Di sebuah perumahan yang lumayan bagus, Ellena mengendarai mobilnya sambil melihat ke sana ke mari.
Wanita itu tersenyum ketika mendapati alamat yang ia cari. Wanita itu lantas memarkir mobilnya di halaman rumah tanpa pagar itu.
“Oh, Mbak Ellena. Silahkan masuk,” sambut seorang lelaki dengan kunciran di belakang kepalanya.
“Hmm. Apa Mas sudah dapat kabar soal perempuan itu?” tanya Ellena seraya duduk di sofa.
Lelaki itu menggeleng. Ia kemudian mengambil map dari atas meja kerja yang ada di ujung ruangan dan memberikannya pada Ellena.
“Hanya informasi kecil semasa SMK. Dia termasuk siswi cerdas dan rajin. Dapat beasiswa ke London dan ya … hanya itu.”
Ellena mendesah. Wanita itu menipiskan bibir dan membuka map itu.
“Ah, Mas Yono. Apa Mas liat berita soal Trisha baru-baru ini?”
“Hmm. Ya. Dia jadi tambah terkenal. Dia layak diacungi jempol karena keberanian
London, Inggris.Pokkk….“Kita ke Indonesia. Sekarang juga!” intonasi suara Lady Hanwel yang tinggi, mengejutkan sang asisten yang berdiri tegak di depan mejanya.Koran yang ia lempar kasar ke meja, masih menjadi perhatian dari ibunda Eric itu. Tulisan besar dan foto putranya di sana, menjadi pemicu amarahnya.“Tapi, Madam. Besok ada meeting dengan Petrol Universal.”Lady Hanwel melihat asistennya itu beberapa saat lalu mengeluarkan desahan kesal. Wanita itu menghempaskan bokongnya ke kursi kebesarannya dan meraup wajahnya.“Apa Max (kakak tiri Xian Lie – general manager Petrol Universal) datang sendiri atau dengan Gery juga?”“Sendirian, Madam.”Lady Hanwel menyandarkan punggungnya, lalu memutar kursinya, membelakangi sang asisten.“Max sangat berbeda dengan Gery (ayah Xian Lie). Pastikan selama di sini kau tidak m
London, Inggris. Melangkah cepat dengan Evan dalam gendongannya, Eric menuju mobil yang sudah menunggunya di depan hangar. Roll Royce hitam itu segera melesat, ketika keduanya sudah masuk ke dalam mobil. Diikuti mobil lain di mana Diane dan Derek berada. “Mau ke mana kamu? Langsung ke Ashton!” sentak Eric, ketika melihat arah mobil yang ditumpanginya menyimpang dari jalurnya. “Maaf, Tuan Muda. Tapi madam Hanwel meminta Anda kembali ke mansion lebih dulu,” terang si sopir takut-takut. Eric mengerutkan alisnya. Kecurigaan mulai mengusik hatinya. ‘Ada apa ini? Apa mungkin Alicia dibawa ke mansion? Tapi … itu tidak mungkin. Keluarga Ashton pasti tidak akan mengijinkan.” Hati Eric tak berhenti menduga-duga. Rasa was-was karena pikiran negatif yang melanda, membuatnya tak dapat mendengar panggilan putranya sedari tadi. “Dad!” Eric terkesiap. Ia kemudian melihat putranya yang sudah menatapny
Jakarta, Indonesia.Dibawah sinar bulan, Riana duduk di teras belakang rumah baru yang dibeli Eric untuknya.Cincin berlian yang disematkan Eric di jari manisnya semakin berkilau karena pantulan cahaya sang penguasa malam.Senyum yang tersemat di bibirnya enggan menghilang, seiiring kenangan 2 hari lalu, saat Eric berlutut dan melamarnya.“Evan benar. Perasaan memang tidak bisa dipaksa.”Saat ia mengucapakan kata itu, dari sudut matanya ia bisa melihat Eric yang terlihat panik.Ia melipat bibirnya, menahan tawa dan memaksakan diri memasang wajah datar ketika menghadap ayah putranya.“Eric … kau juga tahu, kita tidak bisa menentukan apa yang hati kita mau. Dan aku—““Ana, please. Kalau … kalau kau masih menyimpan dendam karena masa lalu kita, aku … aku bersedia kau hukum.Aku akan melakukan apa saja agar kau mau memaafkan aku. Please &h
“Teman apa teman nih?” goda Riana sambil menaik turunkan alisnya.“Beneran temen kok, Bu. Ibu ini pikirannya. Ayu masih belum mikir ke sana, Bu. Ayu ngenalin Bobby ke Ibu, soalnya dia gak percaya kalo dia itu mirip banget sama Ibu, gitu!” sewot Ayu dengan wajah ditekuk dan bibir mengerucut sebal.Riana mengerutkan alisnya. Ia kemudian memindai lelaki itu. Wajah yang sedikit oval, alis sedikit sabit, hidung mancung, bibir yang tak begitu tebal ataupun tipis, kulit yang tak terlalu putih namun tanpa cela, serta pipi yang rada chubby, memang benar mirip dengannya.Bila lelaki bernama Boby itu memakai baju wanita dan memanjangkan rambutnya, mereka pasti seperti anak kembar, karena fitur maskulin tak tampak di wajah lelaki itu.“Wah … masa aku secantik ini, Yu? Hahaha…,” tanggap Riana sambil tertawa.Lelaki berusia 20 tahunan itu mengulum senyumnya dan menunduk malu.“Benaran deh, Bu. Coba l
