“Nona Nindy, sebelum kita membicarakan masalah pekerjaan, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan terlebih dahulu.” Ucapan Billy akhirnya memecah keheningan yang sempat melanda keduanya setelah kepergian Pak Edwin.
“Baik, Pak,” ujar Nindy dengan tegas. Sebisa mungkin dia bersikap tenang, meskipun itu sangat sulit baginya, karena ingatan di masa lalu kembali bermunculan saat berada di dekat pria itu.
“Sudah berapa lama kamu bekerja di sini?” Saat Billy melontarkan pertanyaan itu, dia tidak menatap Nindy, melainkan meraih kertas map yang ada di hadapannya. Map itu berisi data diri Nindy.
“Sudah 8 bulan, Pak.”
Sebelumnya, Nindy lama bekerja di Bandung. Sengaja dia memilih bekerja di Surabaya karena ingin semakin menjauh dari tanah kelahirannya.
“Jadi, kamu belum lama bekerja di sini?” Pandangan Billy tertuju pada kertas yang sedang ada di tangannya ketika dia bertanya.
“Iya, Pak.”
"Sebelumnya, kamu bekerja di mana?"
"Di Perusahaan Hakana, Pak."
Pandangan Billy masih fokus pada kertas yang ada di tangannya. “Berkuliah di Jakarta satu tahun, kemudian pindah ke Bandung dan menyelesaikan pendidikan di sana.” Suaranya terdengar pelan. Namun, penuh penekanan. “Ternyata kau bersembunyi di Bandung selama ini.” Billy akhirnya menatap Nindy setelah mengatakan itu.
Dengan susah payah, Nindy menelan salivanya dan meremas kedua tangannya dengan kuat ketika melihat tatapan mengintimidasi dari Billy. “Saya tidak bersembunyi, tapi saya berkuliah di sana, Pak,” ralat Nindy dengan tegas. Dia tidak akan membiarkan Billy menekannya hanya karena dia menjadi atasannya saat ini.
“Tidak bersembunyi.” Billy menunduk sambil mendesis, detik selanjutnya dia mengangkat kepalanya menatap Nindy dengan senyuman sinisnya. “Kalau tujuan kamu ke sana untuk berkuliah, saya ingin tahu, apa alasanmu pindah ke Bandung? Padahal, kamu kuliah di kampus terbaik di Jakarta.”
Nindy meremas sisi roknya. Mencoba untuk tetap terlihat tenang, setelah mendapatkan pertanyaan sulit dari Billy.
Dia tahu kalau Billy saat ini sedang berusaha untuk mempersulitnya. Mungkin dia belum terima dengan keputusan Nindy saat itu, jadi dia berniat untuk membalas dendam padanya. Mungkin harga diri Billy terluka karena dirinya yang memutuskan pria itu, bukan sebaliknya. Nindy rasa Billy tidak terima karena dia berani mencampakkan pria itu.
“Maaf, Pak. Ini adalah ranah pribadi saya, jadi saya tidak bisa memberitahu Bapak alasannya. Saya akan menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan pekerjaan.”
Billy menyandarkan punggungnya di kursi, lalu melipat kedua tangannya di dada dengan wajah angkuhnya setelah meletakkan data diri Nindy. “Siapa bilang ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan?”
Billy menumpukkan kiri di atas kaki kanan, lalu meletakkan kedua tangannya di tangan di pangkuannya sambil menggoyangkan kursi ke kanan dan ke kiri dengan pelan secara berulang.
“Alasan saya menanyakan ini karena saya ingin tahu mengenai kepribadian karyawan saya. Saya harus tahu alasan kepindahan kamu apa. Saya tidak mau memiliki karyawan yang tidak memiliki rasa tanggung jawab.”
“Maksud, Bapak?” tanya Nindy dengan wajah tidak senang.
“Tugas kamu adalah menjawab pertanyaan saya, bukan justru mengajukan pertanyaan pada saya,” ujar Billy dengan tegas.
