Eric duduk di ruang meeting dengan wajah yang berselimut mendung. Lelaki itu terlihat tak fokus dan sering mengecek ponselnya.
Semua chat dan panggilannya pada Riana, tak satupun yang dibalas wanita itu. Kegelisahan Eric, tak luput dari mata Cathlyn yang duduk di hadapannya.
“Tuan Jenkins? Bagaimana menurut Anda? Apa … saya cocok untuk jadi host Beyond the Fashion?” lontar Cathlyn, setelah ia mendengar ucapan setuju dari Xian Lie dan co-produser acara.
Eric acuh tak acuh melirik Cathlyn, lalu melihat semua orang yang ternyata juga menatapnya, menunggu jawaban.
“Whatever,” ucapnya tak bergairah.
Cathlyn memandang Xian Lie sambil tersenyum tipis serta menyentakkan alisnya dan disambut aktris cantik itu dengan seringai.
“Aku pilih Ayu. Dia lebih cocok. Selain karena wajahnya masih fresh di layar kaca, Ayu juga pernah belajar design. Jadi, pengetahuannya seputar fashion lebih banyak dibanding Cathlyn," lontar
Eric duduk di kursi di dalam kamarnya ditemani cahaya lampu temaram. Kegelapan yang menyelimutinya, sama dengan kondisi hatinya berkabut karena dirundung gundah dan cemburu.‘Ana….'Nama itu terus bergulir di pikirannya. Walau niat memaksa menghilangkan curiga, tapi warita yang ada seolah menghapus asa.Toktoktok….Eric menoleh malas ke arah pintu kamarnya. Ia mendesah dan memaksa senyum, ketika dilihatnya wajah imut putranya melongok dari balik pintu.“Dad? Can I come in?” tanya Evan meminta izin.“Hmm. Come here!” seru Eric sambil melambaikan tangannya.Evan segera masuk dan menutup pintu lalu berlari dan naik ke atas pangkuan sang ayah.“Dad … apa Daddy gak takut gelap?”Eric mengusap sayang rambut putranya itu dan tersenyum tipis. “Kenapa harus takut? Gelap dan terang, sama saja. Asal, pikiran kita jernih
“Jadi itu tanggapanmu soal mama? Hehh! ... ternyata ... kamu memang orang berengsek!” dengus Dimas. Wajah ganteng dokter muda itu berubah garang dan menatap sinis pasangan suami istri di hadapannya.“Dimas! Jaga bicaramu! Biar bagaimanapun aku ini Papa-mu!” sergah Irawan.“Papa? Apa kau layak disebut Papa? HAH?! Bahkan calon menantumu pun tidak kau lepaskan!” sengit Dimas. Matanya memerah. Napasnya berpacu hingga terasa menyesakkan.“Aku belum memaafkanmu karena KAU membiarkan mama meninggal. Dan sekarang … ckckck … kau memang layak dapat julukan ayah ter-berengsek di dunia!” tunjuk Dimas lalu berbalik dan melangkah pergi.“DIMAS! BERHENTI KAU!”Dimas menghentikan langkahnya. Ia mengambil napas dalam-dalam dan berbalik menghadap ayahnya.“Kalau bukan karena aku, kamu tidak akan bisa jadi seperti ini. Kalau bukan karena aku, kamu juga tidak pernah bertemu perempua
Jam 3 sore. Para wartawan sudah berkumpul di lobby Media Sans. Mata Riana tak lepas dari tabletnya yang menayangkan acara konferensi pers itu.Sudah sedari tadi ia menunggu berita konferensi pers Irawan di dalam studio yang ada di sisi ruangannya di Glamorous, sambil meneruskan pekerjaannya membenahi gaun Xian Lie.Bukan hanya Riana, tapi Eric, Xian Lie dan Cathlyn ternyata juga sudah duduk di kursi di kediaman mereka masing-masing, setelah mendengar kabar konferensi pers yang akan diadakan Irawan.“Selamat sore semuanya, terima kasih sudah bersedia datang pada acara konferensi pers saya. Sehubungan dengan kabar soal Trisha Meriana yang melakukan tindakan asusila, saya di sini akan membuat klarifikasi.Memang foto yang tersebar adalah Trisha namun, kejadiannya bukanlah seperti yang ada di pemberitaan selama ini.Trisha datang ke restoran saya karena beliau mempunyai janji temu dengan seseorang, saya bisa katakan demikian setelah saya menelisi
Kilatan blitz menyambar tiada henti. Karpet merah yang digelar seakan tak berhenti dilewati. Para selebritis dari negara local dan internasional datang silih berganti.Gala premiere film kolaborasi antara Asia dan Eropa ini memang sudah banyak dinanti karena dibintangi oleh aktor dan aktrs kenamaan plus sutradara kawakan.Riana yang baru saja datang, lebih memilih jalan memutar dan masuk lewat jalan belakang.“Trish, kamu ‘kan ada undangannya. Kenapa kita lewat sini?” tanya Dimas yang tak habis pikir dengan keputusan tunangannya itu.“Aku ini cuma designer utusan, Mas. Aku disuruh datang juga karena aku harus bertanggung jawab sama kostumnya Xian Lie.”“Haihh … jangan terlalu rendah diri, Sayang. Rendah hati boleh, tapi jangan rendah diri,” tutur Dimas.Riana menghentikan langkahnya dan mendesah. “Aku bukan merasa rendah diri, Mas. Aku hanya malas kalo mereka ingat aku ini siapa.”
