Kaki panjang itu melangkah lebar. Dalam satu tarikan di kerah, tubuh Irawan menjauh dari Riana.
Sebuah bogeman mentah melayang dan mendarat tepat di pipi chubby lelaki paruh baya itu dan membuatnya terhuyung.
Duakkk ….
Tak berhenti sampai di sana, tangan itu kembali menarik kemeja ayah Dimas. Sebuah pukulan telak lainnya mendarat di dagunya, hingga membuat lelaki yang digadang-gadang sebagai penguasa media itu tak sempat berpikir, apa yang sudah terjadi padanya.
Duakk….
“How dare you touch my woman (berani sekali kau menyentuh wanitaku)! You son of the bitch (Bajingan)!”
Suara menggelegar yang diikuti dengan hantaman bertubi-tubi ke wajah Irawan, membuat siapa saja yang melihatnya merinding.
“Eric! Enough (cukup)!” pekau Diane.
Wanita yang suka memakai celana kain pendek i
“Who are you (Siapa kau)?”Seorang wanita berpakaian dokter yang berada di sisi bed Riana berbalik. Ia kemudian mengangguk dan tersenyum tipis pada pria yang baru saja masuk.“Apa Anda keluarganya?” tanya dokter yang selalu menggerai rambutnya itu dalam Bahasa Inggris yang lumayan lancar.Eric tak menjawab. Matanya kemudian tertuju pada nametag yang ada di saku wanita itu, lalu kembali menatapnya lekat.“Kau ... psikiatris?” tanya Eric balik.Dokter dengan nametag bertuliskan "Dokter Ariek T - Psikiater" itu tersenyum dan mengangguk.“Benar. Apa Anda keluarganya?” Lagi tanya dokter wanita itu ramah.Eric menatap Riana dan berjalan mendekati bed ibu dari putranya itu. “Kebetulan kau ada di sini. Katakan. Kenapa kau memberi Diazepam padanya?”“Maaf, saya tidak bisa memberitahu rahasia pasien.”Mata Eric menajam. Ia menoleh dan menghujam dokter wa
Baru saja Eric mengangkat panggilan itu, auman suara di seberang telepon langsung terdengar, sampai ia harus menjauhkan ponselnya dari telinga.“I can’t. Masih banyak yang harus kuurus,” tolak Eric.“Banyak yang harus diurus? Bullshit! Mengurus perempuan tak tahu malu itu ‘kan maksudmu?! ... dengar Eric, kalau kau terus-terusan membangkang, aku akan mencopot jabatanmu sebagai CEO!”“Aku akan pulang, setelah urusanku selesai. Strip me off (mencopotku)? Go ahead.”“W-what … what?! Gara-gara wanita itu kau bersedia melupakan wasiat kakekmu?! Apa kau sudah tidak menghormati dia lagi, hah?!”“Jangan lupa, bahwa kakek adalah ayah kandungmu, Bu. Kau mencopotku, berarti kaulah yang tak menghormati keinginan kakek. Bukan aku!”"Anak kurang ajar! Get back here (Pulang)!"Tut….Eric memutus sepihak pa
“Mas Alex! Mas! Cepet ke sini!” seru Ayu sambil memakan keripik dan mengeraskan volume tv dengan remot yang ada di tangannya.Alex berjalan malas menuju sofa ruang tamunya, yang ia jadikan sebagai lounge atau tempat istirahat kantor management-nya.“Apaan? Aku masih review kontrakmu,” sahut Alex.“Sssh! Dengerin aja!”[Statement yang dikeluarkan oleh manager Glamorous Jakarta yang menimbulkan banyak spekulasi di kalangan netizen, terjawab sudah.Postingan aktris yang didaulat sebagai duta fashion mereka, menjadi jawaban atas adanya kecurigaan sabotase yang dilakukan oleh sang designer.Dalam video yang dibagikan di akun media sosialnya, aktris yang dikenal dengan nama Lilie Lie ini, memposting kecacatan dari gaun yang dipakai.Hal ini, menjadi tanya jawab besar karena hal ini sangat berbeda dengan pernyataan manager Glamorous sendiri yang memberikan alasan kenapa Lilie Lie tidak memakai gaun rancang