“Saya pindah karena alasan pribadi, Pak. Untuk detailnya saya tidak bisa memberitahu, Bapak.”
Perlahan rasa hormat Nindy pada Billy mulai berkurang karena sikap pria itu yang dia nilai sangat menyebalkan baginya. Entah apa yang merasuki pria itu, hingga dia menjadi pribadi berbeda.
Bagaimana bisa dia berubah sangat menyebalkan setelah tidak bertemu dengannya selama 6 tahun. Padahal dulu, dia adalah orang yang sangat lembut, perhatian, dan selalu berkata dengan tutur yang baik.
'Aah, kenapa juga aku harus mengingat kembali kenangan masa lalu?'
"Saya harap Bapak bisa mengerti."
Billy terdiam selama beberapa detik, lalu berkata, “Baiklah. Tidak masalah kalau kamu tidak mau memberitahu saya, tapi saya harap kamu bisa bertanggung jawab dengan pekerjaanmu selama bekerja di sini. Jangan sampai kamu meninggalkan kantor ini tanpa alasan yang jelas, disaat kamu memiliki masalah pribadi. Kamu mengerti maksud saya, kan?”
Tentu saja Nindy mengerti, dia bahkan sangat mengerti. Saat ini secara tidak langsung Billy sedang menyindirnya karena dulu tiba-tiba pindah kuliah setelah mereka putus. Mungkin dia takut kalau Nindy akan mengulang hal yang sama, meninggalkan perusahaan dengan alasan pribadi.
“Saya mengerti, Pak.”
“Bagus.” Billy menutup map yang ada tangannya, lalu meletakkan di atas meja. “Ini list dokumen yang harus kamu cari.” Billy pun memberikan secarik kertas pada Nindy. “Pastikan semua dokumen itu harus ada dan lengkap,” tambahnya lagi.
Nindy meraih kertas itu, lalu berkata, “Baik, Pak.”
“Kamu boleh keluar.”
“Kalau begitu, saya permisi, Pak.”
Tidak ada respon apa pun dari Billy, pria itu justru meraih ponselnya dengan wajah acuh tak acuh.
Ketika Nindy akan meraih handle pintu, tiba-tiba Billy menghentikannya. “Saya tunggu paling besok pagi.”
“Besok pagi?" ulang Nindy dengan mata membulat.
“Kenapa? Tidak bisa?”
Tentu saja tidak bisa. Dia memutuhkan waktu yang lama untuk mencari semua laporan tersebut. Apalagi, yang Billy minta berkas 5 tahun terakhir. Nindy tidak tahu di mana semua berkas tersebut disimpan karena dia saja baru bekerja di perusahaan itu 8 bulan.
“Saya butuh waktu lebih, Pak.”
“Baiklah, saya tunggu besok sore."
“Maaf, Pak, tidak bisa. Saya minta waktu paling tidak 5 hari untuk mencari semuanya.”
Billy yang sedang membereskan berkas yang ada di atas mejanya, seketika menatap Nindy setelah mendengar itu. “Saya beri waktu kamu sampai 3 hari. Kalau perlu kamu lembur agar bisa menyelesaikannya tepat waktu.”
“Tapi, Pak—”
“Tidak bantahan.”
Nindy mengepalkan tangannya dengan kuat karena merasa kesal pada Billy.
Bisa-bisanya pria yang pernah dia begitu cintai itu mengerjainya. Dia pikir mencari berkas tersebut mudah? Kalau untuk soft copy-nya mungkin tidak akan sulit, tapi berkas aslinya, dia harus mencarinya di ruangan penyimpanan dokumen dan ada ribuan berkas yang disimpan di sana.
“Kamu tenang saja, lembur kamu akan dibayar dua kali lipat oleh kantor.”
Ini bukan masalah uang, tapi ... ah, sudahlah. Tidak ada gunanya dia berdebat dengan Billy, itu hanya akan membuang waktunya saja.
