Baskoro tidak segera merespon apa yang ia dengar. Ucapan itu seperti cambuk petir di kepalanya.
"Hentikan! Aku tak membutuhkan kamu lagi, aku hanya butuh Bastian. Berikan padaku dan menikahlah dengan pria pilihanmu!" "Sungguh aku tak ingin menikahi siapapun jika Bastian harus pergi dariku," air mata Intan meluncur, itu terlalu menyakitkan baginya."Kumohon Bas, biarkan Bastian bersamaku! Namun aku membiarkan kamu menemuinya kapanpun kamu mau.""Baiklah jika itu maumu, tapi memang benar aku tidak akan menceraikanmu dan juga tidak menganggap kamu adalah istriku!" Ucapnya kemudian."Bas, itu tidak mungkin bukan?" Intan masih menggantung pernyataan Baskoro."Kalau aku istrimu, maka biarlah aku menjadi istrimu Bas, mengapa kamu membuatku bingung?" Intan memegangi kedua lengan Baskoro. Ia ingin Baskoro melihatnya."Apa maksudmu? Kau tahu aku telah mempunyai seorang istri bukan?""Aku tak akan perduli, aku hanya ingin kamu hadir sebagai ayah Bastian dan ak"Tidak! Aku tidak bisa bersamamu Wulan, apakah kamu tidak mengingat perjanjian yang telah kita sepakati? Maafkan, aku tidak bisa bersamamu!"Ucapan itu cukup menggema di telinga Wulan. Ia benar-benar tak bisa membuat Baskoro tertarik kepadanya. Namun ia tak boleh menyerah begitu saja."Jika kamu mengembalikan aku ke kampung, lebih baik aku mati saja. Aku tidak mau bercerai denganmu Mas," lirih Wulan, tetapi itu cukup jelas di telinga Baskoro.Baskoro mengacak rambutnya."Mengapa masalah semakin rumit saja!!" Geramnya."Apa yang kamu lakukan? Mengapa aku harus mengikuti kemauanmu?" Baskoro frustasi."Aku tidak bisa Mas, aku sangat mencintaimu!"Wanita benar-benar gila! Mengapa mencintai harus seperti ini? Batinnya berkecamuk."Tidak! Aku tidak mengijinkan kamu mencintaiku, kamu harus segera kembali. Disini Jakarta Wulan, apa kamu mau tidur di kolong jembatan?""Aku tidak perduli Mas, aku akan lakukan apapun untuk bersamamu," Wu
"Apa yang akan kamu lakukan sebenarnya?" Andre mencari tahu penyebab Intan mengatakan semua itu. "Haruskah aku memberi tahu musuhku?" Jawab Intan. "Aku calon suamimu, bukan musuhmu." "Kau harus menyiapkan seorang wanita pengganti atau menyewa seorang gadis untuk menggantikan posisiku, atau kamu akan dibuat malu karena kehilangan mempelai!" Ancamnya. "Mana ada seperti itu?" Andre jadi kesal karenanya. "Tentu ada, aku banyak baca di novel tentang kisah semacam itu. Sewa saja seorang gadis lalu kamu bisa jatuh cinta kepadanya!" "Cerita fiksi? Ah, kamu seorang manajer eksekutif, bagaimana sempat baca novel?" "Akan kubuat kalau tidak ada.. emm, Andre sebagai tokoh utama. Oke?" "Candaan kamu keterlaluan. Aku tidak mau menjalani hidup dalam dongeng menyedihkan seperti itu," protes Andre. Kalau begitu Cepatlah mundur dan jangan setujui keinginan Ayahku maka kita akan sama-sama terbebas Andre
"Baiklah, aku akan menceraikan kamu, agar kamu bebas menikahi siapapun. Maafkan karena aku tidak bisa menjadi suami yang baik."Dedaunan seakan runtuh berserakan mendengar Baskoro mengucapkan semua kalimat itu. Pijakan yang menahan Intan berdiri seakan bergetar dan berputar. Intan sudah menyerah untuk berharap sejak lama, tapi ia tak pernah siap untuk mendengar kalimat ini. Satu-satunya harapan terakhir adalah membuat Baskoro mengasihani dirinya."Mengapa begitu mudahnya Kamu melepaskan diriku?" Suara serak Intan membuat Baskoro melihatnya."Aku tidak bisa bersamamu, dan Kamu juga tidak bisa bersamaku, itu sudah cukup jelas buat kita. Lagian kita memang akan menempuh jalan hidup kita masingmasing.""Lalu bagaimana dengan putra kita?"Baskoro mendesah. Mereka harus berakhir seperti ini, siapa yang menyangka?"Aku akan selalu mengunjunginya dan tidak mengambilnya darimu. Apa kau puas?""Puas? Apa yang akan membuatku puas Bas? Aku
Setelah sekian lama rasa bergantung itu menancap dalam hatinya, sekarang Intan merasa terjun bebas seakan terjatuh dari cakrawalanya. Ia tak bisa lagi mengharap cinta dari pria bernama Baskoro. Hidupnya gamang tak bertepi. Ia hanya bisa menekan rasa sakit yang menusuk dadanya dengan memukul-mukul sedikit kuat ke dadanya. "Baiklah, aku akan menikahi Andre. Mungkin itu sedikit melupakan rasa sakit ini," gumam Intan lirih. "Mommy, aku ingin bermain sepeda," Bastian menarik tangan Intan untuk keluar rumah. Saat itulah Intan bisa melihat Baskoro telah berdiri di depan pintu rumahnya. "Bolehkah aku masuk?" Intan hanya melebarkan pintu itu tanpa bersuara. Bastian berlari keluar menghampiri Nita dan mengajak Nita bermain di halaman. Baskoro masuk ke dalam rumah Villa, ia duduk disebuah kursi di sana. "Aku senang Bastian bisa menikmati kehidupan yang layak," gumamnya sambil mengedarkan matanya ke rumah bagus itu. "
