"Kenapa berhenti?" tanya Dewi dengan heran sambil menoleh pada Nindy yang nampak mematung di tempat.
Nindy tidak menjawab, tatapannya terus tertuju pada pria tinggi itu, tapi sayangnya pria itu langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil terus berjalan melewatinya.
Wajah pria itu terlihat dingin, tidak ada sedikit pun senyuman di bibirnya ketika mereka bertemu pandang tadi. Bahkan, pria itu terkesan tidak peduli dan acuh tak acuh ketika melewatinya, seolah mereka berdua tidak mengenal satu sama lain. Pria itu adalah Billy Sanjaya, mantan kekasih yang dia putuskan 6 tahun lalu.
"Nin." Dewi menyentuh tangan Nindy saat melihatnya diam saja. Melihat Nindy masih mematung, akhirnya Dewi mengikuti arah pandangan Nindy, baru saat itu dia mengerti apa yang membuat teman kerjanya itu terdiam.
"Gimana? Pak Billy ganteng, kan?" tanya Dewi dengan senyuman genitnya. "Aku, kan, udah aku bilang kalau yang ini beda. Ini beneran ganteng banget."
Nindy buru-buru berjalan ke toilet tanpa menjawab pertanyaan Dewi. Dia segera masuk ke salah satu bilik toilet, lalu menguncinya. Dia langsung terduduk lemas di atas closet dengan jantung yang berpacu dengan cepat.
Setelah sekian lama tidak bertemu, mengapa dia masih berdebar tidak terkendali hanya sekali tatap saja? Perasaan apa ini?
Nindy kira setelah terpisah begitu lama Billy, pria itu tidak akan memberikan pengaruh sedikit pun padanya. Namun, ternyata perasaannya langsung tidak karuan setelah bertemu dengan masa lalunya itu.
"Apa yang dia lakuin di sini?" monolog Nindy dengan lirih.
Bagaimana bisa mereka dipertemukan kembali setelah berpisah sekian lama? Dia sudah berusaha untuk menghindari Billy setelah hubungan mereka berakhir. Dia bahkan rela pindah kuliah ke Bandung, hanya agar tidak bertemu pria itu lagi, tapi kenapa mereka justu dipertemukan di tempat pelariannya?
Salah satu alasan Nindy menerima pekerjaan di Surabaya juga adalah karena Billy. Dia tidak mau kembali ke Jakarta lagi setelah lulus kuliah, maka dari itu dia mau bekerja di tempat yang jauh.
'Kenapa aku harus bertemu sama dia lagi? Bagaimana bisa dia ada di sini? Apa dia berasal dari kantor pusat?'
Nindy pun mulai berpikir keras, beberapa detik kemudian matanya melebar.
'Jangan-jangan dia yang dimaksud oleh Dewi, anak dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja.'
Nindy menggelengkan kepalanya secara tidak sadar.
Sepertinya keputusannya menerima pekerjaan di sana adalah kesalahan besar. Seharusnya dari awal, dia mencari lebih detail mengenai perusahaan yang dia lamar.
Bagaimana bisa dia begitu ceroboh? Seharusnya dia ingat, kalau perusahaan keluarga Billy juga memiliki cabang di luar kota. Bagaimana bisa di melupakan hal penting seperti itu?
Dulu, sebelum menjalin hubungan dengan Billy, Nindy pernah mendengar kalau keluarga Billy memiliki perusahaan lain, selain perusahaan tambang di Kalimantan, tapi dia tidak tahu apa-apa mengenai perusaahaan keluarga Billy itu, termasuk nama perusahaannya. Billy sendiri tidak pernah membahas mengenai perusahaan keluarganya, jadi Nindy juga segan untuk bertanya.
"Nin, kamu lagi ngapain di dalem? Cepat keluar, acara penyambutannya udah mau dimulai!" Dewi berteriak dari luar bilik toilet dengan wajah tidak sabar.
"Iyaa, sebentar." Nindy segera bangkit, merapihkan baju serta rambutnya, kemudian menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan cepat.
"Semangat, Nindy. Kamu pasti bisa. Jangan pedulikan dia. Ingat, dia itu hanya masa lalumu. Kamu harus tunjukkin sama dia kalau hidupmu baik-baik saja setelah putus sama dia. Kamu harus bisa bersikap profesional," monolog Nindy.