“Saya usahakan, Pak, tapi saya tidak janji bisa menyelesaikannya tepat waktu. Klau begitu, saya permisi." Nindy mengangguk sopan, lalu keluar berjalan menuju pintu.
Setelah keluar dari ruangan Billy, Nindy kembali ke ruangannya.
Braakkk!
Tanpa sadar, Nindy menutup pintu ruangannya dengan keras, hingga membuat beberapa orang yang ada di ruangan itu terkejut.
“Maaf, gak sengaja,” kata Nindy dengan senyuman kakunya, kemudian berjalan menuju meja kerjanya yang bersebrangan dengan meja kerja Dewi.
“Nin, kenapa?” Dewi bertanya dengan gerakan bibir tanpa mengeluarkan suara ketika Nindy sedang menatap ke arahnya.
Melalui gerakan bibirnya Nindy menjawab, “Lagi kesel.”
“Habis dimarahin, Pak Billy?” tebak Dewi lagi melalui gerakan bibir.
Nindy menjawab sambil mengangguk. “Iya. Bos gila.”
Dewi terkekeh setelah membaca gerakan bibir Nindy yang terlihat sangat kesal pada Billy. “Gilaa, tapi ganteng, kan?” balas Dewi lagi dengan gerakan bibir, kemudian diiringi dengan kekehan kecil. “Mau juga dong dimarahin sama pak bos ganteng.”
Nindy hanya memutar bola matanya dengan malas mendengar candaan Dewi. “Gak waras kamu, Wi.” Setelah mengatakan itu melalui gerakaan bibir, Nindy beranjak dari tempat duduknya.
“Mau ke mana?” tanya Dewi, kali ini dengan suara keras.
“Cari file yang diminta sama bos.”
Usai mengatakan itu, Nindy keluar dari ruangan dan berjalan menuju ruangan menyimpanan dokumen. Ruangan itu berada di lantai dua, tidak jauh dari ruangan Billy. Ruangan tersebut berada di ujung, jadi jika dia akan ke sana, maka dia akan melewati ruangan Billy.
Dengan langkah pelan, Nindy melewati ruangan Billy yang pintunya tertutup. Tepat ketika berada di depan ruangan Billy, dia melirik sekilas ke ruangan tersebut melalui ekor matanya. Dia melihat Billy sedang membaca dokumen dengan serius. Ini pertama kalinya, Nindy melihat wajah serius Billy ketika sedang bekerja.
Sebelum membuka pintu ruangan penyimpanan dokumen, dia menarik napas panjang terlebih dahulu, kemudian menghembuskannya secara perlahan. “Semangat, Nindy.”
Usai mengatakan itu, dia membuka pintu, lalu masuk ke dalam. Tubuhnya mendadak lemas begitu melihat deretan dokumen yang tersimpan di ruangan tersebut. Apalagi, ketika melihat list dokumen yang harus dicari.
“Billy, Brengsek!” umpat Nindy dengan kesal.
“Kamu mengumpat saya?”
“Kamu mengumpat saya?”Nindy langsung membalik tubuhnya dengan cepat saat mendengar suara yang berasal dari belakangnya. Wajahnya seketika memucat saat melihat Billy sudah berdiri di pintu dengan wajah datarnya. Dia terlihat bersandar di pintu dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada, matanya nampak menyorot tajam dirinya.“Tidak, Pak. Sepertinya Bapak salah dengar,” jawab Nindy setelah terdiam selama beberapa detik. Dia menggigit bibir bawahnya dengan wajah tegang, takut Billy akan marah karena dia sudah berani mengumpatnya.“Kamu kira saya tuli?” Melihat aura mengintimidasi yang kuat dari Billy, Nindy pun tidak berkutik untuk membela diri."Saya tidak mengatakan Bapak tuli," jawab Nindy lirih."Lalu?"Belum sempat Nindy menjawab pertanyaan Billy, terdengar suara dari arah belakang Billy.“Permisi, Pak.” Orang yang menginterupsi obrolan keduanya adalah Dewi.“Ada apa?” Billy menoleh pada Dewi dengan ekspresi kesal, merasa sedikit terganggu dengan kedatangan Dewi yang tiba-tiba.
