Toktok….
“Permisi, Pak. Ada nona—”
“Move (Minggir)!” ketus Xian Lie.
Wanita itu melangkah masuk ke ruangan Irawan dan langsung duduk di sofa kantor ayah Dimas itu. Tak peduli dengan rasa cemas yang dialami sekretaris Irawan karena sudah menganggu atasannya yang sedang sibuk.
Irawan yang sedang bekerja, mengerutkan alis kala melihat wajah Xian Lie yang terlihat sembab.
Lelaki itu lantas berdiri dan mendekati keponakan istrinya itu seraya memberi kode pada sekretarisnya untuk meninggalkan ruangan.
“Ada apa lagi,” tanya Irawan. Lelaki itu menatap lelah sang ponakan dan duduk di sofa single di dekat Xian Lie duduk. “Aku dengar kau bikin keributan di kantor WOW. Apa kau ingin Eric semakin tak suka padamu, hmm?”
Xian Lie menghapus air matanya yang akan mengalir. Ia melihat Irawan sekilas dan menggeleng.
“Aku … aku tidak tahu harus bagaimana lagi.
“Jadi, apa kau punya keluhan lain?”Riana tersenyum manis pada psikiater yang merawatnya itu, lalu menggeleng. Dokter Ariek mengangguk dan menulis sesuatu di catatannya.“Apa kau masih susah tidur? Atau masih sering mimpi buruk?”Riana menggeleng. “Sudah hampir 2 minggu ini … tidak ada mimpi buruk, Dok dan saya bisa tidur nyenyak."“Hmm … aku senang dengarnya. Lalu … kenapa kamu sampai dibawa ke IGD. Apa yang terjadi padamu?”Senyum Riana seketika memudar. Ia membetulkan letak selimutnya dan memejamkan mata. Ia tak ingin mengingat kejadian itu dan tak bisa bercerita.“Aku … aku tidak apa-apa, Dok.”“Trisha. Aku sudah katakan, bukan? Jangan menyimpan semuanya sendiri, hmm?” bujuk lembut dr. Ariek.“Hanya … ada sesuatu yang ... membuat saya teringat kejadian di London, Dok,” kilah Riana.Walau tak yakin, Dr. Ari
Mmpp … mmppp….Bukkk … bukkk….Riana menggebuk dada Eric yang tiba-tiba membungkam bibirnya dengan ciuman. Ia mendorong lelaki itu dan memaksa Eric untuk melepas pagutannya.Ayah Evan itu akhirnya melepaskan Riana setelah beberapa detik ia melahap bibir ranum itu dengan rakus. Ia tersenyum melihat Riana yang terengah.Wanita yang masih tampak cantik walau tanpa polesan make-up itu, mengerucutkan bibirnya karena kesal.Cup“Jangan marah lagi dong, Sayang. Maaf, aku … aku tadi marah … aku ... benar-benar cemburu, makanya aku ... pergi,” ucap Eric sambil melipat bibirnya dan menunduk.Riana yang tadinya kesal, kemudian mengangkat alis dan berkedip pelan. Ini pertama kalinya ia melihat Eric terbata dan mengakui kesalahannya dengan malu-malu. Layaknya anak kecil yang ketahuan berbuat salah.“Babe … ayolah,