“Mas Dimas?”Dimas tersenyum dan mendekati Riana. Lelaki itu melihat ke layar televisi dan mendesah.“Apa kau baik-baik saja?”Riana melengkungkan sedikit bibirnya dan mengangguk. “Hmm. Aku baik-baik saja.”“Aku sudah kasih tahu kamu sebelumnya, bukan? Jangan dekati Eric. Xian Lie itu licik dan pencemburu. Sekarang lihat apa yang Xian Lie lakukan. Kau bisa kehilangan nama dan pekerjaanmu.”Riana menipiskan bibirnya. Tangannya diam-diam terkepal. Ia memutar cepat tubuhnya dan menatap dingin lelaki itu.“Mas, maksud Mas ke sini mau nyalahin aku? Apa Mas tahu sendiri kalau aku yang mendekati Eric? Kalau Mas tidak tahu faktanya, jangan main tuduh!” sergah Riana dan segera beranjak dari sana.Dimas tertegun. Ia menatap kepergian Riana dan mengepalkan tangannya.“Sial! Semua ini gara-gara Eric!” geram Dimas.***Bagai seorang dew
Riana tak bisa lagi mengelak. Ia terpaksa menerima interview para wartawan. Dengan Dimas yang terus mendampingi, Riana menjawab setiap pertanyaan yang diajukan padanya. “Saya dengar Anda pula yang merancang gaun nona Xian Lie malam ini. Apa benar, Nona Trisha?” Pertanyaan reporter itu membuat Riana kehilangan senyumnya. Pertanyaan yang terlalu riskan untuk tidak dijawab dan sebaliknya. “Ehm … saya memang mendapat tugas dari pusat untuk membuatkan gaun beliau,” jawab Riana dengan senyum tipis. “Jadi benar bahwa gaun yang dipakai nona Xian Lie malam ini adalah rancangan Anda?” Riana menelan ludahnya. Ia menyamarkan kegelisahannya dalam mencari jawaban yang tepat dengan membasahi bibir. “Dari awal, saya selalu merancang gaun yang sesuai dengan passion saya. Yaitu mengenalkan warisan budaya leluhur bangsa kami yang luar biasa cantik dan indah pada dunia.” Pernyataan ambigu Riana, seolah menjawab pertanyaan wartawan. Mereka bisa men
Dengan menggeret kopernya, Riana melangkah cepat ke luar dari bandara dan masuk ke dalam mobil yang sudah terparkir menunggunya di pintu keluar. “Mas Alex. Terima kasih sudah mau jemput,” ucap Riana sambil memasang seat belt-nya. “Sama-sama. Hari ini aku cuma antar Ayu ke Spa. Besok dia ada audisi untuk film luar, jadi aku gak sibuk.” “Oh? Film luar? Wah … makin bersinar aja si Ayu.” “Hahaha … berkat kamu. Kemarin siang masih belum ada kabar, eh tadi pagi aku dihubungi. Ya, sudah aku cancel kelas table manner-nya si Ayu terus ganti ke Spa,” cerita Alex dengan tawa lebarnya. “Itu rejekinya Mas Alex sama Ayu. Kalo Mas Alex gak rajin cari kabar audisi terus hubungi mereka, mana mungkin mereka bisa tahu. Iya, ‘kan?” “Oh, ya. Ayu dipanggil sebagai saksi korban soal pelembab WOW yang waktu itu. Apa kamu juga dapat panggilan?” tanya Alex tiba-tiba. Riana mengerutkan alis. Ia menatap Alex lalu membuka ponselnya. “Gak ada, tuh. Kapan da
Riana tak mau menanggapi. Ia berjalan menuju washtafel dan mencuci tangannya. "The Coolest Designer ... sepertinya memang cocok denganmu," tambah wanita itu lagi. Riana mengelap tangannya dan menatap datar model yang ia tahu adalah simpanan Irawan, pamannya itu. "Thanks, I take that as compliment," sahut Riana datar, lalu berbalik hendak berjalan pergi. "Eits! Tunggu!" Riana mengeryit. Ia menatap wanita yang tiba-tiba menghalangi jalannya itu. "Ada apa lagi?" tanya Riana datar. Ia bersedekap dan menatap muak wanita di hadapannya, yang menghujamnya dengan tatapan tajam. “Hmmph! Dari luar aja keliatan sok baik, polos, jujur. Tapi di belakang … cih! Jalang ternyata!" Ibunda Evan itu masih diam dan tak sedikitpun bersuara. Cathlyn menyeringai. Ia memindai Riana dari atas kepala hingga kaki. “So ... hanya karna lo jadi penghangat ranjang orang penting WOW, t’rus lo bisa menang dari gue. Gue kasih tahu lo, ya. Jangan