Billy terdiam dengan ekspresi yang sulit ditebak setelah mendapatkan pertanyaan dari Pak Edwin. Sebenarnya, dia masih tidak menyangka kalau dia akan bertemu kembali dengan Nindy setelah sekian lama berpisah. Sudah 6 tahun berlalu dan selama itu, Billy tidak pernah mendengar kabar Nindy lagi, karena setelah keduanya putus, Billy kehilangan jejak mantan kekasihnya itu. Tidak pernah terbayangkan olehnya jika dia akan bertemu lagi dengan Nindy di kantor milik orang tuanya. Padahal, tujuan utama Billy ke kantor cabang di Surabaya adalah untuk menyelidiki kasus penggelapan dana yang dilakukan oleh salah satu karyawan kantornya. "Pak Billy," panggil Pak Edwin ketika melihat Billy tampak sedang melamun."Ya. Bagaimana, Pak?"Pak Edwin pun mengulangi pertanyaan yang sejak tadi belum dijawab oleh Billy.“Tentu saja. Siapa pun yang terlibat dalam kasus penggelapan ini, pasti akan saya proses secara hukum. Tidak ada pengecualian untuk karyawan yang sudah merugikan perusahaan.”Pak Edwin menghela
Nindy pun seketika menoleh ke bangku belakang, di mana Billy berada. Wajah pria itu tampak acuh tak acuh. "Saya di sini aja, Pak," tolak Nindy seraya tersenyum kaku pada Pak Edwin."Kamu di belakang aja. Saya mau ngobrol sama Rudi."Rudi adalah salah satu karyawan yang berasal dari kantor pusat. Pria itulah yang akan mengemudikan mobil Billy.“Baik, Pak.”Terpaksa dia menyetujui permintaan Pak Edwin. Padahal, sejak awal dia sengaja ingin duduk di depan untuk menghindari Billy, nyatanya dia harus duduk bersebelahan dengan mantan kekasihnya itu di belakang. Nasibnya sungguh sial. Semakin dia menghindari Billy, entah mengapa dia justru semakin dekat dengannya.“Kenapa diam aja?” Billy bertanya dengan dingin pada Nindy setelah menurunkan kaca mobil yang tepat berada di sampingnya. "Mau nunggu sampai jam makan siang habis?”“Maaf, Pak.” Nindy segera membuka pintu, lalu bergegas masuk ke dalam mobil. Dia duduk di ujung menempel dengan pintu, sebisa mungkin dia memberikan jarak yang jauh de
Mata Nindy mulai berkaca-kaca, dia sedikit mendongakkan kepala ke atas, mencegah air matanya keluar. Billy tidak boleh melihat kelemahannya. Meskipun kata-kata Billy sangat menyakiti perasaannya, tapi sebisa mungkin dia tetap bersikap biasa. "Baik. Saya akan menyelesaikan pekerjaan saya tanpa bantuan orang lain." Nindy pun langsung berdiri usai mengatakan itu. "Saya sudah selesai. Maaf saya kembali ke kantor lebih dulu."Setelah berpamitan pada Angga dan Pak Edwin, Nindy segera pergi dari sana. Dia tidak mau kalau sampai Billy melihatnya mengeluarkan air mata.Dewi yang merasa iba pun segera menyusul Nindy, dia tidak mungkin membiarkan Nindy kembali ke kantor sendirian. Terlebih, ketika melihat wajah Nindy tampak berubah setelah berdebat dengan Billy.Setibanya di kantor, Nindy langsung mencari berkas dengan wajah yang terlihat masih kesal. Billy sudah membuat moodnya hancur. Meskipun kesal, Nindy tetap berusaha untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Dia akan membuktikan pada Billy k
