Selama 3 hari penuh, Riana harus beristirahat di rumah sakit dan selama itu pula, Eric tak sedikitpun meninggalkannya. Sementara Dimas, tak sedetikpun lelaki itu terlihat mengunjungi Riana.
Evan selalu datang di pagi hari untuk membantu Riana merilekskan pikirannya dan pulang ke apartemennya, saat matahari hendak kembali ke peraduannya.
Berbanding terbalik dengan Riana, Eric justru stress dengan kehadiran putranya. Bocah kecil miniature dirinya itu, selalu saja memonopoli Riana dan membuatnya tersingkir.
“Mom, Mommy jadi pulang hari ini, 'kan?”
Riana menunduk dan melihat putranya yang meletakkan kepala di dadanya. Wanita itu mengangguk dan tersenyum
“Hmm.”
“Kalo begitu, Evan akan tidur dengan Mommy. Evan akan jaga mommy,” ujar Evan bersemangat.
Erik terlihat syok. Ia mendelik pada putranya. Bocah itu benar-benar membuatnya naik darah.
Selama di rumah sakit, ia tak mendapat kesempatan berdua d
“Apa yang kau lakukan di sini?”Dengan berkacak pinggang, Wendy berdiri dan menghalangi jalan Xian Lie yang hendak masuk ke rumahnya.Matanya memicing menatap wanita yang berbalut jumpsuit merah marun dengan model tube top itu.“Aku harus bicara dengan Ellena.”Wendy mendengus sinis. “Bicara dengan Ellena? Hah! … untuk apa? Untuk pamer bahwa kamu sama Eric berbaikan? Begitu?”Xian Lie mengerutkan alisnya. “Apa maksudmu?”“Halah … tidak usah pura-pura. Aku tahu kalian sudah berbaikan. Aku lihat sendiri kemarin dia belanja pakaian wanita. Kalo bukan untuk kamu untuk siapa lagi, hmm? Dia bukan tipe lelaki seperti Irawan.Aku tidak tahu apa kesalahan anakku sampe kau menikamnya dari belakang. Anakku sudah membantumu berbohong di depan publik supaya kau tidak malu karena tindakan bodohmu di Gala. Tapi apa? Kau justru—”Xian Lie membalikkan badan dan lang
Toktok….“Permisi, Pak. Ada nona—”“Move (Minggir)!” ketus Xian Lie.Wanita itu melangkah masuk ke ruangan Irawan dan langsung duduk di sofa kantor ayah Dimas itu. Tak peduli dengan rasa cemas yang dialami sekretaris Irawan karena sudah menganggu atasannya yang sedang sibuk.Irawan yang sedang bekerja, mengerutkan alis kala melihat wajah Xian Lie yang terlihat sembab.Lelaki itu lantas berdiri dan mendekati keponakan istrinya itu seraya memberi kode pada sekretarisnya untuk meninggalkan ruangan.“Ada apa lagi,” tanya Irawan. Lelaki itu menatap lelah sang ponakan dan duduk di sofa single di dekat Xian Lie duduk. “Aku dengar kau bikin keributan di kantor WOW. Apa kau ingin Eric semakin tak suka padamu, hmm?”Xian Lie menghapus air matanya yang akan mengalir. Ia melihat Irawan sekilas dan menggeleng.“Aku … aku tidak tahu harus bagaimana lagi.
“Jadi, apa kau punya keluhan lain?”Riana tersenyum manis pada psikiater yang merawatnya itu, lalu menggeleng. Dokter Ariek mengangguk dan menulis sesuatu di catatannya.“Apa kau masih susah tidur? Atau masih sering mimpi buruk?”Riana menggeleng. “Sudah hampir 2 minggu ini … tidak ada mimpi buruk, Dok dan saya bisa tidur nyenyak."“Hmm … aku senang dengarnya. Lalu … kenapa kamu sampai dibawa ke IGD. Apa yang terjadi padamu?”Senyum Riana seketika memudar. Ia membetulkan letak selimutnya dan memejamkan mata. Ia tak ingin mengingat kejadian itu dan tak bisa bercerita.“Aku … aku tidak apa-apa, Dok.”“Trisha. Aku sudah katakan, bukan? Jangan menyimpan semuanya sendiri, hmm?” bujuk lembut dr. Ariek.“Hanya … ada sesuatu yang ... membuat saya teringat kejadian di London, Dok,” kilah Riana.Walau tak yakin, Dr. Ari
Mmpp … mmppp….Bukkk … bukkk….Riana menggebuk dada Eric yang tiba-tiba membungkam bibirnya dengan ciuman. Ia mendorong lelaki itu dan memaksa Eric untuk melepas pagutannya.Ayah Evan itu akhirnya melepaskan Riana setelah beberapa detik ia melahap bibir ranum itu dengan rakus. Ia tersenyum melihat Riana yang terengah.Wanita yang masih tampak cantik walau tanpa polesan make-up itu, mengerucutkan bibirnya karena kesal.Cup“Jangan marah lagi dong, Sayang. Maaf, aku … aku tadi marah … aku ... benar-benar cemburu, makanya aku ... pergi,” ucap Eric sambil melipat bibirnya dan menunduk.Riana yang tadinya kesal, kemudian mengangkat alis dan berkedip pelan. Ini pertama kalinya ia melihat Eric terbata dan mengakui kesalahannya dengan malu-malu. Layaknya anak kecil yang ketahuan berbuat salah.“Babe … ayolah,
