“Mas Dimas?”
Dimas tersenyum dan mendekati Riana. Lelaki itu melihat ke layar televisi dan mendesah.
“Apa kau baik-baik saja?”
Riana melengkungkan sedikit bibirnya dan mengangguk. “Hmm. Aku baik-baik saja.”
“Aku sudah kasih tahu kamu sebelumnya, bukan? Jangan dekati Eric. Xian Lie itu licik dan pencemburu. Sekarang lihat apa yang Xian Lie lakukan. Kau bisa kehilangan nama dan pekerjaanmu.”
Riana menipiskan bibirnya. Tangannya diam-diam terkepal. Ia memutar cepat tubuhnya dan menatap dingin lelaki itu.
“Mas, maksud Mas ke sini mau nyalahin aku? Apa Mas tahu sendiri kalau aku yang mendekati Eric? Kalau Mas tidak tahu faktanya, jangan main tuduh!” sergah Riana dan segera beranjak dari sana.
Dimas tertegun. Ia menatap kepergian Riana dan mengepalkan tangannya.
“Sial! Semua ini gara-gara Eric!” geram Dimas.
***
Bagai seorang dew
Riana tak bisa lagi mengelak. Ia terpaksa menerima interview para wartawan. Dengan Dimas yang terus mendampingi, Riana menjawab setiap pertanyaan yang diajukan padanya. “Saya dengar Anda pula yang merancang gaun nona Xian Lie malam ini. Apa benar, Nona Trisha?” Pertanyaan reporter itu membuat Riana kehilangan senyumnya. Pertanyaan yang terlalu riskan untuk tidak dijawab dan sebaliknya. “Ehm … saya memang mendapat tugas dari pusat untuk membuatkan gaun beliau,” jawab Riana dengan senyum tipis. “Jadi benar bahwa gaun yang dipakai nona Xian Lie malam ini adalah rancangan Anda?” Riana menelan ludahnya. Ia menyamarkan kegelisahannya dalam mencari jawaban yang tepat dengan membasahi bibir. “Dari awal, saya selalu merancang gaun yang sesuai dengan passion saya. Yaitu mengenalkan warisan budaya leluhur bangsa kami yang luar biasa cantik dan indah pada dunia.” Pernyataan ambigu Riana, seolah menjawab pertanyaan wartawan. Mereka bisa men
Dengan menggeret kopernya, Riana melangkah cepat ke luar dari bandara dan masuk ke dalam mobil yang sudah terparkir menunggunya di pintu keluar. “Mas Alex. Terima kasih sudah mau jemput,” ucap Riana sambil memasang seat belt-nya. “Sama-sama. Hari ini aku cuma antar Ayu ke Spa. Besok dia ada audisi untuk film luar, jadi aku gak sibuk.” “Oh? Film luar? Wah … makin bersinar aja si Ayu.” “Hahaha … berkat kamu. Kemarin siang masih belum ada kabar, eh tadi pagi aku dihubungi. Ya, sudah aku cancel kelas table manner-nya si Ayu terus ganti ke Spa,” cerita Alex dengan tawa lebarnya. “Itu rejekinya Mas Alex sama Ayu. Kalo Mas Alex gak rajin cari kabar audisi terus hubungi mereka, mana mungkin mereka bisa tahu. Iya, ‘kan?” “Oh, ya. Ayu dipanggil sebagai saksi korban soal pelembab WOW yang waktu itu. Apa kamu juga dapat panggilan?” tanya Alex tiba-tiba. Riana mengerutkan alis. Ia menatap Alex lalu membuka ponselnya. “Gak ada, tuh. Kapan da
