“Kamu gak suruh saya masuk?”Nindy tidak langsung menjawab, melainkan berpikir selama beberapa saat. Dia belum pernah membawa tamu pria masuk kecuali Dimas, karena itu dia merasa ragu untuk mempersilahkan Billy masuk ke rumah sewanya. Agak canggung rasanya jika hanya ada mereka berdua di rumah itu, terlebih keduanya tidak memiliki hubungan apa pun.“Kenapa diam? Takut pacar kamu marah?” tanya Billy lagi sambil menelisik wajah Nindy.Nindy menarik senyuman kakunya, lalu berkata, “Maaf, Pak. Saya cuma terkejut Bapak ke sini.”“Kamu yang suruh saya untuk ke sini," ucap Billy dengan wajah datar.Diam-diam Nindy merutuki kebodohannya. Sebenarnya dia tidak benar-benar meminta Billy untuk datang ke rumahnya. Dia mengatakan itu pada Billy agar bosnya itu percaya dengan ucapannya. Dia tidak menduga kalau Billy akan benar-benar datang ke rumahnya.Karena merasa lemas pusing, Nindy memutuskan untuk membiarkan Billy masuk. “Kalau gitu, silah
Tidak ada satu pun orang di ruangan itu. Nindy tampak linglung sesaat, setelah itu memegang wajahnya ketika merasakan sesuatu yang aneh menempel di pipi kirinya.Nindy nampak tertegun selama beberapa detik, sebelum akhirnya melirik ke arah jam yang ada di layar ponselnya. Sudah setengah 9 pagi, tapi tidak ada satu pun orang di ruangannya. Padahal, jam kantor dimulai pukul 8 pagi. Dia ternyata tertidur cukup lama, tapi kenapa tidak ada satu pun orang yang membangunkannya."Kemana perginya semua orang di sini? Apa mereka gak ada yang kerja?" gumam Nindy dalam hati.Nindy kembali membenamkan wajahnya di meja karena masih merasa pusing. Tubuhnya masih panas, Nindy memutuskan untuk beristirahat sebentar lagi. Baru saya akan memejamkan matanya, seseorang masuk ke ruangan. Nindy pun refleks mengangkat kepala dan menatap ke arah pintu. "Udah bangun?" Denis baru saja memasuki ruangan langsung bertanya ketika melihat wajah bingung Nindy."Iyaa, kenapa gak ada orang, Den?"Denis tersenyum, mengh
Saat pertama kali membuka mata, pandangan Nindy langsung tertuju pada langit-langit putih di atas, bersamaan dengan itu tercium aroma disenfektan yang kuat di ruangan itu."Kamu udah sadar?"Nindy seketika menoleh ke samping ketika mendengar suara berat yang sangat dia kenali."Kenapa Bapak ada di sini" Nindy nampak terkejut ketika melihat keberadaan Billy di sampingnya. "Saya yang antar kamu ke sini. Tadi kamu pingsang di dekat ruangan saya."Setelah mendengar itu, Nindy seketika mengedarkan pandangannya ke sekitar, lalu berusaha bangkit dari tidurnya, kemudian meninggikan sandaran kepala. Setelah posisi tubuhnya setengah berbaring, Nindy berusaha untuk mengingat kejadian sebelum pandangannya menggelap. Seingatnya, dia akan ke ruangan Billy sebelum pandangannya menjadi gelap. Saat itu, dia merasakan tubuh tidak lagi seimbang dan serasa melayang. Ternyata, dia pingsan setelah itu. Mungkin Billy menemukannya tergeletak di lantai. Itu sebabnya, pria itu yang mengantarnya ke rumah saki
"Ka-kamu mau apa?" tanya Nindy dengan wajah pucat ketika melihat Billy memajukan tubuhnya.Nindy semakin beringsut ke belakang saat Billy semakin mendekat ke arahnya. Sementara Billy hanya diam sambil membungkukkan tubuhnya ke arah Nindy, hingga wajah mereka berada di jarak yang sangat dekat.Nindy semakin panik. Dengan gugup, dia menahan napasnya ketika merasakan hembusan napas hangat Billy menyapu wajahnya. "Billy, kamu jangan macam-macam."Tepat ketika Nindy mengatakan itu, terdengar bunyi pengait sabuk pengaman dilepas. Nindy seketika menoleh ke arah kanan. Ternyata, hanya membantunya melepas sabuk pengamannya. Ketika menyadari itu, wajah Nindy langsung memerah. Dia pikir tadi Billy ingin ..."Kenapa diam? Gak mau turun?" Suara Billy mengembalikan kesadaran Nindy, seketika itu juga dia sudah mengangkat kepalanya dan melihat Billy sudah berada di posisinya yang semula, namun tatapan masih tertuju padanya."Mau ikut pulang sama saya ke hotel?" lanjut Billy lagi melihat Nindy bergemi
