"Kenapa berhenti?" tanya Dewi dengan heran sambil menoleh pada Nindy yang nampak mematung di tempat.
Nindy tidak menjawab, tatapannya terus tertuju pada pria tinggi itu, tapi sayangnya pria itu langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil terus berjalan melewatinya.
Wajah pria itu terlihat dingin, tidak ada sedikit pun senyuman di bibirnya ketika mereka bertemu pandang tadi. Bahkan, pria itu terkesan tidak peduli dan acuh tak acuh ketika melewatinya, seolah mereka berdua tidak mengenal satu sama lain. Pria itu adalah Billy Sanjaya, mantan kekasih yang dia putuskan 6 tahun lalu.
"Nin." Dewi menyentuh tangan Nindy saat melihatnya diam saja. Melihat Nindy masih mematung, akhirnya Dewi mengikuti arah pandangan Nindy, baru saat itu dia mengerti apa yang membuat teman kerjanya itu terdiam.
"Gimana? Pak Billy ganteng, kan?" tanya Dewi dengan senyuman genitnya. "Aku, kan, udah aku bilang kalau yang ini beda. Ini beneran ganteng banget."
Nindy buru-buru berjalan ke toilet tanpa menjawab pertanyaan Dewi. Dia segera masuk ke salah satu bilik toilet, lalu menguncinya. Dia langsung terduduk lemas di atas closet dengan jantung yang berpacu dengan cepat.
Setelah sekian lama tidak bertemu, mengapa dia masih berdebar tidak terkendali hanya sekali tatap saja? Perasaan apa ini?
Nindy kira setelah terpisah begitu lama Billy, pria itu tidak akan memberikan pengaruh sedikit pun padanya. Namun, ternyata perasaannya langsung tidak karuan setelah bertemu dengan masa lalunya itu.
"Apa yang dia lakuin di sini?" monolog Nindy dengan lirih.
Bagaimana bisa mereka dipertemukan kembali setelah berpisah sekian lama? Dia sudah berusaha untuk menghindari Billy setelah hubungan mereka berakhir. Dia bahkan rela pindah kuliah ke Bandung, hanya agar tidak bertemu pria itu lagi, tapi kenapa mereka justu dipertemukan di tempat pelariannya?
Salah satu alasan Nindy menerima pekerjaan di Surabaya juga adalah karena Billy. Dia tidak mau kembali ke Jakarta lagi setelah lulus kuliah, maka dari itu dia mau bekerja di tempat yang jauh.
'Kenapa aku harus bertemu sama dia lagi? Bagaimana bisa dia ada di sini? Apa dia berasal dari kantor pusat?'
Nindy pun mulai berpikir keras, beberapa detik kemudian matanya melebar.
'Jangan-jangan dia yang dimaksud oleh Dewi, anak dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja.'
Nindy menggelengkan kepalanya secara tidak sadar.
Sepertinya keputusannya menerima pekerjaan di sana adalah kesalahan besar. Seharusnya dari awal, dia mencari lebih detail mengenai perusahaan yang dia lamar.
Bagaimana bisa dia begitu ceroboh? Seharusnya dia ingat, kalau perusahaan keluarga Billy juga memiliki cabang di luar kota. Bagaimana bisa di melupakan hal penting seperti itu?
Dulu, sebelum menjalin hubungan dengan Billy, Nindy pernah mendengar kalau keluarga Billy memiliki perusahaan lain, selain perusahaan tambang di Kalimantan, tapi dia tidak tahu apa-apa mengenai perusaahaan keluarga Billy itu, termasuk nama perusahaannya. Billy sendiri tidak pernah membahas mengenai perusahaan keluarganya, jadi Nindy juga segan untuk bertanya.
"Nin, kamu lagi ngapain di dalem? Cepat keluar, acara penyambutannya udah mau dimulai!" Dewi berteriak dari luar bilik toilet dengan wajah tidak sabar.
"Iyaa, sebentar." Nindy segera bangkit, merapihkan baju serta rambutnya, kemudian menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan cepat.