Tidak ingin Dewi curiga, secepat kilat Nindy berpikir.“It-itu … aku nggak sengaja denger obrolan Pak Edwin sama Pak Billy waktu aku dipanggil ke ruangannya.”“Oohh, aku kira kamu pernah satu kampus sama Pak Billy.”Nindy langsung menggeleng kuat untuk menyanggahnya. Dia sengaja berbohong karena tidak ingin ditanya macam-macam oleh Dewi. “Gak. Aku, kan, kuliah di Bandung, bukan di Jakarta.”“Oh, ya, aku lupa.” Dewi terkekeh, kemudian pandangannya beralih pada Billy yang nampak masih bercengkrama dengan Pak Edwin dan wanita yang Dewi ketahui bernama Sinta.“Kata Pak Edwin, Pak Billy menyelesaikan perdidikan sarjananya di Jakarta, terus ngelanjutin Pascasarjananya di Singapore, habis itu kerja di perusahaan asing di sana.”Nindy pun mengangguk-angguk tanda mengerti. Ternyata Billy menepati ucapannya ketika dia bilang ingin kuliah sampai S2 di Singapura. Dulu, mereka berdua pernah berjanji akan melanjutkan S2 di sana bersama-sama. Namun nyatanya, Nindy hanya menyelesaikan S1 saja dan mem
Nindy meremas kedua sisi laporan tersebut setelah mendengar ucapan menusuk Billy. Dia sadar kalau dia sudah membuat kesalahan, tapi itu bukan sepenuhnya kesalahannya. Billy memberikan waktu yang sangat terbatas padanya. Jadi, dia membuatnya dengan terburu-buru.“Maaf, Pak." “Seharusnya kamu bilang dari awal kalau kamu gak bisa membuat laporan itu. Jadi, saya gak perlu membuang waktu saya yang berharga hanya untuk memeriksa laporan sampah kamu.”Rasanya ada ribuan jarum yang menusuk tepat di hatinya usai mendengar perkataan Billy. “Maaf, Pak.” Suara Nindy terdengar bergetar. Namun, ekspresi wajahnya terlihat biasa.“Perbaiki lagi. Saya tunggu sebelum jam makan siang.”Nindy tidak menjawab, dia bergegas keluar dari sana menuju toilet. Air mata yang sejak tadi dia tahan langsung meleleh begitu tiba di tolilet. Usai membasuh wajahnya, Nindy kembali ke ruangannya untuk memperbaiki laporan tadi. Tepat 10 menit sebelum jam makan siang, Nindy memberikan laporan tersebut pada Billy. Kali ini,
Ditanya seperti itu oleh Angga, mendadak lidah Nindy menjadi kelu. Terlebih ketika mendapatkan lirikan tajam sekilas dari Billy.“Ini kantor, bukan tempat untuk bergosip,” sela Billy, kemudian dia beralih pada Nindy. “Selesaikan cepat pekerjaanmu, setelah itu lanjutkan tugasmu untuk mencari dokumen."Pukul setengah 3 sore, Nindy keluar dari ruangan meeting usai menyelesaikan pekerjaannya. Dia kembali ke ruangannya sebentar, mengambil botol minum, lalu kembali ke ruangan penyimpanan dokumen. Pukul 5 sore semua karyawan meninggalkan kantor, hanya tersisa Nindy, Billy, Angga, Pak Edwin serta 3 orang OB.Nindy masih sibuk mencari berkas. Hanya, tersisa dua hari lagi untuk mengumpulkan semua dokumen tersebut, tapi masih banyak data yang harus dia cari. Waktunya banyak terbuang karena tadi Billy meminta bantuannya. Dia pun memutuskan untuk lembur kembali malam ini. Tidak terasa waktu terus berlalu hingga jam menunjukkan pukul 10 malam. Sebelumnya, dia sudah memberitahu pada OB kalau diriny
