"Kamu membuatku malu Intan, haruskah kamu membawanya kemari?" ujarnya sambil memunguti beberapa pakaian kotor yang berserakan. Bahkan masih ada piring kotor bekas makan hari sebelumnya di sudut ruangan.
"Kamu masih sama seperti dulu, malas mencuci piring setelah makan," celoteh Intan.
Baskoro hanya nyengir. Intan masih punya hobi mengomel rupanya."Paman ternyata sangat miskin," gumam Bastian, membuat Intan membekap mulut putranya."Tidak apa, aku menyukai kejujuran dan menerima kenyataan. Duduklah di sini!"
Baskoro menepuk bentangan karpet kecil berwarna merah, mempersilahkan mereka duduk."Apa yang membawa kalian kesini? Sepertinya ada sesuatu yang penting?"tanya Baskoro, sesekali ia melihat Bastian dengan senyuman bahagia. Bocah itu disibukkan dengan pemandangan yang tak pernah dilihatnya. Pemandangan kotor dan kumuh."Aku membutuhkan bantuannya," kata Intan menjawabnya.
"Bantuan apa yang harus kuberikan?"Intan melihat ke belakang Ba"Daddy, maukah engkau menggendongku?" Baskoro melihatnya, ia sangat senang dengan panggilan barunya itu. Dengan segera Baskoro menyerahkan punggungnya untuk dinaiki Bastian. Mereka melangkah di hamparan pasir putih yang landai. Sesekali ombak yang berkejaran menghampiri langkah-langkah mereka. "Apakah jauh dari sini?" tanya Intan menanyakan tempat peristirahatan yang mereka tuju. Intan melihat Bastian sudah tampak letih dan mengantuk. "Tidak, lihatlah gazebo merah itu, kita akan kesana. Disana tempatnya sangat nyaman dan makanannya juga enak," Intan mengangguk mengerti. Hempasan angin membuat rambut Intan berkibar, Baskoro sesekali mencuri pandang kearahnya."Mengapa kamu mewarnai rambutmu?" Ia sekedar ingin tahu saja. "Apakah warnanya sudah hampir habis dan memudar?""Hmm, begitulah.""Sudah sampai batasnya kalau begitu," gumamnya.Tentu saja Baskoro tak mengerti maksud ucapan Intan. "Haruskah aku memberi cat baru atau membiarkan
"Lalu apa yang akan kamu lakukan dengan meninggalkan kesepakatan kalian? Apakah kamu akan baik-baik saja?" Baskoro melihat wanita yang telah sembab dengan air mata itu, ia belum mengatakan apapun sebagai alasan kuat untuknya melakukan semua ini. "Aku tak bisa menerimanya, dan juga Bastian. Ia tak menginginkan pria itu meskipun ia telah lama mengenalnya. Ia hanya menginginkan kamu, meskipun ia belum menerima kalau engkau adalah ayahnya," terang Intan. "Bagaimana denganmu? Apakah engkau menginginkan aku kembali?" Intan menatap pria itu dengan mata menyipit, ia ingin tahu lebih dalam apa yang ada didalam dada pria di hadapannya ini. Apakah itu ucapan yang tulus? "Tadinya aku mengharapkan kamu adalah satu-satunya pria dalam hidupku, tapi sekarang aku tak yakin," suara itu sangat ringan keluar dari mulutnya. Entahlah, semenjak ia mendengar ucapan Baskoro menceraikannya, hatinya menjadi hambar dan berlubang. Ia telah terjatuh pada palung yan
Mereka hampir lupa dengan keberadaan Bastian di ruangan itu, hingga Bastian merengek karena minta makan. "Tentu sayang, Mommy akan membeli makanan untukmu." Intan beranjak, tapi Baskoro menghalanginya. "Aku ayahnya, biarkan aku yang membelinya," ucapnya sambil memegang lengan Intan. "Tidak, akulah ibunya yang lebih tahu makanan kesukaannya," Intan berusaha melepaskan pegangan Baskoro di lengannya. "Intan..." "Bas... Biarkan saja aku yang membelinya!" "Tidak! Toko makanan cukup jauh dari sini," bantahnya. "Mommy, Daddy kenapa kalian bertengkar?" Baskoro melepaskan cengkraman tangannya, ia bisa melihat bagaimana Intan tersenyum karena menang. Setelah Intan pergi, Baskoro mendekati Bastian dan duduk di sebelahnya. "Paman, apakah engkau menyukai Mommy?" Baskoro terkejut saat Bastian memanggilnya paman kembali setelah Intan tidak ada. "Kenapa Bastian memanggilku paman lagi?" Protes Baskoro.
