Share

Bab 3 Bertemu Lagi

"Kenapa berhenti?" tanya Dewi dengan heran sambil menoleh pada Nindy yang nampak mematung di tempat.

Nindy tidak menjawab, tatapannya terus tertuju pada pria tinggi itu, tapi sayangnya pria itu langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil terus berjalan melewatinya.

Wajah pria itu terlihat dingin, tidak ada sedikit pun senyuman di bibirnya ketika mereka bertemu pandang tadi. Bahkan, pria itu terkesan tidak peduli dan acuh tak acuh ketika melewatinya, seolah mereka berdua tidak mengenal satu sama lain. Pria itu adalah Billy Sanjaya, mantan kekasih yang dia putuskan 6 tahun lalu.

"Nin." Dewi menyentuh tangan Nindy saat melihatnya diam saja. Melihat Nindy masih mematung, akhirnya Dewi mengikuti arah pandangan Nindy, baru saat itu dia mengerti apa yang membuat teman kerjanya itu terdiam.

"Gimana? Pak Billy ganteng, kan?" tanya Dewi dengan senyuman genitnya. "Aku, kan, udah aku bilang kalau yang ini beda. Ini beneran ganteng banget."

Nindy buru-buru berjalan ke toilet tanpa menjawab pertanyaan Dewi. Dia segera masuk ke salah satu bilik toilet, lalu menguncinya. Dia langsung terduduk lemas di atas closet dengan jantung yang berpacu dengan cepat.

Setelah sekian lama tidak bertemu, mengapa dia masih berdebar tidak terkendali hanya sekali tatap saja? Perasaan apa ini? 

Nindy kira setelah terpisah begitu lama Billy, pria itu tidak akan memberikan pengaruh sedikit pun padanya. Namun, ternyata perasaannya langsung tidak karuan setelah bertemu dengan masa lalunya itu.

"Apa yang dia lakuin di sini?" monolog Nindy dengan lirih.

Bagaimana bisa mereka dipertemukan kembali setelah berpisah sekian lama? Dia sudah berusaha untuk menghindari Billy setelah hubungan mereka berakhir. Dia bahkan rela pindah kuliah ke Bandung, hanya agar tidak bertemu pria itu lagi, tapi kenapa mereka justu dipertemukan di tempat pelariannya?

Salah satu alasan Nindy menerima pekerjaan di Surabaya juga adalah karena Billy. Dia tidak mau kembali ke Jakarta lagi setelah lulus kuliah, maka dari itu dia mau bekerja di tempat yang jauh.

'Kenapa aku harus bertemu sama dia lagi? Bagaimana bisa dia ada di sini? Apa dia berasal dari kantor pusat?'

Nindy pun mulai berpikir keras, beberapa detik kemudian matanya melebar.

'Jangan-jangan dia yang dimaksud oleh Dewi, anak dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja.'

Nindy menggelengkan kepalanya secara tidak sadar.

Sepertinya keputusannya menerima pekerjaan di sana adalah kesalahan besar. Seharusnya dari awal, dia mencari lebih detail mengenai perusahaan yang dia lamar.

Bagaimana bisa dia begitu ceroboh? Seharusnya dia ingat, kalau perusahaan keluarga Billy juga memiliki cabang di luar kota. Bagaimana bisa di melupakan hal penting seperti itu?

Dulu, sebelum menjalin hubungan dengan Billy, Nindy pernah mendengar kalau keluarga Billy memiliki perusahaan lain, selain perusahaan tambang di Kalimantan, tapi dia tidak tahu apa-apa mengenai perusaahaan keluarga Billy itu, termasuk nama perusahaannya. Billy sendiri tidak pernah membahas mengenai perusahaan keluarganya, jadi Nindy juga segan untuk bertanya.

"Nin, kamu lagi ngapain di dalem? Cepat keluar, acara penyambutannya udah mau dimulai!" Dewi berteriak dari luar bilik toilet dengan wajah tidak sabar.