“Kamu gak suruh saya masuk?”Nindy tidak langsung menjawab, melainkan berpikir selama beberapa saat. Dia belum pernah membawa tamu pria masuk kecuali Dimas, karena itu dia merasa ragu untuk mempersilahkan Billy masuk ke rumah sewanya. Agak canggung rasanya jika hanya ada mereka berdua di rumah itu, terlebih keduanya tidak memiliki hubungan apa pun.“Kenapa diam? Takut pacar kamu marah?” tanya Billy lagi sambil menelisik wajah Nindy.Nindy menarik senyuman kakunya, lalu berkata, “Maaf, Pak. Saya cuma terkejut Bapak ke sini.”“Kamu yang suruh saya untuk ke sini," ucap Billy dengan wajah datar.Diam-diam Nindy merutuki kebodohannya. Sebenarnya dia tidak benar-benar meminta Billy untuk datang ke rumahnya. Dia mengatakan itu pada Billy agar bosnya itu percaya dengan ucapannya. Dia tidak menduga kalau Billy akan benar-benar datang ke rumahnya.Karena merasa lemas pusing, Nindy memutuskan untuk membiarkan Billy masuk. “Kalau gitu, silah
"Menantu Anda tidak sakit, tapi dia sedang hamil," jawab Dokter wanita itu dengan senyuman tipis. "Hamil?" ulang Amara dengan wajah tercengang. "Maksud Dokter, ada calon cucu saya di perut menantu saya?" Meski dia sudah menduga kalau menantunya hamil, tapi Amara tetap terkejut ketika mendengar langsung berita baik itu dari mulut sang dokter. "Benar sekali." Nindy yang sejak tadi mendengar itu, tampak mengusap perutnya dengan lembut sambil tersenyum bahagia. Bagaimana tidak bahagia, dirinya bisa langsung hamil setelah pulang dari berbulan madu, sementara kakak iparnya belum hamil sampai sekarang. Padahal, dia sangat berharap bisa segera hamil setelah menikah. "Untuk memastikannya, silahkan langsung melakukan pemeriksaan USG dengan Dokter Obgyn." Setelah tiba di rumah sakit, Amara langsung membawa Nindy ke IGD. Sebenarnya, dia sudah curiga sejak awal kalau menantunya sedang hamil setelah putranya bercerita kalau sudah beberapa hari Nindy tidak napsu makan dan pagi tadi mengal
"Sayang, berhenti. Jangan main-main." Billy mencoba memperingatkan Nindy sejak tadi terus memainkan jemari lentiknya di dada bidangnya. Saat ini keduanya sedang berbaring di ranjang dengan posisi Billy bertelanjang dada menghadap ke langit-langit, sementara Nindy sedang berbaring miring menghadap Billy dengan mengenakan pakaian tidur tipis dan seksi "Aku cuma mau pegang, memangnya nggak boleh?" Billy memejamkan mata sambil menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan saat merasakan tangan Nindy semakin turun ke bawah. "Boleh, tapi jangan lama-lama. Nanti kamu menyesal." Nindy mengabaikan peringatan Billy dan semakin berani meraba tubuh sang suami. "Sayang, cukup." Nindy seketika menghentikan gerakan tangannya ketika tiba di otot perut Billy. "Kamu nggak suka aku pegang badan kamu?" Sebisa mungkin Billy berkata dengan pelan agar tidak menyinggung perasaan sang istri. "Nggak, Sayang. Aku suka, tapi ini untuk kebaikan kamu. Kamu sendiri yang rugi kalau terus memancin
"Sayang, kamu berdiri di sana, nanti aku foto," tunjuk Billy pada latar bangunan berwarna putih yang memiliki kubah warna biru. Saat ini keduanya sedang berada di Thira atau lebih dikenal dengan Santorini. Thira atau Santorini adalah pulau vulkanik yang berada di antara Pulau Ios dan Anafi, Yunani. Santorini terletak di Kepulauan Cyclades sekitar 200 km dari daratan Yunani. Di pulau ini, sangat terkenal dengan sejarah gunung meletus serta keindahan bangunan-bangunan putih dan gereja berkubah biru yang berada di pinggir tebing atau di bangun di atas lereng kaldera yang berada di kota Oia. "Aku nggak mau foto sendirian, maunya sama kamu." Ketika mendengar itu, Billy tidak tahan untuk menggodanya. "Sekarang, kayaknya kamu nggak bisa jauh-jauh dari aku, maunya nempel terus. Aku pergi ke mana, selalu aja mau ikut. Kamu begitu, apa karena takut suami kamu diambil orang?" "Jangan ngeledek terus. Cepetan, ke sini atau aku nanti aku foto sama orang lain." "Jangan coba-coba atau aku lempar