Riana yang duduk di kursi kebesarannya, melirik ke luar ruangannya di mana banyak karyawan berkumpul dan membicarakan Ellena.Wanita itu menyungging senyum sinis dan memandang pada ponselnya. Di mana beberapa foto juga dokumen yang akan ia kirim pada orang suruhannya sudah ia siapkan untuk kembali menyerang Ellena.“Sepertinya, aku simpan dulu yang ini,” gumamnya, lalu kembali melanjutkan aktifitasnya.Toktok….“Bu, kain-kain yang buat pesanan dan untuk MFW (Milan Fashion Week) sudah datang. Apa Ibu mau cek dulu?” lapor Nisa di ambang pintu.Riana melihat sketsa design-nya sejenak, lalu mengangguk. “Oke, aku ke sana.”Tak mau kejadian sama terulang, Riana menyimpan sketsa-nya di laci kerjanya dan menguncinya.Wanita itu berjalan melewati ruangan Ellena yang tampak kosong dan hanya ada Wina saja yang masih duduk di depan ruangan manager Glamorous itu.“
Pengunduran diri Riana dari pemilihan vendor ajang kecantikan itu, akhirnya tercium media. Berbagai spekulasi mulai beredar dan kian lama kian membesar.Namun, yang paling disorot adalah gossip bahwa Riana telah melakukan plagiat karena itu panitia mendiskualifikasi Riana.“Maaf, Bu Maggie. Tapi saya tdak bisa menuruti permintaan bu Maggie. Saya tidak bekerja dengan mereka yang mendiskriminasikan orang.”Suara tegas Riana menjawab desakan atasannya di telepon, membuat Nisa sedikit bergetar. Ia tak ingin terkena dampak yang dilakukan Riana.“Bu, saya memang baru bekerja di bawah naungan Glamorous selama hampir 4 tahun. Tapi, selama itu, pernahkah saya menjiplak karya orang lain? … baik, saya akan memberi penjelasan pada media … terima kasih, Bu.”Riana menutup teleponnya dan melempar asal ponselnya itu ke meja lalu mengusap wajah lelahnya. Seperti tak terjadi apapun, Riana kemudian melanjutkan pekerjaannya membu
“Kau dan Eric … kalian bersama, ‘kan? Itu sebabnya kau minta putus dariku,” tukas Dimas.Riana mendengus. “Mas Dimas … apa itu kesimpulan yang kamu dapat?” tanya RianaDimas memutar badannya dan menatap Riana lekat. “Lalu … apa alasanmu selain ini? Aku tahu kalian punya anak bersama tapi … apa perlu sampai Eric masuk keluar apartemenmu dengan bebas?”Riana terperangah. Ia melebarkan matanya melihat Dimas. “Mas Dimas! Kamu mengawasiku?!”“Apa perlu aku melakukannya kalau Eric sudah terang-terangan masuk keluar apartemenmu, Trish?!”Riana mengambil napasnya dalam-dalam. Ia kemudian membuka pintu mobil dan berjalan pergi. Melihat itu, Dimas segera menyusul dan mencekal tangan Riana.“Trisha … katakan padaku, apa yang harus aku lakukan supaya kau tidak bersama dia lagi, huh? Aku … aku minta maaf karena aku melakukan kesalahan padamu
Di sebuah perumahan yang lumayan bagus, Ellena mengendarai mobilnya sambil melihat ke sana ke mari.Wanita itu tersenyum ketika mendapati alamat yang ia cari. Wanita itu lantas memarkir mobilnya di halaman rumah tanpa pagar itu.“Oh, Mbak Ellena. Silahkan masuk,” sambut seorang lelaki dengan kunciran di belakang kepalanya.“Hmm. Apa Mas sudah dapat kabar soal perempuan itu?” tanya Ellena seraya duduk di sofa.Lelaki itu menggeleng. Ia kemudian mengambil map dari atas meja kerja yang ada di ujung ruangan dan memberikannya pada Ellena.“Hanya informasi kecil semasa SMK. Dia termasuk siswi cerdas dan rajin. Dapat beasiswa ke London dan ya … hanya itu.”Ellena mendesah. Wanita itu menipiskan bibir dan membuka map itu.“Ah, Mas Yono. Apa Mas liat berita soal Trisha baru-baru ini?”“Hmm. Ya. Dia jadi tambah terkenal. Dia layak diacungi jempol karena keberanian
