Dengan menggeret kopernya, Riana melangkah cepat ke luar dari bandara dan masuk ke dalam mobil yang sudah terparkir menunggunya di pintu keluar.
“Mas Alex. Terima kasih sudah mau jemput,” ucap Riana sambil memasang seat belt-nya.
“Sama-sama. Hari ini aku cuma antar Ayu ke Spa. Besok dia ada audisi untuk film luar, jadi aku gak sibuk.”
“Oh? Film luar? Wah … makin bersinar aja si Ayu.”
“Hahaha … berkat kamu. Kemarin siang masih belum ada kabar, eh tadi pagi aku dihubungi. Ya, sudah aku cancel kelas table manner-nya si Ayu terus ganti ke Spa,” cerita Alex dengan tawa lebarnya.
“Itu rejekinya Mas Alex sama Ayu. Kalo Mas Alex gak rajin cari kabar audisi terus hubungi mereka, mana mungkin mereka bisa tahu. Iya, ‘kan?”
“Oh, ya. Ayu dipanggil sebagai saksi korban soal pelembab WOW yang waktu itu. Apa kamu juga dapat panggilan?” tanya Alex tiba-tiba.
Riana mengerutkan alis. Ia menatap Alex lalu membuka ponselnya. “Gak ada, tuh. Kapan da
Riana tak mau menanggapi. Ia berjalan menuju washtafel dan mencuci tangannya. "The Coolest Designer ... sepertinya memang cocok denganmu," tambah wanita itu lagi. Riana mengelap tangannya dan menatap datar model yang ia tahu adalah simpanan Irawan, pamannya itu. "Thanks, I take that as compliment," sahut Riana datar, lalu berbalik hendak berjalan pergi. "Eits! Tunggu!" Riana mengeryit. Ia menatap wanita yang tiba-tiba menghalangi jalannya itu. "Ada apa lagi?" tanya Riana datar. Ia bersedekap dan menatap muak wanita di hadapannya, yang menghujamnya dengan tatapan tajam. “Hmmph! Dari luar aja keliatan sok baik, polos, jujur. Tapi di belakang … cih! Jalang ternyata!" Ibunda Evan itu masih diam dan tak sedikitpun bersuara. Cathlyn menyeringai. Ia memindai Riana dari atas kepala hingga kaki. “So ... hanya karna lo jadi penghangat ranjang orang penting WOW, t’rus lo bisa menang dari gue. Gue kasih tahu lo, ya. Jangan
Riana duduk terdiam di kursinya. Ia mengambil ponsel dan menatapnya. “Aku lupa, aku gak simpan nomornya,” gumam wanita itu. Ia mengusap wajahnya dan bersandar di kursi. Tok tok…. Riana mendongak. Ia mengangguk, mempersilahkan sang asisten masuk ke ruangannya. “Bu, ini jadwal Ibu untuk satu bulan ke depan,” ujar Nisa seraya menyerahkan jadwal atasannya itu. Riana mengambil kertas itu dan membelalak. Ia melihat Nisa dengan tatapan tak percaya. “Nis … banyak amat? Terus … aku break cuma … sejam?” Nisa melipat bibirnya dan mengangguk. “Saya sudah usahakan atur, Bu. Tapi … sejak kemarin banyak klien telepon untuk buat janji sama Ibu. Jadi … hasilnya seperti itu.” Riana menghempaskan punggungnya ke sandaran. Ia memejamkan mata dan menekuk wajahnya. “Ya, ampun.” Ibunda Evan itu kembali menegakkan tubuhnya. Ia menatap jadwal yang masih berada di tangannya d
Melihat arah pandang Eric, Riana segera menyembunyikan botol obatnya di balik tubuh. Ia memaksakan senyum lalu menggeleng. “Sa-saya haus,” dalih Riana, lalu segera mengambil langkah. “Wait!” Eric mencekal lengan mantan istrinya itu dan memicing menatapnya. Merasa diperhatikan, dada Riana kian berdebar cepat. “A-ada apa?” tanya Riana terbata. Wanita semakin mencengkeram botol obatnya dan menyembunyikannya di balik kaos oblong yang ia pakai. “Kamu pegang apa?” “No-nothing. Hanya snack.” Eric tak yakin dengan jawaban wanita itu. Ia pun mendekatkan dirinya dan meraih tangan Riana yang satu lagi. Reflek, Riana menjauh. Namun, Eric kembali menariknya dan…. Bukk…. Karena tak siap, sisi tubuh Riana menabrak dada keras Eric. Ayah satu anak itu tak melewatkan kesempatan. Ia segera memegang tangan Riana dan berusaha mengambil botol yang ada di tangan s