Selama 3 hari penuh, Riana harus beristirahat di rumah sakit dan selama itu pula, Eric tak sedikitpun meninggalkannya. Sementara Dimas, tak sedetikpun lelaki itu terlihat mengunjungi Riana.Evan selalu datang di pagi hari untuk membantu Riana merilekskan pikirannya dan pulang ke apartemennya, saat matahari hendak kembali ke peraduannya.Berbanding terbalik dengan Riana, Eric justru stress dengan kehadiran putranya. Bocah kecil miniature dirinya itu, selalu saja memonopoli Riana dan membuatnya tersingkir.“Mom, Mommy jadi pulang hari ini, 'kan?”Riana menunduk dan melihat putranya yang meletakkan kepala di dadanya. Wanita itu mengangguk dan tersenyum“Hmm.”“Kalo begitu, Evan akan tidur dengan Mommy. Evan akan jaga mommy,” ujar Evan bersemangat.Erik terlihat syok. Ia mendelik pada putranya. Bocah itu benar-benar membuatnya naik darah.Selama di rumah sakit, ia tak mendapat kesempatan berdua d
“Apa yang kau lakukan di sini?”Dengan berkacak pinggang, Wendy berdiri dan menghalangi jalan Xian Lie yang hendak masuk ke rumahnya.Matanya memicing menatap wanita yang berbalut jumpsuit merah marun dengan model tube top itu.“Aku harus bicara dengan Ellena.”Wendy mendengus sinis. “Bicara dengan Ellena? Hah! … untuk apa? Untuk pamer bahwa kamu sama Eric berbaikan? Begitu?”Xian Lie mengerutkan alisnya. “Apa maksudmu?”“Halah … tidak usah pura-pura. Aku tahu kalian sudah berbaikan. Aku lihat sendiri kemarin dia belanja pakaian wanita. Kalo bukan untuk kamu untuk siapa lagi, hmm? Dia bukan tipe lelaki seperti Irawan.Aku tidak tahu apa kesalahan anakku sampe kau menikamnya dari belakang. Anakku sudah membantumu berbohong di depan publik supaya kau tidak malu karena tindakan bodohmu di Gala. Tapi apa? Kau justru—”Xian Lie membalikkan badan dan lang
Toktok….“Permisi, Pak. Ada nona—”“Move (Minggir)!” ketus Xian Lie.Wanita itu melangkah masuk ke ruangan Irawan dan langsung duduk di sofa kantor ayah Dimas itu. Tak peduli dengan rasa cemas yang dialami sekretaris Irawan karena sudah menganggu atasannya yang sedang sibuk.Irawan yang sedang bekerja, mengerutkan alis kala melihat wajah Xian Lie yang terlihat sembab.Lelaki itu lantas berdiri dan mendekati keponakan istrinya itu seraya memberi kode pada sekretarisnya untuk meninggalkan ruangan.“Ada apa lagi,” tanya Irawan. Lelaki itu menatap lelah sang ponakan dan duduk di sofa single di dekat Xian Lie duduk. “Aku dengar kau bikin keributan di kantor WOW. Apa kau ingin Eric semakin tak suka padamu, hmm?”Xian Lie menghapus air matanya yang akan mengalir. Ia melihat Irawan sekilas dan menggeleng.“Aku … aku tidak tahu harus bagaimana lagi.
