“Ada tamu, Bu. Dia ingin bertemu dengan Pak Adam,” ucap Andri, satpam rumah Adam, melalui telepon saat Gauri berada di dapur. Keluarga Harraz baru saja selesai makan siang.
Gauri mengernyit. “Oke, terima kasih, Pak.”
Tanpa menunggu lebih lama, Gauri mengelap tangan dan melepas apron. Dia melangkah menuju pintu utama.
Tok! Tok! Tok!
Gauri segera membuka pintu tersebut.
Detak jantungnya seakan berhenti saat melihat siapa yang datang. Sosok yang menjadi pusat rasa cemburu kini berdiri di hadapannya.
“Pak Adam ada?” tanya Amora memainkan ujung rambut panjangnya.
Siang itu penampilan Amora dan Gauri sangat berbanding terbalik, bagai tuan putri dan upik abu. Pakaian bermerek yang dikenakan Amora begitu mencolok dibanding dengan kaus rumahan yang dipakai Gauri.
Namun, tetap saja pesona Gauri tidak terkalahkan. Dia masih terlihat cantik dan menawan tanpa perlu bantuan pakaian merek mewah seperti Amora.
“Mas Adam tidak pernah menerima rekan kerja saat akhir pekan di rumah,” sergah Gauri memberanikan diri.
Suara Amora membuat Gauri mengingat momen itu. Saat Amora mendesah di bawah kendali Adam.
Mata Amora terus memandang rendah Gauri. Wanita itu tersenyum masam.
“Hubungan kami lebih dari rekan kerja, Bi,” sahut Amora menekankan kata Bi. “Lagipula saya sudah mengenal Pak Adam jauh lebih lama dari Bibi.”
Denyut jantung Gauri menggila. Dia mati-matian menahan emosi dengan meremas kenop pintu.
“Siapa yang datang, Gauri?” Suara Arum semakin dekat.
Gauri melihat perubahan mimik wajah Amora yang tadinya sinis menjadi sebuah senyuman.
“Mama,” sapa Amora begitu melihat Arum. Dia membalas senyuman Arum tak kalah lebar.
‘Mama? Amora memanggilnya Mama?’ batin Gauri mulai tercabik-cabik.
“Lho, ternyata Amora? Seharusnya langsung masuk saja,” sahut Arum menggandeng tangan Amora. Gauri sedikit terdorong saat Amora melewatinya.
“Kamu keterlaluan, Gauri. Seharusnya kamu langsung menyuruh Amora masuk!” hardik Arum. Dia membawa Amora masuk ke ruang tamu.
Saat itu, Amora mencuri kesempatan untuk memperlihatkan senyum mengejek pada Gauri. Dingin di tangan Gauri makin terasa.
“Aku sebenarnya mau ketemu Pak Adam, Ma,” ujar Amora sesaat setelah Gauri menutup pintu.
“Adam lagi di ruang kerja. Datangi saja, dia pasti senang melihat kamu.” Arum mengelus lengan Amora penuh kasih sayang.
Gauri merasa panas di hati dan pelupuk matanya. Ruang kerja Adam ada di dalam kamarnya. Untuk sampai ke ruang kerja, Amora harus masuk ke kamar Adam.
“Oke, Ma. Kamarnya masih yang lama?” tanya Amora tidak ingin repot-repot memelankan suaranya. Dia ingin Gauri mendengarnya.
Arum mengangguk. Setelah itu Amora melangkahkan kaki menuju kamar Adam. Dengan sengaja, dia mendorong bahu Gauri dengan bahunya.
“Mas Adam tidak pernah kasih izin siapa pun untuk masuk kamarnya,” ucap Gauri menahan tangis. Dia menatap Arum tajam sambil mengepalkan tangan.
“Amora pengecualian. Dia berbeda dengan kamu. Dia ada di level yang sama dengan kami!” seru Arum sambil meninggalkan Gauri.
Napas Gauri memburu, tapi dia berusaha mengendalikannya. Dia menelan ludah, menahan air mata yang mengancam keluar.
“Mama,” panggil Gauri membuat langkah Arum terhenti. Dia menoleh.
“Sudah berapa kali saya bilang, jangan panggil saya seperti itu!” seru Arum dengan wajah memerah.