London, Inggris.Pokkk….“Kita ke Indonesia. Sekarang juga!” intonasi suara Lady Hanwel yang tinggi, mengejutkan sang asisten yang berdiri tegak di depan mejanya.Koran yang ia lempar kasar ke meja, masih menjadi perhatian dari ibunda Eric itu. Tulisan besar dan foto putranya di sana, menjadi pemicu amarahnya.“Tapi, Madam. Besok ada meeting dengan Petrol Universal.”Lady Hanwel melihat asistennya itu beberapa saat lalu mengeluarkan desahan kesal. Wanita itu menghempaskan bokongnya ke kursi kebesarannya dan meraup wajahnya.“Apa Max (kakak tiri Xian Lie – general manager Petrol Universal) datang sendiri atau dengan Gery juga?”“Sendirian, Madam.”Lady Hanwel menyandarkan punggungnya, lalu memutar kursinya, membelakangi sang asisten.“Max sangat berbeda dengan Gery (ayah Xian Lie). Pastikan selama di sini kau tidak m
London, Inggris. Melangkah cepat dengan Evan dalam gendongannya, Eric menuju mobil yang sudah menunggunya di depan hangar. Roll Royce hitam itu segera melesat, ketika keduanya sudah masuk ke dalam mobil. Diikuti mobil lain di mana Diane dan Derek berada. “Mau ke mana kamu? Langsung ke Ashton!” sentak Eric, ketika melihat arah mobil yang ditumpanginya menyimpang dari jalurnya. “Maaf, Tuan Muda. Tapi madam Hanwel meminta Anda kembali ke mansion lebih dulu,” terang si sopir takut-takut. Eric mengerutkan alisnya. Kecurigaan mulai mengusik hatinya. ‘Ada apa ini? Apa mungkin Alicia dibawa ke mansion? Tapi … itu tidak mungkin. Keluarga Ashton pasti tidak akan mengijinkan.” Hati Eric tak berhenti menduga-duga. Rasa was-was karena pikiran negatif yang melanda, membuatnya tak dapat mendengar panggilan putranya sedari tadi. “Dad!” Eric terkesiap. Ia kemudian melihat putranya yang sudah menatapny
Diana Arabelle Konrad, yang baru saja kembali setelah menjalani perawatan intensif karena trauma kehilangan suami dan calon bayinya, memutuskan untuk berangkat ke Praiano, sebuah kota kecil yang berada di Amalfi Coast, Italia, setelah mendengar bahwa resort yang didirikan almarhum suaminya terancam bangkrut. DD, begitu ia biasa disapa, bertekad untuk mempertahankan resort yang menyimpan kenangannya bersama almarhum sang suami. Hingga pada suatu hari, tanpa sengaja ia membantu seorang pria tak dikenal yang pingsan dengan wajah yang babak belur. Pria itu kemudian mengaku kehilangan ingatannya. Tak ingin sesuatu terjadi pada lelaki itu, DD memutuskan untuk menerimanya tinggal di resort. “Kau ingin aku membantumu?” “Kau bisa?” “Tentu saja. Tapi, aku mau imbalan.” “Imbalan?” Lelaki yang diselamatkannya itu mengangguk. Senyumnya begitu menawan namun menyimpan sejuta misteri. DD berdehem dan membetulkan duduknya.