"Apa maksudmu Intan mempunyai anak? Katakan dengan jelas apa maksud omonganmu itu!" Sekarang Andre tak akan bisa mengelak dari pertanyaan Abraham, masalah ini tak mungkin dianggap remeh oleh Abraham. Ia sedikit menyesal, tapi semua sudah terlambat. "Intan melahirkan seorang anak di Australia Om, anak itu bernama Bastian." "Jadi menurutmu dia adalah cucuku? Dia adalah anak bajingan, mana mungkin aku bisa menganggap dia cucuku?" Andre terdiam, tapi ia tak tahan dengan ucapan Abraham. Intan sangatlah mencintai anak itu. "Itulah sebabnya Intan menyembunyikan anak itu selama enam tahun lamanya, bukankah itu cukup membuatnya menderita Om," Andre berharap Abraham tidak terlalu keras dalam menentang putrinya. Abraham mengeratkan giginya. Ia sangat murka dengan kebohongan Intan terhadapnya. Lalu ia memikirkan sebuah cara. "Apakah menurutmu Intan masih berhubungan dengan Baskoro?" "Saya tidak yakin Om, tetapi sebenarnya pria itu
Intan sangat tergesa-gesa, ia sangat takut sesuatu bakal terjadi dengan ayahnya. Setelah turun dari taksi ia berlari sekuatnya memasuki rumahnya. Ia berlari menuju kamar ayahnya. Akan tetapi ia sangat heran saat Andre dan Abraham mengobrol santai di sana. "Kalian menipuku?" ucap Intan kesal bukan main. Ia telah mengeluarkan seluruh tenaganya untuk mencapai tempat ini dan membayar ongkos taksi tiga kali lipat karena mengejar waktu. Intan merebahkan tubuhnya pada sandaran sofa, memijit pelipisnya yang tertimpa stress. "Oh God!" desahnya. "Apakah kamu datang pada saat yang tepat putriku?" Abraham membuka suara, sementara Andre melihatnya dengan mata yang gugup. "Ayah tahu semua hal membuatku frustasi sekarang ini." Intan bangkit mengambil tas kecilnya hendak keluar dari ruangan itu. "Kamu tidak bisa menolaknya, atau aku akan mencelakai Baskoro." Ancam ayahnya. Intan lelah, selalu itu yang mereka ributkan. Ia sangat
Itu tak akan pernah terbayangkan di dalam benak siapapun yang menikah di hari bahagianya, namun wanita yang tak rela menikah pasti ia ingin lari seperti dirinya. Ia mengingat Bastian yang tertidur di dalam buaian Baskoro, ia ingat Baskoro yang selama ini ia cintai. "Ah, aku harus lari meski tak kembali," batinnya. Intan mengepalkan tangannya, menantikan seorang wanita yang bersedia menggantikan dirinya, dia adalah wanita yang disewa Andre. Itu gila! Tapi ia lebih gila dalam mencintai Bastian dan Baskoro. Ia gelisah saat ini. Handle pintu itu berputar, seakan memutar perasaannya yang pilu. Seorang wanita masuk dengan anggun, ia sangat cantik dan bermata dingin. "Vina," wanita itu memperkenalkan dirinya. "Anda beruntung, dia telah kau tolak tapi masih menolongmu dengan segala cara," ucapnya sarkas. "Aku tahu, tapi aku tak seberuntung itu jika harus kehilangan dua orang yang aku cintai," Intan masih meneteskan air mata. Jiwanya berg
Baskoro hampir tak mengenali wanita ini dengan pakaian yang sangat buruk, kepalanya tertutup kain sehingga warna blondes itu tak kelihatan. Kaki tangannya sangat dingin, bibirnya memutih dan pakaiannya basah karena air laut. Ia berlari membawa kompres air panas, menyeka wajahnya yang berpasir. Lalu ia mengganti pakaiannya dengan pakaian seadanya. Menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal. Sesuatu yang besar pasti telah terjadi, ia menyangka Intan telah lari dari pertunangannya. Bekas make up tebal masih tertinggal di sebagian wajahnya. Wanita itu sungguh sangat kacau penampilannya. Apa yang terjadi sebenarnya? Bastian menyentuh wajah yang tenang itu dengan tangan kecilnya, sesekali memeluk tubuhnya. "Mommy, jangan tinggalkan Bastian. Mommy..." Lirih bocah itu. *** Abraham menggeram, kemarahannya memuncak. Situasi semakin kacau tak terkendali. Matanya memerah dan rahangnya mengeras, pria tua itu sangat frustasi. Ia ingin m
