"Gimana kalau aku nggak mau putus sama kamu?"
Tatapan keduanya saling bertabrakan selama beberapa detik, sebelum akhirnya Nindy memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Aku nggak butuh persetujuan kamu. Setuju atau nggak, aku sama sekali nggak peduli."
Seketika itu juga, api kemarahan berkobar di iris coklat Billy. Dia menggertakkan giginya, lalu berkata dengan sorot mata menyala, "Nindy, kamu pikir kamu siapa? Apa kamu kira bisa mainin aku sesuka hati kamu?" Nada bicaranya terdengar sangat dingin, bahkan tubuh Nindy langsung gemetar setelah mendengar ucapan Billy.
Dia memang bukan siapa-siapa jika dibandingkan dengan Billy. Billy memiliki latar belakang keluarga yang hebat dan bukan berasal dari keluarga biasa, Nindy pun tahu itu, tapi dia tidak bisa diam saja dan membiarkan harga dirinya diinjak-injak oleh pria itu.
"Tentu aja aku bisa," jawab Nindy dengan arogan. "Dengarin aku baik-baik, Bill. Aku yang mencampakkan kamu, bukan kamu yang mencampakkan aku. Jadi, mulai sekarang jangan pernah muncul di hadapanku lagi. Hubungan kita berakhir sampai di sini."
Usai mengatakan itu, Nindy berlalu dari sana dengan langkah cepat. Tidak sekali pun dia menoleh ke belakang.
"Brengsek!"
Billy mengumpat sambil membanting ponselnya hingga hancur setelah kepergian Nindy. Dia menengadah ke atas, menyugar rambutnya, mengacaknya dengan kasar, lalu berteriak kencang.
"Aarrrgggh!"
Billy menghantam tembok berkali-kali, hingga telapak tangannya mengeluarkan cairan merah.
"Nindy, beraninya kamu mainin perasaan aku."
Tatapan Billy nampak berkilat dan wajahnya pun berubah menjadi sangat dingin.
*********
“Nindy!”
Seorang wanita berambut panjang bergelombang yang baru saja turun dari mobilnya, seketika menoleh saat mendengar panggilan dari teman kerjanya. Dia melihat Dewi sedang melambai ke arahnya dengan wajah sumringah.
Nindy tersenyum sembari menggeleng pelan ketika melihat tingkah teman kerjanya itu. Setelah mengambil tasnya, dia membenahi kemeja serta roknya sembari berjalan mendekati temannya. Keduanya pun masuk ke dalam kantor bersama-sama dan naik ke lantai 2.
Baru saja memasuki ruangan, tangannya sudah ditarik oleh Dewi menuju meja kerjanya yang berada di sudut ruangan.
"Kenapa?" Nindy bertanya ketika melihat Dewi mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.
"Ada gosip baru."
"Gosip apa?" tanya Nindy dengan wajah heran.
Dewi memajukan tubuhnya ke arah Nindy, lalu berkata dengan suara rendah, "Pak Hengky dipecat."
Kedua alis Nindy tampak saling bertautan. "Kenapa dipecat?"
Dewi semakin mendekatkan tubuhnya ke arah Nindy, lalu berbisik, "Dia ketahuan menggelapkan dana perusahaan."
Mulut Nindy terbuka lebar dengan pupil mata yang membesar. Tampaknya dia sangat terkejut dengan informasi yang disampaikan oleh Dewi. Bagaimana tidak terkejut, baru dua hari dia tidak masuk kerja, sudah ada berita yang menggemparkan.
"Rencananya hari besok tim audit dan beberapa orang dari kantor pusat akan datang untuk melakukan audit," lanjut Dewi lagi masih dengan suara pelannya.
"Tahu dari mana?" tanya Nindy heran.
Pasalnya di group chat kantor tidak ada yang membahas mengenai itu. Biasanya kalau ada kejadian atau berita heboh, pasti akan tersebar di group chat kantor yang dibentuk oleh karyawan. Hanya Manager saja yang tidak ada di group itu, karena group itu memang bukan group resmi yang dibuat oleh kantor, ada group lain yang dibentuk khusus untuk membahas pekerjaan.