Dia sedang mencoba menyemangati dirinya, serta menyiapkan mentalnya sebelum bertemu kembali dengan mantan kekasih yang dulu sangat dia cintai.
Tidak lama setelah Nindy sampai di ruangan lantai 3, masuklah Pak Edwin, Billy, Kepala Audit, serta rombongan lainnya dari kantor pusat.
"Karena semua sudah berkumpul, kita mulai saja acara perkenalannya."
Sebisa mungkin Nindy menampilkan ekspresi tenangnya selama sesi perkenalan orang pusat. Tidak sekali pun, dia berani menatap ke arah Billy, hingga tiba giliran pria itu yang memperkenalkan diri. Mau tidak mau, Nindy harus menatap ke arahnya dan secara kebetulan tatapan mereka bertemu, tapi itu hanya terjadi satu detik, karena Billy langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain setelah itu.
"Perkenalkan, nama saya Billy Sanjaya. Saya yang akan menggantikan posisi Pak Hengky untuk sementara waktu."
Hanya itu saja yang bisa didengar oleh Nindy, tidak ada satu pun perkataan Billy yang masuk ke dalam telinganya setelah itu. Sejak tadi, dia terus memikirkan, bagaimana caranya dia menghadapi Billy ke depannya jika mereka berada di kantor yang sama.
“Nindy?” Suara Pak Edwin membuyarkan lamunan Nindy seketika.
“Yaa, Pak. Ada apa?” tanya Nindy dengan cepat.
“Pak Billy tadi bertanya sama kamu, apa kamu bisa membantunya untuk memberikan data keuangan 5 tahun terakhir?"
Pandangan Nindy pun seketika beralih pada Billy. Pria itu terlihat sedang menatap ke arahnya dengan wajah datar. Namun, dengan sorot mata yang dingin.
“Sepertinya, Nona Nindy sejak tadi tidak mendengarkan apa saja yang sudah saya katakan.”
Nindy menelan salivanya dengan cepat usai mendengar sindiran Billy. “Maaf, Pak.”
Billy memasukkan satu tangannya ke dalam saku, lalu berkata dengan tegas, “Saya paling tidak suka dengan orang yang tidak bisa menghargai orang lain, terlebih lagi tidak bisa fokus saat bekerja.”
Tatapan Billy terarah pada Nindy, otomatis semua yang ada di ruangan itu juga beralih padanya. “Ke depannya, saya tidak mau melihat lagi ada karyawan yang melamun ataupun mengabaikan atasannya saat sedang memberikan arahan ataupun saat bekerja.”
Suasana menjadi hening seketika. Tidak ada yang berani mengeluarkan suara sampai akhirnya Billy kembali membuka suaranya, “Cukup sampai di sini perkenalannya. Kalian boleh kembali bekerja.”
Setelah Billy dan rombongan kantor pusat keluar dari ruangan, Nindy dan yang lainnya pun kembali ke ruangan. Suasana seketika menjadi heboh setelah semua memasuki ruangan mereka. Mereka pun langsung membicarakan Billy dengan antusias.
"Pak Billy ganteng banget, ya?" Dewi berkata dengan mata berbinar penuh kekaguman.
"Iyaa, vibesnya kayak CEO di drama Korea gitu," sahut Nisa.
"Bener banger. Udah ganteng, kaya, badannya bagus. Perfecto sekali," timpal Nuri, wanita berambut sebahu dengan antusias.
"Tapi, Pak Angga ganteng juga kalau dilihat-lihat," sahut Nisa. Angga adalah kepala dari tim audit.
"Ganteng sih, tapi masih gantengan Pak Billy. Masih kalah jauh malah," timpal Desi bersemangat.
"Dua-duanya ganteng. Kalau aku sih, lebih suka Pak Billy. Auranya itu loh ... tegas, berwibawa, terus dingin-dingin gimana gitu," ujar Dewi, masih dengan ekspresi kagum.
"Kira-kira udah punya pacar atau istri belum ya?" tanya Maya.
"Cowok ganteng begitu jarang yang masih single," sahut Nisa.
"Kalau pun single, mana mau sama kita," tambah Desi. "Ngelirik kita aja, dia ogah kayaknya."
"Itu sih enggak berlaku buat aku. Aku sama kalian kan beda kelas," sela Dea penuh percaya diri. "Buktinya, tadi Pak Billy sempat senyum sama aku."