“Kalau wanita yang tidak tercatat dalam kartu keluarga Harraz bisa memanggil Anda dengan Mama, maka saya juga bisa.” Gauri berbalik badan. Kini dia yang meninggalkan Arum.
“Mau ke mana kamu? Jangan ganggu mereka!” Arum berseru lagi.
Namun, Gauri mengabaikannya. Tuhan sedang berpihak pada Gauri kali ini karena seorang pekerja kebun mendatangi Arum dan membuat wanita itu sibuk.
Saat Gauri sampai di depan pintu berwarna putih tulang, Amora sudah berada di dalam. Pintu itu tidak ditutup rapat.
Hal itu memudahkan Gauri untuk menguping. Walaupun ada kemungkinan dia justru mendengar suara erotis lagi, nyatanya rasa penasaran Gauri mengalahkan kecemasannya.
“Sialan, Amora!” makian Adam terdengar hingga luar. Gauri tersentak.
Ada emosi yang tinggi dalam nada suara Adam. Dia seperti berteriak kesetanan. Setelah itu, Gauri tidak bisa menerjemahkan ucapan mereka.
Adam keluar dari ruang kerja dengan wajah merah diikuti oleh Amora.
Gauri segera bersembunyi saat melihat Adam berjalan keluar. Namun, Amora menahan tangannya.
“Oke, maaf. Aku tahu kamu tidak suka ada orang lain masuk ke ruang kerja kamu di sini. Tapi, ada hal penting yang mau aku bicarakan.” Amora melembutkan suaranya.
Gauri kembali mengintip. Adrenalin memacu kerja jantungnya lebih cepat.
“Apa?” Adam berkacak pinggang menghadap Amora.
“Aku hamil. Kamu harus tanggung jawab, ini anakmu.”
Mata Gauri membulat. Dia menyentuh dadanya yang kian terasa sesak.
Adam terdiam. Dia terlihat sama syoknya dengan Gauri. Pria itu tiba-tiba kesulitan bicara.
“Amora, saya tidak pernah—”
“Kita melakukannya saat berada di bawah pengaruh alkohol.” Amora memotong ucapan Adam.
Untuk kesekian kalinya bayangan malam itu datang dalam pikiran Gauri. Matanya panas dan kakinya lemas. Ternyata apa yang dia lihat saat itu nyata.
Adam masih tak bersuara. Dia berusaha mencerna apa yang Amora katakan.
“Nikahi aku, Pak! Ceraikan wanita mandul itu,” pinta Amora mengelus tengkuk Adam.
“Hamil?” tanya Arum memastikan.Sesaat setelah Amora meminta Adam untuk bercerai, Gauri pergi menjauh dari kamar Adam. Dia sempat pergi ke kamarnya untuk menumpahkan seluruh air mata dan amarahnya.Namun, Gauri tidak bisa terus mengurung diri di kamar. Dia ingin mendengar keputusan Adam secara langsung. Sekalipun dia tidak bisa menyembunyikan mata bengkaknya.Amora mengangguk. Wanita itu tak segan menggenggam tangan Adam yang duduk di sebelahnya saat mereka ada di ruang tamu.“Aku akan kasih Mama cucu pertama,” ujar Amora percaya diri.Gauri melirik tautan tangan mereka yang terlihat jelas dari posisi duduknya. Amora sangat mahir menuang minyak dalam api cemburu yang membakar hati Gauri.Bahkan, Adam tak berusaha menghindar. Bahasa tubuh yang diartikan Gauri sebagai persetujuan Adam atas ide Amora.“Itu berita baik, Amora! Mama sudah lama ingin menimang cucu,” sahut Arum. Dia menatap Amora dengan penuh harap.“Bukannya terakhir kali Mama bilang kalau keponakan Adam yang masih berusia