"Itu terlalu berat, kau harus tetap menghadapi ayahmu dan meminta maaf kepadanya. Aku akan memikirkan cara untuk bisa keluar dari situasi ini." Intan menatap sendu pria itu. Ia tak akan melepaskannya lagi jika bisa. Namun hatinya mulai goncang saat wanita lain telah berada disisi Baskoro. Ia terlalu berhalusinasi dan mengharapkan pertolongan pria yang tak seharusnya. Kenapa aku selalu bodoh? batinnya. "Bas, bolehkah aku bertanya sesuatu?" kini Intan merasa canggung karenanya. "Tanyakan, apa itu?" Baskoro selalu tenang menghadapi Intan. Meskipun sebenarnya ia sungguh merindukan wanita itu, ia ingin menjadi pahlawan hidupnya. Tapi saat ini ia tak mungkin melakukan dengan gegabah. "Apakah kamu mencintai wanita itu?" Baskoro tersenyum getir, sebenarnya sejak lama ia ingin bercerita tentang jati diri rumah tangganya. Akan tetapi ia merasa belum saatnya. "Kamu cemburu?" "Tidak!" Intan melepaskan tangannya dari lengan Baskoro. I
Kebahagiaan semakin mewarnai mansion Abraham. Baik Intan dan juga Baskoro menjalani kehidupan rutinitas mereka dengan baik dan bahagia.Begitu juga Abraham yang menikmati hari hari masa tuanya bersama Anita. Rumor tentang pelakor pada Anita sudah tidak lagi terdengar gaungnya. Itu semua berkat Intan yang selalu membungkam mulut orang jahat yang berusaha merendahkan ibu tirinya."Untuk apa membahas masa lalu? Dia sekarang dah menjadi ibuku yang berarti menggantikan posisi ibu kandungku. Jadi, dia adalah ibuku yang sebenarnya," ujarnya membantah omongan miring beberapa kerabat yang tidak menyukai keberadaan Anita di sisi Abraham.Dan Indra juga menjalani hidupnya dengan baik. Setelah menyelesaikan sekolah iapun berangkat ke Boston untuk bersekolah sekaligus berlatih dengan pelatih Basket yang berpengalaman. Ia sudah melupakan Melissa yang kini sudah menikah dengan dokter Yusac. Ia merasa bahwa itulah yang terbaik untuk mereka sehingga tak ada penyesalan sedikitpun dengan jalan yang mere
Seluruh penghuni mansion dikejutkan dengan penampilan Bastian yang sedikit aneh, lucu tapi memprihatinkan.Mereka heboh dengan ekspresi yang bermacam-macam.Ada yang tertawa, khawatir dan malah gemas. Tidak kalah hebohnya adalah kakek Abraham dan juga Neneknya yang menatapnya prihatin."Ingat kata nenek, jangan suka bermain di tempat yang banyak lebahnya. Lihatlah, dia kira ini sarang lebah sehingga salah bertengger?" cicitnya sambil menatap prihatin pada cucunya.Bastian tak bisa menyangkal karena tidak bisa menggerakkan bibirnya melainkan akan terasa sangat nyeri. Begitu juga para maid yang prihatin."Aduuh, pasti sakit sekali. Bastian, apa kamu pernah mengejek seseorang sehingga mendapatkan balasan seperti ini?" tanya salah seorang maid yang sering Bastian panggil dengan nama maid Cerewet. Ingin rasanya Bastian menjawab ucapan mereka dengan sangat marah dan kesal, sayang sekali ia hanya bisa diam tak berdaya.Meskipun sudah diobati, efek bengkak tersebut tidak hilang begitu saja.