"Dih, kepedean. Situ ngerasa cantik?" Dewi bertanya dengan sinis.
Sejak dulu, Dewi dan Dea memang tidak pernah akur. Mereka sudah terbiasa berdebat untuk hal-hal kecil, seperti saat ini.
"Jelas. Kenyataannya, aku memang lebih cantik dari kalian semua."
Terdengar suara mendesis dari karyawan wanita lain. Nindy sejak tadi hanya diam. Dia tidak ikut berkomentar karena pikirannya sedang tertuju pada sikap Billy yang berpura-pura tidak mengenalnya sejak pertama kali berpapasan tadi.
"Sok cantik," balas Dewi.
"Kalian ngapain sih ribut-ribut? Belum tentu juga Pak Billy suka sama kalian, mendingan kalian kerja daripada berharap sama sesuatu yang mustahil." Pria bernama Denis akhirnya membuka suara karena tidak tahan mendengar perdebatan wanita-wanita yang ada di ruangan itu.
"Bilang aja kamu iri sama Pak Billy karena kalah ganteng." Dea berkata dengan sinis sambil berlalu menuju meja kerjanya.
Denis hanya diam, berdebat dengan Dea tidak akan pernah ada habisnya, jadi memilih untuk mengabaikannya.
"Nindy, ikut saya ke ruangan sebentar." Tiba-tiba saja Pak Edwin sudah berdiri di pintu.
"Baik, Pak." Nindy terpaksa mengikuti Pak Edwin dari belakang. Dia menelan salivanya ketika Pak Edwin berjalan menuju ruangan yang pernah dipakai oleh Pak Hengky.
Saat memasuki ruangan itu, Nindy melihat sudah ada Billy di sana sedang duduk di meja kerja dengan benda pipih yang sedang menempel di telinganya. Pak Edwin pun meminta Nindy untuk duduk di kursi yang ada di hadapan meja kerja Billy sambil menunggunya selesai menelpon.
“Pak Edwin, apakah data yang saya minta tadi sudah disiapkan?” tanya Billy setelah menutup panggilan telponnya.
“Sudah, Pak.”
Pak Edwin bergegas mengambil data yang diminta oleh Billy di lemari penyimpanan yang sudah dia siapkan sejak pagi tadi.
Untuk sementara, Billy akan menggantikan posisi Pak Hengky yang semula memiliki jabatan sebagai Branch Manager.
“Semua data karyawan ada di sini, termasuk milik Pak Hengky, Pak,” ucap Pak Edwin sambil meletakkan setumpuk map di atas meja.
“Baik, saya akan memeriksanya nanti. Pak Edwin boleh keluar.”
“Baik, Pak.”
Tersisa Nindy dan Billy di sana. Jantung Nindy pun seketika berdegup kencang setelah pintu ruangan tertutup. Dia mendadak merasa gugup berada di ruangan berdua saja dengan Billy. Padahal dulu, mereka sering berdua ketika Nindy berkunjung ke apartemen Billy.
“Nona Nindy, sebelum kita membicarakan masalah pekerjaan, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan terlebih dahulu.” Ucapan Billy akhirnya memecah keheningan yang sempat melanda keduanya setelah kepergian Pak Edwin.“Baik, Pak,” ujar Nindy dengan tegas. Sebisa mungkin dia bersikap tenang, meskipun itu sangat sulit baginya, karena ingatan di masa lalu kembali bermunculan saat berada di dekat pria itu.“Sudah berapa lama kamu bekerja di sini?” Saat Billy melontarkan pertanyaan itu, dia tidak menatap Nindy, melainkan meraih kertas map yang ada di hadapannya. Map itu berisi data diri Nindy.“Sudah 8 bulan, Pak.”Sebelumnya, Nindy lama bekerja di Bandung. Sengaja dia memilih bekerja di Surabaya karena ingin semakin menjauh dari tanah kelahirannya.“Jadi, kamu belum lama bekerja di sini?” Pandangan Billy tertuju pada kertas yang sedang ada di tangannya ketika dia bertanya.“Iya, Pak.”"Sebelumnya, kamu bekerja di mana?""Di Perusahaan Hakana, Pak."Pandangan Billy masih fokus pada kertas ya
“Kamu mengumpat saya?”Nindy langsung membalik tubuhnya dengan cepat saat mendengar suara yang berasal dari belakangnya. Wajahnya seketika memucat saat melihat Billy sudah berdiri di pintu dengan wajah datarnya. Dia terlihat bersandar di pintu dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada, matanya nampak menyorot tajam dirinya.“Tidak, Pak. Sepertinya Bapak salah dengar,” jawab Nindy setelah terdiam selama beberapa detik. Dia menggigit bibir bawahnya dengan wajah tegang, takut Billy akan marah karena dia sudah berani mengumpatnya.“Kamu kira saya tuli?” Melihat aura mengintimidasi yang kuat dari Billy, Nindy pun tidak berkutik untuk membela diri."Saya tidak mengatakan Bapak tuli," jawab Nindy lirih."Lalu?"Belum sempat Nindy menjawab pertanyaan Billy, terdengar suara dari arah belakang Billy.“Permisi, Pak.” Orang yang menginterupsi obrolan keduanya adalah Dewi.“Ada apa?” Billy menoleh pada Dewi dengan ekspresi kesal, merasa sedikit terganggu dengan kedatangan Dewi yang tiba-tiba.