Riana tak mau menanggapi. Ia berjalan menuju washtafel dan mencuci tangannya. "The Coolest Designer ... sepertinya memang cocok denganmu," tambah wanita itu lagi. Riana mengelap tangannya dan menatap datar model yang ia tahu adalah simpanan Irawan, pamannya itu. "Thanks, I take that as compliment," sahut Riana datar, lalu berbalik hendak berjalan pergi. "Eits! Tunggu!" Riana mengeryit. Ia menatap wanita yang tiba-tiba menghalangi jalannya itu. "Ada apa lagi?" tanya Riana datar. Ia bersedekap dan menatap muak wanita di hadapannya, yang menghujamnya dengan tatapan tajam. “Hmmph! Dari luar aja keliatan sok baik, polos, jujur. Tapi di belakang … cih! Jalang ternyata!" Ibunda Evan itu masih diam dan tak sedikitpun bersuara. Cathlyn menyeringai. Ia memindai Riana dari atas kepala hingga kaki. “So ... hanya karna lo jadi penghangat ranjang orang penting WOW, t’rus lo bisa menang dari gue. Gue kasih tahu lo, ya. Jangan
Riana duduk terdiam di kursinya. Ia mengambil ponsel dan menatapnya. “Aku lupa, aku gak simpan nomornya,” gumam wanita itu. Ia mengusap wajahnya dan bersandar di kursi. Tok tok…. Riana mendongak. Ia mengangguk, mempersilahkan sang asisten masuk ke ruangannya. “Bu, ini jadwal Ibu untuk satu bulan ke depan,” ujar Nisa seraya menyerahkan jadwal atasannya itu. Riana mengambil kertas itu dan membelalak. Ia melihat Nisa dengan tatapan tak percaya. “Nis … banyak amat? Terus … aku break cuma … sejam?” Nisa melipat bibirnya dan mengangguk. “Saya sudah usahakan atur, Bu. Tapi … sejak kemarin banyak klien telepon untuk buat janji sama Ibu. Jadi … hasilnya seperti itu.” Riana menghempaskan punggungnya ke sandaran. Ia memejamkan mata dan menekuk wajahnya. “Ya, ampun.” Ibunda Evan itu kembali menegakkan tubuhnya. Ia menatap jadwal yang masih berada di tangannya d
Melihat arah pandang Eric, Riana segera menyembunyikan botol obatnya di balik tubuh. Ia memaksakan senyum lalu menggeleng. “Sa-saya haus,” dalih Riana, lalu segera mengambil langkah. “Wait!” Eric mencekal lengan mantan istrinya itu dan memicing menatapnya. Merasa diperhatikan, dada Riana kian berdebar cepat. “A-ada apa?” tanya Riana terbata. Wanita semakin mencengkeram botol obatnya dan menyembunyikannya di balik kaos oblong yang ia pakai. “Kamu pegang apa?” “No-nothing. Hanya snack.” Eric tak yakin dengan jawaban wanita itu. Ia pun mendekatkan dirinya dan meraih tangan Riana yang satu lagi. Reflek, Riana menjauh. Namun, Eric kembali menariknya dan…. Bukk…. Karena tak siap, sisi tubuh Riana menabrak dada keras Eric. Ayah satu anak itu tak melewatkan kesempatan. Ia segera memegang tangan Riana dan berusaha mengambil botol yang ada di tangan s
“Mom! Mommy belum bilang kenapa Mommy merah-merah!”Evan terus mengejar jawaban sang bunda. Riana yang sedang memasak sampai dibuat bingung karenanya.“Evan, kalau mau makan, jangan ganggu mommy terus,” tegur Eric yang sedang berjalan menuju balkon bersama Derek yang baru saja datang.Evan mencebik. Ia melipat tangannya di atas meja dan menekuk wajahnya. Riana tersenyum dan menggelengkan kepala.Duduk dengan aura bos yang mendominasi, Eric memberikan botol obat Riana pada sang asisten, setelah ia tahu bahwa Riana tak melihat ke arahnya.“Pergi ke dokter ini. Cari tahu kenapa dia memberi obat ini pada istriku. Dan … periksa latar belakangnya. Mengerti?” titah Eric.“Baik, Tuan. Ada lagi?”“Hmm. Aku akan mengumumkan pembatalan pertunangan dengan Xian Lie. Kamu—““Tuan. Tapi Madam Hanwel sudah menyiapkan pernikahan Tuan dan nona Xian Lie. Dan ayah nona
