jelas ku agar Rami tidak menduga-duga nanti."Maksudnya Mbak, Rose udah nggak mau balik kesini lagi?""Iya, Ram. Apalagi Mamanya Rose terus merongrong, hingga Rose lebih memili
Motor itu di kendarai wanita berjilbab panjang, saat membuka helmnya aku terpana. 'Masya Allah, cantik tenan wanita di depanku ini' aku bergumam dalam hati."Assalamualaikum, Bu!" sapa nya ramah dan tersenyum."Wa'alaikumussalam," jawabku tak menyangka dia akan menyapaku."Sepertinya ibu sudah lama menunggu angkutan, mari saya bantu," ucapnya sambil menenteng belanjaan ku.Aku hanya mengangguk dan memperhatikannya. Sungguh cantik dan lembut, perawakannya juga sesuai. Wanita muda itu terus tersenyum karena terus ku perhatikan. Satu plastik di letakkan di depan, di bawah ada jok untuk barang.Motor merek Scoopy memang sangat cocok untuk di kendarai wanita, juga mudah untuk membawa barang. Satu plastik lagi aku pegang di belakang, agar wanita itu tidak susah."Saya bantu antar ibu kerumah, ya! Dimana rumah ibu?" tanyanya."Rumah ibu di jalan sentosa, Nak!" jawabku tersenyum."Oh ya u
Darma masih memperhatikan gelas itu, tak ada bekas lipstik. Di dekatkan ke hidung untuk mencium aromanya, tidak juga berbau. Darma jadi penasaran wanita seperti apa dia?"Kenapa, Nak? Kok dari tadi lihatin gelas terus?" tanyaku heran."Nggak apa-apa, Bu," ujar Darma sambil meletakkan gelas di meja."Trus, gimana tadi di rumah Mama Rose kok kamu pulang-pulang kesal?""Gimana nggak kesal, Bu. Udah berbaik hati Darma mau mengantar koper, sampai sana malah di sindir terus. Darma dikatakan suami yang nggak becus, udah miskin belagu. Andaikan kalo nggak ingat kami udah pisah, pasti udah Darma hajar tuh mulut!" sergahnya marah."Ya sudahlah, yang penting kamu nggak lakukan apa-apa. Lebih baik lupakan aja, jalan kamu masih panjang. Ibu yakin kamu pasti bisa mendapatkan istri yang baik dan sholehah kelak," ucapku menyemangatinya."Aamiin, Darma juga ingin punya istri seperti ibu yang baik, lembut juga sabar,"
Seminggu setelah Rose resmi bercerai, Rose yang telah berhasil menjual rumah Mamanya segera membeli rumah di dekat sini. Darma yang membantu mencari akhirnya dapat rumah di depan kecamatan perbatasan antar kampung.Kebetulan pemilik rumah juga mau pindah, jadi Rose pun setuju membelinya. Rose sengaja pilih rumah yang tidak terlalu besar. Karena cuma ditempati sendiri, namun perabotan lengkap karena Rose membawa dari rumah Mamanya.Aku dan Fatimah membantu Rose membersihkan rumahnya, pekerjaan akan ringan bila dikerjakan bersama-sama. Darma juga membantu mengangkat dan menggeser perabot yang besar.Sore itu akhirnya pekerjaan selesai, Rose yang dibantu Fatimah memasak lauk dan menggoreng mendoan untuk cemilan. Kami semua makan dengan nikmat, beberapa tetangga juga turut membantu seperti Rami, Ratna dan Mang Asep.Kami juga berkenalan dengan tet
Sudah tiga hari, semenjak Darma dan Fatimah bulan madu, hari ini mereka mengabarkan akan pulang. Aku dan Rose pun sibuk membersihkan rumah agar setelah mereka di rumah merasa nyaman.Selama Rose di rumah, aku mengajarkannya masak. Baru beberapa hari Rose sudah bisa memasak nasi, merebus sayur dan sambal. Masih masak yang ringan dulu dikuasai, Alhamdulillah.Rose pun begitu gembira bisa memasak beberapa lauk, walaupun rasa masih terus diperbaiki tapi lumayanlah. Sengaja hari ini Rose yang masak agar Darma dan Fatimah bisa memberi nilai.Selesai pekerjaan rumah, aku dan Rose duduk santai di teras. Sambil mengobrol, Rose berbicara banyak hal dan meminta pendapatku."Bu, Rose berpikir akan menjual rumah Mama," katanya serius."Loh, kenapa dijual? Nanti setelah menikah kamu bisa tempati lagi," ucapku kaget.
