Alis Dylan terangkat dan berkata, “Aku juga mau cari di sini.”Lelaki itu berpura-pura membuka lemari dan Lydia hanya memilih diam dan mengabaikan Dylan. Dia lanjut mencari barang di lemari. Matanya berbinar ketika melihat di dalam laci ada terdapat sebuah kotak.Perempuan itu berjinjit dan berhasil mengambil kotak tersebut. Akan tetapi kotak tersebut jatuh dan hendak mengenai keningnya. Akan tetapi rasa sakit tersebut tidak kunjung datang. Sebuah tangan yang besar dengan wangi parfum yang familiar menutupi kening dan mata Lydia.Kotak tersebut jatuh mengenai punggung tangannya dan Lydia seperti bisa merasakan rasa sakit dan perih tersebut. Namun Dylan tidak bersuara sama sekali. Detik itu, Lydia merasa hatinya terkena jatuhan kotak itu dan membuatnya tersentak.Dylan menjauhkan tangannya dan berkata, “Untung nggak kena.”Dia menyerahkan kotak yang ada di tangannya pada perempuan itu dan berkata, “Tempat yang begitu jelas nggak mungkin menyimpan sesuatu. Coba kamu lihat.”Lydia melihat
Wajah Melani berubah kaku. Semua orang bisa menebak tujuannya, tetapi dia justru tidak mendapatkan kesempatan itu. Sutradara juga langsung berbicara dan mengatakan bahwa hadiah bagi pemenang dalam babak ini adalah menjadi ketua di babak selanjutnya.Para penonton yang membaca sibuk memberikan komentar, “IQ milik Melani buat orang lain seperti ingin menertawakannya.”“Semua orang sibuk berbincang, hanya Lydia yang mencari harta dan justru nggak ketemu. Kasihan sekali.”“Hanya aku yang merasa kalau Dylan masih belum melupakan Lydia? Setiap lelaki itu menatap Lydia, tatapannya lembut sekali, kan?”***Semua orang menuju lokasi selanjutnya sesuai dengan peta yang ditemukan oleh Melani. Saat dalam perjalanan, Dilap mendekati Dylan dan dia memasang senyum licik sembari berkata,“Om, Om curang sekali. Aturan acara main diganti sesuka hati.”Dylan meliriknya sinis dan dengan dingin berkata, “Om juga bisa mendepakmu keluar, percaya?”Pemuda itu langsung tercekat sambil membelalak. Pamannya ini
Lydia tidak takut tinggi, tetapi melihat jurang yang begitu dalam membuat hatinya bergetar. Kedua kakinya gemetar ketika berjalan ke arah balon udara. Selain Dilap dan Marvel, semua orang rata-rata merasakan hal yang sama.Dylan justru terlihat sangat tenang sekali. Dari atas mereka tidak bisa melihat dasar dari jurang karena sangat tinggi dan dipenuhi oleh pohon-pohon. Akan tetapi rasanya tergantung di udara seperti tengah menginjak awan dan menantang angin.Untungnya sabuk pengaman yang terpasang di tubuh mereka sangat kuat dan aman. Jika tidak, Lydia tidak akan mau melangkah maju. Dia bersumpah kalau selanjutkan akan menjauh dan menjaga jarak dari Dilap.Kameramen tidak ikut naik dan hanya kamera drone dan juga kamera mereka pribadi yang merekam aksi mereka. Wajah Melani pucat pasi dan dia mencengkeram tiang dengan erat. Tidak ada yang tahu apakah perempuan itu bersandiwara atau tidak. Perempuan itu menjerit ketakutan seakan-akan mewakili teriakan hati orang yang lainnya.“Kamu taku
Ekspresi Melani berubah kaku karena Lydia sudah menjawab pertanyaan ketiga. Dia melirik Dylan dan melihat wajah lelaki itu sudah sangat keruh. Keningnya berkerut dalam dan kedua bola matanya menatap Lydia dengan lekat. Lelaki itu seakan tengah berusaha keras mengendalikan emosinya sendiri.“Aku nggak perlu lompat, kan?” tanya Lydia sambil terkekeh kecil.Raut wajah Melani kembali seperti semula dan berkata, “Tentu saja, pertanyaan selanjutnya untuk Pak Dylan.”Matanya tampak berbinar sambil bertanya, “Kalau Pak Dylan diminta untuk memilih satu di antara dua perempuan di sini untuk jadi kekasih ….”Setelah kejadian Lydia tadi, sebagai seorang lelaki normal pastinya Dylan akan menjaga harga dirinya. Perempuan yang ada di sini selain Lydia hanya tersisa dirinya saja. Asalkan namanya dan Dylan muncul secara bersamaan, maka acara ini tidak akan sia-sia!Sebelum Melani menyelesaikan ucapannya, Dylan langsung berkata, “Aku pilih Lydia.”Tiba-tiba lelaki itu maju dan memeluk Lydia dengan erat.