Meskipun kepulangan Baskoro ke kampung halamannya menyisakan kesedihan. Setidaknya segala misteri wasiat orang tuanya sungguh terungkap. Baskoro merasa ayah Waluyo sangat memperhatikan hidupnya. Dia tahu bahwa Baskoro tidak pernah menyukai Wulan sehingga ia membiarkan Baskoro menjalani pilihannya."Kau tak menyesal menikah denganku setelah tahu menikahi Wulan adalah wasiat orang tuamu?" tanya Intan saat mereka menghabiskan waktu di taman belakang rumahnya."Kenapa memangnya? Apa kau yang mulai menyesal sekarang?""Tidak, aku hanya ingin tahu isi hatimu.""Kenapa? Pahami dulu isi hatimu baru ingin tahu isi hati orang lain. Atau bilang saja kau ini sedang cemburu."Intan menyebik. Selalu saja itu alasan yang Baskoro lontarkan kalau dia ingin mendengar isi hatinya."Huft, untuk apa aku harus cemburu.""Kenapa? Apa salah dengan kecemburuan?" goda Baskoro dengan lembut mengatakannya.Wajah Intan bersemu merah. Bagaimana juga ia memang sangat cemburu kalau sudah berkaitan dengan kehidupan p
Baskoro, Intan dan juga Waluyo duduk berputar mengelilingi Ayah Waluyo. Meskipun masih sangat lemah, ayah Waluyo terlihat bisa mendengar dan melihat siapa yang ada di ruangan tersebut. Seakan ingin mengatakan sesuatu, ia juga menggerakkan tangannya untuk memanggil Baskoro."Iya ayah, ayah memanggilku bukan?" katanya dan menggenggam erat tangan pria tua itu dan mendekatkan kepalanya dekat pria itu.Ayah Waluyo seperti hendak mengatakan sesuatu kepadanya."Ayah... aku mendengarnya," pelan Baskoro."Baskoro..." Tiba-tiba ayah Waluyo bisa berbicara. "Aku sungguh meminta maaf kepadamu.""Jangan bilang begitu Ayah, akulah yang seharusnya meminta maaf kepadamu, Ayah.""Ambillah surat wasiat itu..." lirihnya lagi. Baskoro mengernyit, ia tak mengerti surat wasiat apa yang sebenarnya Ayah Waluyo katakan."Di atap rumahku.." dan tiba-tiba saja ayah Waluyo seperti sesak napas sehingga membuat Baskoro ketakutan."Ayah...ah,.Waluyo... bagaimana ini?" Baskoro kebingungan bukan main dan ia hanya men
Sesampainya di rumah Waluyo, mereka berdua mendapatkan rumah dalam keadaan sangat sepi. Lalu mereka menuju peternakan sapi yang Waluyo kelola. Di sana mereka bertemu dengan seorang pegawai pembersih kandang yang sedang bekerja.Terlihat pria itu menatap kehadiran mereka berdua dan menyapanya."Selamat sore, Pak. Ada yang bisa saya bantu? Apakah membutuhkan sapi untuk di beli?" ujarnya dengan tersenyum ramah.Baskoro mengulurkan tangannya."Tidak, Pak. Tujuan saya datang kesini adalah untuk mencari Mas Waluyo. Tapi kelihatannya rumahnya kosong ya Pak?""Oh, sedang mencari Mas Waluyo. Apa bapak tidak tahu kalau Mas Waluyo sudah lama nggak tidur di rumah Pak?"Baskoro terkejut. Tentu saja ia tidak tahu kalau Waluyo tidak memberi tahu."Tidak, Pak. Hanya saja kenapa Mas Waluyo tidak pulang ke rumah? Sebab sebenarnya saya bertemu belum lama ini, tapi Mas Waluyo tidak cerita apa apa.""Oh, jadi begini, Mas. Sebenarnya Mas Waluyo sudah dua bulanan merawat ayahnya yang sedang koma di rumah sa
Musim semi telah berakhir, mereka telah menyelesaikan suatu waktu yang indah bersama di Vila tersebut. Mereka akan segera kembali ke Jakarta dan melanjutkan pekerjaan yang sudah lama ditinggalkan. Seperti biasa, perjalanan dengan jet pribadi bukanlah apa apa buat keluarga Abraham. Dan dengan segera mereka sudah tiba di Jakarta."Masih satu hal lagi yang belum kita tunaikan," kata Baskoro saat mereka telah sampai rumah."Ehmm aku tahu, kau pasti ingin ke desa dan bertemu Ayah Waluyo.""Benar, ada firasat tidak enak di dalam hati ini. Akan tetapi aku berharap tidak ada apa apa.""Baiklah, setelah kita beristirahat kita bisa ke desa dalam beberapa hari ke depan."Baskoro menggenggam tangan Intan, menghadap kan tubuh Intan kepadanya. Lalu dengan lembut ia menyelipkan anak rambut Intan ke belakang telinga dengan perlahan."Kalau kau lelah, aku bisa pergi sendiri. Ini hanya mengunjungi ayah Waluyo, aku sungguh mendapatkan mimpi buruk dalam beberapa hari ini.""Tidak, Bas. Aku tidak mungkin