Setelah bertegur sapa dan meminta maaf pada para tetangga, aku menuntun Rose masuk kedalam rumah. Karena kamar cuma dua, jadi Rose tidur dikamar bersamaku.Fatimah membantu membawakan tas Rose ke dalam kamarku. Kamarku selalu bersih dan rapi karena tiap hari disapu Fatimah. Rumah dan halaman juga bersih. Sementara Darma meletakkan rantang di dapur.Aku menyuruh Rose agar beristirahat dulu dikamar sampai pulih kembali. Rose pun menurut dan membaringkan tubuhnya di kasur. Kasur bekas pernikahan mereka dulu, karna Darma dan Fatimah sekarang memakai spring bed.Memastikan Rose tidur, aku baru keluar kamar. Fatimah berada di dapur mencuci piring, mungkin pagi tadi belum sempat mencuci. Aku pun berjalan menghampirinya."Imah, perlu ibu bantu?" tanyaku."Nggak usah, Bu! Udah mau siap, oh Imah bisa minta tolong ibu a
Sudah beberapa jam, semenjak Rose dibius belum sadar juga. Hari sudah malam, berkali-kali perawat masuk mengecek. Perawat mengatakan butuh beberapa jam untuk menghilangkan pengaruh obat bius.Aku pun melaksanakan sholat magrib di samping ranjang Rose, memohon pada Allah SWT atas kesembuhan Rose. Siap sholat, aku mengaji berharap alunan ayat suci bisa masuk meresapi ke kalbu Rose.Benar saja, saat khusyuk mengaji jari tangan Rose mulai bergerak. Diikuti mata yang terbuka, aku pun menghentikan ngaji. Tampak Rose berkedip-kedip, lalu menoleh kesamping."Rose, kamu udah sadar Nak?" tanyaku sambil mengelus bahunya."Ibu?" katanya kaget."Iya, ini ibu. Bagaimana keadaanmu? Mana yang sakit?"Rose menggeleng, kemudian dia terisak menangis. Bahunya berguncang, aku pun menepuk bahunya
Sampai di rumah, kulihat Darma baru saja keluar dari mobil. Aku dan Fatimah menyongsong kedatangan Darma dengan cemas."Gimana, keadaan Rose dan Mamanya?" tanyaku tak sabar.Darma menjatuhkan tubuhnya di kursi, sembari menghela napas. Aku dan Fatimah saling pandang ingin tau."Rose dan Mamanya udah dibawa ke rumah sakit, Bu! Mamanya Rose masuk UGD dan Rose dibius agar tenang karena terus meracau," jelas Darma."Ya, Allah! Sebenarnya ada apa kok Mamanya Rose bisa sampai di tusuk suaminya, Mas?"" tanya Fatimah."Blom diketahui apa motif penusukan itu, karena Rose sebagai saksi pun masih trauma. Jadi blom bisa dimintai keterangan, tunggu sampe Rose sadar dan normal kembali," jawab Darma.Aku hanya menggeleng sedih mendengar cerita Darma. Kasihan Rose, padahal baru saja mereguk kebahagiaan sebagai pengantin baru tapi harus mengalami kejadian mengerikan ini.Wa
Tok, tok, tok,"Imah, bangun Nak! Sudah sore, udah sholat Ashar blom?" panggilku diluar pintu kamar.Tak lama, bunyi pintu terbuka. Muncul wajah Darma yang masih ngantuk. Aku pun terkejut, ternyata Darma udah pulang."Loh, kapan kamu pulang Nak? Kok ibu nggak tau?" tanyaku."Tadi, Bu! Ibu masih tidur jadi Imah bilang nggak usah ganggu ibu jadi Darma istirahat dulu," kata Darma sambil menguap."Ya udah, kamu mandi sana sholat Ashar. Imah udah bangun blom?" tanyaku tersenyum."Blom, Bu! Sepertinya Imah ngantuk berat," ujar Darma sambil melirik istrinya."Iya, dia tadi nyuci banyak. Mau ibu bantuin tapi nggak boleh sama Imah," jelas ku.Lalu Darma keluar setelah mengambil handuk, masuk ke kamar mandi. Aku pun
Kami pun makan dengan suasana hati sedih, lalu terdengar suara orang mengucapkan salam. "Assalamualaikum!"Kami saling berpandangan, siapa yang masih pagi sudah bertamu. Walau dengan keheranan, kami bertiga gegas ke depan."Wa'alaikumussalam!"Saat bertatap muka pada tamu, kami semua terkejut. Beberapa polisi berseragam sudah berdiri di depan pintu, aku yang tidak mengerti ada apa segera bertanya."Maaf, Pak! Ada apa ya bapak-bapak polisi kemari?""Kami ingin membawa saudara Darma ke kantor polisi," jawab salah seorang polisi."Apa? Memangnya kenapa Pak dengan anak saya?" tanyaku shock."Maaf, Bu! Kami bukan menangkap saudara Darma, tapi kami membutuhkannya sebagai saksi!" jelas komandan polisi.Beberapa tetangga juga
Sepulang dari rumah Fatimah, diantar supir tetangga sampailah kami di rumah. Bapak yang mengeluh tidak enak badan segera masuk kamar berbaring. Terlihat wajahnya begitu lelah.Setelah mengganti baju dan membersihkan diri, aku pun membuat wedang jahe dan membawanya ke dalam kamar. Bapak sudah tertidur pulas."Pak, minum dulu wedang nya keburu dingin," kataku sambil mengguncang tubuh bapak lembut.Bapak terbangun walau dengan susah payah, matanya seakan susah untuk dibuka. Aku membantunya bangun dan duduk, dengan pelan menyesap wedang yang sudah hangat.Kemudian bapak minta berbaring lagi. "Bapak capek? Ibu pijetin ya!" kataku yang dibalas anggukannya.Dengan penuh sayang, aku memijat badan bapak. Perlahan mata bapak membuka dan menatap langit-langit. Pandanganya kosong, aku yang sedikit heran mengajak bapak bi
"Saya terima nikahnya Fatimah binti Abdullah, dengan mahar seperangkat alat sholat dibayar tunai!" ucap Darma lancar."Bagaimana, bapak-bapak?" tanya penghulu pada hadirin."Sah!" seru ramai suara hadirin menyatakan ijab qobul itu sah."Alhamdulillah," ucapku senang.Ya, hari ini adalah pernikahan Darma dan Fatimah. Sebelum mengadakan upacara adat temu pengantin, dilakukan akad nikah terlebih dahulu.Fatimah duduk di samping Darma dengan anggun. Balutan kebaya gamis dan mahkota yang menghiasi kepalanya sungguh indah. Kecantikan Fatimah begitu membuat pangling siapapun yang melihat.Bahkan saat Fatimah keluar dari kamar, Darma sampai tak berkedip memandangnya. Aku pun menyenggol lengannya agar Darma bersabar sambil terkekeh.Selesai ijab qob