"Baiklah, aku akan menceraikan kamu, agar kamu bebas menikahi siapapun. Maafkan karena aku tidak bisa menjadi suami yang baik."
Dedaunan seakan runtuh berserakan mendengar Baskoro mengucapkan semua kalimat itu. Pijakan yang menahan Intan berdiri seakan bergetar dan berputar. Intan sudah menyerah untuk berharap sejak lama, tapi ia tak pernah siap untuk mendengar kalimat ini. Satu-satunya harapan terakhir adalah membuat Baskoro mengasihani dirinya.
"Mengapa begitu mudahnya Kamu melepaskan diriku?" Suara serak Intan membuat Baskoro melihatnya.
"Aku tidak bisa bersamamu, dan Kamu juga tidak bisa bersamaku, itu sudah cukup jelas buat kita. Lagian kita memang akan menempuh jalan hidup kita masingmasing."
"Lalu bagaimana dengan putra kita?"
Baskoro mendesah. Mereka harus berakhir seperti ini, siapa yang menyangka?
"Aku akan selalu mengunjunginya dan tidak mengambilnya darimu. Apa kau puas?"
"Puas? Apa yang akan membuatku puas Bas? Aku
Setelah sekian lama rasa bergantung itu menancap dalam hatinya, sekarang Intan merasa terjun bebas seakan terjatuh dari cakrawalanya. Ia tak bisa lagi mengharap cinta dari pria bernama Baskoro. Hidupnya gamang tak bertepi. Ia hanya bisa menekan rasa sakit yang menusuk dadanya dengan memukul-mukul sedikit kuat ke dadanya. "Baiklah, aku akan menikahi Andre. Mungkin itu sedikit melupakan rasa sakit ini," gumam Intan lirih. "Mommy, aku ingin bermain sepeda," Bastian menarik tangan Intan untuk keluar rumah. Saat itulah Intan bisa melihat Baskoro telah berdiri di depan pintu rumahnya. "Bolehkah aku masuk?" Intan hanya melebarkan pintu itu tanpa bersuara. Bastian berlari keluar menghampiri Nita dan mengajak Nita bermain di halaman. Baskoro masuk ke dalam rumah Villa, ia duduk disebuah kursi di sana. "Aku senang Bastian bisa menikmati kehidupan yang layak," gumamnya sambil mengedarkan matanya ke rumah bagus itu. "
Baskoro menelan salivanya, saat bocah bermata jernih itu menatapnya lama tak berkedip. Seakan menunggu dengan pasti sesuatu yang akan keluar dari mulutnya. Baskoro membisu dan lidahnya terasa kelu. Ia ketakutan, apa yang terjadi jika ia mengaku bahwa ia adalah ayahnya yang selama ini menghilang? Ia merasa tak berguna lalu sekarang ia akan mengaku sebagai ayahnya?Bastian tertunduk lesu pada akhirnya, ketika Baskoro tak jua membuka suara. Ia sungguh menanti jawaban yang sangat ia nantikan. Iapun menjauhkan tubuhnya dari Baskoro. Ia sangat kecewa karena belum bertemu dengan ayahnya."Ternyata bukan?" gumamnya sambil melangkah pergi.Baskoro yang masih mematung lalu terkesiap. Tanpa berpikir panjang tangannya merengkuh tubuh bocah itu dan memeluknya. Hatinya seakan dialiri air hangat saat mencium aroma wangi bocah itu. Ia benar-benar ingin mendekapnya."Anakku," bisiknya parau, inilah pertama kali ia merasa menjadi seorang ayah. Air matanya berguli
Intan menatap jengah kamar Bastian. Kamar itu penuh dengan mainan yang berserakan."Mommy tak mengerti mengapa kamar ini lebih mirip dengan tempat pembuangan sampah rongsokan?" Lalu Intan mengambil beberapa carbot dan meletakkannya pada showcase di kamar itu."Aku bingung, mainan mana lagi yang belum aku mainkan," desah bocah itu di tepi tempat tidur. "Kamu bosan? Kalau begitu ayo kita jalan-jalan," tawarnya. Bastian melihat penampilan Intan yang sudah rapi, menunjukkan ia akan berangkat ke kantor. "Apakah Mommy tidak akan bekerja lagi jika Daddy bersama kita?" Intan menatap mata coklat Bastian. Apa maksud putranya ini? "Apakah Mommy akan sering bersamaku jika Daddy bekerja untuk kita?" Intan bingung karena dia adalah pengelola perusahaan besar, mungkinkah ia akan bisa bersantai seperti wanita yang lain yang sepenuhnya hidup untuk mengabdi kepada keluarganya? "Mommy harus bekerja bukan? Baiklah Mommy, berangkatlah bekerja