“Keluar! Atau—““Atau apa, Sayang? Panggil keamanan? Hmm?”Tamu tak diundang itu melangkah mendekat dengan seringai devil-nya.Riana memundurkan langkah. Berulang kali ia menelan salivanya karena rasa geram dan takut yang mulai mendera.Ekspresi itu. Ekspresi pria itu mengingatkannya pada kejadian lebih dari satu dekade lalu.Di mana saat itu, wajah dengan ekspresi yang sama, berjalan mendekatinya lalu mengangkat dan melemparnya dengan brutal ke luar rumah hingga kepalanya membentur dinding sumur.Tubuh kurusnya lemas tak berdaya ditengah genangan darahnya sendiri yang bercampur dengan air hujan.Ia menatap nanar ke dalam rumahnya, di mana sayup-sayup teriakan ibunya di antara derasnya hujan, terdengar.Mengingat hal itu, tubuhnya gemetar. Jantungnya bergemuruh. Namun ia menguatkan diri, tak ingin membuat lawannya itu senang.“Trisha … atau harus kupanggil … Ri-a-na
Kaki panjang itu melangkah lebar. Dalam satu tarikan di kerah, tubuh Irawan menjauh dari Riana.Sebuah bogeman mentah melayang dan mendarat tepat di pipi chubby lelaki paruh baya itu dan membuatnya terhuyung.Duakkk ….Tak berhenti sampai di sana, tangan itu kembali menarik kemeja ayah Dimas. Sebuah pukulan telak lainnya mendarat di dagunya, hingga membuat lelaki yang digadang-gadang sebagai penguasa media itu tak sempat berpikir, apa yang sudah terjadi padanya.Duakk….“How dare you touch my woman (berani sekali kau menyentuh wanitaku)! You son of the bitch (Bajingan)!”Suara menggelegar yang diikuti dengan hantaman bertubi-tubi ke wajah Irawan, membuat siapa saja yang melihatnya merinding.“Eric! Enough (cukup)!” pekau Diane.Wanita yang suka memakai celana kain pendek i
Diana Arabelle Konrad, yang baru saja kembali setelah menjalani perawatan intensif karena trauma kehilangan suami dan calon bayinya, memutuskan untuk berangkat ke Praiano, sebuah kota kecil yang berada di Amalfi Coast, Italia, setelah mendengar bahwa resort yang didirikan almarhum suaminya terancam bangkrut. DD, begitu ia biasa disapa, bertekad untuk mempertahankan resort yang menyimpan kenangannya bersama almarhum sang suami. Hingga pada suatu hari, tanpa sengaja ia membantu seorang pria tak dikenal yang pingsan dengan wajah yang babak belur. Pria itu kemudian mengaku kehilangan ingatannya. Tak ingin sesuatu terjadi pada lelaki itu, DD memutuskan untuk menerimanya tinggal di resort. “Kau ingin aku membantumu?” “Kau bisa?” “Tentu saja. Tapi, aku mau imbalan.” “Imbalan?” Lelaki yang diselamatkannya itu mengangguk. Senyumnya begitu menawan namun menyimpan sejuta misteri. DD berdehem dan membetulkan duduknya.