"Sayang, ayo kita berenang di bawah," ajak Nindy sambil menghampiri Billy yang sedang duduk bersantai di bawah payung pantai yang berada di pinggir kolam. "Kamu duluan aja, Sayang. Nanti aku nyusul." "Aku nggak mau berenang sendirian." "Aku istirahat sebentar, ya? Aku masih capek." Bagaimana tidak capek, kemarin dia habis menggempur Nindy hingga malam, lalu dia lanjutkan lagi menjelang pagi. Setelah itu, dia menemani Nindy bermain jet ski hingga pukul 9 pagi, kemudian bermain banana boat, parasailing hingga pukul 12 siang. Setelah makan siang, mereka berjalan-jalan di sekitar pulau sampai menjelang pukul 2 siang, kemudian pulang dan berendam bersama sambil menikmati pemandangan di luar. Jika dihitung-hitung, dia hanya beristirahat selama setengah jam. "Sebentar aja Sayang nanti habis berenang kamu bisa istirahat." Nindy meraih tangan Billy dan mencoba untuk menariknya, tapi sang suami tidak bergerak sedikit pun. "Nanti aku nyusul, Sayang. Aku liatin kamu dulu dari sini." "Ya, u
"Bagus banget pemandangannya." Mata Nindy tampak berbinar ketika melihat pemadangan bintang dari tempat tidurnya. Saat ini, dia dan Billy sedang berbaring di ranjang sambil menikmati pemandangan bintang di malam hari. Kebetulan sekali kamar mereka dilengkapi dengan atap kamar yang bisa dibuka tutup secara otomatis menggunakan tombol. "Rasanya aku pengen tinggal di sini terus." Billy yang sedang berbaring miring menghadap sang istri yang sedang tidur terlentang seketika tersenyum. "Nanti kita ke sini lagi kalau aku ada waktu." "Beneran?" tanya Nindy seketika memiringkan tubuhnya ke arah Billy. "Iya, Sayang." Nindy pun tersenyum. "Besok kita mau ke mana lagi?" Seharian ini, mereka sudah melakukan banyak hal. Snorkling, berjalan-jalan, bersepeda di sekitar resort, bermain air di pantai sampai sore hari, kemudian melakukan spa di resort tersebut. Malam harinya, mereka makan malam romantis di gedung utama resort. "Besok istirahat aja di kamar. Sorenya baru kita jalan-jalan
"Sayang, bangun. Ini sudah pagi."Billy sedang duduk di tepi ranjang kembali memberikan kecupan singkat di pipi sang istri yang masih terlelap sejak siang hingga 7 sore hari. Sejak tadi, dia sudah berusaha untuk membangun Nindy dengan memberikan kecupan-kecupan ringan di wajahnya, tapi sang istri tidak terpengaruh sedikit pun.Sore kemarin, mereka baru saja tiba di penginapan Soneva Jani yang terletak di pulau Medhufaru. Nindy yang kelelahan akibat perjalanan jauh langsung tertidur setelah makan malam bersama dengan Billy dan belum terbangun hingga kini. Padahal, dia bilang ingin berenang sambil melihat matahari terbit."Jam berapa ini?" tanya Nindy dengan suara serak.Akhirnya, dia membuka mata setelah dibangun selama kurang lebih 15 menit oleh Billy. Meski sudah terbangun, tapi matanya belum terbuka dengan sempurna."Jam 7 pagi, Sayang," jawab Billy lembut sambil merapihkan anak rambut sang istri yang menutupi sebagian matanya. "Kamu masih ngantuk?"Nindy menggeleng lemah. "Nggak. C