Billy terdiam dengan ekspresi yang sulit ditebak setelah mendapatkan pertanyaan dari Pak Edwin. Sebenarnya, dia masih tidak menyangka kalau dia akan bertemu kembali dengan Nindy setelah sekian lama berpisah. Sudah 6 tahun berlalu dan selama itu, Billy tidak pernah mendengar kabar Nindy lagi, karena setelah keduanya putus, Billy kehilangan jejak mantan kekasihnya itu. Tidak pernah terbayangkan olehnya jika dia akan bertemu lagi dengan Nindy di kantor milik orang tuanya. Padahal, tujuan utama Billy ke kantor cabang di Surabaya adalah untuk menyelidiki kasus penggelapan dana yang dilakukan oleh salah satu karyawan kantornya. "Pak Billy," panggil Pak Edwin ketika melihat Billy tampak sedang melamun."Ya. Bagaimana, Pak?"Pak Edwin pun mengulangi pertanyaan yang sejak tadi belum dijawab oleh Billy.“Tentu saja. Siapa pun yang terlibat dalam kasus penggelapan ini, pasti akan saya proses secara hukum. Tidak ada pengecualian untuk karyawan yang sudah merugikan perusahaan.”Pak Edwin menghela
Nindy pun seketika menoleh ke bangku belakang, di mana Billy berada. Wajah pria itu tampak acuh tak acuh. "Saya di sini aja, Pak," tolak Nindy seraya tersenyum kaku pada Pak Edwin."Kamu di belakang aja. Saya mau ngobrol sama Rudi."Rudi adalah salah satu karyawan yang berasal dari kantor pusat. Pria itulah yang akan mengemudikan mobil Billy.“Baik, Pak.”Terpaksa dia menyetujui permintaan Pak Edwin. Padahal, sejak awal dia sengaja ingin duduk di depan untuk menghindari Billy, nyatanya dia harus duduk bersebelahan dengan mantan kekasihnya itu di belakang. Nasibnya sungguh sial. Semakin dia menghindari Billy, entah mengapa dia justru semakin dekat dengannya.“Kenapa diam aja?” Billy bertanya dengan dingin pada Nindy setelah menurunkan kaca mobil yang tepat berada di sampingnya. "Mau nunggu sampai jam makan siang habis?”“Maaf, Pak.” Nindy segera membuka pintu, lalu bergegas masuk ke dalam mobil. Dia duduk di ujung menempel dengan pintu, sebisa mungkin dia memberikan jarak yang jauh de
"Baik. Saya akan menyelesaikan pekerjaan saya tanpa bantuan orang lain." Nindy pun langsung berdiri usai mengatakan itu. "Saya sudah selesai. Maaf saya kembali ke kantor lebih dulu."Setelah berpamitan pada Angga dan Pak Edwin, Nindy segera pergi dari sana. Dia tidak mau kalau sampai Billy melihatnya mengeluarkan air mata.Dewi yang merasa iba pun segera menyusul Nindy, dia tidak mungkin membiarkan Nindy kembali ke kantor sendirian. Terlebih, ketika melihat wajah Nindy tampak berubah setelah berdebat dengan Billy.Setibanya di kantor, Nindy langsung mencari berkas dengan wajah yang terlihat masih kesal. Billy sudah membuat moodnya hancur. Meskipun kesal, Nindy tetap berusaha untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Dia akan membuktikan pada Billy kalau dirinya bisa mengerjakan semuanya tanpa bantuan siapa pun.Dia tahu kalau Billy sengaja ingin menyiksanya. Itu sebabnya, dia melarang semua orang membantunya. Dia tidak akan membiarkan Billy melihat kelemahannya. Semakin Billy ingin menin