"Semangat, Nindy. Kamu pasti bisa. Jangan pedulikan dia. Ingat, dia itu hanya masa lalumu. Kamu harus tunjukkin sama dia kalau hidupmu baik-baik saja setelah putus sama dia. Kamu harus bisa bersikap profesional," monolog Nindy.
Dia sedang mencoba menyemangati dirinya, serta menyiapkan mentalnya sebelum bertemu kembali dengan mantan kekasih yang dulu sangat dia cintai.
Tidak lama setelah Nindy sampai di ruangan lantai 3, masuklah Pak Edwin, Billy, Kepala Audit, serta rombongan lainnya dari kantor pusat.
"Karena semua sudah berkumpul, kita mulai saja acara perkenalannya."
Sebisa mungkin Nindy menampilkan ekspresi tenangnya selama sesi perkenalan orang pusat. Tidak sekali pun, dia berani menatap ke arah Billy, hingga tiba giliran pria itu yang memperkenalkan diri. Mau tidak mau, Nindy harus menatap ke arahnya dan secara kebetulan tatapan mereka bertemu, tapi itu hanya terjadi satu detik, karena Billy langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain setelah itu.
"Perkenalkan, nama saya Billy Sanjaya. Saya yang akan menggantikan posisi Pak Hengky untuk sementara waktu."
Hanya itu saja yang bisa didengar oleh Nindy, tidak ada satu pun perkataan Billy yang masuk ke dalam telinganya setelah itu. Sejak tadi, dia terus memikirkan, bagaimana caranya dia menghadapi Billy ke depannya jika mereka berada di kantor yang sama.
“Nindy?” Suara Pak Edwin membuyarkan lamunan Nindy seketika.
“Yaa, Pak. Ada apa?” tanya Nindy dengan cepat.
“Pak Billy tadi bertanya sama kamu, apa kamu bisa membantunya untuk memberikan data keuangan 5 tahun terakhir?"
Pandangan Nindy pun seketika beralih pada Billy. Pria itu terlihat sedang menatap ke arahnya dengan wajah datar. Namun, dengan sorot mata yang dingin.
“Sepertinya, Nona Nindy sejak tadi tidak mendengarkan apa saja yang sudah saya katakan.”
Nindy menelan salivanya dengan cepat usai mendengar sindiran Billy. “Maaf, Pak.”
Billy memasukkan satu tangannya ke dalam saku, lalu berkata dengan tegas, “Saya paling tidak suka dengan orang yang tidak bisa menghargai orang lain, terlebih lagi tidak bisa fokus saat bekerja.”
Tatapan Billy terarah pada Nindy, otomatis semua yang ada di ruangan itu juga beralih padanya. “Ke depannya, saya tidak mau melihat lagi ada karyawan yang melamun ataupun mengabaikan atasannya saat sedang memberikan arahan ataupun saat bekerja.”
Suasana menjadi hening seketika. Tidak ada yang berani mengeluarkan suara sampai akhirnya Billy kembali membuka suaranya, “Cukup sampai di sini perkenalannya. Kalian boleh kembali bekerja.”
Setelah Billy dan rombongan kantor pusat keluar dari ruangan, Nindy dan yang lainnya pun kembali ke ruangan. Suasana seketika menjadi heboh setelah semua memasuki ruangan mereka. Mereka pun langsung membicarakan Billy dengan antusias.
"Pak Billy ganteng banget, ya?" Dewi berkata dengan mata berbinar penuh kekaguman.
"Iyaa, vibesnya kayak CEO di drama Korea gitu," sahut Nisa.
"Bener banger. Udah ganteng, kaya, badannya bagus. Perfecto sekali," timpal Nuri, wanita berambut sebahu dengan antusias.
"Tapi, Pak Angga ganteng juga kalau dilihat-lihat," sahut Nisa. Angga adalah kepala dari tim audit.
"Ganteng sih, tapi masih gantengan Pak Billy. Masih kalah jauh malah," timpal Desi bersemangat.