Baru saja Dimas memasuki lift untuk turun ke lantai bawah, tiba-tiba saja ada seorang wanita ambruk di depannya. Sebelum wanita itu sempat terjatuh di lantai, Dimas sudah lebih dulu menangkap tubuh wanita itu dan menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Selain Dimas dan wanita itu, ada seorang pria juga yang berada di dalam lift."Nona, ada apa denganmu?" tanya Dimas sambil menepuk wajah wanita yang sudah menyandarkan kepala di bahunya."Maaf, ini teman saya. Dia lagi sakit. Biar saya yang bawa dia."Pria yang berada satu lift dengan mereka akhir membuka suara setelah pintu lift tertutup.Saat pria itu akan menyentuh wanita itu, Dimas segera mencengkram tangannya dengan tatapan tajam. "Kau mau berbuat apa dengan wanita yang sedang pingsan?"Pria tinggi berkulit sawo matang yang mengaku sebagai teman wanita itu tampak tidak senang mendengar ucapan Dimas. "Dia temanku. Jadi, apa masalahmu?""Bagaimana aku bisa tahu kalau kau memang temannya? Bisa saja kau mengaku-ngaku. Aku tidak bisa membi
"Di mana Nindy?" tanya Angga setelah Billy duduk di kursi depannya.Siang ini Billy bertemu dengan Angga di restoran hotel tempatnya menginap. Di sana jugalah nanti dia akan bertemu dengan teman-temanya yang berasal dari Singapore."Lagi tidur."Angga seketika tersenyum mendengar itu. "Masih jam 10 pagi, tapi dia udah tidur?Sepertinya kau habis menggempurnya habis-habisan semalam sampai membuatnya kelelahan seperti itu."Bukannya marah diolok-olok oleh Angga, Billy justru menanggapi dengan santai, "Nggak ada yang salah dengan itu. Dia udah resmi menjadi istriku.""Tapi, setidaknya tahan dirimu sedikit. Dia pasti lelah setelah melewati resepsi pernikahan yang panjang. Seharusnya, biarkan dia beristirahat dulu sehari, setelah itu kau bisa melakukannya.""Aku nggak bisa menahannya.""Tapi, selama ini kau berhasil menahannya, bahkan sampai 6 tahun. Kau juga tidak pernah terpengaruh dengan Shela yang sudah berkali-kali menggodamu.""Tidak bisa jika Nindy orangnya," jawab Billy santai, "jan
"Sayang, kamu yakin mau sarapan bersama?" tanya Billy sambil menghampiri Nindy yang sedang mengeringkan rambut di depan cermin kamar mandi dengan menggunakan hairdryer."Iya, nggak enak kalau nggak ikut sarapan.""Memangnya kamu bisa jalan?" Billy melingkarkan tangan di perut istrinya sambil menatapnya dari pantulan cermin setelah Nindy mematikan pengering rambut yang ada di tangan kanannya."Bisa, tapi pelan-pelan." Setelah itu, Nindy membalik tubuhnya menghadap Billy."Kalau nggak bisa, jangan dipaksa, Sayang. Lebih baik sarapan di kamar aja. Mereka juga pasti maklum, kita, kan, pengantin baru.""Ini salah kamu. Katanya cuma sebentar, tapi ternyata keterusan."Billy terkekeh pelan melihat wajah cemberut istrinya. "Maaf, Sayang. Kamu tahu sendiri, aku udah menahannya sejak lama. Ini aja aku masih sedikit menahan diri karena kasihan sama kamu.""Menahan diri apanya, kamu jangan bercanda. Badan aku sakit semua karena ulah kamu."Billy kembali terkekeh pelan. Setelah tawanya mereda, dia