Taman di belakang mansion Jenkins tampak meriah. Balon berwarna putih berada tepat di sisi flower arc dan meja yang ada di sisi kiri taman. Mengambil tema Rustic , gaya yang menghadirkan kesan alami dan didominasi oleh kayu-kayu, batu, tanaman menjuntai, serta lampu-lampu bolam klasik, membawa suasana terkesan akrab. Suami dari para sahabat Riana, tampak berbincang akrab dengan Eric, Sir Edmund, Boby dan ayah Riana, Iwan, Alex, Andrew, DD (adik Dylan) serta kedua asisten Eric. Tak ketinggalan, kedua orangtua Dylan juga hadir. Canda tawa acap kali terdengar disertai ledekan. Begitu riuh dan menyenangkan. Riana yang berada di jendela kamarnya, tersenyum bahagia melihat keakraban yang terjalin. Tak berhubungan darah, namun mereka lebih karib daripada saudara. Yang lebih menyejukkan hatinya, sikap Eric terhadap orang yang baru pertama kali ia temui, tak sekaku dan sedingin dulu. Senyum sudah mampu suaminya urai walau hanya setipis kain. Putranya j
“Whoahhh … ini rumah apa istana? Gede amat?”Mata dan mulut Ayu terbuka. Kakinya berjalan melambat, seiring memandang ke sekelilingnya. Rumah mewah bergaya klasik Victorian dengan warna emas yang mendominasi, benar-benar membuatnya tak bisa menahan kekaguman.“Hei, sudah ayo jalan. Kita sudah ditunggu Riana,” desak Alex. Sambil menggendong seorang balita, ia menarik tangan wanita yang saat ini terlihat lebih berisi itu untuk semakin masuk ke dalam mansion.“Ih, Mas Alex! Jangan tarik-tarik!”“Kita sudah ditunggu. Lagian jangan kayak orang udik! Ini rumah Eric Jenkins, bangsawan terhormat di negara ini. Tentu saja rumahnya tidak seperti rumah kontrakan kita. Sudah! Ayo, cepat jalan!”Ayu meringis kesal. Ia mengangkat tangan kirinya, ingin memukul lelaki yang menarik tangan kanannya itu.“Emang dasarnya aku udik, Mas! Karena udik makanya Mas Alex seenaknya saja masuk kamarku sampai k
1 tahun kemudian "Hei! Eric! Kami masih mau mengobrol dengan Ana!" seru protes Sita dan Ayu. Wajah mereka mengerut kesal. Sejak tadi, Eric selalu saja mengekori Riana dan tak membiarkan wanita itu bersama mereka walau hanya sejenak. "Sudahlah, Sayang. Kau tahu, Eric sudah terlalu lama berpuasa. Biarkan saja dia menikmati hari bebasnya sekarang," ujar Dylan seraya merangkul istrinya. "Palang merahmu juga ... sudah selesai, 'kan?" Eric menggendong pengantinnya dan menuju mansion. Ia sudah tak sabar lagi menunggu. "Eric, kembalikan aku venue," bisik Riana sambil menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Eric karena malu dengan banyaknya mata yang melihat mereka. Well ... sebuah gerakan yang salah. Karena Eric semakin tak bisa menahan diri. Perlahan, Eric menempatkan istrinya itu di atas ranjang bertabur bunga itu. Matanya yang mendamba menatap wajah cantik Riana. Ia menurunkan wajahnya. Ia melahap bibir itu. Begitu rakus dan menuntut.
Suara ayahnya, mengejutkan Riana. Wanita itu menoleh. Dengan mata yang masih berhias air mata, Riana melihat lelaki paruh baya yang berjalan ke arahnya namun dengan mata memandang ke arah Eric pergi. “Pa,” lirihnya. Iwan menunduk. Ia mendesah dan berjongkok. Dihapusnya jejak bening dari pipi putrinya. “Apa itu … yang diinginkan hatimu juga? Eric bersama wanita lain?’ Riana menunduk. Ia membasahi bibirnya. Lidahnya kelu untuk menjawab. Iwan mengambil tangan putrinya yang memainkan kuku di atas pangkuan. “Sayang, maafkan Papa. Selama ini, Papa yang salah paham pada Eric. Dia … pria dan ayah yang baik. Berkat Eric, Sans Media dan aset mamamu, kembali pada kita. Irawan dan keluarganya juga—” “Pa … apa karena dia membawa keuntungan pada kita karena itu aku harus membalas budinya dengan tubuhku?” ketus Riana. Wanita itu menghapus titik air mata yang masih saja belum berhenti di pipinya, lalu memutar kursi rodanya. “Na