"Kamu membuatku malu Intan, haruskah kamu membawanya kemari?" ujarnya sambil memunguti beberapa pakaian kotor yang berserakan. Bahkan masih ada piring kotor bekas makan hari sebelumnya di sudut ruangan. "Kamu masih sama seperti dulu, malas mencuci piring setelah makan," celoteh Intan.Baskoro hanya nyengir. Intan masih punya hobi mengomel rupanya."Paman ternyata sangat miskin," gumam Bastian, membuat Intan membekap mulut putranya. "Tidak apa, aku menyukai kejujuran dan menerima kenyataan. Duduklah di sini!"Baskoro menepuk bentangan karpet kecil berwarna merah, mempersilahkan mereka duduk."Apa yang membawa kalian kesini? Sepertinya ada sesuatu yang penting?"tanya Baskoro, sesekali ia melihat Bastian dengan senyuman bahagia. Bocah itu disibukkan dengan pemandangan yang tak pernah dilihatnya. Pemandangan kotor dan kumuh. "Aku membutuhkan bantuannya," kata Intan menjawabnya."Bantuan apa yang harus kuberikan?"Intan melihat ke belakang Ba
"Daddy, maukah engkau menggendongku?" Baskoro melihatnya, ia sangat senang dengan panggilan barunya itu. Dengan segera Baskoro menyerahkan punggungnya untuk dinaiki Bastian. Mereka melangkah di hamparan pasir putih yang landai. Sesekali ombak yang berkejaran menghampiri langkah-langkah mereka. "Apakah jauh dari sini?" tanya Intan menanyakan tempat peristirahatan yang mereka tuju. Intan melihat Bastian sudah tampak letih dan mengantuk. "Tidak, lihatlah gazebo merah itu, kita akan kesana. Disana tempatnya sangat nyaman dan makanannya juga enak," Intan mengangguk mengerti. Hempasan angin membuat rambut Intan berkibar, Baskoro sesekali mencuri pandang kearahnya."Mengapa kamu mewarnai rambutmu?" Ia sekedar ingin tahu saja. "Apakah warnanya sudah hampir habis dan memudar?""Hmm, begitulah.""Sudah sampai batasnya kalau begitu," gumamnya.Tentu saja Baskoro tak mengerti maksud ucapan Intan. "Haruskah aku memberi cat baru atau membiarkan
"Lalu apa yang akan kamu lakukan dengan meninggalkan kesepakatan kalian? Apakah kamu akan baik-baik saja?" Baskoro melihat wanita yang telah sembab dengan air mata itu, ia belum mengatakan apapun sebagai alasan kuat untuknya melakukan semua ini. "Aku tak bisa menerimanya, dan juga Bastian. Ia tak menginginkan pria itu meskipun ia telah lama mengenalnya. Ia hanya menginginkan kamu, meskipun ia belum menerima kalau engkau adalah ayahnya," terang Intan. "Bagaimana denganmu? Apakah engkau menginginkan aku kembali?" Intan menatap pria itu dengan mata menyipit, ia ingin tahu lebih dalam apa yang ada didalam dada pria di hadapannya ini. Apakah itu ucapan yang tulus? "Tadinya aku mengharapkan kamu adalah satu-satunya pria dalam hidupku, tapi sekarang aku tak yakin," suara itu sangat ringan keluar dari mulutnya. Entahlah, semenjak ia mendengar ucapan Baskoro menceraikannya, hatinya menjadi hambar dan berlubang. Ia telah terjatuh pada palung yan
Mereka hampir lupa dengan keberadaan Bastian di ruangan itu, hingga Bastian merengek karena minta makan. "Tentu sayang, Mommy akan membeli makanan untukmu." Intan beranjak, tapi Baskoro menghalanginya. "Aku ayahnya, biarkan aku yang membelinya," ucapnya sambil memegang lengan Intan. "Tidak, akulah ibunya yang lebih tahu makanan kesukaannya," Intan berusaha melepaskan pegangan Baskoro di lengannya. "Intan..." "Bas... Biarkan saja aku yang membelinya!" "Tidak! Toko makanan cukup jauh dari sini," bantahnya. "Mommy, Daddy kenapa kalian bertengkar?" Baskoro melepaskan cengkraman tangannya, ia bisa melihat bagaimana Intan tersenyum karena menang. Setelah Intan pergi, Baskoro mendekati Bastian dan duduk di sebelahnya. "Paman, apakah engkau menyukai Mommy?" Baskoro terkejut saat Bastian memanggilnya paman kembali setelah Intan tidak ada. "Kenapa Bastian memanggilku paman lagi?" Protes Baskoro.
"Apa maksudmu Intan mempunyai anak? Katakan dengan jelas apa maksud omonganmu itu!" Sekarang Andre tak akan bisa mengelak dari pertanyaan Abraham, masalah ini tak mungkin dianggap remeh oleh Abraham. Ia sedikit menyesal, tapi semua sudah terlambat. "Intan melahirkan seorang anak di Australia Om, anak itu bernama Bastian." "Jadi menurutmu dia adalah cucuku? Dia adalah anak bajingan, mana mungkin aku bisa menganggap dia cucuku?" Andre terdiam, tapi ia tak tahan dengan ucapan Abraham. Intan sangatlah mencintai anak itu. "Itulah sebabnya Intan menyembunyikan anak itu selama enam tahun lamanya, bukankah itu cukup membuatnya menderita Om," Andre berharap Abraham tidak terlalu keras dalam menentang putrinya. Abraham mengeratkan giginya. Ia sangat murka dengan kebohongan Intan terhadapnya. Lalu ia memikirkan sebuah cara. "Apakah menurutmu Intan masih berhubungan dengan Baskoro?" "Saya tidak yakin Om, tetapi sebenarnya pria itu