"Iyaa, sebentar." Nindy segera bangkit, merapihkan baju serta rambutnya, kemudian menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan cepat.

"Semangat, Nindy. Kamu pasti bisa. Jangan pedulikan dia. Ingat, dia itu hanya masa lalumu. Kamu harus tunjukkin sama dia kalau hidupmu baik-baik saja setelah putus sama dia. Kamu harus bisa bersikap profesional," monolog Nindy.

Dia sedang mencoba menyemangati dirinya, serta menyiapkan mentalnya sebelum bertemu kembali dengan mantan kekasih yang dulu sangat dia cintai.

Tidak lama setelah Nindy sampai di ruangan lantai 3, masuklah Pak Edwin, Billy, Kepala Audit, serta rombongan lainnya dari kantor pusat.

"Karena semua sudah berkumpul, kita mulai saja acara perkenalannya."

Sebisa mungkin Nindy menampilkan ekspresi tenangnya selama sesi perkenalan orang pusat. Tidak sekali pun, dia berani menatap ke arah Billy, hingga tiba giliran pria itu yang memperkenalkan diri. Mau tidak mau, Nindy harus menatap ke arahnya dan secara kebetulan tatapan mereka bertemu, tapi itu hanya terjadi satu detik, karena Billy langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain setelah itu.

"Perkenalkan, nama saya Billy Sanjaya. Saya yang akan menggantikan posisi Pak Hengky untuk sementara waktu."

Hanya itu saja yang bisa didengar oleh Nindy, tidak ada satu pun perkataan Billy yang masuk ke dalam telinganya setelah itu. Sejak tadi, dia terus memikirkan, bagaimana caranya dia menghadapi Billy ke depannya jika mereka berada di kantor yang sama.

“Nindy?” Suara Pak Edwin membuyarkan lamunan Nindy seketika.

“Yaa, Pak. Ada apa?” tanya Nindy dengan cepat.

“Pak Billy tadi bertanya sama kamu, apa kamu bisa membantunya untuk memberikan data keuangan 5 tahun terakhir?"

Pandangan Nindy pun seketika beralih pada Billy. Pria itu terlihat sedang menatap ke arahnya dengan wajah datar. Namun, dengan sorot mata yang dingin.

“Sepertinya, Nona Nindy sejak tadi tidak mendengarkan apa saja yang sudah saya katakan.”

Nindy menelan salivanya dengan cepat usai mendengar sindiran Billy. “Maaf, Pak.”

Billy memasukkan satu tangannya ke dalam saku, lalu berkata dengan tegas, “Saya paling tidak suka dengan orang yang tidak bisa menghargai orang lain, terlebih lagi tidak bisa fokus saat bekerja.”

Tatapan Billy terarah pada Nindy, otomatis semua yang ada di ruangan itu juga beralih padanya. “Ke depannya, saya tidak mau melihat lagi ada karyawan yang melamun ataupun mengabaikan atasannya saat sedang memberikan arahan ataupun saat bekerja.”

Suasana menjadi hening seketika. Tidak ada yang berani mengeluarkan suara sampai akhirnya Billy kembali membuka suaranya, “Cukup sampai di sini perkenalannya. Kalian boleh kembali bekerja.”

Setelah Billy dan rombongan kantor pusat keluar dari ruangan, Nindy dan yang lainnya pun kembali ke ruangan. Suasana seketika menjadi heboh setelah semua memasuki ruangan mereka. Mereka pun langsung membicarakan Billy dengan antusias.

"Pak Billy ganteng banget, ya?" Dewi berkata dengan mata berbinar penuh kekaguman.

"Iyaa, vibesnya kayak CEO di drama Korea gitu," sahut Nisa.

"Bener banger. Udah ganteng, kaya, badannya bagus. Perfecto sekali," timpal Nuri, wanita berambut sebahu dengan antusias.