"Aku tahu dari Pak Edwin, kemarin dia dihubungi kantor pusat."
Pak Edwin adalah Manager Operasional di kantor tersebut. Berita itu memang tidak banyak yang tahu karena masih ditutupi oleh pihak kantor.
"Aku punya satu gosip lagi."
"Apa?"
Nindy mendekatkan telinganya ke arah Dewi saat wanita berambut sebahu itu memintanya untuk mendekat.
"Aku denger, anak dari pemilik perusahaan yang bakal menggantikan Pak Hengky sementara sampai masalah ini selesai. Katanya, dia itu lulusan dari luar negeri dan sempat bekerja di perusahaan besar di luar negeri."
Mulut Nindy membulat. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya setelahnya dan dia juga terlihat tidak antuasias ketika mengetahui hal itu.
"Kenapa reaksimu biasa aja? Nggak penasaran gitu siapa namanya?"
Nindy menggeleng dengan wajah acuh tak acuh. "Nggak."
Dewi mencebikkan bibirnya karena merasa kesal pada Nindy. Dia sudah bercerita dengan antusias, tapi hanya ditanggapi datar oleh Nindy.
"Nin, asal tahu aja, ya? Katanya dia itu masih muda, berbakat, dan yang terpenting lagi, dia itu ganteng banget," ucap Dewi dengan mata berbinar dan senyuman yang lebar.
"Tau dari mana kalau dia ganteng?"
"Tentu aja dari Pak Edwin. Dia pernah tunjukin fotonya saat berkunjung ke kantor pusat sebulan yang lalu, waktu anak pemilik perusahaan ini resmi bergabung di perusahaan kita," terang Dewi. "Aku jadi nggak sabar nunggu anak pemilik perusahaan dateng ke sini. Aku harus dandan cetar mulai sekarang, siapa tahu dia nyantol sama aku."
Nindy tersenyum tipis saat melihat Dewi terkekeh pelan setelah mengatakan itu. "Dasar ganjen kamu, Wi. Kerja ... jangan cowok terus yang dipikirin."
Nindy menegakkan kembali duduknya, lalu menghidupkan komputer di depannya, mengabaikan Dewi yang terkekeh pelan setelah mengatakan itu.
"Memangnya kamu nggak penasaran gimana orangnya, Nin?"
"Nggak. Aku anti sama cowok ganteng." Nindy mulai meraih berkas yang ada di meja dan mulai memeriksa pekerjaannya.
"Jadi, kamu sukanya cowok jelek?" Belum juga dijawab oleh Nindy, Dewi sudah berbicara kembali, "Pantas saja kamu masih jomblo sampai sekarang, ternyata selera kamu aneh. Kalau aku jadi kamu, nggak bakal aku sia-siain wajah cantik kamu."
Nindy tersenyum tipis mendengar celotehan Dewi. "Daripada ngomongin cowok terus, mendingan kerja, Wi."
Keesokan harinya, semua datang ke kantor lebih pagi dari biasanya untuk menyambut tim audit dan orang-orang dari kantor pusat. Nindy sendiri tiba di perusahaan pukul 06.20 waktu setempat. Kalau hari biasa, Nindy akan tiba perusahaan pukul 7 pagi, khusus hari ini dia sengaja berangkat lebih awal.
"Nin ... Nindy ...!" Terdengar suara Dewi yang memanggil Nindy berkali-kali setelah melihatnya turun dari mobil.
"Kenapa, Wi?"
"Cepat ke sini!" teriak Dewi sambil menggerakkan telapak tangan ke aranya.
Nindy segera mendekati Dewi yang sedang berdiri di depan pintu kantornya. "Kenapa?" tanya Nindy setelah berada di depan Dewi.
"Pengganti Pak Hengky baru aja datang. Ayo cepat masuk, sebentar lagi ada acara penyambutan." Dewi segera menarik tangan Nindy.
Ketika tiba di lantai 2, Nindy melihat Pak Edwin serta segerombolan orang, baru saja memasuki ruangan Pak Hengky. Nindy tampak memperhatikan mereka dari kejauhan, sebelum akhirnya Dewi menyeretnya memasuki ruangan mereka. Nindy langsung meletakkan tas setelah tiba di meja kerjanya.
"Nin, mau ke mana?" tanya Dewi dengan dahi berkerut. "Kata Pak Edwin, kita nggak boleh ke mana-mana. Sebentar lagi mereka semua mau ke sini."
"Aku mau ke toilet sebentar."
"Aku ikut." Dewi segera menyusul langkah Nindy menuju pintu.
"Mau ngapain?" tanya Nindy.
"Mau benerin make-up aku," jawab Dewi sambil tersenyum genit.
Nindy hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah Dewi.
"Kamu tahu nggak, Nin? Aku udah liat anak bos kita tadi," ucap Dewi seraya menyamakan langkahnya dengan Nindy. "Mukanya ganteng bangeet. Aku aja sampe nggak kedip waktu liat dia pertama kali."
"Dulu kamu juga bilang Dimas ganteng banget, tapi menurutku biasa aja."
"Ini beda, Nin. Kalau diibaratkan barang, dia itu produk import yang punya kualitas tinggi."
Nindy terkekeh pelan sembari menggelengkan kepalanya. “Tapi sayangnya, dia bukan barang, Wi.”
Ketika akan berbelok menuju toilet, langkah Nindy tiba-tiba terhenti saat melihat sosok tinggi yang sangat familiar sedang berjalan ke arahnya bersama seorang dengan pria asing. Irisnya melebar dan wajah seketika menegang ketika tatapannya bertemu dengan pemilik mata coklat itu.
‘Kenapa dia bisa ada di sini?’
"Kenapa berhenti?" tanya Dewi dengan heran sambil menoleh pada Nindy yang nampak mematung di tempat.Nindy tidak menjawab, tatapannya terus tertuju pada pria tinggi itu, tapi sayangnya pria itu langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil terus berjalan melewatinya.Wajah pria itu terlihat dingin, tidak ada sedikit pun senyuman di bibirnya ketika mereka bertemu pandang tadi. Bahkan, pria itu terkesan tidak peduli dan acuh tak acuh ketika melewatinya, seolah mereka berdua tidak mengenal satu sama lain. Pria itu adalah Billy Sanjaya, mantan kekasih yang dia putuskan 6 tahun lalu."Nin." Dewi menyentuh tangan Nindy saat melihatnya diam saja. Melihat Nindy masih mematung, akhirnya Dewi mengikuti arah pandangan Nindy, baru saat itu dia mengerti apa yang membuat teman kerjanya itu terdiam."Gimana? Pak Billy ganteng, kan?" tanya Dewi dengan senyuman genitnya. "Aku, kan, udah aku bilang kalau yang ini beda. Ini beneran ganteng banget."Nindy buru-buru berjalan ke toilet tanpa menjawa
“Nona Nindy, sebelum kita membicarakan masalah pekerjaan, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan terlebih dahulu.” Ucapan Billy akhirnya memecah keheningan yang sempat melanda keduanya setelah kepergian Pak Edwin.“Baik, Pak,” ujar Nindy dengan tegas. Sebisa mungkin dia bersikap tenang, meskipun itu sangat sulit baginya, karena ingatan di masa lalu kembali bermunculan saat berada di dekat pria itu.“Sudah berapa lama kamu bekerja di sini?” Saat Billy melontarkan pertanyaan itu, dia tidak menatap Nindy, melainkan meraih kertas map yang ada di hadapannya. Map itu berisi data diri Nindy.“Sudah 8 bulan, Pak.”Sebelumnya, Nindy lama bekerja di Bandung. Sengaja dia memilih bekerja di Surabaya karena ingin semakin menjauh dari tanah kelahirannya.“Jadi, kamu belum lama bekerja di sini?” Pandangan Billy tertuju pada kertas yang sedang ada di tangannya ketika dia bertanya.“Iya, Pak.”"Sebelumnya, kamu bekerja di mana?""Di Perusahaan Hakana, Pak."Pandangan Billy masih fokus pada kertas ya
“Kamu mengumpat saya?”Nindy langsung membalik tubuhnya dengan cepat saat mendengar suara yang berasal dari belakangnya. Wajahnya seketika memucat saat melihat Billy sudah berdiri di pintu dengan wajah datarnya. Dia terlihat bersandar di pintu dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada, matanya nampak menyorot tajam dirinya.“Tidak, Pak. Sepertinya Bapak salah dengar,” jawab Nindy setelah terdiam selama beberapa detik. Dia menggigit bibir bawahnya dengan wajah tegang, takut Billy akan marah karena dia sudah berani mengumpatnya.“Kamu kira saya tuli?” Melihat aura mengintimidasi yang kuat dari Billy, Nindy pun tidak berkutik untuk membela diri."Saya tidak mengatakan Bapak tuli," jawab Nindy lirih."Lalu?"Belum sempat Nindy menjawab pertanyaan Billy, terdengar suara dari arah belakang Billy.“Permisi, Pak.” Orang yang menginterupsi obrolan keduanya adalah Dewi.“Ada apa?” Billy menoleh pada Dewi dengan ekspresi kesal, merasa sedikit terganggu dengan kedatangan Dewi yang tiba-tiba.
Billy terdiam dengan ekspresi yang sulit ditebak setelah mendapatkan pertanyaan dari Pak Edwin. Sebenarnya, dia masih tidak menyangka kalau dia akan bertemu kembali dengan Nindy setelah sekian lama berpisah. Sudah 6 tahun berlalu dan selama itu, Billy tidak pernah mendengar kabar Nindy lagi, karena setelah keduanya putus, Billy kehilangan jejak mantan kekasihnya itu. Tidak pernah terbayangkan olehnya jika dia akan bertemu lagi dengan Nindy di kantor milik orang tuanya. Padahal, tujuan utama Billy ke kantor cabang di Surabaya adalah untuk menyelidiki kasus penggelapan dana yang dilakukan oleh salah satu karyawan kantornya. "Pak Billy," panggil Pak Edwin ketika melihat Billy tampak sedang melamun."Ya. Bagaimana, Pak?"Pak Edwin pun mengulangi pertanyaan yang sejak tadi belum dijawab oleh Billy.“Tentu saja. Siapa pun yang terlibat dalam kasus penggelapan ini, pasti akan saya proses secara hukum. Tidak ada pengecualian untuk karyawan yang sudah merugikan perusahaan.”Pak Edwin menghela
Nindy pun seketika menoleh ke bangku belakang, di mana Billy berada. Wajah pria itu tampak acuh tak acuh. "Saya di sini aja, Pak," tolak Nindy seraya tersenyum kaku pada Pak Edwin."Kamu di belakang aja. Saya mau ngobrol sama Rudi."Rudi adalah salah satu karyawan yang berasal dari kantor pusat. Pria itulah yang akan mengemudikan mobil Billy.“Baik, Pak.”Terpaksa dia menyetujui permintaan Pak Edwin. Padahal, sejak awal dia sengaja ingin duduk di depan untuk menghindari Billy, nyatanya dia harus duduk bersebelahan dengan mantan kekasihnya itu di belakang. Nasibnya sungguh sial. Semakin dia menghindari Billy, entah mengapa dia justru semakin dekat dengannya.“Kenapa diam aja?” Billy bertanya dengan dingin pada Nindy setelah menurunkan kaca mobil yang tepat berada di sampingnya. "Mau nunggu sampai jam makan siang habis?”“Maaf, Pak.” Nindy segera membuka pintu, lalu bergegas masuk ke dalam mobil. Dia duduk di ujung menempel dengan pintu, sebisa mungkin dia memberikan jarak yang jauh de
"Baik. Saya akan menyelesaikan pekerjaan saya tanpa bantuan orang lain." Nindy pun langsung berdiri usai mengatakan itu. "Saya sudah selesai. Maaf saya kembali ke kantor lebih dulu."Setelah berpamitan pada Angga dan Pak Edwin, Nindy segera pergi dari sana. Dia tidak mau kalau sampai Billy melihatnya mengeluarkan air mata.Dewi yang merasa iba pun segera menyusul Nindy, dia tidak mungkin membiarkan Nindy kembali ke kantor sendirian. Terlebih, ketika melihat wajah Nindy tampak berubah setelah berdebat dengan Billy.Setibanya di kantor, Nindy langsung mencari berkas dengan wajah yang terlihat masih kesal. Billy sudah membuat moodnya hancur. Meskipun kesal, Nindy tetap berusaha untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Dia akan membuktikan pada Billy kalau dirinya bisa mengerjakan semuanya tanpa bantuan siapa pun.Dia tahu kalau Billy sengaja ingin menyiksanya. Itu sebabnya, dia melarang semua orang membantunya. Dia tidak akan membiarkan Billy melihat kelemahannya. Semakin Billy ingin menin
Tidak ingin Dewi curiga, secepat kilat Nindy berpikir.“It-itu … aku nggak sengaja denger obrolan Pak Edwin sama Pak Billy waktu aku dipanggil ke ruangannya.”“Oohh, aku kira kamu pernah satu kampus sama Pak Billy.”Nindy langsung menggeleng kuat untuk menyanggahnya. Dia sengaja berbohong karena tidak ingin ditanya macam-macam oleh Dewi. “Gak. Aku, kan, kuliah di Bandung, bukan di Jakarta.”“Oh, ya, aku lupa.” Dewi terkekeh, kemudian pandangannya beralih pada Billy yang nampak masih bercengkrama dengan Pak Edwin dan wanita yang Dewi ketahui bernama Sinta.“Kata Pak Edwin, Pak Billy menyelesaikan perdidikan sarjananya di Jakarta, terus ngelanjutin Pascasarjananya di Singapore, habis itu kerja di perusahaan asing di sana.”Nindy pun mengangguk-angguk tanda mengerti. Ternyata Billy menepati ucapannya ketika dia bilang ingin kuliah sampai S2 di Singapura. Dulu, mereka berdua pernah berjanji akan melanjutkan S2 di sana bersama-sama. Namun nyatanya, Nindy hanya menyelesaikan S1 saja dan mem
Nindy meremas kedua sisi laporan tersebut setelah mendengar ucapan menusuk Billy. Dia sadar kalau dia sudah membuat kesalahan, tapi itu bukan sepenuhnya kesalahannya. Billy memberikan waktu yang sangat terbatas padanya. Jadi, dia membuatnya dengan terburu-buru.“Maaf, Pak." “Seharusnya kamu bilang dari awal kalau kamu gak bisa membuat laporan itu. Jadi, saya gak perlu membuang waktu saya yang berharga hanya untuk memeriksa laporan sampah kamu.”Rasanya ada ribuan jarum yang menusuk tepat di hatinya usai mendengar perkataan Billy. “Maaf, Pak.” Suara Nindy terdengar bergetar. Namun, ekspresi wajahnya terlihat biasa.“Perbaiki lagi. Saya tunggu sebelum jam makan siang.”Nindy tidak menjawab, dia bergegas keluar dari sana menuju toilet. Air mata yang sejak tadi dia tahan langsung meleleh begitu tiba di tolilet. Usai membasuh wajahnya, Nindy kembali ke ruangannya untuk memperbaiki laporan tadi. Tepat 10 menit sebelum jam makan siang, Nindy memberikan laporan tersebut pada Billy. Kali ini,