“Ana? Kamu pulang cepat?"
Riana tersenyum tipis. Ia lantas memeluk Diane dan menyandarkan kepala di bahu pengasuh putranya itu.
“Kamu lelah?” tanya Diane lembut. Riana mengangguk lemah.
“Kalau begitu, istirahatlah. Aku akan akan membuatkanmu teh dan menyiapkan air hangat di bath tub, hmm?”
“Hmm. Thank you.”
Diane tersenyum dan menepuk lembut punggung ibunda Evan itu.
“Sana, masuklah ke kamar. Evan dan Eric belum pulang. Kamu bisa istirahat dengan tenang,” suruh Diane.
Riana memberi kecupan di pipi Diane, lalu melangkah gontai menuju kamarnya.
Dihempaskannya tubuh lelahnya ke petiduran dan menatap langit-langit. Semua berita soal Ellena kembali mengganggu pikirannya.
Bukan sekarang ia ingin membuat Ellena dipecat dan mengungkapkan soal plagiat wanita itu.
Ia masih ingin mempermainkan wanita itu, sebelum pada akhirnya ia mengungkap soal plagiat yang dilakuka
Eric melangkah masuk ke dalam rumah yang ia beli untuk Riana. Ia tampak heran melihat isi rumah yang terlihat cantik.“Baru pulang?”Eric berpaling. Matanya bertemu dengan Riana yang berjalan mendekat padanya sambil tersenyum dan membawa segelas air putih.“Ini. Minumlah dulu,” ujar Riana seraya mengulurkan gelas itu pada Eric.Eric tersenyum dan menerimanya. Ia kemudian menunjuk sekeliling rumah yang terlihat berbeda.“Apa kamu yang mendekorasi rumah?”Riana mengangguk. “Hmm. Gimana? Cantik, ‘kan? Sekarang lebih terlihat rumah keluarga.”Eric melengkungkan senyum. Ia menarik Riana dalam pelukannya dan mengecup puncak kepala wanita itu.“Gak biasanya kamu pulang cepat.”Riana terkekeh. Ia mengeratkan pelukannya dan menengadahkan kepalanya melihat ayah putranya.“Banyak pesanan sudah selesai. Hanya tersisa beberapa baju formal dan untuk acara M
Alex dan Ayu tercengang melihat kedatangan Riana yang tiba-tiba ke kantor mereka, sore itu.Tidak biasanya wanita itu datang ke tempat mereka. Biasanya, merekalah yang mengunjunginya.“Ada angin apa ini sampai-sampai nyonya besar datang ke gubuk reot hamba,” kelakar Alex.Riana mencebik. Ia mengambil majalah yang ada di meja tamu Alex, lalu melemparnya pada manager Ayu itu.“Waduh, paduka marah-marah.”Riana terkekeh sambil menggeleng. Mereka paling bisa membangkitkan mood-nya.“Kita ke club, yuk,” ajak Riana.Alex dan Ayu kembali tercengang. Mereka mengerjap, lalu mendekati Riana. Ayu menempelkan punggung tangannya pada Ana lalu ... beralih pada pantatnya.“Sama. Hahaha….”Ayu dan Alex tergelak. Riana menggeram kesal karena Ayu mengerjainya.Pakk....Ia menepuk keras bahu mantan asistennya itu sambil memelototinya. Namun akh
Ayu menatap sendu wajah Riana yang teduh terpejam. Terbaring di sofa dengan dengan baju clubbing dan rambut acak-acakan, menambah sesak dada Ayu. “Bu … sebenarnya Ibu cinta sama siapa? … Ayu sudah bilang ‘kan, Bu. Tuan Jenkins sudah punya tunangan. Dan ibu juga … hahh…,” desah Ayu. Wanita berkulit eksotis memandang layar ponselnya. Di mana berita pengumuman pernikahan Eric yang akan berlansung bulan depan terpampang. “Baru seminggu pulang ke London dan sekarang … sudah mengumumkan mau nikah. Apa begini cara main orang kaya? Seenaknya aja memainkan perasaan orang lalu mencampakkan begitu saja,” tukas Ayu lirih. Toktok…. Ayu melihat ke pintu. Ia meletakkan ponselnya di meja dan berjalan untuk melihat siapa yang datang. Ceklek Ayu terpaku. Tubuhnya membeku tak dapat bergerak. Demikian pula tamu dia yang ia bukakan pintu. Lelaki itu juga tampak tertegun. Jakunnya n
Jemari dengan kuku bercat merah yang menyodorkan secangkir kopi, menjadi yang pertama dilihat manik hijau itu, tapi tak lama mata itu kembali pada kertas yang ada di tangannya.“Babe, minum kopi dulu.”Tak ada reaksi dari pemilik cufflink mewah itu. Tangan itu justru bergerak menggoser pena di atas kertas, lalu kembali ke komputernya mengetik sesuatu.“Babe, ibu memanggil kita ke mansion untuk makan malam. Kamu tidak lupa, ‘kan?”Wanita berbalut mini dress itu perlahan melangkah mendekati lelaki yang adalah ayah dari Evan, Eric Fransisco Jenkins.Ia lantas berdiri di belakang kursi besar itu dan menempatkan tangannya di kedua bahu Eric.Srekk….Belum lagi sempat wanita itu memijat, Eric sudah berdiri lalu berbalik dan menatap tajam ke arah si wanita.“KELUAR!!!”“Eric!”“Keluar! Jangan menyuruhku mengulangnya, Xian Lie!&