Taman di belakang mansion Jenkins tampak meriah. Balon berwarna putih berada tepat di sisi flower arc dan meja yang ada di sisi kiri taman. Mengambil tema Rustic , gaya yang menghadirkan kesan alami dan didominasi oleh kayu-kayu, batu, tanaman menjuntai, serta lampu-lampu bolam klasik, membawa suasana terkesan akrab. Suami dari para sahabat Riana, tampak berbincang akrab dengan Eric, Sir Edmund, Boby dan ayah Riana, Iwan, Alex, Andrew, DD (adik Dylan) serta kedua asisten Eric. Tak ketinggalan, kedua orangtua Dylan juga hadir. Canda tawa acap kali terdengar disertai ledekan. Begitu riuh dan menyenangkan. Riana yang berada di jendela kamarnya, tersenyum bahagia melihat keakraban yang terjalin. Tak berhubungan darah, namun mereka lebih karib daripada saudara. Yang lebih menyejukkan hatinya, sikap Eric terhadap orang yang baru pertama kali ia temui, tak sekaku dan sedingin dulu. Senyum sudah mampu suaminya urai walau hanya setipis kain. Putranya j
“Whoahhh … ini rumah apa istana? Gede amat?”Mata dan mulut Ayu terbuka. Kakinya berjalan melambat, seiring memandang ke sekelilingnya. Rumah mewah bergaya klasik Victorian dengan warna emas yang mendominasi, benar-benar membuatnya tak bisa menahan kekaguman.“Hei, sudah ayo jalan. Kita sudah ditunggu Riana,” desak Alex. Sambil menggendong seorang balita, ia menarik tangan wanita yang saat ini terlihat lebih berisi itu untuk semakin masuk ke dalam mansion.“Ih, Mas Alex! Jangan tarik-tarik!”“Kita sudah ditunggu. Lagian jangan kayak orang udik! Ini rumah Eric Jenkins, bangsawan terhormat di negara ini. Tentu saja rumahnya tidak seperti rumah kontrakan kita. Sudah! Ayo, cepat jalan!”Ayu meringis kesal. Ia mengangkat tangan kirinya, ingin memukul lelaki yang menarik tangan kanannya itu.“Emang dasarnya aku udik, Mas! Karena udik makanya Mas Alex seenaknya saja masuk kamarku sampai k
1 tahun kemudian "Hei! Eric! Kami masih mau mengobrol dengan Ana!" seru protes Sita dan Ayu. Wajah mereka mengerut kesal. Sejak tadi, Eric selalu saja mengekori Riana dan tak membiarkan wanita itu bersama mereka walau hanya sejenak. "Sudahlah, Sayang. Kau tahu, Eric sudah terlalu lama berpuasa. Biarkan saja dia menikmati hari bebasnya sekarang," ujar Dylan seraya merangkul istrinya. "Palang merahmu juga ... sudah selesai, 'kan?" Eric menggendong pengantinnya dan menuju mansion. Ia sudah tak sabar lagi menunggu. "Eric, kembalikan aku venue," bisik Riana sambil menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Eric karena malu dengan banyaknya mata yang melihat mereka. Well ... sebuah gerakan yang salah. Karena Eric semakin tak bisa menahan diri. Perlahan, Eric menempatkan istrinya itu di atas ranjang bertabur bunga itu. Matanya yang mendamba menatap wajah cantik Riana. Ia menurunkan wajahnya. Ia melahap bibir itu. Begitu rakus dan menuntut.
Suara ayahnya, mengejutkan Riana. Wanita itu menoleh. Dengan mata yang masih berhias air mata, Riana melihat lelaki paruh baya yang berjalan ke arahnya namun dengan mata memandang ke arah Eric pergi. “Pa,” lirihnya. Iwan menunduk. Ia mendesah dan berjongkok. Dihapusnya jejak bening dari pipi putrinya. “Apa itu … yang diinginkan hatimu juga? Eric bersama wanita lain?’ Riana menunduk. Ia membasahi bibirnya. Lidahnya kelu untuk menjawab. Iwan mengambil tangan putrinya yang memainkan kuku di atas pangkuan. “Sayang, maafkan Papa. Selama ini, Papa yang salah paham pada Eric. Dia … pria dan ayah yang baik. Berkat Eric, Sans Media dan aset mamamu, kembali pada kita. Irawan dan keluarganya juga—” “Pa … apa karena dia membawa keuntungan pada kita karena itu aku harus membalas budinya dengan tubuhku?” ketus Riana. Wanita itu menghapus titik air mata yang masih saja belum berhenti di pipinya, lalu memutar kursi rodanya. “Na