"Dua-duanya ganteng. Kalau aku sih, lebih suka Pak Billy. Auranya itu loh ... tegas, berwibawa, terus dingin-dingin gimana gitu," ujar Dewi, masih dengan ekspresi kagum.
"Kira-kira udah punya pacar atau istri belum ya?" tanya Maya.
"Cowok ganteng begitu jarang yang masih single," sahut Nisa.
"Kalau pun single, mana mau sama kita," tambah Desi. "Ngelirik kita aja, dia ogah kayaknya."
"Itu sih enggak berlaku buat aku. Aku sama kalian kan beda kelas," sela Dea penuh percaya diri. "Buktinya, tadi Pak Billy sempat senyum sama aku."
"Dih, kepedean. Situ ngerasa cantik?" Dewi bertanya dengan sinis.
Sejak dulu, Dewi dan Dea memang tidak pernah akur. Mereka sudah terbiasa berdebat untuk hal-hal kecil, seperti saat ini.
"Jelas. Kenyataannya, aku memang lebih cantik dari kalian semua."
Terdengar suara mendesis dari karyawan wanita lain. Nindy sejak tadi hanya diam. Dia tidak ikut berkomentar karena pikirannya sedang tertuju pada sikap Billy yang berpura-pura tidak mengenalnya sejak pertama kali berpapasan tadi.
"Sok cantik," balas Dewi.
"Kalian ngapain sih ribut-ribut? Belum tentu juga Pak Billy suka sama kalian, mendingan kalian kerja daripada berharap sama sesuatu yang mustahil." Pria bernama Denis akhirnya membuka suara karena tidak tahan mendengar perdebatan wanita-wanita yang ada di ruangan itu.
"Bilang aja kamu iri sama Pak Billy karena kalah ganteng." Dea berkata dengan sinis sambil berlalu menuju meja kerjanya.
Denis hanya diam, berdebat dengan Dea tidak akan pernah ada habisnya, jadi memilih untuk mengabaikannya.
"Nindy, ikut saya ke ruangan sebentar." Tiba-tiba saja Pak Edwin sudah berdiri di pintu.
"Baik, Pak." Nindy terpaksa mengikuti Pak Edwin dari belakang. Dia menelan salivanya ketika Pak Edwin berjalan menuju ruangan yang pernah dipakai oleh Pak Hengky.
Saat memasuki ruangan itu, Nindy melihat sudah ada Billy di sana sedang duduk di meja kerja dengan benda pipih yang sedang menempel di telinganya. Pak Edwin pun meminta Nindy untuk duduk di kursi yang ada di hadapan meja kerja Billy sambil menunggunya selesai menelpon.
“Pak Edwin, apakah data yang saya minta tadi sudah disiapkan?” tanya Billy setelah menutup panggilan telponnya.
“Sudah, Pak.”
Pak Edwin bergegas mengambil data yang diminta oleh Billy di lemari penyimpanan yang sudah dia siapkan sejak pagi tadi.
Untuk sementara, Billy akan menggantikan posisi Pak Hengky yang semula memiliki jabatan sebagai Branch Manager.
“Semua data karyawan ada di sini, termasuk milik Pak Hengky, Pak,” ucap Pak Edwin sambil meletakkan setumpuk map di atas meja.
“Baik, saya akan memeriksanya nanti. Pak Edwin boleh keluar.”
“Baik, Pak.”
Tersisa Nindy dan Billy di sana. Jantung Nindy pun seketika berdegup kencang setelah pintu ruangan tertutup. Dia mendadak merasa gugup berada di ruangan berdua saja dengan Billy. Padahal dulu, mereka sering berdua ketika Nindy berkunjung ke apartemen Billy.
