Share

6. Nikahi Aku, Ceraikan Dia

“Ada tamu, Bu. Dia ingin bertemu dengan Pak Adam,” ucap Andri, satpam rumah Adam, melalui telepon saat Gauri berada di dapur. Keluarga Harraz baru saja selesai makan siang.

Gauri mengernyit. “Oke, terima kasih, Pak.”

Tanpa menunggu lebih lama, Gauri mengelap tangan dan melepas apron. Dia melangkah menuju pintu utama.

Tok! Tok! Tok!

Gauri segera membuka pintu tersebut.

Detak jantungnya seakan berhenti saat melihat siapa yang datang. Sosok yang menjadi pusat rasa cemburu kini berdiri di hadapannya.

“Pak Adam ada?” tanya Amora memainkan ujung rambut panjangnya.

Siang itu penampilan Amora dan Gauri sangat berbanding terbalik, bagai tuan putri dan upik abu. Pakaian bermerek yang dikenakan Amora begitu mencolok dibanding dengan kaus rumahan yang dipakai Gauri.

Namun, tetap saja pesona Gauri tidak terkalahkan. Dia masih terlihat cantik dan menawan tanpa perlu bantuan pakaian merek mewah seperti Amora.

“Mas Adam tidak pernah menerima rekan kerja saat akhir pekan di rumah,” sergah Gauri memberanikan diri.

Suara Amora membuat Gauri mengingat momen itu. Saat Amora mendesah di bawah kendali Adam.

Mata Amora terus memandang rendah Gauri. Wanita itu tersenyum masam.

“Hubungan kami lebih dari rekan kerja, Bi,” sahut Amora menekankan kata Bi. “Lagipula saya sudah mengenal Pak Adam jauh lebih lama dari Bibi.”

Denyut jantung Gauri menggila. Dia mati-matian menahan emosi dengan meremas kenop pintu.

“Siapa yang datang, Gauri?” Suara Arum semakin dekat.

Gauri melihat perubahan mimik wajah Amora yang tadinya sinis menjadi sebuah senyuman.

“Mama,” sapa Amora begitu melihat Arum. Dia membalas senyuman Arum tak kalah lebar.

‘Mama? Amora memanggilnya Mama?’ batin Gauri mulai tercabik-cabik.

“Lho, ternyata Amora? Seharusnya langsung masuk saja,” sahut Arum menggandeng tangan Amora. Gauri sedikit terdorong saat Amora melewatinya.

“Kamu keterlaluan, Gauri. Seharusnya kamu langsung menyuruh Amora masuk!” hardik Arum. Dia membawa Amora masuk ke ruang tamu.

Saat itu, Amora mencuri kesempatan untuk memperlihatkan senyum mengejek pada Gauri. Dingin di tangan Gauri makin terasa.

“Aku sebenarnya mau ketemu Pak Adam, Ma,” ujar Amora sesaat setelah Gauri menutup pintu.

“Adam lagi di ruang kerja. Datangi saja, dia pasti senang melihat kamu.” Arum mengelus lengan Amora penuh kasih sayang.

Gauri merasa panas di hati dan pelupuk matanya. Ruang kerja Adam ada di dalam kamarnya. Untuk sampai ke ruang kerja, Amora harus masuk ke kamar Adam.

“Oke, Ma. Kamarnya masih yang lama?” tanya Amora tidak ingin repot-repot memelankan suaranya. Dia ingin Gauri mendengarnya.

Arum mengangguk. Setelah itu Amora melangkahkan kaki menuju kamar Adam. Dengan sengaja, dia mendorong bahu Gauri dengan bahunya.

“Mas Adam tidak pernah kasih izin siapa pun untuk masuk kamarnya,” ucap Gauri menahan tangis. Dia menatap Arum tajam sambil mengepalkan tangan.

“Amora pengecualian. Dia berbeda dengan kamu. Dia ada di level yang sama dengan kami!” seru Arum sambil meninggalkan Gauri.

Napas Gauri memburu, tapi dia berusaha mengendalikannya. Dia menelan ludah, menahan air mata yang mengancam keluar.

“Mama,” panggil Gauri membuat langkah Arum terhenti. Dia menoleh.

“Sudah berapa kali saya bilang, jangan panggil saya seperti itu!” seru Arum dengan wajah memerah.

“Kalau wanita yang tidak tercatat dalam kartu keluarga Harraz bisa memanggil Anda dengan Mama, maka saya juga bisa.” Gauri berbalik badan. Kini dia yang meninggalkan Arum.

“Mau ke mana kamu? Jangan ganggu mereka!” Arum berseru lagi.

Namun, Gauri mengabaikannya. Tuhan sedang berpihak pada Gauri kali ini karena seorang pekerja kebun mendatangi Arum dan membuat wanita itu sibuk.

Saat Gauri sampai di depan pintu berwarna putih tulang, Amora sudah berada di dalam. Pintu itu tidak ditutup rapat.

Hal itu memudahkan Gauri untuk menguping. Walaupun ada kemungkinan dia justru mendengar suara erotis lagi, nyatanya rasa penasaran Gauri mengalahkan kecemasannya.

“Sialan, Amora!” makian Adam terdengar hingga luar. Gauri tersentak.

Ada emosi yang tinggi dalam nada suara Adam. Dia seperti berteriak kesetanan. Setelah itu, Gauri tidak bisa menerjemahkan ucapan mereka.

Adam keluar dari ruang kerja dengan wajah merah diikuti oleh Amora.

Gauri segera bersembunyi saat melihat Adam berjalan keluar. Namun, Amora menahan tangannya.

“Oke, maaf. Aku tahu kamu tidak suka ada orang lain masuk ke ruang kerja kamu di sini. Tapi, ada hal penting yang mau aku bicarakan.” Amora melembutkan suaranya.

Gauri kembali mengintip. Adrenalin memacu kerja jantungnya lebih cepat.

“Apa?” Adam berkacak pinggang menghadap Amora.

“Aku hamil. Kamu harus tanggung jawab, ini anakmu.”

Mata Gauri membulat. Dia menyentuh dadanya yang kian terasa sesak.

Adam terdiam. Dia terlihat sama syoknya dengan Gauri. Pria itu tiba-tiba kesulitan bicara.

“Amora, saya tidak pernah—”

“Kita melakukannya saat berada di bawah pengaruh alkohol.” Amora memotong ucapan Adam.

Untuk kesekian kalinya bayangan malam itu datang dalam pikiran Gauri. Matanya panas dan kakinya lemas. Ternyata apa yang dia lihat saat itu nyata.

Adam masih tak bersuara. Dia berusaha mencerna apa yang Amora katakan.

“Nikahi aku, Pak! Ceraikan wanita mandul itu,” pinta Amora mengelus tengkuk Adam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status