Baskoro menelan salivanya, saat bocah bermata jernih itu menatapnya lama tak berkedip. Seakan menunggu dengan pasti sesuatu yang akan keluar dari mulutnya. Baskoro membisu dan lidahnya terasa kelu. Ia ketakutan, apa yang terjadi jika ia mengaku bahwa ia adalah ayahnya yang selama ini menghilang? Ia merasa tak berguna lalu sekarang ia akan mengaku sebagai ayahnya?
Bastian tertunduk lesu pada akhirnya, ketika Baskoro tak jua membuka suara. Ia sungguh menanti jawaban yang sangat ia nantikan. Iapun menjauhkan tubuhnya dari Baskoro. Ia sangat kecewa karena belum bertemu dengan ayahnya."Ternyata bukan?" gumamnya sambil melangkah pergi.Baskoro yang masih mematung lalu terkesiap. Tanpa berpikir panjang tangannya merengkuh tubuh bocah itu dan memeluknya. Hatinya seakan dialiri air hangat saat mencium aroma wangi bocah itu. Ia benar-benar ingin mendekapnya.
"Anakku," bisiknya parau, inilah pertama kali ia merasa menjadi seorang ayah. Air matanya berguli
Intan menatap jengah kamar Bastian. Kamar itu penuh dengan mainan yang berserakan."Mommy tak mengerti mengapa kamar ini lebih mirip dengan tempat pembuangan sampah rongsokan?" Lalu Intan mengambil beberapa carbot dan meletakkannya pada showcase di kamar itu."Aku bingung, mainan mana lagi yang belum aku mainkan," desah bocah itu di tepi tempat tidur. "Kamu bosan? Kalau begitu ayo kita jalan-jalan," tawarnya. Bastian melihat penampilan Intan yang sudah rapi, menunjukkan ia akan berangkat ke kantor. "Apakah Mommy tidak akan bekerja lagi jika Daddy bersama kita?" Intan menatap mata coklat Bastian. Apa maksud putranya ini? "Apakah Mommy akan sering bersamaku jika Daddy bekerja untuk kita?" Intan bingung karena dia adalah pengelola perusahaan besar, mungkinkah ia akan bisa bersantai seperti wanita yang lain yang sepenuhnya hidup untuk mengabdi kepada keluarganya? "Mommy harus bekerja bukan? Baiklah Mommy, berangkatlah bekerja
"Kamu membuatku malu Intan, haruskah kamu membawanya kemari?" ujarnya sambil memunguti beberapa pakaian kotor yang berserakan. Bahkan masih ada piring kotor bekas makan hari sebelumnya di sudut ruangan. "Kamu masih sama seperti dulu, malas mencuci piring setelah makan," celoteh Intan.Baskoro hanya nyengir. Intan masih punya hobi mengomel rupanya."Paman ternyata sangat miskin," gumam Bastian, membuat Intan membekap mulut putranya. "Tidak apa, aku menyukai kejujuran dan menerima kenyataan. Duduklah di sini!"Baskoro menepuk bentangan karpet kecil berwarna merah, mempersilahkan mereka duduk."Apa yang membawa kalian kesini? Sepertinya ada sesuatu yang penting?"tanya Baskoro, sesekali ia melihat Bastian dengan senyuman bahagia. Bocah itu disibukkan dengan pemandangan yang tak pernah dilihatnya. Pemandangan kotor dan kumuh. "Aku membutuhkan bantuannya," kata Intan menjawabnya."Bantuan apa yang harus kuberikan?"Intan melihat ke belakang Ba
"Daddy, maukah engkau menggendongku?" Baskoro melihatnya, ia sangat senang dengan panggilan barunya itu. Dengan segera Baskoro menyerahkan punggungnya untuk dinaiki Bastian. Mereka melangkah di hamparan pasir putih yang landai. Sesekali ombak yang berkejaran menghampiri langkah-langkah mereka. "Apakah jauh dari sini?" tanya Intan menanyakan tempat peristirahatan yang mereka tuju. Intan melihat Bastian sudah tampak letih dan mengantuk. "Tidak, lihatlah gazebo merah itu, kita akan kesana. Disana tempatnya sangat nyaman dan makanannya juga enak," Intan mengangguk mengerti. Hempasan angin membuat rambut Intan berkibar, Baskoro sesekali mencuri pandang kearahnya."Mengapa kamu mewarnai rambutmu?" Ia sekedar ingin tahu saja. "Apakah warnanya sudah hampir habis dan memudar?""Hmm, begitulah.""Sudah sampai batasnya kalau begitu," gumamnya.Tentu saja Baskoro tak mengerti maksud ucapan Intan. "Haruskah aku memberi cat baru atau membiarkan
