Giandra Dwipangga, mantan kakak iparnya, adalah dokter pembimbing yang kata temannya sangat terkenal. Persetan, tampan? Lupakan saja. Saat ini Amora merasakan kecemasan dan gelisah yang entah mengapa bisa hadir dalam hatinya."Hari pertama magang udah telat?" Tanpa menjawab sapaan magang bimbingannya, dia lebih memilih melempar sarkasme dan tatapan tajam.Amora mengernyit bingung. Apa mungkin Giandra tidak mengenalinya? Kenapa lelaki itu terkesan seperti tidak melihat keberadaannya? Fokus mata Giandra hanya tertuju paada dua rekan kerjanya."Telat? Saya rasa tidak, Dok." Wanita berkulit pucat itu melirik jam tangan. "Tepat pukul delapan lebih tiga puluh ... dua menit," jelasnya.Dia meringis saat melihat jarum jam yang panjang sedikit melewati angka enam."Terlambat untuk memberi kesan bahwa kalian membutuhkan perkejaan ini!" Giandra meninggikan suaranya di kata terakhir.Hal itu sukses membuat tiga perempuan di depannya berjengit kaget.Amora sendiri mengusap dadanya yang mendadak
Amora berusaha untuk mengabaikan tatapan dari Giandra. Dia mengambil posisi bersama teman-temannya untuk mengantre makanan."Menurutmu, apakah kita bisa bertahan dengan dokter Giandra?"Amora yang mendadak mendapat pertanyaan itu jadi terkejut."Eh? Maksudmu kita?"Temannya kembali membuang nafas."Wajahnya bisa mengalihkan duniaku, tetapi sikap dan cara bicaranya itu--""Orangnya sedang melihat ke kita." Amora yakin kalau teman-temannya itu tidak sadar atau dengan kehadiran orang yang sejak tadi mereka bicarakan."Dokter Giandra?""Sudah. Lupakan saja. Jangan biarkan nasib kita di sini hanya ditentukan oleh satu orang saja. Dia juga Dokter di sini, hanya dapat tambahan tugas untuk membimbing kita." Sebenarnya itu kalimat yang dia tujukan pada diri sendiri.Jujur saja, Amora merasa tidak nyaman. Dia pikir pertemuannya dengan Giandra saat di pesawat adalah kali pertama dan terakhir mereka. Sudah 5 tahun lamanya dia tinggal di Singapura, tetapi sekalipun tidak pernah melihat sosok itu l
Sore itu Amora pulang tepat waktu, saat dia menuju ke parkiran untuk mengambil mobil tidak sengaja dia melihat Giandra yang sedang berdiri di salah satu pilar basement.Awalnya Amora heran mengapa lelaki itu bisa berdiri di sana, sampai dia melihat pergerakan Giandra yang membuka tempat sampah otomatis dan membuang sesuatu ke sana. Dengan langkah santai, pria tersebut pergi menuju ke mobilnya sendiri.Awalnya Amora tidak begitu tertarik, tetapi karena merasa curiga akhirnya dia menghampiri tong sampah tadi.saat itulah dia yakin bahwa Giandra benar-benar pria berhati dingin dan tidak berperasaan.Hidangan pencuci mulut yang tadi siang diberikan oleh seorang suster kepada Giandra masih tampak berisi penuh sudah masuk le tempat sampah."Kakak dan adik sama saja!" Amora mencibir, kemudian berlalu tampak peduli dan menuju pulang ke apartemennya.Saat dia berbalik, betapa terkejutnya Amora ketika mendapati Giandra yang sudah ada di depannya. “Astaga!” pekiknya.Berbeda dengan wanita itu, G
Pagi ini adalah pagi yang sial. Mungkin efek dari kecipratan genangan air hujan dari mobil dokter tampannya.Amora ingin mengadu pada matahari yang terbit terlalu cepat hari ini—hanya ungkapan bagi mereka yang terlambat bangun.Benar, Amora terlambat. Ini benar-benar sial. Tidak habis pikir saja, dirinya bukanlah anak sekolahan yang bisa terlambat di hari pertama masuk sekolah.Amora menganggap ini sebagai hari pertamanya karena kemarin hanya pengenalan saja.Amora mendapat shift pagi di bagian Accident and Emergency (A&E) dan dia baru bangun 20 menit sebelum masuk jadwalnya.Ini gila, sungguh.Perjalanan menuju rumah sakit saja hampir 15 menit.Dia cemas, terburu-buru hingga kakinya menabrak kaki kursi saat akan mengambil segelas air putih untuk sarapan. Ya, paling tidak ini bisa sedikit menyokong daya konsentrasinya selagi menuju ke rumah sakit.Belum apa-apa, Amora merasa kalau dirinya akan mati saat baru menginjakkan kaki di halaman rumah sakit. Aura mematikan dari Dokter Giandr