“Nona Nindy, sebelum kita membicarakan masalah pekerjaan, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan terlebih dahulu.” Ucapan Billy akhirnya memecah keheningan yang sempat melanda keduanya setelah kepergian Pak Edwin.“Baik, Pak,” ujar Nindy dengan tegas. Sebisa mungkin dia bersikap tenang, meskipun itu sangat sulit baginya, karena ingatan di masa lalu kembali bermunculan saat berada di dekat pria itu.“Sudah berapa lama kamu bekerja di sini?” Saat Billy melontarkan pertanyaan itu, dia tidak menatap Nindy, melainkan meraih kertas map yang ada di hadapannya. Map itu berisi data diri Nindy.“Sudah 8 bulan, Pak.”Sebelumnya, Nindy lama bekerja di Bandung. Sengaja dia memilih bekerja di Surabaya karena ingin semakin menjauh dari tanah kelahirannya.“Jadi, kamu belum lama bekerja di sini?” Pandangan Billy tertuju pada kertas yang sedang ada di tangannya ketika dia bertanya.“Iya, Pak.”"Sebelumnya, kamu bekerja di mana?""Di Perusahaan Hakana, Pak."Pandangan Billy masih fokus pada kertas ya
“Kamu mengumpat saya?”Nindy langsung membalik tubuhnya dengan cepat saat mendengar suara yang berasal dari belakangnya. Wajahnya seketika memucat saat melihat Billy sudah berdiri di pintu dengan wajah datarnya. Dia terlihat bersandar di pintu dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada, matanya nampak menyorot tajam dirinya.“Tidak, Pak. Sepertinya Bapak salah dengar,” jawab Nindy setelah terdiam selama beberapa detik. Dia menggigit bibir bawahnya dengan wajah tegang, takut Billy akan marah karena dia sudah berani mengumpatnya.“Kamu kira saya tuli?” Melihat aura mengintimidasi yang kuat dari Billy, Nindy pun tidak berkutik untuk membela diri."Saya tidak mengatakan Bapak tuli," jawab Nindy lirih."Lalu?"Belum sempat Nindy menjawab pertanyaan Billy, terdengar suara dari arah belakang Billy.“Permisi, Pak.” Orang yang menginterupsi obrolan keduanya adalah Dewi.“Ada apa?” Billy menoleh pada Dewi dengan ekspresi kesal, merasa sedikit terganggu dengan kedatangan Dewi yang tiba-tiba.
Billy terdiam dengan ekspresi yang sulit ditebak setelah mendapatkan pertanyaan dari Pak Edwin. Sebenarnya, dia masih tidak menyangka kalau dia akan bertemu kembali dengan Nindy setelah sekian lama berpisah. Sudah 6 tahun berlalu dan selama itu, Billy tidak pernah mendengar kabar Nindy lagi, karena setelah keduanya putus, Billy kehilangan jejak mantan kekasihnya itu. Tidak pernah terbayangkan olehnya jika dia akan bertemu lagi dengan Nindy di kantor milik orang tuanya. Padahal, tujuan utama Billy ke kantor cabang di Surabaya adalah untuk menyelidiki kasus penggelapan dana yang dilakukan oleh salah satu karyawan kantornya. "Pak Billy," panggil Pak Edwin ketika melihat Billy tampak sedang melamun."Ya. Bagaimana, Pak?"Pak Edwin pun mengulangi pertanyaan yang sejak tadi belum dijawab oleh Billy.“Tentu saja. Siapa pun yang terlibat dalam kasus penggelapan ini, pasti akan saya proses secara hukum. Tidak ada pengecualian untuk karyawan yang sudah merugikan perusahaan.”Pak Edwin menghela