"Lalu apa yang akan kamu lakukan dengan meninggalkan kesepakatan kalian? Apakah kamu akan baik-baik saja?" Baskoro melihat wanita yang telah sembab dengan air mata itu, ia belum mengatakan apapun sebagai alasan kuat untuknya melakukan semua ini. "Aku tak bisa menerimanya, dan juga Bastian. Ia tak menginginkan pria itu meskipun ia telah lama mengenalnya. Ia hanya menginginkan kamu, meskipun ia belum menerima kalau engkau adalah ayahnya," terang Intan. "Bagaimana denganmu? Apakah engkau menginginkan aku kembali?" Intan menatap pria itu dengan mata menyipit, ia ingin tahu lebih dalam apa yang ada didalam dada pria di hadapannya ini. Apakah itu ucapan yang tulus? "Tadinya aku mengharapkan kamu adalah satu-satunya pria dalam hidupku, tapi sekarang aku tak yakin," suara itu sangat ringan keluar dari mulutnya. Entahlah, semenjak ia mendengar ucapan Baskoro menceraikannya, hatinya menjadi hambar dan berlubang. Ia telah terjatuh pada palung yan
Mereka hampir lupa dengan keberadaan Bastian di ruangan itu, hingga Bastian merengek karena minta makan. "Tentu sayang, Mommy akan membeli makanan untukmu." Intan beranjak, tapi Baskoro menghalanginya. "Aku ayahnya, biarkan aku yang membelinya," ucapnya sambil memegang lengan Intan. "Tidak, akulah ibunya yang lebih tahu makanan kesukaannya," Intan berusaha melepaskan pegangan Baskoro di lengannya. "Intan..." "Bas... Biarkan saja aku yang membelinya!" "Tidak! Toko makanan cukup jauh dari sini," bantahnya. "Mommy, Daddy kenapa kalian bertengkar?" Baskoro melepaskan cengkraman tangannya, ia bisa melihat bagaimana Intan tersenyum karena menang. Setelah Intan pergi, Baskoro mendekati Bastian dan duduk di sebelahnya. "Paman, apakah engkau menyukai Mommy?" Baskoro terkejut saat Bastian memanggilnya paman kembali setelah Intan tidak ada. "Kenapa Bastian memanggilku paman lagi?" Protes Baskoro.
"Apa maksudmu Intan mempunyai anak? Katakan dengan jelas apa maksud omonganmu itu!" Sekarang Andre tak akan bisa mengelak dari pertanyaan Abraham, masalah ini tak mungkin dianggap remeh oleh Abraham. Ia sedikit menyesal, tapi semua sudah terlambat. "Intan melahirkan seorang anak di Australia Om, anak itu bernama Bastian." "Jadi menurutmu dia adalah cucuku? Dia adalah anak bajingan, mana mungkin aku bisa menganggap dia cucuku?" Andre terdiam, tapi ia tak tahan dengan ucapan Abraham. Intan sangatlah mencintai anak itu. "Itulah sebabnya Intan menyembunyikan anak itu selama enam tahun lamanya, bukankah itu cukup membuatnya menderita Om," Andre berharap Abraham tidak terlalu keras dalam menentang putrinya. Abraham mengeratkan giginya. Ia sangat murka dengan kebohongan Intan terhadapnya. Lalu ia memikirkan sebuah cara. "Apakah menurutmu Intan masih berhubungan dengan Baskoro?" "Saya tidak yakin Om, tetapi sebenarnya pria itu
Intan sangat tergesa-gesa, ia sangat takut sesuatu bakal terjadi dengan ayahnya. Setelah turun dari taksi ia berlari sekuatnya memasuki rumahnya. Ia berlari menuju kamar ayahnya. Akan tetapi ia sangat heran saat Andre dan Abraham mengobrol santai di sana. "Kalian menipuku?" ucap Intan kesal bukan main. Ia telah mengeluarkan seluruh tenaganya untuk mencapai tempat ini dan membayar ongkos taksi tiga kali lipat karena mengejar waktu. Intan merebahkan tubuhnya pada sandaran sofa, memijit pelipisnya yang tertimpa stress. "Oh God!" desahnya. "Apakah kamu datang pada saat yang tepat putriku?" Abraham membuka suara, sementara Andre melihatnya dengan mata yang gugup. "Ayah tahu semua hal membuatku frustasi sekarang ini." Intan bangkit mengambil tas kecilnya hendak keluar dari ruangan itu. "Kamu tidak bisa menolaknya, atau aku akan mencelakai Baskoro." Ancam ayahnya. Intan lelah, selalu itu yang mereka ributkan. Ia sangat
Itu tak akan pernah terbayangkan di dalam benak siapapun yang menikah di hari bahagianya, namun wanita yang tak rela menikah pasti ia ingin lari seperti dirinya. Ia mengingat Bastian yang tertidur di dalam buaian Baskoro, ia ingat Baskoro yang selama ini ia cintai. "Ah, aku harus lari meski tak kembali," batinnya. Intan mengepalkan tangannya, menantikan seorang wanita yang bersedia menggantikan dirinya, dia adalah wanita yang disewa Andre. Itu gila! Tapi ia lebih gila dalam mencintai Bastian dan Baskoro. Ia gelisah saat ini. Handle pintu itu berputar, seakan memutar perasaannya yang pilu. Seorang wanita masuk dengan anggun, ia sangat cantik dan bermata dingin. "Vina," wanita itu memperkenalkan dirinya. "Anda beruntung, dia telah kau tolak tapi masih menolongmu dengan segala cara," ucapnya sarkas. "Aku tahu, tapi aku tak seberuntung itu jika harus kehilangan dua orang yang aku cintai," Intan masih meneteskan air mata. Jiwanya berg