Ucapan Dylan tidak tahu dapat didengar oleh Lydia atau tidak. Yang pasti perempuan itu tidak memberikan respons apa pun. Setelah terpantul beberapa kali di udara, akhirnya Lydia mulai terbiasa. Ketegangan di tubuhnya juga perlahan semakin berkurang.Saat dia membuka matanya dan menatap lelaki itu lagi, hanya tersisa sorot marah dan juga dingin saja. Ketika mereka naik kembali, Dilap dan semua orang menghampiri mereka dan bertanya, “Lydia, nggak apa-apa, kan?”“Bagaimana? Pusing, nggak?”Sedangkan Dylan justru diabaikan begitu saja. Semua orang tahu kalau ini adalah akibat dari kemarahannya. Dia sendiri yang membuat ini semua terjadi, apakah dia masih harus mengharapkan orang lain menghiburnya?Bahkan Melani hanya diam di sana menatap mereka berdua. Dia masih belum bisa mencerna apa yang baru saja terjadi. Lydia hanya menggeleng dengan wajah pucat pasi tanpa bisa mengatakan apa pun. Dia hanya merasa sedikit mual. Dengan kening berkerut perempuan itu bertanya,“Sudah bisa berakhir?”Dila
Melani menatap lelaki itu dengan sorot terkejut. Dilap tidak sedang bercanda, lelaki itu mundur untuk memberikan jalan pada Melani.Dia yakin Melani tidak akan menolak apa yang mereka minta. Perempuan itu sengaja mengubah arah dari alur acara ini dan sengaja menyerang Lydia.Perempuan itu menggigit bibirnya, kemudian dia menoleh ke arah Dylan yang memasang raut dingin. Tatapan lelaki itu tidak tertuju pada dirinya meski sedetik pun. Melani melangkah ke tepian kemudian menoleh sambil menatap mereka semua. Dia berharap ada orang yang berseru dan menghentikannya. Hingga akhirnya tatapannya berhenti pada sosok Lydia dengan sangat memelas.Jika Lydia yang bersuara, seharusnya mereka tidak akan menolak, bukan?Namun dia hanya berdiri sambil memegang tiang dengan wajah memucat dan raut wajah tidak sabar. Dia menyentuh bagian dadanya tanpa peduli dengan Melani sama sekali. Akhirnya dia tampak ragu-ragu melangkah ke tepian dan akhirnya tetap terjun dari sana.Suara teriakan histeris Melani meng
Lydia tersadar dan dia mencium sekelilingnya yang dipenuhi aroma alkohol. Ternyata dia ada di rumah sakit. Lydia menghela napas lega saat tahu tempat keberadaannya. Di dalam mimpinya, dia seperti tengah bermain bungee jumping. Tubuhnya terpantul sebanyak berulang kali hingga tubuhnya kehilangan gravitasi. Seluruh badannya tegang dan sangat panik.Lydia merasakan sebuah handuk hangat yang tengah diusapkan di keningnya. Dia menoleh dan ekspresinya seketika berubah saat melihat orang tersebut.“Kenapa kamu masih belum pergi?”“Aku yang salah,” ujar Dylan. Suaranya terdengar sangat kecil dan sarat akan rasa bersalah.Bahkan ketika tidak sadarkan diri, perempuan itu masih mimpi buruk dan terus mengeluarkan keringat dingin. Perempuan itu terus mengigau di sepanjang tidurnya dengan berkata, “Jangan dorong aku.”Semua salahnya! Dia tidak menyangka kalau Lydia akan begitu takut. Kalau tahu akan seperti ini, dia tidak akan mau mengajak Lydia untuk ikut melompat bersama. Lydia menolehkan wajahnya
“Siap-siap, aku mau pulang dan istirahat.” Domi terdiam sesaat dan bergegas menjawab, “Sopir sudah menunggu di luar.”Dylan berdiri dan dia terdiam sambil menatap Lydia. Sesaat kemudian dia bertanya, “Sudah mendingan?”Setelah beberapa detik terdiam, Lydia baru menjawab, “Sudah mendingan jauh.”Mendengar cara bicara Lydia yang sudah tidak begitu sinis membuat sorot Dylan mendadak melembut. Dulu dia bisa takut tanpa sebab karena khawatir akan membuat trauma pada perempuan itu. Dia melupakan bahwa Lydia bukan boneka yang rapuh.Dylan awalnya ingin mengantarkan Lydia pulang, tetapi ponselnya berdering sebelum keluar dari pintu. Panggilan tersebut berasal dari kantornya dan merupakan telepon cukup genting. Suara Tony terdengar sangat panik dan membuat Dylan terdiam sejenak. Setelah berpamitan dengan Lydia, lelaki itu langsung pergi.Saat perjalanan pulang, Lydia sudah sangat sadar. Ponselnya dipenuhi dengan pertanyaan khawatir dari teman-temannya yang menanyakan kabarnya. Dilap lebih berle