Nindy pun seketika menoleh ke bangku belakang, di mana Billy berada. Wajah pria itu tampak acuh tak acuh. "Saya di sini aja, Pak," tolak Nindy seraya tersenyum kaku pada Pak Edwin."Kamu di belakang aja. Saya mau ngobrol sama Rudi."Rudi adalah salah satu karyawan yang berasal dari kantor pusat. Pria itulah yang akan mengemudikan mobil Billy.“Baik, Pak.”Terpaksa dia menyetujui permintaan Pak Edwin. Padahal, sejak awal dia sengaja ingin duduk di depan untuk menghindari Billy, nyatanya dia harus duduk bersebelahan dengan mantan kekasihnya itu di belakang. Nasibnya sungguh sial. Semakin dia menghindari Billy, entah mengapa dia justru semakin dekat dengannya.“Kenapa diam aja?” Billy bertanya dengan dingin pada Nindy setelah menurunkan kaca mobil yang tepat berada di sampingnya. "Mau nunggu sampai jam makan siang habis?”“Maaf, Pak.” Nindy segera membuka pintu, lalu bergegas masuk ke dalam mobil. Dia duduk di ujung menempel dengan pintu, sebisa mungkin dia memberikan jarak yang jauh de
Mata Nindy mulai berkaca-kaca, dia sedikit mendongakkan kepala ke atas, mencegah air matanya keluar. Billy tidak boleh melihat kelemahannya. Meskipun kata-kata Billy sangat menyakiti perasaannya, tapi sebisa mungkin dia tetap bersikap biasa. "Baik. Saya akan menyelesaikan pekerjaan saya tanpa bantuan orang lain." Nindy pun langsung berdiri usai mengatakan itu. "Saya sudah selesai. Maaf saya kembali ke kantor lebih dulu."Setelah berpamitan pada Angga dan Pak Edwin, Nindy segera pergi dari sana. Dia tidak mau kalau sampai Billy melihatnya mengeluarkan air mata.Dewi yang merasa iba pun segera menyusul Nindy, dia tidak mungkin membiarkan Nindy kembali ke kantor sendirian. Terlebih, ketika melihat wajah Nindy tampak berubah setelah berdebat dengan Billy.Setibanya di kantor, Nindy langsung mencari berkas dengan wajah yang terlihat masih kesal. Billy sudah membuat moodnya hancur. Meskipun kesal, Nindy tetap berusaha untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Dia akan membuktikan pada Billy k
Tidak ingin Dewi curiga, secepat kilat Nindy berpikir.“It-itu … aku nggak sengaja denger obrolan Pak Edwin sama Pak Billy waktu aku dipanggil ke ruangannya.”“Oohh, aku kira kamu pernah satu kampus sama Pak Billy.”Nindy langsung menggeleng kuat untuk menyanggahnya. Dia sengaja berbohong karena tidak ingin ditanya macam-macam oleh Dewi. “Gak. Aku, kan, kuliah di Bandung, bukan di Jakarta.”“Oh, ya, aku lupa.” Dewi terkekeh, kemudian pandangannya beralih pada Billy yang nampak masih bercengkrama dengan Pak Edwin dan wanita yang Dewi ketahui bernama Sinta.“Kata Pak Edwin, Pak Billy menyelesaikan perdidikan sarjananya di Jakarta, terus ngelanjutin Pascasarjananya di Singapore, habis itu kerja di perusahaan asing di sana.”Nindy pun mengangguk-angguk tanda mengerti. Ternyata Billy menepati ucapannya ketika dia bilang ingin kuliah sampai S2 di Singapura. Dulu, mereka berdua pernah berjanji akan melanjutkan S2 di sana bersama-sama. Namun nyatanya, Nindy hanya menyelesaikan S1 saja dan mem
Nindy meremas kedua sisi laporan tersebut setelah mendengar ucapan menusuk Billy. Dia sadar kalau dia sudah membuat kesalahan, tapi itu bukan sepenuhnya kesalahannya. Billy memberikan waktu yang sangat terbatas padanya. Jadi, dia membuatnya dengan terburu-buru.“Maaf, Pak." “Seharusnya kamu bilang dari awal kalau kamu gak bisa membuat laporan itu. Jadi, saya gak perlu membuang waktu saya yang berharga hanya untuk memeriksa laporan sampah kamu.”Rasanya ada ribuan jarum yang menusuk tepat di hatinya usai mendengar perkataan Billy. “Maaf, Pak.” Suara Nindy terdengar bergetar. Namun, ekspresi wajahnya terlihat biasa.“Perbaiki lagi. Saya tunggu sebelum jam makan siang.”Nindy tidak menjawab, dia bergegas keluar dari sana menuju toilet. Air mata yang sejak tadi dia tahan langsung meleleh begitu tiba di tolilet. Usai membasuh wajahnya, Nindy kembali ke ruangannya untuk memperbaiki laporan tadi. Tepat 10 menit sebelum jam makan siang, Nindy memberikan laporan tersebut pada Billy. Kali ini,