Keributan yang terjadi di café MoonBuck, antara Ellena dan Riana begitu cepat tersebar. Begitu juga dengan foto-foto Riana yang sedang mabuk dan dipaksa Ayu untuk masuk ke mobil.Tak dijelaskan dengan pasti alasan keduanya bertengkar ataupun mengapa Riana sampai terlihat sangat mabuk.Namun, yang menjadi perhatian laki-laki pemilik manik hijau itu, tertuju pada lelaki yang menjadi penengah di antara kedua wanita itu.Matanya kian lama kian tajam, ketika ia menggulir layar komputernya ke bawah. Di mana, ia melihat bagaimana lelaki di dalam foto merangkul Riana.CeklekWajah yang masih terlihat tegang dan dingin itu, berpaling ke arah pintu ruangannya yang terbuka. Desahan napas kasar dan rahang yang bergerak malas, menyambut wanita yang baru saja berjalan masuk.“What are you doing here (Apa yang kau lakukan di sini)?” tanya lelaki itu dingin, seraya menatap malas wani
Tok tok….“Bu!”Riana yang baru saja selesai berdandan, segera berdiri dan menuju pintu kamar hotelnya. Ia tersenyum saat mendapati asistennya berdiri di depan pintu.Lain halnya dengan Nisa. Wanita itu membuka lebar mulut dan matanya kala melihat penampilan Riana.Atasannya tampak begitu memesona dalam balutan gaun cocktail berwarna solid hitam berbahan polyster fiber kombinasi brokat transparan pada lengan panjangnya, serta konsep longguete skirt (rok pensil dalam bahasa Italia) di bagian bawahnya.Gaun yang sengaja Riana beli di salah satu mall itu, seakan dibuat khusus untuk Riana. Potongannya sangat pas membentuk lekuk sexy tubuh Riana. Detail V-neck yang diberi sedikit aksen bulu burung unta, memperlihatkan belahan dada Riana yang menggoda. Lalu ada highwaist yang semakin mempertegas body gitar spanyol Riana juga perut ratanya.“Ya, ampuuun! Cantik bangeett!!!” seru Nisa sambil berjingkrak l
Riana menggeret kopernya menuju resepsionis dan mengurus proses check-outnya. Tak lama, Nisa terlihat menyusul Riana sambil menguap dan berjalan malas. Ibunda Evan itu menghela napas dan menggeleng, saat melihat sang asisten yang seperti kurang tidur. “Nis. Tidur jam berapa semalam?” tanya Riana seraya menarik lagi kopernya menuju pintu keluar. “Jam 2, Bu.”“Haihh … aku ‘kan sudah bilang. Kita check-out jam 6.”“Maaf, Bu. Saya belum pernah ke Bali jadi….”“Ya, sudah. Ayo! Taksinya udah datang,” ajak Riana.Keduanya berjalan menuju pintu keluar dan memberikan koper mereka pada sopir taksi yang sudah menunggu. “Pagi-pagi udah seger aja nih. Yang semalam, tenaganya masih kurang besar sepertinya.”Mendengar suara familiar, Riana hanya berpaling sekilas dan kembali melihat sopir yang sedang menata koper di bagasi. “Ud
“Mas Dimas?” panggil Riana. Ia menatap heran mantan tunangannya itu dan melihat ke sekeliling pintu kedatangan.Ia tak pernah memberitahu Dimas soal keberangkatan ataupun kapan ia akan kembali. Tapi. lelaki itu kini berdiri di depannya. Di pintu keluar bandara. Menunggunya.“Sini. Aku aja yang bawa kopernya. Capek, ya?” Dimas maju beberapa langkah dan mengambil koper Riana.“Ehm … ya, lumayan,” ucap Riana kaku dan canggung. Ia menelan ludahnya dengan berat dan diam-diam mencuri pandang pada lelaki itu.“Nis, apa kamu mau bareng kita?” tanya Dimas pada asisten Riana, setelah selesai ia memasukkan koper ibunda Evan itu ke dalam mobilnya.Nisa segera melambaikan tangannya dan menggeleng. “Tidak usah! Terima kasih, Pak. Saya … naik taksi aja. Terima kasih, terima kasih,” tolak Nisa cepat. Wanita berparas manis itu lantas mengalihkan perhatiannya pada Riana.“Bu