"Tapi, Pak Angga ganteng juga kalau dilihat-lihat," sahut Nisa. Angga adalah kepala dari tim audit.

"Ganteng sih, tapi masih gantengan Pak Billy. Masih kalah jauh malah," timpal Desi bersemangat.

"Dua-duanya ganteng. Kalau aku sih, lebih suka Pak Billy. Auranya itu loh ... tegas, berwibawa, terus dingin-dingin gimana gitu," ujar Dewi, masih dengan ekspresi kagum.

"Kira-kira udah punya pacar atau istri belum ya?" tanya Maya.

"Cowok ganteng begitu jarang yang masih single," sahut Nisa.

"Kalau pun single, mana mau sama kita," tambah Desi. "Ngelirik kita aja, dia ogah kayaknya."

"Itu sih enggak berlaku buat aku. Aku sama kalian kan beda kelas," sela Dea penuh percaya diri. "Buktinya, tadi Pak Billy sempat senyum sama aku."

"Dih, kepedean. Situ ngerasa cantik?" Dewi bertanya dengan sinis.

Sejak dulu, Dewi dan Dea memang tidak pernah akur. Mereka sudah terbiasa berdebat untuk hal-hal kecil, seperti saat ini.

"Jelas. Kenyataannya, aku memang lebih cantik dari kalian semua."

Terdengar suara mendesis dari karyawan wanita lain. Nindy sejak tadi hanya diam. Dia tidak ikut berkomentar karena pikirannya sedang tertuju pada sikap Billy yang berpura-pura tidak mengenalnya sejak pertama kali berpapasan tadi.

"Sok cantik," balas Dewi.

"Kalian ngapain sih ribut-ribut? Belum tentu juga Pak Billy suka sama kalian, mendingan kalian kerja daripada berharap sama sesuatu yang mustahil." Pria bernama Denis akhirnya membuka suara karena tidak tahan mendengar perdebatan wanita-wanita yang ada di ruangan itu.

"Bilang aja kamu iri sama Pak Billy karena kalah ganteng." Dea berkata dengan sinis sambil berlalu menuju meja kerjanya.

Denis hanya diam, berdebat dengan Dea tidak akan pernah ada habisnya, jadi memilih untuk mengabaikannya.

"Nindy, ikut saya ke ruangan sebentar." Tiba-tiba saja Pak Edwin sudah berdiri di pintu.

"Baik, Pak." Nindy terpaksa mengikuti Pak Edwin dari belakang. Dia menelan salivanya ketika Pak Edwin berjalan menuju ruangan yang pernah dipakai oleh Pak Hengky.

Saat memasuki ruangan itu, Nindy melihat sudah ada Billy di sana sedang duduk di meja kerja dengan benda pipih yang sedang menempel di telinganya. Pak Edwin pun meminta Nindy untuk duduk di kursi yang ada di hadapan meja kerja Billy sambil menunggunya selesai menelpon.

“Pak Edwin, apakah data yang saya minta tadi sudah disiapkan?” tanya Billy setelah menutup panggilan telponnya.

“Sudah, Pak.”

Pak Edwin bergegas mengambil data yang diminta oleh Billy di lemari penyimpanan yang sudah dia siapkan sejak pagi tadi.

Untuk sementara, Billy akan menggantikan posisi Pak Hengky yang semula memiliki jabatan sebagai Branch Manager.

“Semua data karyawan ada di sini, termasuk milik Pak Hengky, Pak,” ucap Pak Edwin sambil meletakkan setumpuk map di atas meja.

“Baik, saya akan memeriksanya nanti. Pak Edwin boleh keluar.”

“Baik, Pak.”

Tersisa Nindy dan Billy di sana. Jantung Nindy pun seketika berdegup kencang setelah pintu ruangan tertutup. Dia mendadak merasa gugup berada di ruangan berdua saja dengan Billy. Padahal dulu, mereka sering berdua ketika Nindy berkunjung ke apartemen Billy.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nike Florest Sinaga
seru dan menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status