“Mom! Mommy belum bilang kenapa Mommy merah-merah!”Evan terus mengejar jawaban sang bunda. Riana yang sedang memasak sampai dibuat bingung karenanya.“Evan, kalau mau makan, jangan ganggu mommy terus,” tegur Eric yang sedang berjalan menuju balkon bersama Derek yang baru saja datang.Evan mencebik. Ia melipat tangannya di atas meja dan menekuk wajahnya. Riana tersenyum dan menggelengkan kepala.Duduk dengan aura bos yang mendominasi, Eric memberikan botol obat Riana pada sang asisten, setelah ia tahu bahwa Riana tak melihat ke arahnya.“Pergi ke dokter ini. Cari tahu kenapa dia memberi obat ini pada istriku. Dan … periksa latar belakangnya. Mengerti?” titah Eric.“Baik, Tuan. Ada lagi?”“Hmm. Aku akan mengumumkan pembatalan pertunangan dengan Xian Lie. Kamu—““Tuan. Tapi Madam Hanwel sudah menyiapkan pernikahan Tuan dan nona Xian Lie. Dan ayah nona
“Keluar! Atau—““Atau apa, Sayang? Panggil keamanan? Hmm?”Tamu tak diundang itu melangkah mendekat dengan seringai devil-nya.Riana memundurkan langkah. Berulang kali ia menelan salivanya karena rasa geram dan takut yang mulai mendera.Ekspresi itu. Ekspresi pria itu mengingatkannya pada kejadian lebih dari satu dekade lalu.Di mana saat itu, wajah dengan ekspresi yang sama, berjalan mendekatinya lalu mengangkat dan melemparnya dengan brutal ke luar rumah hingga kepalanya membentur dinding sumur.Tubuh kurusnya lemas tak berdaya ditengah genangan darahnya sendiri yang bercampur dengan air hujan.Ia menatap nanar ke dalam rumahnya, di mana sayup-sayup teriakan ibunya di antara derasnya hujan, terdengar.Mengingat hal itu, tubuhnya gemetar. Jantungnya bergemuruh. Namun ia menguatkan diri, tak ingin membuat lawannya itu senang.“Trisha … atau harus kupanggil … Ri-a-na
Kaki panjang itu melangkah lebar. Dalam satu tarikan di kerah, tubuh Irawan menjauh dari Riana.Sebuah bogeman mentah melayang dan mendarat tepat di pipi chubby lelaki paruh baya itu dan membuatnya terhuyung.Duakkk ….Tak berhenti sampai di sana, tangan itu kembali menarik kemeja ayah Dimas. Sebuah pukulan telak lainnya mendarat di dagunya, hingga membuat lelaki yang digadang-gadang sebagai penguasa media itu tak sempat berpikir, apa yang sudah terjadi padanya.Duakk….“How dare you touch my woman (berani sekali kau menyentuh wanitaku)! You son of the bitch (Bajingan)!”Suara menggelegar yang diikuti dengan hantaman bertubi-tubi ke wajah Irawan, membuat siapa saja yang melihatnya merinding.“Eric! Enough (cukup)!” pekau Diane.Wanita yang suka memakai celana kain pendek i
“Who are you (Siapa kau)?”Seorang wanita berpakaian dokter yang berada di sisi bed Riana berbalik. Ia kemudian mengangguk dan tersenyum tipis pada pria yang baru saja masuk.“Apa Anda keluarganya?” tanya dokter yang selalu menggerai rambutnya itu dalam Bahasa Inggris yang lumayan lancar.Eric tak menjawab. Matanya kemudian tertuju pada nametag yang ada di saku wanita itu, lalu kembali menatapnya lekat.“Kau ... psikiatris?” tanya Eric balik.Dokter dengan nametag bertuliskan "Dokter Ariek T - Psikiater" itu tersenyum dan mengangguk.“Benar. Apa Anda keluarganya?” Lagi tanya dokter wanita itu ramah.Eric menatap Riana dan berjalan mendekati bed ibu dari putranya itu. “Kebetulan kau ada di sini. Katakan. Kenapa kau memberi Diazepam padanya?”“Maaf, saya tidak bisa memberitahu rahasia pasien.”Mata Eric menajam. Ia menoleh dan menghujam dokter wa
Baru saja Eric mengangkat panggilan itu, auman suara di seberang telepon langsung terdengar, sampai ia harus menjauhkan ponselnya dari telinga.“I can’t. Masih banyak yang harus kuurus,” tolak Eric.“Banyak yang harus diurus? Bullshit! Mengurus perempuan tak tahu malu itu ‘kan maksudmu?! ... dengar Eric, kalau kau terus-terusan membangkang, aku akan mencopot jabatanmu sebagai CEO!”“Aku akan pulang, setelah urusanku selesai. Strip me off (mencopotku)? Go ahead.”“W-what … what?! Gara-gara wanita itu kau bersedia melupakan wasiat kakekmu?! Apa kau sudah tidak menghormati dia lagi, hah?!”“Jangan lupa, bahwa kakek adalah ayah kandungmu, Bu. Kau mencopotku, berarti kaulah yang tak menghormati keinginan kakek. Bukan aku!”"Anak kurang ajar! Get back here (Pulang)!"Tut….Eric memutus sepihak pa