“Jadi, apa kau punya keluhan lain?”
Riana tersenyum manis pada psikiater yang merawatnya itu, lalu menggeleng. Dokter Ariek mengangguk dan menulis sesuatu di catatannya.
“Apa kau masih susah tidur? Atau masih sering mimpi buruk?”
Riana menggeleng. “Sudah hampir 2 minggu ini … tidak ada mimpi buruk, Dok dan saya bisa tidur nyenyak."
“Hmm … aku senang dengarnya. Lalu … kenapa kamu sampai dibawa ke IGD. Apa yang terjadi padamu?”
Senyum Riana seketika memudar. Ia membetulkan letak selimutnya dan memejamkan mata. Ia tak ingin mengingat kejadian itu dan tak bisa bercerita.
“Aku … aku tidak apa-apa, Dok.”
“Trisha. Aku sudah katakan, bukan? Jangan menyimpan semuanya sendiri, hmm?” bujuk lembut dr. Ariek.
“Hanya … ada sesuatu yang ... membuat saya teringat kejadian di London, Dok,” kilah Riana.
Walau tak yakin, Dr. Ari
Mmpp … mmppp….Bukkk … bukkk….Riana menggebuk dada Eric yang tiba-tiba membungkam bibirnya dengan ciuman. Ia mendorong lelaki itu dan memaksa Eric untuk melepas pagutannya.Ayah Evan itu akhirnya melepaskan Riana setelah beberapa detik ia melahap bibir ranum itu dengan rakus. Ia tersenyum melihat Riana yang terengah.Wanita yang masih tampak cantik walau tanpa polesan make-up itu, mengerucutkan bibirnya karena kesal.Cup“Jangan marah lagi dong, Sayang. Maaf, aku … aku tadi marah … aku ... benar-benar cemburu, makanya aku ... pergi,” ucap Eric sambil melipat bibirnya dan menunduk.Riana yang tadinya kesal, kemudian mengangkat alis dan berkedip pelan. Ini pertama kalinya ia melihat Eric terbata dan mengakui kesalahannya dengan malu-malu. Layaknya anak kecil yang ketahuan berbuat salah.“Babe … ayolah,
Riana yang duduk di kursi kebesarannya, melirik ke luar ruangannya di mana banyak karyawan berkumpul dan membicarakan Ellena.Wanita itu menyungging senyum sinis dan memandang pada ponselnya. Di mana beberapa foto juga dokumen yang akan ia kirim pada orang suruhannya sudah ia siapkan untuk kembali menyerang Ellena.“Sepertinya, aku simpan dulu yang ini,” gumamnya, lalu kembali melanjutkan aktifitasnya.Toktok….“Bu, kain-kain yang buat pesanan dan untuk MFW (Milan Fashion Week) sudah datang. Apa Ibu mau cek dulu?” lapor Nisa di ambang pintu.Riana melihat sketsa design-nya sejenak, lalu mengangguk. “Oke, aku ke sana.”Tak mau kejadian sama terulang, Riana menyimpan sketsa-nya di laci kerjanya dan menguncinya.Wanita itu berjalan melewati ruangan Ellena yang tampak kosong dan hanya ada Wina saja yang masih duduk di depan ruangan manager Glamorous itu.“
Pengunduran diri Riana dari pemilihan vendor ajang kecantikan itu, akhirnya tercium media. Berbagai spekulasi mulai beredar dan kian lama kian membesar.Namun, yang paling disorot adalah gossip bahwa Riana telah melakukan plagiat karena itu panitia mendiskualifikasi Riana.“Maaf, Bu Maggie. Tapi saya tdak bisa menuruti permintaan bu Maggie. Saya tidak bekerja dengan mereka yang mendiskriminasikan orang.”Suara tegas Riana menjawab desakan atasannya di telepon, membuat Nisa sedikit bergetar. Ia tak ingin terkena dampak yang dilakukan Riana.“Bu, saya memang baru bekerja di bawah naungan Glamorous selama hampir 4 tahun. Tapi, selama itu, pernahkah saya menjiplak karya orang lain? … baik, saya akan memberi penjelasan pada media … terima kasih, Bu.”Riana menutup teleponnya dan melempar asal ponselnya itu ke meja lalu mengusap wajah lelahnya. Seperti tak terjadi apapun, Riana kemudian melanjutkan pekerjaannya membu
“Kau dan Eric … kalian bersama, ‘kan? Itu sebabnya kau minta putus dariku,” tukas Dimas.Riana mendengus. “Mas Dimas … apa itu kesimpulan yang kamu dapat?” tanya RianaDimas memutar badannya dan menatap Riana lekat. “Lalu … apa alasanmu selain ini? Aku tahu kalian punya anak bersama tapi … apa perlu sampai Eric masuk keluar apartemenmu dengan bebas?”Riana terperangah. Ia melebarkan matanya melihat Dimas. “Mas Dimas! Kamu mengawasiku?!”“Apa perlu aku melakukannya kalau Eric sudah terang-terangan masuk keluar apartemenmu, Trish?!”Riana mengambil napasnya dalam-dalam. Ia kemudian membuka pintu mobil dan berjalan pergi. Melihat itu, Dimas segera menyusul dan mencekal tangan Riana.“Trisha … katakan padaku, apa yang harus aku lakukan supaya kau tidak bersama dia lagi, huh? Aku … aku minta maaf karena aku melakukan kesalahan padamu