Baskoro menelan salivanya, saat bocah bermata jernih itu menatapnya lama tak berkedip. Seakan menunggu dengan pasti sesuatu yang akan keluar dari mulutnya. Baskoro membisu dan lidahnya terasa kelu. Ia ketakutan, apa yang terjadi jika ia mengaku bahwa ia adalah ayahnya yang selama ini menghilang? Ia merasa tak berguna lalu sekarang ia akan mengaku sebagai ayahnya?Bastian tertunduk lesu pada akhirnya, ketika Baskoro tak jua membuka suara. Ia sungguh menanti jawaban yang sangat ia nantikan. Iapun menjauhkan tubuhnya dari Baskoro. Ia sangat kecewa karena belum bertemu dengan ayahnya."Ternyata bukan?" gumamnya sambil melangkah pergi.Baskoro yang masih mematung lalu terkesiap. Tanpa berpikir panjang tangannya merengkuh tubuh bocah itu dan memeluknya. Hatinya seakan dialiri air hangat saat mencium aroma wangi bocah itu. Ia benar-benar ingin mendekapnya."Anakku," bisiknya parau, inilah pertama kali ia merasa menjadi seorang ayah. Air matanya berguli
Intan menatap jengah kamar Bastian. Kamar itu penuh dengan mainan yang berserakan."Mommy tak mengerti mengapa kamar ini lebih mirip dengan tempat pembuangan sampah rongsokan?" Lalu Intan mengambil beberapa carbot dan meletakkannya pada showcase di kamar itu."Aku bingung, mainan mana lagi yang belum aku mainkan," desah bocah itu di tepi tempat tidur. "Kamu bosan? Kalau begitu ayo kita jalan-jalan," tawarnya. Bastian melihat penampilan Intan yang sudah rapi, menunjukkan ia akan berangkat ke kantor. "Apakah Mommy tidak akan bekerja lagi jika Daddy bersama kita?" Intan menatap mata coklat Bastian. Apa maksud putranya ini? "Apakah Mommy akan sering bersamaku jika Daddy bekerja untuk kita?" Intan bingung karena dia adalah pengelola perusahaan besar, mungkinkah ia akan bisa bersantai seperti wanita yang lain yang sepenuhnya hidup untuk mengabdi kepada keluarganya? "Mommy harus bekerja bukan? Baiklah Mommy, berangkatlah bekerja
"Kamu membuatku malu Intan, haruskah kamu membawanya kemari?" ujarnya sambil memunguti beberapa pakaian kotor yang berserakan. Bahkan masih ada piring kotor bekas makan hari sebelumnya di sudut ruangan. "Kamu masih sama seperti dulu, malas mencuci piring setelah makan," celoteh Intan.Baskoro hanya nyengir. Intan masih punya hobi mengomel rupanya."Paman ternyata sangat miskin," gumam Bastian, membuat Intan membekap mulut putranya. "Tidak apa, aku menyukai kejujuran dan menerima kenyataan. Duduklah di sini!"Baskoro menepuk bentangan karpet kecil berwarna merah, mempersilahkan mereka duduk."Apa yang membawa kalian kesini? Sepertinya ada sesuatu yang penting?"tanya Baskoro, sesekali ia melihat Bastian dengan senyuman bahagia. Bocah itu disibukkan dengan pemandangan yang tak pernah dilihatnya. Pemandangan kotor dan kumuh. "Aku membutuhkan bantuannya," kata Intan menjawabnya."Bantuan apa yang harus kuberikan?"Intan melihat ke belakang Ba
"Daddy, maukah engkau menggendongku?" Baskoro melihatnya, ia sangat senang dengan panggilan barunya itu. Dengan segera Baskoro menyerahkan punggungnya untuk dinaiki Bastian. Mereka melangkah di hamparan pasir putih yang landai. Sesekali ombak yang berkejaran menghampiri langkah-langkah mereka. "Apakah jauh dari sini?" tanya Intan menanyakan tempat peristirahatan yang mereka tuju. Intan melihat Bastian sudah tampak letih dan mengantuk. "Tidak, lihatlah gazebo merah itu, kita akan kesana. Disana tempatnya sangat nyaman dan makanannya juga enak," Intan mengangguk mengerti. Hempasan angin membuat rambut Intan berkibar, Baskoro sesekali mencuri pandang kearahnya."Mengapa kamu mewarnai rambutmu?" Ia sekedar ingin tahu saja. "Apakah warnanya sudah hampir habis dan memudar?""Hmm, begitulah.""Sudah sampai batasnya kalau begitu," gumamnya.Tentu saja Baskoro tak mengerti maksud ucapan Intan. "Haruskah aku memberi cat baru atau membiarkan