Lydia tidak takut tinggi, tetapi melihat jurang yang begitu dalam membuat hatinya bergetar. Kedua kakinya gemetar ketika berjalan ke arah balon udara. Selain Dilap dan Marvel, semua orang rata-rata merasakan hal yang sama.Dylan justru terlihat sangat tenang sekali. Dari atas mereka tidak bisa melihat dasar dari jurang karena sangat tinggi dan dipenuhi oleh pohon-pohon. Akan tetapi rasanya tergantung di udara seperti tengah menginjak awan dan menantang angin.Untungnya sabuk pengaman yang terpasang di tubuh mereka sangat kuat dan aman. Jika tidak, Lydia tidak akan mau melangkah maju. Dia bersumpah kalau selanjutkan akan menjauh dan menjaga jarak dari Dilap.Kameramen tidak ikut naik dan hanya kamera drone dan juga kamera mereka pribadi yang merekam aksi mereka. Wajah Melani pucat pasi dan dia mencengkeram tiang dengan erat. Tidak ada yang tahu apakah perempuan itu bersandiwara atau tidak. Perempuan itu menjerit ketakutan seakan-akan mewakili teriakan hati orang yang lainnya.“Kamu taku
Ekspresi Melani berubah kaku karena Lydia sudah menjawab pertanyaan ketiga. Dia melirik Dylan dan melihat wajah lelaki itu sudah sangat keruh. Keningnya berkerut dalam dan kedua bola matanya menatap Lydia dengan lekat. Lelaki itu seakan tengah berusaha keras mengendalikan emosinya sendiri.“Aku nggak perlu lompat, kan?” tanya Lydia sambil terkekeh kecil.Raut wajah Melani kembali seperti semula dan berkata, “Tentu saja, pertanyaan selanjutnya untuk Pak Dylan.”Matanya tampak berbinar sambil bertanya, “Kalau Pak Dylan diminta untuk memilih satu di antara dua perempuan di sini untuk jadi kekasih ….”Setelah kejadian Lydia tadi, sebagai seorang lelaki normal pastinya Dylan akan menjaga harga dirinya. Perempuan yang ada di sini selain Lydia hanya tersisa dirinya saja. Asalkan namanya dan Dylan muncul secara bersamaan, maka acara ini tidak akan sia-sia!Sebelum Melani menyelesaikan ucapannya, Dylan langsung berkata, “Aku pilih Lydia.”Tiba-tiba lelaki itu maju dan memeluk Lydia dengan erat.
Ucapan Dylan tidak tahu dapat didengar oleh Lydia atau tidak. Yang pasti perempuan itu tidak memberikan respons apa pun. Setelah terpantul beberapa kali di udara, akhirnya Lydia mulai terbiasa. Ketegangan di tubuhnya juga perlahan semakin berkurang.Saat dia membuka matanya dan menatap lelaki itu lagi, hanya tersisa sorot marah dan juga dingin saja. Ketika mereka naik kembali, Dilap dan semua orang menghampiri mereka dan bertanya, “Lydia, nggak apa-apa, kan?”“Bagaimana? Pusing, nggak?”Sedangkan Dylan justru diabaikan begitu saja. Semua orang tahu kalau ini adalah akibat dari kemarahannya. Dia sendiri yang membuat ini semua terjadi, apakah dia masih harus mengharapkan orang lain menghiburnya?Bahkan Melani hanya diam di sana menatap mereka berdua. Dia masih belum bisa mencerna apa yang baru saja terjadi. Lydia hanya menggeleng dengan wajah pucat pasi tanpa bisa mengatakan apa pun. Dia hanya merasa sedikit mual. Dengan kening berkerut perempuan itu bertanya,“Sudah bisa berakhir?”Dila