“Jadi, apa kau punya keluhan lain?”Riana tersenyum manis pada psikiater yang merawatnya itu, lalu menggeleng. Dokter Ariek mengangguk dan menulis sesuatu di catatannya.“Apa kau masih susah tidur? Atau masih sering mimpi buruk?”Riana menggeleng. “Sudah hampir 2 minggu ini … tidak ada mimpi buruk, Dok dan saya bisa tidur nyenyak."“Hmm … aku senang dengarnya. Lalu … kenapa kamu sampai dibawa ke IGD. Apa yang terjadi padamu?”Senyum Riana seketika memudar. Ia membetulkan letak selimutnya dan memejamkan mata. Ia tak ingin mengingat kejadian itu dan tak bisa bercerita.“Aku … aku tidak apa-apa, Dok.”“Trisha. Aku sudah katakan, bukan? Jangan menyimpan semuanya sendiri, hmm?” bujuk lembut dr. Ariek.“Hanya … ada sesuatu yang ... membuat saya teringat kejadian di London, Dok,” kilah Riana.Walau tak yakin, Dr. Ari
Mmpp … mmppp….Bukkk … bukkk….Riana menggebuk dada Eric yang tiba-tiba membungkam bibirnya dengan ciuman. Ia mendorong lelaki itu dan memaksa Eric untuk melepas pagutannya.Ayah Evan itu akhirnya melepaskan Riana setelah beberapa detik ia melahap bibir ranum itu dengan rakus. Ia tersenyum melihat Riana yang terengah.Wanita yang masih tampak cantik walau tanpa polesan make-up itu, mengerucutkan bibirnya karena kesal.Cup“Jangan marah lagi dong, Sayang. Maaf, aku … aku tadi marah … aku ... benar-benar cemburu, makanya aku ... pergi,” ucap Eric sambil melipat bibirnya dan menunduk.Riana yang tadinya kesal, kemudian mengangkat alis dan berkedip pelan. Ini pertama kalinya ia melihat Eric terbata dan mengakui kesalahannya dengan malu-malu. Layaknya anak kecil yang ketahuan berbuat salah.“Babe … ayolah,
Diana Arabelle Konrad, yang baru saja kembali setelah menjalani perawatan intensif karena trauma kehilangan suami dan calon bayinya, memutuskan untuk berangkat ke Praiano, sebuah kota kecil yang berada di Amalfi Coast, Italia, setelah mendengar bahwa resort yang didirikan almarhum suaminya terancam bangkrut. DD, begitu ia biasa disapa, bertekad untuk mempertahankan resort yang menyimpan kenangannya bersama almarhum sang suami. Hingga pada suatu hari, tanpa sengaja ia membantu seorang pria tak dikenal yang pingsan dengan wajah yang babak belur. Pria itu kemudian mengaku kehilangan ingatannya. Tak ingin sesuatu terjadi pada lelaki itu, DD memutuskan untuk menerimanya tinggal di resort. “Kau ingin aku membantumu?” “Kau bisa?” “Tentu saja. Tapi, aku mau imbalan.” “Imbalan?” Lelaki yang diselamatkannya itu mengangguk. Senyumnya begitu menawan namun menyimpan sejuta misteri. DD berdehem dan membetulkan duduknya.
Taman di belakang mansion Jenkins tampak meriah. Balon berwarna putih berada tepat di sisi flower arc dan meja yang ada di sisi kiri taman. Mengambil tema Rustic , gaya yang menghadirkan kesan alami dan didominasi oleh kayu-kayu, batu, tanaman menjuntai, serta lampu-lampu bolam klasik, membawa suasana terkesan akrab. Suami dari para sahabat Riana, tampak berbincang akrab dengan Eric, Sir Edmund, Boby dan ayah Riana, Iwan, Alex, Andrew, DD (adik Dylan) serta kedua asisten Eric. Tak ketinggalan, kedua orangtua Dylan juga hadir. Canda tawa acap kali terdengar disertai ledekan. Begitu riuh dan menyenangkan. Riana yang berada di jendela kamarnya, tersenyum bahagia melihat keakraban yang terjalin. Tak berhubungan darah, namun mereka lebih karib daripada saudara. Yang lebih menyejukkan hatinya, sikap Eric terhadap orang yang baru pertama kali ia temui, tak sekaku dan sedingin dulu. Senyum sudah mampu suaminya urai walau hanya setipis kain. Putranya j
