Pagi ini adalah pagi yang sial. Mungkin efek dari kecipratan genangan air hujan dari mobil dokter tampannya.Amora ingin mengadu pada matahari yang terbit terlalu cepat hari ini—hanya ungkapan bagi mereka yang terlambat bangun.Benar, Amora terlambat. Ini benar-benar sial. Tidak habis pikir saja, dirinya bukanlah anak sekolahan yang bisa terlambat di hari pertama masuk sekolah.Amora menganggap ini sebagai hari pertamanya karena kemarin hanya pengenalan saja.Amora mendapat shift pagi di bagian Accident and Emergency (A&E) dan dia baru bangun 20 menit sebelum masuk jadwalnya.Ini gila, sungguh.Perjalanan menuju rumah sakit saja hampir 15 menit.Dia cemas, terburu-buru hingga kakinya menabrak kaki kursi saat akan mengambil segelas air putih untuk sarapan. Ya, paling tidak ini bisa sedikit menyokong daya konsentrasinya selagi menuju ke rumah sakit.Belum apa-apa, Amora merasa kalau dirinya akan mati saat baru menginjakkan kaki di halaman rumah sakit. Aura mematikan dari Dokter Giandr
Dia pikir dirinya akan disambut dengan teriakan. Karena penasaran dengan ekspresi Giandra saat ini, dia memberanikan diri untuk memandang.Beberapa saat tatapan mereka bertemu dan sialnya lagi adalah, bahkan saat Dokter itu melangkah mendekatinya, Amora tidak bisa berkutik, tidak bisa menurunkan pandangannya, atau hanya sekadar berkedip.Amora seperti patung hidup sampai ….Plakk!Satu pukulan mendarat di kepalanya.Tidak sakit, tetapi jujur saja itu cukup berat. Giandra menggunakan buku—sejenis makalah dengan ketebalan sedang.“Masih berani menatapku?!”Amora merasakan aliran darahnya berhenti, jantungnya meluncur bebas ke lantai kemudian kembali lagi ke tempat asalnya.Plakk!Satu pukulan lagi.“Bagus, besok-besok terlambat dua jam saja sekalian—ah, tidak. Kamu bisa datang pas pergantian shift malam. Bukan di A&E, tapi di pos satpam saja!”Di situasi seperti ini, Amora sempat memikirkan bahwa gaya teriakan Giandra cukup unik. Lelaki itu berkata lembut di awal kalimat, tetapi saat m
Ruangan Dokter Giandra Dwipangga memang cukup luas dan di sana ada dapur mini di mana bisa memasak atau sekedar menyeduh kopi atau teh. Di sanalah Amora sedang menjalankan tugasnya yaitu melayani Dokter Giandra.Teh yang sedang Amora seduh adalah teh hijau sesuai dengan permintaan pria yang saat ini sedang memangku kepalanya di langan kursi putar.Jika boleh jujur memang dokter itu terlihat sangat lelah, dan mata merah yang Amora pikir karena marah kepadanya itu ternyata ada kesan efek dari begadang.Dia jadi tidak tega untuk mengutuk dokter itu sepuas hati."Apa kamu sedang mandi di dapurku?"Suara itu berhasil membuat Amora terkesiap. "Ya, Dok—ah, maksud saya tidak, Dok. Tehnya hampir selesai." Dia mengadu teh itu kemudian membawanya.Hati-hati Amora menaruh gelas yang berisi teh hijau itu di atas meja."Sudah selesai, Dok."Namun, tidak ada jawaban lelaki itu memejamkan mata tampak terlelap seolah benar-benar tidur dan suara tadi yang mengintrupsinya hanya sekedar racauan orang ya
"Ya? Te-tentu saja tidak, Pak.""Terus kenapa masih ada di sini?""Baik, Pak, kalau begitu saya permisi. Nikmati waktu istirahat Anda." Amora undur diri setelah membungkukkan badannya singkat kemudian melangkah pergi ke luar pintu.Barulah Amora bisa bernafas lega saat ini, lupakan saja soal 'nanti'.Saat ini yang harus dilakukan adalah fokus bekerja dan membuktikan bahwa dirinya bukanlah pemalas, pagi ini hanya dia sedang sial saja.Amora bergabung dengan kedua temannya dan melakukan pekerjaan sebagaimana yang harus dilakukan.***"Apa yang dilakukan dokter Giandra padamu?" Agnes bertanya ketika mereka berada di ruang santai untuk membuat kopi."Nggak—maksudku belum. Dia sepertinya sengaja menunda hukumanku meski dia beralasan terlalu lelah dan ingin tidur." Itulah yang mengganggu pikirannya sejak tadi."Sungguh?"Amora membuang nafas panjang, satu cup kopi di tangannya perlahan dia sesap. Setelah itu, barulah dia berbicara, "Aku rasa setelah ini kehidupanku di rumah sakit semasa ma