Riana yang duduk di kursi kebesarannya, melirik ke luar ruangannya di mana banyak karyawan berkumpul dan membicarakan Ellena.Wanita itu menyungging senyum sinis dan memandang pada ponselnya. Di mana beberapa foto juga dokumen yang akan ia kirim pada orang suruhannya sudah ia siapkan untuk kembali menyerang Ellena.“Sepertinya, aku simpan dulu yang ini,” gumamnya, lalu kembali melanjutkan aktifitasnya.Toktok….“Bu, kain-kain yang buat pesanan dan untuk MFW (Milan Fashion Week) sudah datang. Apa Ibu mau cek dulu?” lapor Nisa di ambang pintu.Riana melihat sketsa design-nya sejenak, lalu mengangguk. “Oke, aku ke sana.”Tak mau kejadian sama terulang, Riana menyimpan sketsa-nya di laci kerjanya dan menguncinya.Wanita itu berjalan melewati ruangan Ellena yang tampak kosong dan hanya ada Wina saja yang masih duduk di depan ruangan manager Glamorous itu.“
Pengunduran diri Riana dari pemilihan vendor ajang kecantikan itu, akhirnya tercium media. Berbagai spekulasi mulai beredar dan kian lama kian membesar.Namun, yang paling disorot adalah gossip bahwa Riana telah melakukan plagiat karena itu panitia mendiskualifikasi Riana.“Maaf, Bu Maggie. Tapi saya tdak bisa menuruti permintaan bu Maggie. Saya tidak bekerja dengan mereka yang mendiskriminasikan orang.”Suara tegas Riana menjawab desakan atasannya di telepon, membuat Nisa sedikit bergetar. Ia tak ingin terkena dampak yang dilakukan Riana.“Bu, saya memang baru bekerja di bawah naungan Glamorous selama hampir 4 tahun. Tapi, selama itu, pernahkah saya menjiplak karya orang lain? … baik, saya akan memberi penjelasan pada media … terima kasih, Bu.”Riana menutup teleponnya dan melempar asal ponselnya itu ke meja lalu mengusap wajah lelahnya. Seperti tak terjadi apapun, Riana kemudian melanjutkan pekerjaannya membu
“Kau dan Eric … kalian bersama, ‘kan? Itu sebabnya kau minta putus dariku,” tukas Dimas.Riana mendengus. “Mas Dimas … apa itu kesimpulan yang kamu dapat?” tanya RianaDimas memutar badannya dan menatap Riana lekat. “Lalu … apa alasanmu selain ini? Aku tahu kalian punya anak bersama tapi … apa perlu sampai Eric masuk keluar apartemenmu dengan bebas?”Riana terperangah. Ia melebarkan matanya melihat Dimas. “Mas Dimas! Kamu mengawasiku?!”“Apa perlu aku melakukannya kalau Eric sudah terang-terangan masuk keluar apartemenmu, Trish?!”Riana mengambil napasnya dalam-dalam. Ia kemudian membuka pintu mobil dan berjalan pergi. Melihat itu, Dimas segera menyusul dan mencekal tangan Riana.“Trisha … katakan padaku, apa yang harus aku lakukan supaya kau tidak bersama dia lagi, huh? Aku … aku minta maaf karena aku melakukan kesalahan padamu
Di sebuah perumahan yang lumayan bagus, Ellena mengendarai mobilnya sambil melihat ke sana ke mari.Wanita itu tersenyum ketika mendapati alamat yang ia cari. Wanita itu lantas memarkir mobilnya di halaman rumah tanpa pagar itu.“Oh, Mbak Ellena. Silahkan masuk,” sambut seorang lelaki dengan kunciran di belakang kepalanya.“Hmm. Apa Mas sudah dapat kabar soal perempuan itu?” tanya Ellena seraya duduk di sofa.Lelaki itu menggeleng. Ia kemudian mengambil map dari atas meja kerja yang ada di ujung ruangan dan memberikannya pada Ellena.“Hanya informasi kecil semasa SMK. Dia termasuk siswi cerdas dan rajin. Dapat beasiswa ke London dan ya … hanya itu.”Ellena mendesah. Wanita itu menipiskan bibir dan membuka map itu.“Ah, Mas Yono. Apa Mas liat berita soal Trisha baru-baru ini?”“Hmm. Ya. Dia jadi tambah terkenal. Dia layak diacungi jempol karena keberanian