Ditanya seperti itu oleh Angga, mendadak lidah Nindy menjadi kelu. Terlebih ketika mendapatkan lirikan tajam sekilas dari Billy.“Ini kantor, bukan tempat untuk bergosip,” sela Billy, kemudian dia beralih pada Nindy. “Selesaikan cepat pekerjaanmu, setelah itu lanjutkan tugasmu untuk mencari dokumen."Pukul setengah 3 sore, Nindy keluar dari ruangan meeting usai menyelesaikan pekerjaannya. Dia kembali ke ruangannya sebentar, mengambil botol minum, lalu kembali ke ruangan penyimpanan dokumen. Pukul 5 sore semua karyawan meninggalkan kantor, hanya tersisa Nindy, Billy, Angga, Pak Edwin serta 3 orang OB.Nindy masih sibuk mencari berkas. Hanya, tersisa dua hari lagi untuk mengumpulkan semua dokumen tersebut, tapi masih banyak data yang harus dia cari. Waktunya banyak terbuang karena tadi Billy meminta bantuannya. Dia pun memutuskan untuk lembur kembali malam ini. Tidak terasa waktu terus berlalu hingga jam menunjukkan pukul 10 malam. Sebelumnya, dia sudah memberitahu pada OB kalau diriny
"Menantu Anda tidak sakit, tapi dia sedang hamil," jawab Dokter wanita itu dengan senyuman tipis. "Hamil?" ulang Amara dengan wajah tercengang. "Maksud Dokter, ada calon cucu saya di perut menantu saya?" Meski dia sudah menduga kalau menantunya hamil, tapi Amara tetap terkejut ketika mendengar langsung berita baik itu dari mulut sang dokter. "Benar sekali." Nindy yang sejak tadi mendengar itu, tampak mengusap perutnya dengan lembut sambil tersenyum bahagia. Bagaimana tidak bahagia, dirinya bisa langsung hamil setelah pulang dari berbulan madu, sementara kakak iparnya belum hamil sampai sekarang. Padahal, dia sangat berharap bisa segera hamil setelah menikah. "Untuk memastikannya, silahkan langsung melakukan pemeriksaan USG dengan Dokter Obgyn." Setelah tiba di rumah sakit, Amara langsung membawa Nindy ke IGD. Sebenarnya, dia sudah curiga sejak awal kalau menantunya sedang hamil setelah putranya bercerita kalau sudah beberapa hari Nindy tidak napsu makan dan pagi tadi mengal
"Sayang, berhenti. Jangan main-main." Billy mencoba memperingatkan Nindy sejak tadi terus memainkan jemari lentiknya di dada bidangnya. Saat ini keduanya sedang berbaring di ranjang dengan posisi Billy bertelanjang dada menghadap ke langit-langit, sementara Nindy sedang berbaring miring menghadap Billy dengan mengenakan pakaian tidur tipis dan seksi "Aku cuma mau pegang, memangnya nggak boleh?" Billy memejamkan mata sambil menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan saat merasakan tangan Nindy semakin turun ke bawah. "Boleh, tapi jangan lama-lama. Nanti kamu menyesal." Nindy mengabaikan peringatan Billy dan semakin berani meraba tubuh sang suami. "Sayang, cukup." Nindy seketika menghentikan gerakan tangannya ketika tiba di otot perut Billy. "Kamu nggak suka aku pegang badan kamu?" Sebisa mungkin Billy berkata dengan pelan agar tidak menyinggung perasaan sang istri. "Nggak, Sayang. Aku suka, tapi ini untuk kebaikan kamu. Kamu sendiri yang rugi kalau terus memancin