“Whoahhh … ini rumah apa istana? Gede amat?”Mata dan mulut Ayu terbuka. Kakinya berjalan melambat, seiring memandang ke sekelilingnya. Rumah mewah bergaya klasik Victorian dengan warna emas yang mendominasi, benar-benar membuatnya tak bisa menahan kekaguman.“Hei, sudah ayo jalan. Kita sudah ditunggu Riana,” desak Alex. Sambil menggendong seorang balita, ia menarik tangan wanita yang saat ini terlihat lebih berisi itu untuk semakin masuk ke dalam mansion.“Ih, Mas Alex! Jangan tarik-tarik!”“Kita sudah ditunggu. Lagian jangan kayak orang udik! Ini rumah Eric Jenkins, bangsawan terhormat di negara ini. Tentu saja rumahnya tidak seperti rumah kontrakan kita. Sudah! Ayo, cepat jalan!”Ayu meringis kesal. Ia mengangkat tangan kirinya, ingin memukul lelaki yang menarik tangan kanannya itu.“Emang dasarnya aku udik, Mas! Karena udik makanya Mas Alex seenaknya saja masuk kamarku sampai k
1 tahun kemudian "Hei! Eric! Kami masih mau mengobrol dengan Ana!" seru protes Sita dan Ayu. Wajah mereka mengerut kesal. Sejak tadi, Eric selalu saja mengekori Riana dan tak membiarkan wanita itu bersama mereka walau hanya sejenak. "Sudahlah, Sayang. Kau tahu, Eric sudah terlalu lama berpuasa. Biarkan saja dia menikmati hari bebasnya sekarang," ujar Dylan seraya merangkul istrinya. "Palang merahmu juga ... sudah selesai, 'kan?" Eric menggendong pengantinnya dan menuju mansion. Ia sudah tak sabar lagi menunggu. "Eric, kembalikan aku venue," bisik Riana sambil menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Eric karena malu dengan banyaknya mata yang melihat mereka. Well ... sebuah gerakan yang salah. Karena Eric semakin tak bisa menahan diri. Perlahan, Eric menempatkan istrinya itu di atas ranjang bertabur bunga itu. Matanya yang mendamba menatap wajah cantik Riana. Ia menurunkan wajahnya. Ia melahap bibir itu. Begitu rakus dan menuntut.
Suara ayahnya, mengejutkan Riana. Wanita itu menoleh. Dengan mata yang masih berhias air mata, Riana melihat lelaki paruh baya yang berjalan ke arahnya namun dengan mata memandang ke arah Eric pergi. “Pa,” lirihnya. Iwan menunduk. Ia mendesah dan berjongkok. Dihapusnya jejak bening dari pipi putrinya. “Apa itu … yang diinginkan hatimu juga? Eric bersama wanita lain?’ Riana menunduk. Ia membasahi bibirnya. Lidahnya kelu untuk menjawab. Iwan mengambil tangan putrinya yang memainkan kuku di atas pangkuan. “Sayang, maafkan Papa. Selama ini, Papa yang salah paham pada Eric. Dia … pria dan ayah yang baik. Berkat Eric, Sans Media dan aset mamamu, kembali pada kita. Irawan dan keluarganya juga—” “Pa … apa karena dia membawa keuntungan pada kita karena itu aku harus membalas budinya dengan tubuhku?” ketus Riana. Wanita itu menghapus titik air mata yang masih saja belum berhenti di pipinya, lalu memutar kursi rodanya. “Na