“Berapa yang harus aku bayar?” tanya Gauri memberanikan diri menatap mata Adam. Gauri tidak yakin dia bisa membayar itu atau tidak. Nilainya pasti besar, mengingat Adam adalah pebisnis yang pandai melihat celah. Pria itu tidak mungkin melepaskan lawan tanpa menghancurkannya. Dalam surat yang legal, Gauri adalah istri sah Adam. Namun, hal itu tidak lantas menjadikan Gauri berdiri di belakang barisan Adam. Terpaksa menikah, tidur di kamar yang terpisah, dijadikan babu, dan tidak dinafkahi bukanlah perlakuan yang seharusnya diterima jika memang Adam menganggap Gauri sebagai orangnya. Jari lentik Gauri bergerak seperti orang yang sedang menghitung dalam gerakan samar. Gaji yang tidak seberapa dari bekerja sebagai penatu selalu Gauri tabung. Uang yang Gauri gunakan untuk mendaftar kuliah juga sudah dikembalikan oleh pihak kampus atas permintaan Ezra dan Thomas. ‘Apa benar tabunganku tidak akan cukup seperti kata Adam?’ Gauri bertanya dalam hati sambil menarik napas panjang. Ad
“Kamu harus menandatangani surat perceraian itu setelah aku mendapatkan uangnya, Mas,” pinta Gauri sambil meremas kedua telapak tangannya.“Tentu, aku tidak perlu menahan kucing liar yang ingin kembali ke jalanan. Sekarang silakan keluar!” Adam menunjuk pintu dengan dagunya.Kesal karena Adam mempersulitnya, Gauri berbalik badan dan keluar dari ruang kerja suaminya. Tak lupa, Gauri juga sengaja menutup pintu keras. Dua pintu, satu di ruang kerja dan satu di kamar Adam.Gauri melangkahkan kakinya keluar rumah. Dia harus menemui Amelia. Walaupun masih terasa sungkan, harus Gauri akui bahwa kali ini dia membutuhkan bantuan Thomas.Saat Gauri berjalan melewati ruang tamu, Amora dan Arum yang sejak tadi masih berbincang mendadak menutup mulut mereka.“Sudah ingin pergi?” tanya Amora menaikkan kedua alisnya. Bibirnya tersenyum miring.Gauri mendengar itu, tapi memilih untuk mengabaikannya dan tetap berlalu. Dia justru merasa beruntung karena kali ini Arum tidak menahannya. Terima kasih kepa
“Apa Kakek marah?” tanya Gauri yang sudah duduk di kursi bagian belakang mobil.Amelia dan Santo, sopir Gauri, duduk di kursi depan.Mobil melaju dalam kecepatan sedang membelah aspal jalan tol yang cukup ramai menjelang jam pulang kerja.Sesaat setelah 200 juta berhasil ditransfer ke rekening Gauri, Thomas menelepon dan memintanya untuk datang ke rumah.Gauri tentu saja gugup.“Semoga tidak, Nona,” sahut Amelia datar.Nyatanya, jawaban Amelia sama sekali tidak membantu meredakan kecemasan Gauri. Dia justru semakin gugup.Sore ini akan jadi pertemuan kedua Gauri dengan Thomas. Dan, pertama kali Gauri mendatangi kediaman Thomas.“Kita hampir sampai,” ujar Amelia ketika sebuah gerbang besar berhadapan dengan mobil mereka.Gerbang itu terbuka otomatis setelah mengenali mobil yang ditumpangi Gauri.Mobil melaju pelan saat melewati halaman rumah yang dipenuhi dengan pohon pinus.Gauri menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Rumah bergaya Eropa yang berdiri gagah di depan sana m
“Syarat apa, Kek?” tanya Gauri semakin menegakkan punggung.Gauri sedikit merasa bersyukur karena dia tidak perlu menjelaskan kondisi rumah tangganya pada Thomas.Walaupun Gauri menginginkan perpisahan dengan Adam, bukan berarti Gauri juga ingin Adam hancur. Thomas pasti akan melakukan sesuatu.Menyakiti hati satu-satunya keluarga Thomas berarti sama saja menghina Keluarga Uno. Efeknya tidak akan biasa-biasa saja.“Sebelumnya saya akan bertanya, apa setelah datang ke rumah ini kamu masih belum ingin tinggal di sini?” Thomas mengangkat kedua alisnya dan memajukkan tubuhnya.“Belum.” Gauri menggunakan suara lembut dengan nada sesopan mungkin supaya tidak menyinggung Thomas.“Kalau begitu, kamu harus sering mengunjungi saya, minimal seminggu dua kali. Itu syarat dari saya,” ucap Thomas dengan tegas.Thomas mengulurkan tangannya ke arah Bergas, seperti meminta sesuatu. Bergas mengeluarkan sebuah dompet berwarna hitam dan memberikannya pada Thomas.Kini giliran Gauri yang mengangkat kedua
