Share

7. Keputusan Akhir

“Hamil?” tanya Arum memastikan.

Sesaat setelah Amora meminta Adam untuk bercerai, Gauri pergi menjauh dari kamar Adam. Dia sempat pergi ke kamarnya untuk menumpahkan seluruh air mata dan amarahnya.

Namun, Gauri tidak bisa terus mengurung diri di kamar. Dia ingin mendengar keputusan Adam secara langsung. Sekalipun dia tidak bisa menyembunyikan mata bengkaknya.

Amora mengangguk. Wanita itu tak segan menggenggam tangan Adam yang duduk di sebelahnya saat mereka ada di ruang tamu.

“Aku akan kasih Mama cucu pertama,” ujar Amora percaya diri.

Gauri melirik tautan tangan mereka yang terlihat jelas dari posisi duduknya. Amora sangat mahir menuang minyak dalam api cemburu yang membakar hati Gauri.

Bahkan, Adam tak berusaha menghindar. Bahasa tubuh yang diartikan Gauri sebagai persetujuan Adam atas ide Amora.

“Itu berita baik, Amora! Mama sudah lama ingin menimang cucu,” sahut Arum. Dia menatap Amora dengan penuh harap.

“Bukannya terakhir kali Mama bilang kalau keponakan Adam yang masih berusia satu tahun itu merepotkan?” tanya Gauri sarkas. Dia mengangkat kedua alis, berusaha menguatkan diri.

Gauri tak bisa menyembunyikan senyum tipisnya saat melihat sorot mata Arum berubah tajam. Anehnya, jika Gauri tak salah lihat, dia sempat mendapati Adam tengah menyembunyikan tawa sambil memalingkan wajah.

“Ma, aku haus,” ucap Amora mengelus tenggorokannya. Secepat kilat, sorot mata Arum melembut lagi. Dia melirik Gauri, seolah memamerkan keahliannya yang bisa mengalihkan perhatian Arum.

“Air minumnya mana, Gauri?” tanya Arum spontan.

Gauri menarik kedua sudut bibirnya. “Ambil sendiri saja, Amora. Jika ingin menikah dengan Mas Adam, pelajarilah baik-baik bagaimana rumah yang akan kamu tinggali.”

Kini giliran wajah Amora yang memerah. Hal itu tidak bisa membuat sesak dalam dada Gauri mereda, tapi setidaknya dia bisa merasa sedikit puas melihat ekspresi Arum dan Amora.

“Bagaimana kalau saya kelelahan? Ada cucu pertama Keluarga Harraz dalam kandungan saya. Kamu mungkin tidak mengerti betapa krusialnya bulan awal kehamilan karena belum pernah merasakannya.” Amora tidak mau kalah.

“Kalau begitu, minta ayah dari anakmu yang mengambilkannya,” ujar Gauri. Dia masih tersenyum manis.

“Jangan kurang ajar, Gauri!” tegur Arum dengan suara beratnya.

“Apa ART kita masih pulang kampung, Ma?” tanya Adam sambil melihat sekeliling. Dia baru sadar jika sejak tadi tidak ada asisten.

“Mmm… iya, Adam,” bohong Arum.

Pada akhirnya Adam perlahan bangkit. Di luar dugaan, dia melangkah menuju dapur untuk membuatkan teh hijau untuk Amora.

Gauri harus menelan pil pahit lagi saat melihat itu. Apalagi saat Adam memberikan teh tersebut pada Amora. Dia sudah tidak tahu bagaimana cara menyatukan hatinya kembali yang telah hancur berkeping-keping.

Amora memberikan senyum manis pada Adam. Lalu, dia dengan sengaja menatap Gauri penuh kemenangan.

“Adam, kamu harus menikahi Amora,” pinta Arum semakin membakar hati Gauri.

Gauri meremas kuat ujung bajunya. Dia kehilangan kekuatannya saat melihat bagaimana Adam memperlakukan Amora dengan manis.

Tidak bisa dibayangkan apa saja yang sudah terjadi di antara mereka saat di kantor. Makan bersama, berdiskusi, berkomunikasi, hal-hal yang didambakan Gauri.

Adam melirik Gauri yang sedang memalingkan wajah, seperti tidak tertarik dengan apa pun yang akan Adam katakan. Dia merasa kecewa saat Gauri memilih abai.

‘Utangnya sudah lunas. Dia pasti sudah tidak membutuhkanku lagi,’ batin Adam menyimpulkan.

“Pak Adam?” Amora mengelus lutut Adam, membuat pria itu tersadar.

“Akan saya pikirkan,” tegas Adam.

Adam bangkit dan pamit kembali ke ruang kerjanya. Tak tahan bersama Arum dan Amora lebih lama lagi, Gauri juga pergi ke kamarnya.

Gauri menunduk dalam, menutupi air mata dengan rambut panjangnya supaya tidak dilihat siapa pun. Kakinya bergerak cepat menuju kamar. Bahkan, dia tidak menyadari jika Adam masih bergeming di depan pintunya,memerhatikan Gauri.

Tak lama kemudian, Gauri keluar lagi sambil membawa sebuah map. Dia mengabaikan tawa Arum dan Amora yang menggelegar di lantai satu.

Tanpa mengetuk pintu, Gauri memberanikan diri untuk masuk kamar Adam. Aroma parfum Adam langsung tercium oleh hidungnya.

Akhirnya dia menginjakkan kaki di ruangan yang didominasi warna abu-abu putih dengan ranjang besar di tengahnya. Dadanya masih berdebar kencang.

Apalagi saat tangannya menyentuh kenop pintu ruang kerja Adam yang terasa dingin. Pintu itu terbuka perlahan dan dia menemukan Adam tengah melihat ke arahnya.

“Gauri?” Pria itu bangkit dari kursi kebesarannya dan menghampiri Gauri yang masuk semakin dalam ke ruang kerjanya.

Gauri membisu. Dia sibuk mengamati ruang kerja Adam yang semua sisi dindingnya hampir dipenuhi dengan koleksi buku. Ini lebih terlihat seperti perpustakaan pribadi.

“Keluar!” perintah Adam tegas.

Sikap dingin Adam yang tidak pernah berubah, membuat Gauri tersenyum masam.

“Itu memang niatku,” sahut Gauri sambil menyodorkan map pada Adam.

Walaupun tidak mengerti, Adam tetap menerima dan membuka map itu. Dia menautkan alis, terlihat sangat fokus sekaligus seksi.

“Tolong tanda tangani surat cerai itu,” tambah Gauri dengan percaya diri. Namun, mata Gauri berkaca-kaca saat dia mengatakan itu. Dia mengusap hidungnya yang basah.

Adam mengangkat surat itu tinggi dan berkata, “Sisa kontrak kita masih beberapa bulan lagi dan ada biaya penalti yang harus ditanggung oleh pihak pemutus kontrak. Apa kamu siap? Gaji setahun sebagai penatu tidak akan cukup untuk membayar ini.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status