Share

3. Konglomerat Nomor Satu

“Aku tidak bisa terus berharap pada Mas Adam.”

Itu adalah hal yang Gauri sadari setelah melihat Adam bermain api dengan wanita lain. Perpisahan sudah di depan mata. Apalagi Adam masih saja bungkam sampai tiga hari kemudian.

Tak mau terus berdiam diri, Gauri pergi ke Universitas Pelita Bangsa. Wanita itu bersyukur kakinya yang terkilir cepat sembuh sehingga dia tidak perlu meminta Denny mengantarnya ke sini.

Sopir Keluarga Harraz itu pasti akan melapor pada Adam ke mana dirinya pergi. Sementara Gauri masih ingin merahasiakan hal ini dari Adam.

Jika ingin terus hidup dan tidak mengulang kesalahan orang tuanya yang terlilit utang, Gauri harus mendapatkan pekerjaan yang layak. Dia butuh keahlian untuk mendapatkan hal itu.

Saat Gauri sedang menyerahkan berkas administrasi ke petugas kampus, seorang wanita memanggil dan memintanya untuk ikut ke Kantor Kepala Jurusan.

“Maaf, memanggilmu seperti ini. Saya Ezra, Gauri,” ucap pria yang duduk di balik meja dengan tanda nama Ezra Damon, S.M, M.M. Kepala Jurusan Bisnis dan Manajemen. Dia mengulurkan tangan.

“Pak Ezra yang waktu itu menolong saya di pesta donasi Heal the Hearts Club, kan?” tanya Gauri. Tangannya menyambut uluran tangan dari Ezra.

Mata Gauri membesar seiring dengan senyumnya yang melebar. Dadanya terasa hangat melihat sosok di hadapannya. Dia pikir, pertemuan yang tidak disengaja antara korban dan pahlawannya hanya akan ada di televisi.

“Betul sekali. Saya tidak menyangka kamu akan mendaftar di universitas ini, terlebih jurusan yang ada di bawah tanggung jawab saya,” sahut Ezra dengan mata berbinar.

“Maaf, saya terlambat mengucapkannya. Terima kasih untuk malam itu,” kata Gauri mulai melepas jabatan tangan mereka.

Ezra mempersilakan Gauri duduk di sofa. Kantor yang terletak di lantai satu gedung universitas itu ditata dengan minimalis. Ada jendela besar di sudut kanan yang mengarah ke taman universitas.

“Sudah seharusnya saya menjaga cucu dari Thomas Uno,” ujar Ezra menyugar rambutnya. “Saya sudah lama mencari kamu. Pantas saja kamu sulit ditemukan, ternyata kamu tinggal bersama Keluarga Harraz yang tertutup.”

Gauri mengangkat salah satu alis. “Sepertinya Bapak salah orang. Saya lahir dari keluarga miskin,” sergah Gauri.

Tidak mungkin Gauri tidak mengenal Thomas Uno. Dia merupakan seorang konglomerat nomor satu dalam negeri yang memiliki usaha di sektor aneka industri dan jasa, termasuk universitas ini.

“Benarkah kamu anak Visca Uno, Gauri?” tanya Thomas yang masuk tanpa mengetuk pintu. Pria berambut putih itu berjalan dengan tongkat di tangan kanan dan duduk di sebelah Gauri.

“Visca Bentlee. Saya dari Keluarga Bentlee.” Gauri menaruh tangan di dada sebagai perkenalan diri.

Thomas tertawa sumbang. “Anak itu! Beraninya dia mengubah nama keluarga dengan nama belakang Suaminya yang miskin.”

Dahi Gauri terus mengernyit. “Maaf, saya memang bukan berasal dari keluarga kalangan atas seperti Pak Thomas.”

Ingatan Gauri tentang kehidupan masa kecilnya masih sangat segar. Dia tidak pernah melupakan bagaimana perjuangan kedua orang tuanya untuk menyambung hidup.

Hanya untuk membuka restoran kecil saja, mereka harus berutang. Mereka juga tinggal berpindah-pindah dari kontrakan satu ke kontrakan lainnya.

Thomas mengangkat kelima jarinya dan berkata, “Tunggu.” Dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.

Gauri mencoba bernapas dengan teratur. Ada sesuatu yang menghantam dadanya setiap Thomas berbicara. Namun, dia tetap berusaha bersikap sopan.

“Lihat, siapa yang ada di foto ini?” tanya Thomas memberikan selembar foto pada Gauri.

Foto berbentuk persegi panjang seukuran tangan orang dewasa itu Gauri terima. Ada wajah muda Visca, mendiang ibunya, memakai gaun yang terlihat mahal dan berdiri di depan rumah yang sangat mewah.

Sebelum melihat foto tersebut, Gauri pikir rumah Adam sudah yang paling mewah. Namun, ternyata dia salah.

“Saya memutus hubungan dengannya ketika dia memilih hidup susah dengan Leon Bentlee. Wajar jika kamu tidak mengenali saya sebagai kakekmu,” ucap Thomas melihat Gauri bergeming.

“Bagaimana bisa Pak Thomas tahu nama ayah saya?” Kedua alis Gauri terangkat.

Thomas tertawa cukup keras sebelum menjawab pertanyaan Gauri.

“Saya Thomas Uno. Ketika saya menyebut satu nama, hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk mendapatkan setumpuk riwayat hidup orang itu,” jawabnya bangga.

“Lalu, kenapa Anda mencari saya? Apa Anda tahu apa yang sudah saya alami selama ini?” Mata Gauri berkaca-kaca. Deru napasnya kian memburu.

“Maaf atas kesulitanmu selama ini, Gauri. Pulanglah ke rumah, saya sudah cukup tua untuk memusuhi keluarga sendiri. Saya akan mewarisi perusahaan keluarga kita padamu.”

Gauri membeku. Dia melirik Ezra, meminta pertolongan.

“Kamu tahu? Penyesalan selalu datang terakhir dan itulah yang saya rasakan sekarang. Kenapa saya tidak terus memantau Visca dari jauh? Bahkan, saya baru tahu Visca sudah meninggal belasan tahun lalu,” tambah Thomas, suaranya bergetar.

“Kamu harus menerima kebaikan hati Pak Thomas, Gauri,” desak Ezra.

“Saya… saya perlu waktu untuk memikirkan ini semua,” sahut Gauri berdiri perlahan, bersiap untuk meninggalkan ruangan panas ini.

“Gauri, setidaknya terimalah sesuatu dari saya sebelum kau pergi. Kamu adalah satu-satunya keluarga saya yang masih hidup. Saya harus memastikan kamu baik-baik saja.” Thomas menatap Gauri penuh harap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status