“Apakah kamu bisa mencarikan tempat tinggal yang baru untuk aku malam ini juga, Amelia?” tanya Gauri pada Amelia setelah mobil mereka keluar dari gerbang rumah Thomas.Setelah menemukan kesempatan untuk keluar dari rumah Keluarga Harraz dan membayar biaya penalti, Gauri tidak ingin kembali lagi.Pergi dengan tangan kosong bukan masalah untuk Gauri. Dia pun masuk ke rumah itu dengan tidak membawa apa-apa.Gauri tidak perlu tetap berada di rumah itu hanya untuk menunggu Adam menandatangani surat perceraian.Amora pasti akan sering datang ke rumah Adam. Gauri tidak ingin menyakiti hatinya sendiri dengan bersikap bodoh.Mengingat nama Amora, hati Gauri mendadak terasa sesak. Padahal Gauri sudah mencoba mengabaikannya.Gauri memukul pelan dadanya untuk meredakan sesak. Amelia dan Santo spontan melirik Gauri dari kaca spion tengah.“Saya bisa carikan tempat tinggal untuk Nona.” Amelia menjawab pertanyaan Gauri sebelumnya dan mengeluarkan ponsel. “Nona baik-baik saja?” tanyanya.“Apa Nona pe
“Pelayan? Chef? Bahkan orang yang akan menyiapkan bathtub dan pakaianku?” Gauri melebarkan kedua bola mata cokelatnya yang indah.Gauri berhenti mencatok rambut dan memutar tubuhnya menghadap Amelia.Belum sempat Gauri beradaptasi dengan griya tawangnya, pagi ini Amelia mengabarkan bahwa beberapa pekerja telah datang untuk memenuhi segala kebutuhannya.Jantung Gauri rasanya hampir lepas. Gauri ingin mencari ketenangan. Dia tidak akan merasa nyaman jika dikelilingi oleh banyak orang di rumahnya sendiri.“Tidak, Amelia. Ini terlalu berlebihan!” seru Gauri sambil merentangkan tangannya beberapa detik.Kali ini Amelia keterlaluan.“Nona, Anda har—”“Begini saja.” Gauri memotong ucapan Amelia. “Aku tidak keberatan jika memakai jasa pelayan untuk membersihkan griya tawang dan memasak, asalkan mereka tidak menginap. Untuk bathtub dan memilih pakaian, aku bisa sendiri. Apa kamu tidak percaya selera fashionku?”Ditanya seperti itu oleh Gauri, Amelia hanya bisa membisu. Wanita itu tidak mungkin
“Kamu Gauri, kan?” tanya pria yang memakai kemeja biru muda itu sambil mendekat. Saat pria itu menipiskan jarak dengan Gauri, Amelia refleks menghalaunya. Namun, ketika melihat siapa pemilik wajah itu, Amelia menurunkan tangannya.Begitu pula dengan Gauri yang tadi bersikap waspada. Wanita cantik itu kini membalas senyuman pria berwajah teduh.“Bapak… Pak Ezra?” Gauri membulatkan mata dan menunjuk pria itu dengan jari lentiknya.Baik Gauri maupun Amelia mengetahui bahwa Ezra adalah orang kepercayaan Thomas. Ezra bukanlah ancaman seperti Adam. Gauri tidak perlu menjaga jarak aman darinya. Jadi Amelia mundur beberapa langkah untuk memberikan privasi pada nonanya. “Ternyata benar kamu Gauri. Kamu jauh lebih cantik dari terakhir kita bertemu.” Ezra memuji sambil memberikan senyuman hangat yang disukai Gauri. Sebenarnya Gauri sudah cantik natural. Walaupun lebih sering tampil dengan pakaian lusuh dan tanpa riasan, Gauri tetap mampu memikat mata pencinta visualisasi. Sehingga dengan ri