Seorang wanita berkulit hitam datang terburu-buru. Wanita itu adalah Eleanor, kepala dapur Vila tersebut yang sudah pensiun karena usianya. Wanita itu tentu saja merindukan Intan. Setelah mendengar Intan akan datang, maka iapun bergegas menuju Vila dan ingin bertemu Intan."Eleanor?!" pekik Intan mendapati wanita itu datang tergesa dengan menangis haru."Kenapa lama sekali baru muncul? Bukankah kau berjanji untuk segera kembali ke Vila dan memperkenalkan suami yang sangatlah kau cintai itu? Aku sungguh sangat penasaran dan. berdoa tidak cepat mati sampai aku bisa menemui pria itu."Eleanor sangat berapi api mengungkapkan isi hatinya. Kenangan bersama Intan tidak bisa ia lupakan begitu saja. Kenangan saat mereka bersama sama menyembunyikan keadaan Intan yang sedang mengandung dengan berbagai macam cara.Saat itu, Intan terlihat sangat menyedihkan karena Abraham yang sangat keras kepala. Gadis itu tidak punya semangat hidup lagi saat Abraham memisahkan dirinya dengan kekasihnya. Kenyata
Suasana musim semi membuat alam menyejukkan hati siapa saja yang melihatnya. Baskoro berdecak kagum dengan pemandangan menghijau dan bersih di sekitarnya.Begitu juga Bastian yang bersenang senang dengan beberapa ekor tupai di sekitar halaman Vila tersebut.Perjalanan dengan jet pribadi tentunya membuat mereka tidak terlalu letih setelah tiba tadi malam, sehingga mereka bisa menikmati suasana pagi yang sejuk dan indah."Aku tak melihat banyak penduduk di sekitar sini," tanya Baskoro kemudian."Begitulah, Vila ini adalah vila tua kesayangan ibuku. Ayah tak pernah mau menjualnya karena tidak ingin melupakan ibuku. Semua maid di tempat ini merawat dengan baik semuanya secara turun temurun. Kebanyakan dari mereka adalah keluarga," terang Intan."Hmm, cuma bisa dilakukan orang kaya sepertimu.""Bas, kenapa kau selalu merasa miskin padahal kau tak kalah hebat dengan ayahku? Aku sedikit terluka.""Oh, maafkan aku. Masalah ini memang tidak bisa dipungkiri."Beberapa saat kemudian seseorang da
Pesta yang sangat meriah itu telah usai dengan baik. Berharap kebahagiaan sungguh mewarnai kehidupan Intan dan juga Baskoro. Rasa letih lelah dalam prosesi adalah bagian kebahagiaan tersendiri bagi mereka.Indra meregangkan otot-otot tubuhnya menatap para pekerja yang membongkar sisa sisa dekorasi yang belum selesai di bereskan. Meskipun hanya menonton, sensasi tegang dan capek tetap saja melandanya.Ayahnya Abraham menghampirinya. "Indra, apa kau sudah selesai bersantai?" tanya Ayahnya."Heh, Ayah, apa maksudnya? Sejak kapan aku bersantai?"Abraham tersenyum. Bukan alasan yang tepat sebenarnya, bahkan semenjak acara turnamen selesai, pekerjaan Indra cuma keluyuran dan tak ada kesibukan samasekali."Oke, oke. Tapi ini adalah sesuatu yang akan mengejutkanmu.""Apa itu, Ayah?""Seorang pelatih basket tingkat dunia berkeinginan untuk merekrutmu menjadi tim juniornya. Sepertinya hal ini akan menjadi peluang bagus untukmu."Indra tak langsung merasa senang, sebab ia tahu ayahnya tak menyu