Tidak ingin Dewi curiga, secepat kilat Nindy berpikir.“It-itu … aku nggak sengaja denger obrolan Pak Edwin sama Pak Billy waktu aku dipanggil ke ruangannya.”“Oohh, aku kira kamu pernah satu kampus sama Pak Billy.”Nindy langsung menggeleng kuat untuk menyanggahnya. Dia sengaja berbohong karena tidak ingin ditanya macam-macam oleh Dewi. “Gak. Aku, kan, kuliah di Bandung, bukan di Jakarta.”“Oh, ya, aku lupa.” Dewi terkekeh, kemudian pandangannya beralih pada Billy yang nampak masih bercengkrama dengan Pak Edwin dan wanita yang Dewi ketahui bernama Sinta.“Kata Pak Edwin, Pak Billy menyelesaikan perdidikan sarjananya di Jakarta, terus ngelanjutin Pascasarjananya di Singapore, habis itu kerja di perusahaan asing di sana.”Nindy pun mengangguk-angguk tanda mengerti. Ternyata Billy menepati ucapannya ketika dia bilang ingin kuliah sampai S2 di Singapura. Dulu, mereka berdua pernah berjanji akan melanjutkan S2 di sana bersama-sama. Namun nyatanya, Nindy hanya menyelesaikan S1 saja dan mem
Nindy meremas kedua sisi laporan tersebut setelah mendengar ucapan menusuk Billy. Dia sadar kalau dia sudah membuat kesalahan, tapi itu bukan sepenuhnya kesalahannya. Billy memberikan waktu yang sangat terbatas padanya. Jadi, dia membuatnya dengan terburu-buru.“Maaf, Pak." “Seharusnya kamu bilang dari awal kalau kamu gak bisa membuat laporan itu. Jadi, saya gak perlu membuang waktu saya yang berharga hanya untuk memeriksa laporan sampah kamu.”Rasanya ada ribuan jarum yang menusuk tepat di hatinya usai mendengar perkataan Billy. “Maaf, Pak.” Suara Nindy terdengar bergetar. Namun, ekspresi wajahnya terlihat biasa.“Perbaiki lagi. Saya tunggu sebelum jam makan siang.”Nindy tidak menjawab, dia bergegas keluar dari sana menuju toilet. Air mata yang sejak tadi dia tahan langsung meleleh begitu tiba di tolilet. Usai membasuh wajahnya, Nindy kembali ke ruangannya untuk memperbaiki laporan tadi. Tepat 10 menit sebelum jam makan siang, Nindy memberikan laporan tersebut pada Billy. Kali ini,
Ditanya seperti itu oleh Angga, mendadak lidah Nindy menjadi kelu. Terlebih ketika mendapatkan lirikan tajam sekilas dari Billy.“Ini kantor, bukan tempat untuk bergosip,” sela Billy, kemudian dia beralih pada Nindy. “Selesaikan cepat pekerjaanmu, setelah itu lanjutkan tugasmu untuk mencari dokumen."Pukul setengah 3 sore, Nindy keluar dari ruangan meeting usai menyelesaikan pekerjaannya. Dia kembali ke ruangannya sebentar, mengambil botol minum, lalu kembali ke ruangan penyimpanan dokumen. Pukul 5 sore semua karyawan meninggalkan kantor, hanya tersisa Nindy, Billy, Angga, Pak Edwin serta 3 orang OB.Nindy masih sibuk mencari berkas. Hanya, tersisa dua hari lagi untuk mengumpulkan semua dokumen tersebut, tapi masih banyak data yang harus dia cari. Waktunya banyak terbuang karena tadi Billy meminta bantuannya. Dia pun memutuskan untuk lembur kembali malam ini. Tidak terasa waktu terus berlalu hingga jam menunjukkan pukul 10 malam. Sebelumnya, dia sudah memberitahu pada OB kalau diriny