“Bukannya saya tidak mau, Dok… tapi saya rasa, lebih baik kalau dokter sendiri yang memberitahukan perihal berita kematian ini kepada keluarga pasien. Karena dokter yang tahu sebab dari kematian pasien tersebut. Lagi pula, saya hanya dokter magang di sini dan—.” Belum selesai Amora berbicara, dokter Giandra sudah lebih dulu memotong ucapannya sambil berkata.“Justru karena kamu itu adalah dokter magang. Seharusnya kamu mau melakukan apa pun yang saya tugaskan, sebagai bahan pembelajaran kamu sebagai dokter.”“ Kalau untuk memberitahukan berita kematian saja kamu tidak bisa, Lalu bagaimana nanti kalau kamu tiba-tiba sudah mendapat pasien sesungguhnya dan mengalami hal seperti ini? lagi pula, kamu bisa membaca apa yang menjadi penyebab kematian pasien setelah saya memberikan penjelasannya kepada kamu, bukan?”“ Seharusnya dari situ saja kamu sudah bisa paham dan menjelaskan kepada keluarga pasien. Masa gitu aja harus saya ajarin!” pria yang dipuja-puja sebagai salah satu dokter dengan
Selain karena usianya yang memang sudah cukup tua, kondisi tubuh dan juga organ vitalnya yang sudah tidak terlalu baik. Ditambah komplikasi penyakit yang luar biasa banyaknya. Tidak bisa terbayangkan oleh Amora, seperti apa rasanya menjadi pasien tersebut.Walaupun dia mendapatkan perawatan yang terbaik di rumah sakit ini. siapa sih orang yang suka mendapat perawatan di rumah sakit?Apalagi di ruang ICU yang pastinya sangat tidak nyaman karena harus sendirian tanpa ada keluarga yang bisa menemani dan mengajaknya mengobrol.Ditambah lagi begitu Amora melihat daftar obat-obatan yang diberikan kepada pasien tersebut. sebagai seorang dokter yang masih magang, Amora memang sudah sempat diberitahu bahwa seorang pasien yang penderita berbagai macam penyakit biasanya akan mengonsumsi berbagai macam obat pula. Tapi obat-obatan yang dimaksud itu, tidak akan terlalu banyak dan hanya dikonsumsi lewat oral saja. Namun pada pasien ini, obat-obatannya lebih banyak melalui suntikan, dan juga ada b
Betul kata dokter Giandra, begitu sampai di depan ruang tunggu di dalam ruang ICU tersebut.Ada satu gerombolan keluarga yang terdiri dari seorang laki-laki berusia sekitar 30 tahunan, seorang perempuan dengan usia yang kisarannya hampir sama, dan juga dua orang laki-laki lainnya yang berusia sekitar 40 tahunan berdiri sambil menunggu dengan cemas.Namun si perempuannya masih duduk dengan raut wajah yang khawatir begitu kentara.Begitu melihat sosok dokter itu keluar dari ruangan tersebut. mereka semua langsung berlarian mendekat dan mengerubungi dokter Giandra dan juga Amora. Dengan wajah yang cemas dan penuh harap, mata mereka yang terlihat sembab dan juga berkaca-kaca menunjukkan bahwa mereka begitu khawatir dan takut jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada keluarga mereka yang saat ini sedang menjalani perawatan di dalam ruang ICU.“Kebaikan apa yang tadi aku katakan kepadamu,” perintah dokter Giandra kepada Amora kemudian.Sambil sesekali menundukkan kepalanya dan terlihat c
Giandra kemudian mulai berjalan mendekat dan berdiri tepat di sisi Amora. Sepertinya dia tahu persis apa yang akan terjadi setelah Amora mengumumkan kematian dari pasiennya tersebut kepada pihak keluarga.Dan benar saja, ketika setelah Amora mengumumkan berita kematian tersebut kepada pihak keluarganya.Perempuan yang berusia 30 tahunan tersebut, yang awalnya terlihat cukup tenang saat melakukan komunikasi bersama Amora, kemudian berteriak histeris dan menangis.Dia bahkan sampai menjatuhkan dirinya ke lantai dan seperti sedang mengamuk sendiri. hingga laki-laki yang diperkenalkan sebagai suaminya tersebut, harus ikut berjongkok dan mencoba menenangkan istrinya itu.Sementara dua pria lainnya yang terlihat lebih bisa mengendalikan dirinya walaupun merasa sangat terkejut atas berita yang disampaikan oleh Amora barusan.Mereka memang sedih dan merasa bingung dengan apa yang terjadi, tapi mereka hanya bersikap dengan cukup tenang dan terduduk di ruangan tunggu di ruang ICU tersebut sambi