Riana meringis sambil memegangi kepalanya. Eric memeriksa kepala Riana dan menggosoknya.Evan menatap geram wanita yang sudah melempar kepala ibunya, lalu berlari menghampirinya.Bukk….Tubuh Xian Lie limbung ke belakang, tapi berhasil mengatur keseimbangannya. Melihat Xian Lie tak juga terjatuh setelah ia mendorongnya, Evan kembali maju dan mengulanginya sekuat tenaga.Emgh!Brukk….“Ahh!!! … Evan! You little demon (dasar setan kecil)!” maki Xian Lie sambil meringis kesakitan karena tangannya memar mengenai paving dan pantatnya cukup kuat mendarat di sana.“You deserved that (kau layak mendapatkannya)! Kau wanita jahat!” teriak Evan.Riana dan Eric berbalik. Keduanya cukup terkejut dengan sikap Evan. Riana lantas berjalan mendekati putranya.“Evan, come—“Plakkk&hellip
Wendy berdiri di depan pintu kamar putrinya dan memandang sendu putri semata wayangnya yang duduk termangu melihat ke luar jendela kamar.2 alasan kuat mengapa ia mempertahankan pernikahannya dengan Irawan, walaupun lelaki itu selalu menyakitinya.Pertama adalah karena keluarganya. Berkat Xian Lie yang menjadi anggota keluarga konglomerat Gery Lie dan kejeniusan otaknya, ia dipercaya pendiri Lie Corp itu untuk menjadi direktur operasional Lie.Corp Jakarta.Kedudukannya mengangkat derajat keluarganya di Italia, sekaligus membungkam mereka yang menentangnya karena ia menikah dengan pria beristri.Jika ia bercerai, ia tak akan mampu menegakkan kepalanya di hadapan mereka yang menghina pernikahannya.Kedua, karena putrinya, Ellena. Putri kandungnya dengan Irawan. Ia tak ingin putrinya besar tanpa figure ayah seperti dirinya.Tapi, sepertinya, semua itu tak pernah dipahami Ellena. Dalam keadaan terpuruk, Ellena tak pernah terbuka dan bercerita pa
“Ana? Kamu pulang cepat?"Riana tersenyum tipis. Ia lantas memeluk Diane dan menyandarkan kepala di bahu pengasuh putranya itu.“Kamu lelah?” tanya Diane lembut. Riana mengangguk lemah. “Kalau begitu, istirahatlah. Aku akan akan membuatkanmu teh dan menyiapkan air hangat di bath tub, hmm?”“Hmm. Thank you.”Diane tersenyum dan menepuk lembut punggung ibunda Evan itu. “Sana, masuklah ke kamar. Evan dan Eric belum pulang. Kamu bisa istirahat dengan tenang,” suruh Diane. Riana memberi kecupan di pipi Diane, lalu melangkah gontai menuju kamarnya. Dihempaskannya tubuh lelahnya ke petiduran dan menatap langit-langit. Semua berita soal Ellena kembali mengganggu pikirannya. Bukan sekarang ia ingin membuat Ellena dipecat dan mengungkapkan soal plagiat wanita itu.Ia masih ingin mempermainkan wanita itu, sebelum pada akhirnya ia mengungkap soal plagiat yang dilakuka
Eric melangkah masuk ke dalam rumah yang ia beli untuk Riana. Ia tampak heran melihat isi rumah yang terlihat cantik.“Baru pulang?”Eric berpaling. Matanya bertemu dengan Riana yang berjalan mendekat padanya sambil tersenyum dan membawa segelas air putih.“Ini. Minumlah dulu,” ujar Riana seraya mengulurkan gelas itu pada Eric.Eric tersenyum dan menerimanya. Ia kemudian menunjuk sekeliling rumah yang terlihat berbeda.“Apa kamu yang mendekorasi rumah?”Riana mengangguk. “Hmm. Gimana? Cantik, ‘kan? Sekarang lebih terlihat rumah keluarga.”Eric melengkungkan senyum. Ia menarik Riana dalam pelukannya dan mengecup puncak kepala wanita itu.“Gak biasanya kamu pulang cepat.”Riana terkekeh. Ia mengeratkan pelukannya dan menengadahkan kepalanya melihat ayah putranya.“Banyak pesanan sudah selesai. Hanya tersisa beberapa baju formal dan untuk acara M