"Sayang, kamu berdiri di sana, nanti aku foto," tunjuk Billy pada latar bangunan berwarna putih yang memiliki kubah warna biru. Saat ini keduanya sedang berada di Thira atau lebih dikenal dengan Santorini. Thira atau Santorini adalah pulau vulkanik yang berada di antara Pulau Ios dan Anafi, Yunani. Santorini terletak di Kepulauan Cyclades sekitar 200 km dari daratan Yunani. Di pulau ini, sangat terkenal dengan sejarah gunung meletus serta keindahan bangunan-bangunan putih dan gereja berkubah biru yang berada di pinggir tebing atau di bangun di atas lereng kaldera yang berada di kota Oia. "Aku nggak mau foto sendirian, maunya sama kamu." Ketika mendengar itu, Billy tidak tahan untuk menggodanya. "Sekarang, kayaknya kamu nggak bisa jauh-jauh dari aku, maunya nempel terus. Aku pergi ke mana, selalu aja mau ikut. Kamu begitu, apa karena takut suami kamu diambil orang?" "Jangan ngeledek terus. Cepetan, ke sini atau aku nanti aku foto sama orang lain." "Jangan coba-coba atau aku lempar
"Sayang, ayo kita berenang di bawah," ajak Nindy sambil menghampiri Billy yang sedang duduk bersantai di bawah payung pantai yang berada di pinggir kolam. "Kamu duluan aja, Sayang. Nanti aku nyusul." "Aku nggak mau berenang sendirian." "Aku istirahat sebentar, ya? Aku masih capek." Bagaimana tidak capek, kemarin dia habis menggempur Nindy hingga malam, lalu dia lanjutkan lagi menjelang pagi. Setelah itu, dia menemani Nindy bermain jet ski hingga pukul 9 pagi, kemudian bermain banana boat, parasailing hingga pukul 12 siang. Setelah makan siang, mereka berjalan-jalan di sekitar pulau sampai menjelang pukul 2 siang, kemudian pulang dan berendam bersama sambil menikmati pemandangan di luar. Jika dihitung-hitung, dia hanya beristirahat selama setengah jam. "Sebentar aja Sayang nanti habis berenang kamu bisa istirahat." Nindy meraih tangan Billy dan mencoba untuk menariknya, tapi sang suami tidak bergerak sedikit pun. "Nanti aku nyusul, Sayang. Aku liatin kamu dulu dari sini." "Ya, u
"Bagus banget pemandangannya." Mata Nindy tampak berbinar ketika melihat pemadangan bintang dari tempat tidurnya. Saat ini, dia dan Billy sedang berbaring di ranjang sambil menikmati pemandangan bintang di malam hari. Kebetulan sekali kamar mereka dilengkapi dengan atap kamar yang bisa dibuka tutup secara otomatis menggunakan tombol. "Rasanya aku pengen tinggal di sini terus." Billy yang sedang berbaring miring menghadap sang istri yang sedang tidur terlentang seketika tersenyum. "Nanti kita ke sini lagi kalau aku ada waktu." "Beneran?" tanya Nindy seketika memiringkan tubuhnya ke arah Billy. "Iya, Sayang." Nindy pun tersenyum. "Besok kita mau ke mana lagi?" Seharian ini, mereka sudah melakukan banyak hal. Snorkling, berjalan-jalan, bersepeda di sekitar resort, bermain air di pantai sampai sore hari, kemudian melakukan spa di resort tersebut. Malam harinya, mereka makan malam romantis di gedung utama resort. "Besok istirahat aja di kamar. Sorenya baru kita jalan-jalan
"Sayang, bangun. Ini sudah pagi."Billy sedang duduk di tepi ranjang kembali memberikan kecupan singkat di pipi sang istri yang masih terlelap sejak siang hingga 7 sore hari. Sejak tadi, dia sudah berusaha untuk membangun Nindy dengan memberikan kecupan-kecupan ringan di wajahnya, tapi sang istri tidak terpengaruh sedikit pun.Sore kemarin, mereka baru saja tiba di penginapan Soneva Jani yang terletak di pulau Medhufaru. Nindy yang kelelahan akibat perjalanan jauh langsung tertidur setelah makan malam bersama dengan Billy dan belum terbangun hingga kini. Padahal, dia bilang ingin berenang sambil melihat matahari terbit."Jam berapa ini?" tanya Nindy dengan suara serak.Akhirnya, dia membuka mata setelah dibangun selama kurang lebih 15 menit oleh Billy. Meski sudah terbangun, tapi matanya belum terbuka dengan sempurna."Jam 7 pagi, Sayang," jawab Billy lembut sambil merapihkan anak rambut sang istri yang menutupi sebagian matanya. "Kamu masih ngantuk?"Nindy menggeleng lemah. "Nggak. C