Dia pikir dirinya akan disambut dengan teriakan. Karena penasaran dengan ekspresi Giandra saat ini, dia memberanikan diri untuk memandang.Beberapa saat tatapan mereka bertemu dan sialnya lagi adalah, bahkan saat Dokter itu melangkah mendekatinya, Amora tidak bisa berkutik, tidak bisa menurunkan pandangannya, atau hanya sekadar berkedip.Amora seperti patung hidup sampai ….Plakk!Satu pukulan mendarat di kepalanya.Tidak sakit, tetapi jujur saja itu cukup berat. Giandra menggunakan buku—sejenis makalah dengan ketebalan sedang.“Masih berani menatapku?!”Amora merasakan aliran darahnya berhenti, jantungnya meluncur bebas ke lantai kemudian kembali lagi ke tempat asalnya.Plakk!Satu pukulan lagi.“Bagus, besok-besok terlambat dua jam saja sekalian—ah, tidak. Kamu bisa datang pas pergantian shift malam. Bukan di A&E, tapi di pos satpam saja!”Di situasi seperti ini, Amora sempat memikirkan bahwa gaya teriakan Giandra cukup unik. Lelaki itu berkata lembut di awal kalimat, tetapi saat m
Ruangan Dokter Giandra Dwipangga memang cukup luas dan di sana ada dapur mini di mana bisa memasak atau sekedar menyeduh kopi atau teh. Di sanalah Amora sedang menjalankan tugasnya yaitu melayani Dokter Giandra.Teh yang sedang Amora seduh adalah teh hijau sesuai dengan permintaan pria yang saat ini sedang memangku kepalanya di langan kursi putar.Jika boleh jujur memang dokter itu terlihat sangat lelah, dan mata merah yang Amora pikir karena marah kepadanya itu ternyata ada kesan efek dari begadang.Dia jadi tidak tega untuk mengutuk dokter itu sepuas hati."Apa kamu sedang mandi di dapurku?"Suara itu berhasil membuat Amora terkesiap. "Ya, Dok—ah, maksud saya tidak, Dok. Tehnya hampir selesai." Dia mengadu teh itu kemudian membawanya.Hati-hati Amora menaruh gelas yang berisi teh hijau itu di atas meja."Sudah selesai, Dok."Namun, tidak ada jawaban lelaki itu memejamkan mata tampak terlelap seolah benar-benar tidur dan suara tadi yang mengintrupsinya hanya sekedar racauan orang ya
"Ya? Te-tentu saja tidak, Pak.""Terus kenapa masih ada di sini?""Baik, Pak, kalau begitu saya permisi. Nikmati waktu istirahat Anda." Amora undur diri setelah membungkukkan badannya singkat kemudian melangkah pergi ke luar pintu.Barulah Amora bisa bernafas lega saat ini, lupakan saja soal 'nanti'.Saat ini yang harus dilakukan adalah fokus bekerja dan membuktikan bahwa dirinya bukanlah pemalas, pagi ini hanya dia sedang sial saja.Amora bergabung dengan kedua temannya dan melakukan pekerjaan sebagaimana yang harus dilakukan.***"Apa yang dilakukan dokter Giandra padamu?" Agnes bertanya ketika mereka berada di ruang santai untuk membuat kopi."Nggak—maksudku belum. Dia sepertinya sengaja menunda hukumanku meski dia beralasan terlalu lelah dan ingin tidur." Itulah yang mengganggu pikirannya sejak tadi."Sungguh?"Amora membuang nafas panjang, satu cup kopi di tangannya perlahan dia sesap. Setelah itu, barulah dia berbicara, "Aku rasa setelah ini kehidupanku di rumah sakit semasa ma
“Bukannya saya tidak mau, Dok… tapi saya rasa, lebih baik kalau dokter sendiri yang memberitahukan perihal berita kematian ini kepada keluarga pasien. Karena dokter yang tahu sebab dari kematian pasien tersebut. Lagi pula, saya hanya dokter magang di sini dan—.” Belum selesai Amora berbicara, dokter Giandra sudah lebih dulu memotong ucapannya sambil berkata.“Justru karena kamu itu adalah dokter magang. Seharusnya kamu mau melakukan apa pun yang saya tugaskan, sebagai bahan pembelajaran kamu sebagai dokter.”“ Kalau untuk memberitahukan berita kematian saja kamu tidak bisa, Lalu bagaimana nanti kalau kamu tiba-tiba sudah mendapat pasien sesungguhnya dan mengalami hal seperti ini? lagi pula, kamu bisa membaca apa yang menjadi penyebab kematian pasien setelah saya memberikan penjelasannya kepada kamu, bukan?”“ Seharusnya dari situ saja kamu sudah bisa paham dan menjelaskan kepada keluarga pasien. Masa gitu aja harus saya ajarin!” pria yang dipuja-puja sebagai salah satu dokter dengan