“Diam di sini. Jangan jauh-jauh dari saya.” Tatapan keduanya bertemu dengan jarak yang sangat dekat. Debaran jantung Nindy semakin tidak karuan saat Billy menatapnya dengan lekat. “Saya tidak bisa melihat laporan yang kamu buat kalau kamu duduk jauh dari saya,” tambah Billy lagi, takut Nindy salah mengartikan ucapannya tadi.“Maaf,” ucap dengan wajah memerah. Bisa-bisanya dia merasa salah tingkah hanya karena ucapan Billy tadi. Padahal, Billy sudah menjelaskan mengenai alasan dari tindakannya tadi.Setelah itu, tidak ada percakapan apa pun antara mereka berdua, Nindy sibuk dengan pekerjaannya, sementara Billy sibuk dengan ponselnya. Hanya sesekali dia terlihat mengecek pekerjaan Nindy. Meskipun sejak tadi Nindy terlihat fokus pada pekerjaannya, tapi nyatanya fokusnya terbagi menjadi dua, pada pekerjaannya dan pada pria yang berada di sampingnya. Sedari tadi pria di sampingnya itu terlihat sibuk mengetik sesuatu di layar ponselnya. Bahkan, beberapa kali ponselnya berdering. Namun, t
"Kamu tahu dari mana, Shel?""Dari sepupu aku. Dia kenal dekat sama Billy. Dia juga ikut dalam taruhan itu."Nindy langsung terduduk di atas closet dengan wajah pucat pasi. Sementara suasana diluar menjadi semakin heboh. Keempat yang sedang berada di luar bilik toilet melanjutkan obrolan mereka dengan antusias."Nindy memang cantik, tapi masih banyak lebih cantik dari dia. Lagian, yang suka sama Billy juga banyak dan cantik semua. Gampang banget kalau Billy mau dapatin yang lebih dari Nindy.""Tapi, aku liat Billy perhatian banget sama Nindy. Dia juga selalu bersikap lembut sama Nindy dan gak pernah ngerespon cewek yang suka sama dia. Kayaknya dia memang sayang banget sama Nindy." "Itu cuma topeng aja. Billy gak pernah cinta sama Nindy. Dia itu cuma sandiwara demi dapetin Nindy."Nindy langsung membekap mulutnya dengan kedua tangannya setelah mendengar itu. Air matanya pun jatuh begitu saja tanpa bisa dia cegah.Dia sangat terkejut ketika mendengar perkataan perempuan-perempuan itu.
Melihat Denis menjeda ucapannya, Nindy jadi tidak sabar untuk mendengar kelanjutannya. "Sedang apa?"Denis terdiam sesaat, kemudian menjawab pertanyaan Nindy dengan senyuman yang dibuat-buat, "Aku pernah liat dia mandangi kamu terus waktu di parkiran."Padahal, bukan itu yang ingin Denis beritahukan pada Nindy. Dia tidak ingin memberitahu yang sebenarnya pada Nindy karena ingin memastikan lebih dulu dugaannya apakah benar atau tidak."Aku kira apaan." Nindy menggeser piring miliknya, lalu meminum es jeruknya."Kenapa muka kamu kayak lesu gitu, capek?" tanya Denis ketika melihat Nindy ceria seperti biasanya. Bahkan, dia terlihat tidak bersemangat sejak tadi. "Atau kamu masih sakit?""Gak. Cuma lagi males ngapa-ngapain."Padahal, pikirannya terganggu sejak dia mendengar nama Shela disebut oleh Angga. Nama itu berhasil mengusik ketenangannya. Tidak bisa dipungkiri olehnya kalau dia masih merasakan kekecewaan jika mengingat masa lalu."Kemarin, aku lihat Pak Billy panik waktu liat kamu pi
"Nindy pulang sama saya, Pak." Suara itu adalah suara Billy. "Kami sudah janjian pulang bersama." Nindy membulatkan matanya, lalu melayangkan tatapan tajam pada Billy. Bisa-bisanya pria itu berbohong pada Pak Edwin. Padahal, tidak ada obrolan apa pun di antara mereka sebelum dirinya keluar dari ruangan Billy tadi. "Maaf, Pak Billy. Saya gak tahu. Kalau begitu saya duluan, Pak.." Billy hanya mengangguk sambil berjalan mendekati Nindy. "Nin, saya duluan, ya?" pamit Pak Edwin pada Nindy. "Iya, Pak." Setelah mobil Pak Edwin pergi, Nindy langsung menoleh pada Billy dan memberikan tataoab menusuk pada pria itu. "Kenapa kamu bilang gitu sama Pak Edwin? Gimana kalau dia mikir yang gak-gak sama kita?" Billy tersenyum miring melihat wajah kesal Nindy. "Saya memang mau antar kamu pulang," jawab Billy enteng. "Ada yang mau saya diskusikan sama kamu." "Tapi, saya gak—" "Cepat ikut saya. Saya buru-buru." Kalau saja Billy tidak memiliki pengaruh besar di kantornya, sudah pasti Nindy akan to