Baru saja Dimas memasuki lift untuk turun ke lantai bawah, tiba-tiba saja ada seorang wanita ambruk di depannya. Sebelum wanita itu sempat terjatuh di lantai, Dimas sudah lebih dulu menangkap tubuh wanita itu dan menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Selain Dimas dan wanita itu, ada seorang pria juga yang berada di dalam lift."Nona, ada apa denganmu?" tanya Dimas sambil menepuk wajah wanita yang sudah menyandarkan kepala di bahunya."Maaf, ini teman saya. Dia lagi sakit. Biar saya yang bawa dia."Pria yang berada satu lift dengan mereka akhir membuka suara setelah pintu lift tertutup.Saat pria itu akan menyentuh wanita itu, Dimas segera mencengkram tangannya dengan tatapan tajam. "Kau mau berbuat apa dengan wanita yang sedang pingsan?"Pria tinggi berkulit sawo matang yang mengaku sebagai teman wanita itu tampak tidak senang mendengar ucapan Dimas. "Dia temanku. Jadi, apa masalahmu?""Bagaimana aku bisa tahu kalau kau memang temannya? Bisa saja kau mengaku-ngaku. Aku tidak bisa membi
"Di mana Nindy?" tanya Angga setelah Billy duduk di kursi depannya.Siang ini Billy bertemu dengan Angga di restoran hotel tempatnya menginap. Di sana jugalah nanti dia akan bertemu dengan teman-temanya yang berasal dari Singapore."Lagi tidur."Angga seketika tersenyum mendengar itu. "Masih jam 10 pagi, tapi dia udah tidur?Sepertinya kau habis menggempurnya habis-habisan semalam sampai membuatnya kelelahan seperti itu."Bukannya marah diolok-olok oleh Angga, Billy justru menanggapi dengan santai, "Nggak ada yang salah dengan itu. Dia udah resmi menjadi istriku.""Tapi, setidaknya tahan dirimu sedikit. Dia pasti lelah setelah melewati resepsi pernikahan yang panjang. Seharusnya, biarkan dia beristirahat dulu sehari, setelah itu kau bisa melakukannya.""Aku nggak bisa menahannya.""Tapi, selama ini kau berhasil menahannya, bahkan sampai 6 tahun. Kau juga tidak pernah terpengaruh dengan Shela yang sudah berkali-kali menggodamu.""Tidak bisa jika Nindy orangnya," jawab Billy santai, "jan
"Sayang, kamu yakin mau sarapan bersama?" tanya Billy sambil menghampiri Nindy yang sedang mengeringkan rambut di depan cermin kamar mandi dengan menggunakan hairdryer."Iya, nggak enak kalau nggak ikut sarapan.""Memangnya kamu bisa jalan?" Billy melingkarkan tangan di perut istrinya sambil menatapnya dari pantulan cermin setelah Nindy mematikan pengering rambut yang ada di tangan kanannya."Bisa, tapi pelan-pelan." Setelah itu, Nindy membalik tubuhnya menghadap Billy."Kalau nggak bisa, jangan dipaksa, Sayang. Lebih baik sarapan di kamar aja. Mereka juga pasti maklum, kita, kan, pengantin baru.""Ini salah kamu. Katanya cuma sebentar, tapi ternyata keterusan."Billy terkekeh pelan melihat wajah cemberut istrinya. "Maaf, Sayang. Kamu tahu sendiri, aku udah menahannya sejak lama. Ini aja aku masih sedikit menahan diri karena kasihan sama kamu.""Menahan diri apanya, kamu jangan bercanda. Badan aku sakit semua karena ulah kamu."Billy kembali terkekeh pelan. Setelah tawanya mereda, dia