“Ada apa ini, Pa?” Iwan menoleh. Ia melihat putrinya yang didorong mendekat oleh seorang perawat. Lelaki itu kemudian berdiri lalu berjalan menghampiri Riana setelah menghindari Sir Edmund yang bersimpuh di hadapannya. “Kamu sudah selesai, Nak?” Riana yang masih tak memahami apa yang terjadi, mengangguk, “Hmm. Sudah. Tapi … ada apa ini, Pa?” Iwan menggeleng. Ia menarik senyum, lalu berjalan ke belakang kursi roda Riana, mengambil alih putrinya dari perawat. “Tidak ada apa-apa, Nak. Kami—” “Ana!” Riana mengalihkan matanya. Ia memandang wajah Sir Edmund yang terlihat jauh berbeda dari sebelum ia masuk ke ruang ICU. Lelaki yang berwajah sangat mirip Eric itu terlihat sembab dengan hidung memerah. “Ana, lelaki tua ini memohon padamu. Tolong … jangan tinggalkan putraku. Kau mungkin tidak mengingatnya tapi, tapi dia sangat mencintaimu, Nak. Kalau kau ingin membalas segala perbuatannya di masa lalu … lakukan padaku. Lampiaskan
Tak mengerti dengan wajah bingung Riana, bocah itu menaikkan kakinya ke paha wanita itu dan berusaha untuk duduk di pangkuannya.Reflek, Riana segera memegangi Evan. Ia membantu bocah itu duduk di pangkuannya.“Mommy, Mommy sekarang sedikit gemuk. Hehehe….”Senyum Riana terukir. Tanpa sadar, cairan bening tiba-tiba menetas keluar dari kedua sudut matanya saat memandang wajah imut bocah itu.Ia terhenyak kala menyadarinya. Ia pun menyentuh dan mengusap cairan yang mengalir di pipinya tanpa permisi dengan telunjuk dan melihatnya bingung.“Mommy? What's the matter? Why are you crying (Ma? Ada apa? Kenapa Mama nangis)?”Riana mengangkat wajahnya dan melihat Evan. Sebuah senyuman manis kembali ia ulas di wajah cantiknya.“Ah, ini ….” Riana melihat ayahnya. Ia bingung mau berkata apa.“Itu artinya, mommy terlalu senang bertemu Evan,” sambar Alicia. Ia lantas melihat
“Ana?” panggil lirih Dave. Melangkah berat, sahabat Eric itu mendekati kursi roda Riana yang juga sudah menuju ke arahnya. “Ana?” Iwan berhenti di depan Dave. Riana mengangkat wajahnya dan mengulurkan tangan sembari mengurai senyum. “Hallo, selamat siang. Apa Anda yang ingin bertemu denganku?” Mata Dave melebar. Ia melihat Iwan sejenak, lalu menyambut uluran tangan Riana. “H-hallo. Apa kabarmu, An?” Riana menarik lurus bibirnya. Ia melihat kakinya yang ditutup dengan syal tebal lalu berkata, “Seperti yang Anda lihat. Saya … tidak bisa berjalan.” Dave menelan ludah. Ia melihat kaki Riana dan membasahi bibirnya. Ia lantas berbalik dan memanggil Aaron. “Eh, k-kenalkan. Ini adik ipar Eric. Suaminya Alicia,” ucap Dave. “Eric? Alicia?” Dave melihat Riana dan mengangguk pelan sebelum akhirnya memandang ayah kandung Riana yang memegangi kursi roda wanita itu. “Kita masuk dulu,” kata Iwan. Lelaki
Suara heel sepatu fantofel yang bersinggungan dengan keramik, menggema di lorong rumah sakit area ICU VIP itu.“Alicia, Aaron! Dave!”Alicia dan suaminya serta Dave segera berpaling. Mereka menyambut ayah kandung Eric itu dengan wajah sembab dan untaian air mata.“Dad,” panggil Alicia sembari melepas pelukan suaminya dan melebarkan kedua tangannya ke arah sang ayah.“Kenapa? Apa yang terjadi, hah?” tanya Sir Edmund. Ia berjongkok menatap wajah putrinya dan memeluknya sembari mengedarkan tatapannya pada semua yang ada di sana.“Eric … kata dokter dia … hiks … hiks….”Sir Edmund membasahi bibirnya. Ia mengusap wajah putrinya yang penuh air mata tapi juga melihat bingung ke arah Dave dan menantunya, Aaron.“Aaron! Dave! Katakan apa yang terjadi?!”Sir Edmund tak bisa lagi menahan gundah hatinya. Ia berdiri dan bertanya pada menantu dan sahabat