“Ada apa ini, Pa?” Iwan menoleh. Ia melihat putrinya yang didorong mendekat oleh seorang perawat. Lelaki itu kemudian berdiri lalu berjalan menghampiri Riana setelah menghindari Sir Edmund yang bersimpuh di hadapannya. “Kamu sudah selesai, Nak?” Riana yang masih tak memahami apa yang terjadi, mengangguk, “Hmm. Sudah. Tapi … ada apa ini, Pa?” Iwan menggeleng. Ia menarik senyum, lalu berjalan ke belakang kursi roda Riana, mengambil alih putrinya dari perawat. “Tidak ada apa-apa, Nak. Kami—” “Ana!” Riana mengalihkan matanya. Ia memandang wajah Sir Edmund yang terlihat jauh berbeda dari sebelum ia masuk ke ruang ICU. Lelaki yang berwajah sangat mirip Eric itu terlihat sembab dengan hidung memerah. “Ana, lelaki tua ini memohon padamu. Tolong … jangan tinggalkan putraku. Kau mungkin tidak mengingatnya tapi, tapi dia sangat mencintaimu, Nak. Kalau kau ingin membalas segala perbuatannya di masa lalu … lakukan padaku. Lampiaskan
Tak mengerti dengan wajah bingung Riana, bocah itu menaikkan kakinya ke paha wanita itu dan berusaha untuk duduk di pangkuannya.Reflek, Riana segera memegangi Evan. Ia membantu bocah itu duduk di pangkuannya.“Mommy, Mommy sekarang sedikit gemuk. Hehehe….”Senyum Riana terukir. Tanpa sadar, cairan bening tiba-tiba menetas keluar dari kedua sudut matanya saat memandang wajah imut bocah itu.Ia terhenyak kala menyadarinya. Ia pun menyentuh dan mengusap cairan yang mengalir di pipinya tanpa permisi dengan telunjuk dan melihatnya bingung.“Mommy? What's the matter? Why are you crying (Ma? Ada apa? Kenapa Mama nangis)?”Riana mengangkat wajahnya dan melihat Evan. Sebuah senyuman manis kembali ia ulas di wajah cantiknya.“Ah, ini ….” Riana melihat ayahnya. Ia bingung mau berkata apa.“Itu artinya, mommy terlalu senang bertemu Evan,” sambar Alicia. Ia lantas melihat
“Ana?” panggil lirih Dave. Melangkah berat, sahabat Eric itu mendekati kursi roda Riana yang juga sudah menuju ke arahnya. “Ana?” Iwan berhenti di depan Dave. Riana mengangkat wajahnya dan mengulurkan tangan sembari mengurai senyum. “Hallo, selamat siang. Apa Anda yang ingin bertemu denganku?” Mata Dave melebar. Ia melihat Iwan sejenak, lalu menyambut uluran tangan Riana. “H-hallo. Apa kabarmu, An?” Riana menarik lurus bibirnya. Ia melihat kakinya yang ditutup dengan syal tebal lalu berkata, “Seperti yang Anda lihat. Saya … tidak bisa berjalan.” Dave menelan ludah. Ia melihat kaki Riana dan membasahi bibirnya. Ia lantas berbalik dan memanggil Aaron. “Eh, k-kenalkan. Ini adik ipar Eric. Suaminya Alicia,” ucap Dave. “Eric? Alicia?” Dave melihat Riana dan mengangguk pelan sebelum akhirnya memandang ayah kandung Riana yang memegangi kursi roda wanita itu. “Kita masuk dulu,” kata Iwan. Lelaki
Suara heel sepatu fantofel yang bersinggungan dengan keramik, menggema di lorong rumah sakit area ICU VIP itu.“Alicia, Aaron! Dave!”Alicia dan suaminya serta Dave segera berpaling. Mereka menyambut ayah kandung Eric itu dengan wajah sembab dan untaian air mata.“Dad,” panggil Alicia sembari melepas pelukan suaminya dan melebarkan kedua tangannya ke arah sang ayah.“Kenapa? Apa yang terjadi, hah?” tanya Sir Edmund. Ia berjongkok menatap wajah putrinya dan memeluknya sembari mengedarkan tatapannya pada semua yang ada di sana.“Eric … kata dokter dia … hiks … hiks….”Sir Edmund membasahi bibirnya. Ia mengusap wajah putrinya yang penuh air mata tapi juga melihat bingung ke arah Dave dan menantunya, Aaron.“Aaron! Dave! Katakan apa yang terjadi?!”Sir Edmund tak bisa lagi menahan gundah hatinya. Ia berdiri dan bertanya pada menantu dan sahabat