Di sebuah perumahan yang lumayan bagus, Ellena mengendarai mobilnya sambil melihat ke sana ke mari.Wanita itu tersenyum ketika mendapati alamat yang ia cari. Wanita itu lantas memarkir mobilnya di halaman rumah tanpa pagar itu.“Oh, Mbak Ellena. Silahkan masuk,” sambut seorang lelaki dengan kunciran di belakang kepalanya.“Hmm. Apa Mas sudah dapat kabar soal perempuan itu?” tanya Ellena seraya duduk di sofa.Lelaki itu menggeleng. Ia kemudian mengambil map dari atas meja kerja yang ada di ujung ruangan dan memberikannya pada Ellena.“Hanya informasi kecil semasa SMK. Dia termasuk siswi cerdas dan rajin. Dapat beasiswa ke London dan ya … hanya itu.”Ellena mendesah. Wanita itu menipiskan bibir dan membuka map itu.“Ah, Mas Yono. Apa Mas liat berita soal Trisha baru-baru ini?”“Hmm. Ya. Dia jadi tambah terkenal. Dia layak diacungi jempol karena keberanian
London, Inggris.Pokkk….“Kita ke Indonesia. Sekarang juga!” intonasi suara Lady Hanwel yang tinggi, mengejutkan sang asisten yang berdiri tegak di depan mejanya.Koran yang ia lempar kasar ke meja, masih menjadi perhatian dari ibunda Eric itu. Tulisan besar dan foto putranya di sana, menjadi pemicu amarahnya.“Tapi, Madam. Besok ada meeting dengan Petrol Universal.”Lady Hanwel melihat asistennya itu beberapa saat lalu mengeluarkan desahan kesal. Wanita itu menghempaskan bokongnya ke kursi kebesarannya dan meraup wajahnya.“Apa Max (kakak tiri Xian Lie – general manager Petrol Universal) datang sendiri atau dengan Gery juga?”“Sendirian, Madam.”Lady Hanwel menyandarkan punggungnya, lalu memutar kursinya, membelakangi sang asisten.“Max sangat berbeda dengan Gery (ayah Xian Lie). Pastikan selama di sini kau tidak m
London, Inggris. Melangkah cepat dengan Evan dalam gendongannya, Eric menuju mobil yang sudah menunggunya di depan hangar. Roll Royce hitam itu segera melesat, ketika keduanya sudah masuk ke dalam mobil. Diikuti mobil lain di mana Diane dan Derek berada. “Mau ke mana kamu? Langsung ke Ashton!” sentak Eric, ketika melihat arah mobil yang ditumpanginya menyimpang dari jalurnya. “Maaf, Tuan Muda. Tapi madam Hanwel meminta Anda kembali ke mansion lebih dulu,” terang si sopir takut-takut. Eric mengerutkan alisnya. Kecurigaan mulai mengusik hatinya. ‘Ada apa ini? Apa mungkin Alicia dibawa ke mansion? Tapi … itu tidak mungkin. Keluarga Ashton pasti tidak akan mengijinkan.” Hati Eric tak berhenti menduga-duga. Rasa was-was karena pikiran negatif yang melanda, membuatnya tak dapat mendengar panggilan putranya sedari tadi. “Dad!” Eric terkesiap. Ia kemudian melihat putranya yang sudah menatapny
Jakarta, Indonesia.Dibawah sinar bulan, Riana duduk di teras belakang rumah baru yang dibeli Eric untuknya.Cincin berlian yang disematkan Eric di jari manisnya semakin berkilau karena pantulan cahaya sang penguasa malam.Senyum yang tersemat di bibirnya enggan menghilang, seiiring kenangan 2 hari lalu, saat Eric berlutut dan melamarnya.“Evan benar. Perasaan memang tidak bisa dipaksa.”Saat ia mengucapakan kata itu, dari sudut matanya ia bisa melihat Eric yang terlihat panik.Ia melipat bibirnya, menahan tawa dan memaksakan diri memasang wajah datar ketika menghadap ayah putranya.“Eric … kau juga tahu, kita tidak bisa menentukan apa yang hati kita mau. Dan aku—““Ana, please. Kalau … kalau kau masih menyimpan dendam karena masa lalu kita, aku … aku bersedia kau hukum.Aku akan melakukan apa saja agar kau mau memaafkan aku. Please &h