“Ada apa ini, Pa?” Iwan menoleh. Ia melihat putrinya yang didorong mendekat oleh seorang perawat. Lelaki itu kemudian berdiri lalu berjalan menghampiri Riana setelah menghindari Sir Edmund yang bersimpuh di hadapannya. “Kamu sudah selesai, Nak?” Riana yang masih tak memahami apa yang terjadi, mengangguk, “Hmm. Sudah. Tapi … ada apa ini, Pa?” Iwan menggeleng. Ia menarik senyum, lalu berjalan ke belakang kursi roda Riana, mengambil alih putrinya dari perawat. “Tidak ada apa-apa, Nak. Kami—” “Ana!” Riana mengalihkan matanya. Ia memandang wajah Sir Edmund yang terlihat jauh berbeda dari sebelum ia masuk ke ruang ICU. Lelaki yang berwajah sangat mirip Eric itu terlihat sembab dengan hidung memerah. “Ana, lelaki tua ini memohon padamu. Tolong … jangan tinggalkan putraku. Kau mungkin tidak mengingatnya tapi, tapi dia sangat mencintaimu, Nak. Kalau kau ingin membalas segala perbuatannya di masa lalu … lakukan padaku. Lampiaskan
Tak mengerti dengan wajah bingung Riana, bocah itu menaikkan kakinya ke paha wanita itu dan berusaha untuk duduk di pangkuannya.Reflek, Riana segera memegangi Evan. Ia membantu bocah itu duduk di pangkuannya.“Mommy, Mommy sekarang sedikit gemuk. Hehehe….”Senyum Riana terukir. Tanpa sadar, cairan bening tiba-tiba menetas keluar dari kedua sudut matanya saat memandang wajah imut bocah itu.Ia terhenyak kala menyadarinya. Ia pun menyentuh dan mengusap cairan yang mengalir di pipinya tanpa permisi dengan telunjuk dan melihatnya bingung.“Mommy? What's the matter? Why are you crying (Ma? Ada apa? Kenapa Mama nangis)?”Riana mengangkat wajahnya dan melihat Evan. Sebuah senyuman manis kembali ia ulas di wajah cantiknya.“Ah, ini ….” Riana melihat ayahnya. Ia bingung mau berkata apa.“Itu artinya, mommy terlalu senang bertemu Evan,” sambar Alicia. Ia lantas melihat
“Ana?” panggil lirih Dave. Melangkah berat, sahabat Eric itu mendekati kursi roda Riana yang juga sudah menuju ke arahnya. “Ana?” Iwan berhenti di depan Dave. Riana mengangkat wajahnya dan mengulurkan tangan sembari mengurai senyum. “Hallo, selamat siang. Apa Anda yang ingin bertemu denganku?” Mata Dave melebar. Ia melihat Iwan sejenak, lalu menyambut uluran tangan Riana. “H-hallo. Apa kabarmu, An?” Riana menarik lurus bibirnya. Ia melihat kakinya yang ditutup dengan syal tebal lalu berkata, “Seperti yang Anda lihat. Saya … tidak bisa berjalan.” Dave menelan ludah. Ia melihat kaki Riana dan membasahi bibirnya. Ia lantas berbalik dan memanggil Aaron. “Eh, k-kenalkan. Ini adik ipar Eric. Suaminya Alicia,” ucap Dave. “Eric? Alicia?” Dave melihat Riana dan mengangguk pelan sebelum akhirnya memandang ayah kandung Riana yang memegangi kursi roda wanita itu. “Kita masuk dulu,” kata Iwan. Lelaki
Suara heel sepatu fantofel yang bersinggungan dengan keramik, menggema di lorong rumah sakit area ICU VIP itu.“Alicia, Aaron! Dave!”Alicia dan suaminya serta Dave segera berpaling. Mereka menyambut ayah kandung Eric itu dengan wajah sembab dan untaian air mata.“Dad,” panggil Alicia sembari melepas pelukan suaminya dan melebarkan kedua tangannya ke arah sang ayah.“Kenapa? Apa yang terjadi, hah?” tanya Sir Edmund. Ia berjongkok menatap wajah putrinya dan memeluknya sembari mengedarkan tatapannya pada semua yang ada di sana.“Eric … kata dokter dia … hiks … hiks….”Sir Edmund membasahi bibirnya. Ia mengusap wajah putrinya yang penuh air mata tapi juga melihat bingung ke arah Dave dan menantunya, Aaron.“Aaron! Dave! Katakan apa yang terjadi?!”Sir Edmund tak bisa lagi menahan gundah hatinya. Ia berdiri dan bertanya pada menantu dan sahabat