Melani menatap lelaki itu dengan sorot terkejut. Dilap tidak sedang bercanda, lelaki itu mundur untuk memberikan jalan pada Melani.Dia yakin Melani tidak akan menolak apa yang mereka minta. Perempuan itu sengaja mengubah arah dari alur acara ini dan sengaja menyerang Lydia.Perempuan itu menggigit bibirnya, kemudian dia menoleh ke arah Dylan yang memasang raut dingin. Tatapan lelaki itu tidak tertuju pada dirinya meski sedetik pun. Melani melangkah ke tepian kemudian menoleh sambil menatap mereka semua. Dia berharap ada orang yang berseru dan menghentikannya. Hingga akhirnya tatapannya berhenti pada sosok Lydia dengan sangat memelas.Jika Lydia yang bersuara, seharusnya mereka tidak akan menolak, bukan?Namun dia hanya berdiri sambil memegang tiang dengan wajah memucat dan raut wajah tidak sabar. Dia menyentuh bagian dadanya tanpa peduli dengan Melani sama sekali. Akhirnya dia tampak ragu-ragu melangkah ke tepian dan akhirnya tetap terjun dari sana.Suara teriakan histeris Melani meng
Lydia tersadar dan dia mencium sekelilingnya yang dipenuhi aroma alkohol. Ternyata dia ada di rumah sakit. Lydia menghela napas lega saat tahu tempat keberadaannya. Di dalam mimpinya, dia seperti tengah bermain bungee jumping. Tubuhnya terpantul sebanyak berulang kali hingga tubuhnya kehilangan gravitasi. Seluruh badannya tegang dan sangat panik.Lydia merasakan sebuah handuk hangat yang tengah diusapkan di keningnya. Dia menoleh dan ekspresinya seketika berubah saat melihat orang tersebut.“Kenapa kamu masih belum pergi?”“Aku yang salah,” ujar Dylan. Suaranya terdengar sangat kecil dan sarat akan rasa bersalah.Bahkan ketika tidak sadarkan diri, perempuan itu masih mimpi buruk dan terus mengeluarkan keringat dingin. Perempuan itu terus mengigau di sepanjang tidurnya dengan berkata, “Jangan dorong aku.”Semua salahnya! Dia tidak menyangka kalau Lydia akan begitu takut. Kalau tahu akan seperti ini, dia tidak akan mau mengajak Lydia untuk ikut melompat bersama. Lydia menolehkan wajahnya
“Siap-siap, aku mau pulang dan istirahat.” Domi terdiam sesaat dan bergegas menjawab, “Sopir sudah menunggu di luar.”Dylan berdiri dan dia terdiam sambil menatap Lydia. Sesaat kemudian dia bertanya, “Sudah mendingan?”Setelah beberapa detik terdiam, Lydia baru menjawab, “Sudah mendingan jauh.”Mendengar cara bicara Lydia yang sudah tidak begitu sinis membuat sorot Dylan mendadak melembut. Dulu dia bisa takut tanpa sebab karena khawatir akan membuat trauma pada perempuan itu. Dia melupakan bahwa Lydia bukan boneka yang rapuh.Dylan awalnya ingin mengantarkan Lydia pulang, tetapi ponselnya berdering sebelum keluar dari pintu. Panggilan tersebut berasal dari kantornya dan merupakan telepon cukup genting. Suara Tony terdengar sangat panik dan membuat Dylan terdiam sejenak. Setelah berpamitan dengan Lydia, lelaki itu langsung pergi.Saat perjalanan pulang, Lydia sudah sangat sadar. Ponselnya dipenuhi dengan pertanyaan khawatir dari teman-temannya yang menanyakan kabarnya. Dilap lebih berle
Unggahan tersebut akhirnya bisa sedikit meredakan harapan semua orang untuk kembalinya Lydia dalam acara. Seorang CEO tidak perlu mengandalkan acara televisi untuk mencari uang sehingga dia memiliki hak untuk memilih.Kehebohan tersebut kembali reda dalam waktu yang cepat. Lydia pikir pemberitahuan tersebut dibuat untuk menenangkan kehebohan penonton saja, tetapi keesokan paginya Tiger langsung membuka cahaya kamarnya hingga terang benderang.Lydia membuka matanya dengan malas-malasan. Cahaya matahari langsung mengenai matanya. Dia bangun sambil berkata, “Kamu salah, aku belum waktunya bangun.”“Ada yang menunggumu, mereka nggak mengizinkan kamu tidur.”Rasa kantuk Lydia sudah hilang sehingga dia memutuskan bangkit berdiri dengan malas-malasan. Dia menghabiskan waktu 20 menit untuk bersih-bersih. