Nindy pun seketika menoleh ke bangku belakang, di mana Billy berada. Wajah pria itu tampak acuh tak acuh.
"Saya di sini aja, Pak," tolak Nindy seraya tersenyum kaku pada Pak Edwin.
"Kamu di belakang aja. Saya mau ngobrol sama Rudi."
Rudi adalah salah satu karyawan yang berasal dari kantor pusat. Pria itulah yang akan mengemudikan mobil Billy.
“Baik, Pak.”
Terpaksa dia menyetujui permintaan Pak Edwin. Padahal, sejak awal dia sengaja ingin duduk di depan untuk menghindari Billy, nyatanya dia harus duduk bersebelahan dengan mantan kekasihnya itu di belakang. Nasibnya sungguh sial. Semakin dia menghindari Billy, entah mengapa dia justru semakin dekat dengannya.
“Kenapa diam aja?” Billy bertanya dengan dingin pada Nindy setelah menurunkan kaca mobil yang tepat berada di sampingnya. "Mau nunggu sampai jam makan siang habis?”
“Maaf, Pak.”
Nindy segera membuka pintu, lalu bergegas masuk ke dalam mobil. Dia duduk di ujung menempel dengan pintu, sebisa mungkin dia memberikan jarak yang jauh dengan Billy. Bukan apa-apa, dia hanya tidak mau Billy berpikir yang tidak-tidak tentangnya.
Billy yang menyadari Nindy menjaga jarak dengannya pun memilih mengabaikannya. Dia hanya diam sambil berkutat dengan ponselnya.
Hanya butuh waktu 15 menit untuk tiba di restoran yang sudah direservasi oleh Pak Edwin. Mereka sengaja makan di sana karena restoran itu letaknya tidak jauh dari kantor.
Pak Edwin memesan 2 meja, satu meja untuk Billy, Nindy, Pak Edwin, Pak Angga, dan Dewi. Meja lain di tempat tim audit dan tim pusat. Tidak ada satu pun orang yang mengeluarkan suara hingga makan siang berakhir.
"Nin, gimana berkasnya, apa kamu mengalami kesulitan untuk mencarinya?" tanya Pak Edwin disela-sela obrolan santai mereka.
"Iyaa, Pak. Ada beberapa berkas yang tidak ada. Tadi sudah saya tanya sama Denis, katanya kemungkinan itu berkas itu ada di lemari ruangan Pak Hengky. Nanti Denis bantu saya cari sisanya yang belum ketemu," jawab Nindy.
"Cari berkas begitu saja masih perlu bantuan. Kamu seharusnya tahu di mana letak berkas yang ada kaitannya sama pekerjaan kamu," sahut Billy sebelum Pak Edwin sempat membuka mulutnya.
Semua yang ada di meja tersebut seketika melirik pada Billy dan Nindy.
Nindy yang merasa dipojokkan tentu saja merasa tidak senang. "Maaf, Pak. Berkas yang tidak ada itu berkas yang sudah lama. Yang menyimpan bukan saya, jadi saya juga tidak tahu mengenai berkas tersebut."
"Seharusnya kamu cek dengan teliti sebelum kamu serah terima jabatan dengan pengganti kamu sebelumnya. Kamu bukan anak kecil lagi yang harus dituntun, seharusnya kamu tahu itu," sahut Billy tidak mau kalah.
Suasana menjadi hening selama beberapa detik. Pak Edwin yang tidak ingin suasana menjadi panas, langsung membuka suaranya, "Ini bukan sepenuhnya kesalahan Nindy, Pak. Orang yang bekerja sebelum Nindy berhenti tanpa pemberitahuan, jadi tidak sempat serah terima jabatan."
Ketentuan dari kantor mereka, harus mengajukan pengunduran diri sebulan sebelumnya jika ingin berhenti dari pekerjaan mereka.
"Saya tidak mau dengar alasan apa pun. Yang saya tahu semua berkas harus ada yang lengkap dan itu adalah tugas Nindy sekarang."
Merasa terus disalahkan oleh Billy, Nindy pun menjadi kesal. "Kalau Bapak tidak melarang orang lain membantu saya mencari dokumennya, saya tidak mungkin mengalami kesulitan."
Billy melirik melirik sekilas pada Nindy dengan acuh tak acuh. "Itu tanggung jawab kamu, tidak boleh dibebankan pada orang lain. Kamu harus berlajar bertanggung jawab dengan pekerjaan kamu sendiri."
Di bawah meja, tangan Nindy sudah terkepal. Sebelum berbicara, dia menarik napas panjang terlebih dahulu untuk meredam emosinya. "Saya cuma minta bantuan, bukan lari dari tanggung jawab, Pak," ucap Nindy dengan tegas.
Billy masih bersikap santai, meskipun Nindy mulai meninggikan suaranya. "Ini kantor, bukan rumah kamu. Kamu tidak bisa bersikap manja dan membuat aturan sendiri. Jika kamu merasa keberatan dengan aturan dan cara kerja saya, silahkan kamu keluar. "
"Bapak mau pecat saya?" Tangan Nindy semakin terkepal kuat di bawah meja, matanya pun perlahan mulai mengembun.
Pak Edwin dan Dewi nampak kebingungan. Selain itu, mereka juga nampak terkejut dengan keberanian Nindy membalas setiap ucapan Billy. Bagaimanapun, Billy adalah anak dari pemilik perusahaan, semua karyawan pasti berpikir puluhan kali jika ingin berdebat dan meninggikan suara pada Billy.
Di meja lain, Angga tampak menarik senyuman tipis ketika mendengar perdebatan Nindy dan Billy. Tiba-tiba saja dia tertarik pada sosok Nindy. Bagaimana tidak, baru kali ini dia melihat ada yang berani dengan Billy. Bahkan di kantor pusat saja, tidak ada yang berani mengeluarkan suara jika Billy sedang berbicara.
"Saya cuma memberikan saran aja. Kalau memang kamu keberatan, silahkan berikan surat pengunduran diri kamu, tapi jika kamu masih mau bertahan, saya harap kamu bisa menyelesaikan pekerjaanmu tanpa mengeluh."
"Baik. Saya akan menyelesaikan pekerjaan saya tanpa bantuan orang lain." Nindy pun langsung berdiri usai mengatakan itu. "Saya sudah selesai. Maaf saya kembali ke kantor lebih dulu."Setelah berpamitan pada Angga dan Pak Edwin, Nindy segera pergi dari sana. Dia tidak mau kalau sampai Billy melihatnya mengeluarkan air mata.Dewi yang merasa iba pun segera menyusul Nindy, dia tidak mungkin membiarkan Nindy kembali ke kantor sendirian. Terlebih, ketika melihat wajah Nindy tampak berubah setelah berdebat dengan Billy.Setibanya di kantor, Nindy langsung mencari berkas dengan wajah yang terlihat masih kesal. Billy sudah membuat moodnya hancur. Meskipun kesal, Nindy tetap berusaha untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Dia akan membuktikan pada Billy kalau dirinya bisa mengerjakan semuanya tanpa bantuan siapa pun.Dia tahu kalau Billy sengaja ingin menyiksanya. Itu sebabnya, dia melarang semua orang membantunya. Dia tidak akan membiarkan Billy melihat kelemahannya. Semakin Billy ingin menin
Tidak ingin Dewi curiga, secepat kilat Nindy berpikir.“It-itu … aku nggak sengaja denger obrolan Pak Edwin sama Pak Billy waktu aku dipanggil ke ruangannya.”“Oohh, aku kira kamu pernah satu kampus sama Pak Billy.”Nindy langsung menggeleng kuat untuk menyanggahnya. Dia sengaja berbohong karena tidak ingin ditanya macam-macam oleh Dewi. “Gak. Aku, kan, kuliah di Bandung, bukan di Jakarta.”“Oh, ya, aku lupa.” Dewi terkekeh, kemudian pandangannya beralih pada Billy yang nampak masih bercengkrama dengan Pak Edwin dan wanita yang Dewi ketahui bernama Sinta.“Kata Pak Edwin, Pak Billy menyelesaikan perdidikan sarjananya di Jakarta, terus ngelanjutin Pascasarjananya di Singapore, habis itu kerja di perusahaan asing di sana.”Nindy pun mengangguk-angguk tanda mengerti. Ternyata Billy menepati ucapannya ketika dia bilang ingin kuliah sampai S2 di Singapura. Dulu, mereka berdua pernah berjanji akan melanjutkan S2 di sana bersama-sama. Namun nyatanya, Nindy hanya menyelesaikan S1 saja dan mem
Nindy meremas kedua sisi laporan tersebut setelah mendengar ucapan menusuk Billy. Dia sadar kalau dia sudah membuat kesalahan, tapi itu bukan sepenuhnya kesalahannya. Billy memberikan waktu yang sangat terbatas padanya. Jadi, dia membuatnya dengan terburu-buru.“Maaf, Pak." “Seharusnya kamu bilang dari awal kalau kamu gak bisa membuat laporan itu. Jadi, saya gak perlu membuang waktu saya yang berharga hanya untuk memeriksa laporan sampah kamu.”Rasanya ada ribuan jarum yang menusuk tepat di hatinya usai mendengar perkataan Billy. “Maaf, Pak.” Suara Nindy terdengar bergetar. Namun, ekspresi wajahnya terlihat biasa.“Perbaiki lagi. Saya tunggu sebelum jam makan siang.”Nindy tidak menjawab, dia bergegas keluar dari sana menuju toilet. Air mata yang sejak tadi dia tahan langsung meleleh begitu tiba di tolilet. Usai membasuh wajahnya, Nindy kembali ke ruangannya untuk memperbaiki laporan tadi. Tepat 10 menit sebelum jam makan siang, Nindy memberikan laporan tersebut pada Billy. Kali ini,
Ditanya seperti itu oleh Angga, mendadak lidah Nindy menjadi kelu. Terlebih ketika mendapatkan lirikan tajam sekilas dari Billy.“Ini kantor, bukan tempat untuk bergosip,” sela Billy, kemudian dia beralih pada Nindy. “Selesaikan cepat pekerjaanmu, setelah itu lanjutkan tugasmu untuk mencari dokumen."Pukul setengah 3 sore, Nindy keluar dari ruangan meeting usai menyelesaikan pekerjaannya. Dia kembali ke ruangannya sebentar, mengambil botol minum, lalu kembali ke ruangan penyimpanan dokumen. Pukul 5 sore semua karyawan meninggalkan kantor, hanya tersisa Nindy, Billy, Angga, Pak Edwin serta 3 orang OB.Nindy masih sibuk mencari berkas. Hanya, tersisa dua hari lagi untuk mengumpulkan semua dokumen tersebut, tapi masih banyak data yang harus dia cari. Waktunya banyak terbuang karena tadi Billy meminta bantuannya. Dia pun memutuskan untuk lembur kembali malam ini. Tidak terasa waktu terus berlalu hingga jam menunjukkan pukul 10 malam. Sebelumnya, dia sudah memberitahu pada OB kalau diriny
“Kamu gak suruh saya masuk?”Nindy tidak langsung menjawab, melainkan berpikir selama beberapa saat. Dia belum pernah membawa tamu pria masuk kecuali Dimas, karena itu dia merasa ragu untuk mempersilahkan Billy masuk ke rumah sewanya. Agak canggung rasanya jika hanya ada mereka berdua di rumah itu, terlebih keduanya tidak memiliki hubungan apa pun.“Kenapa diam? Takut pacar kamu marah?” tanya Billy lagi sambil menelisik wajah Nindy.Nindy menarik senyuman kakunya, lalu berkata, “Maaf, Pak. Saya cuma terkejut Bapak ke sini.”“Kamu yang suruh saya untuk ke sini," ucap Billy dengan wajah datar.Diam-diam Nindy merutuki kebodohannya. Sebenarnya dia tidak benar-benar meminta Billy untuk datang ke rumahnya. Dia mengatakan itu pada Billy agar bosnya itu percaya dengan ucapannya. Dia tidak menduga kalau Billy akan benar-benar datang ke rumahnya.Karena merasa lemas pusing, Nindy memutuskan untuk membiarkan Billy masuk. “Kalau gitu, silah
Tidak ada satu pun orang di ruangan itu. Nindy tampak linglung sesaat, setelah itu memegang wajahnya ketika merasakan sesuatu yang aneh menempel di pipi kirinya.Nindy nampak tertegun selama beberapa detik, sebelum akhirnya melirik ke arah jam yang ada di layar ponselnya. Sudah setengah 9 pagi, tapi tidak ada satu pun orang di ruangannya. Padahal, jam kantor dimulai pukul 8 pagi. Dia ternyata tertidur cukup lama, tapi kenapa tidak ada satu pun orang yang membangunkannya."Kemana perginya semua orang di sini? Apa mereka gak ada yang kerja?" gumam Nindy dalam hati.Nindy kembali membenamkan wajahnya di meja karena masih merasa pusing. Tubuhnya masih panas, Nindy memutuskan untuk beristirahat sebentar lagi. Baru saya akan memejamkan matanya, seseorang masuk ke ruangan. Nindy pun refleks mengangkat kepala dan menatap ke arah pintu. "Udah bangun?" Denis baru saja memasuki ruangan langsung bertanya ketika melihat wajah bingung Nindy."Iyaa, kenapa gak ada orang, Den?"Denis tersenyum, mengh
Saat pertama kali membuka mata, pandangan Nindy langsung tertuju pada langit-langit putih di atas, bersamaan dengan itu tercium aroma disenfektan yang kuat di ruangan itu."Kamu udah sadar?"Nindy seketika menoleh ke samping ketika mendengar suara berat yang sangat dia kenali."Kenapa Bapak ada di sini" Nindy nampak terkejut ketika melihat keberadaan Billy di sampingnya. "Saya yang antar kamu ke sini. Tadi kamu pingsang di dekat ruangan saya."Setelah mendengar itu, Nindy seketika mengedarkan pandangannya ke sekitar, lalu berusaha bangkit dari tidurnya, kemudian meninggikan sandaran kepala. Setelah posisi tubuhnya setengah berbaring, Nindy berusaha untuk mengingat kejadian sebelum pandangannya menggelap. Seingatnya, dia akan ke ruangan Billy sebelum pandangannya menjadi gelap. Saat itu, dia merasakan tubuh tidak lagi seimbang dan serasa melayang. Ternyata, dia pingsan setelah itu. Mungkin Billy menemukannya tergeletak di lantai. Itu sebabnya, pria itu yang mengantarnya ke rumah saki
"Ka-kamu mau apa?" tanya Nindy dengan wajah pucat ketika melihat Billy memajukan tubuhnya.Nindy semakin beringsut ke belakang saat Billy semakin mendekat ke arahnya. Sementara Billy hanya diam sambil membungkukkan tubuhnya ke arah Nindy, hingga wajah mereka berada di jarak yang sangat dekat.Nindy semakin panik. Dengan gugup, dia menahan napasnya ketika merasakan hembusan napas hangat Billy menyapu wajahnya. "Billy, kamu jangan macam-macam."Tepat ketika Nindy mengatakan itu, terdengar bunyi pengait sabuk pengaman dilepas. Nindy seketika menoleh ke arah kanan. Ternyata, hanya membantunya melepas sabuk pengamannya. Ketika menyadari itu, wajah Nindy langsung memerah. Dia pikir tadi Billy ingin ..."Kenapa diam? Gak mau turun?" Suara Billy mengembalikan kesadaran Nindy, seketika itu juga dia sudah mengangkat kepalanya dan melihat Billy sudah berada di posisinya yang semula, namun tatapan masih tertuju padanya."Mau ikut pulang sama saya ke hotel?" lanjut Billy lagi melihat Nindy bergemi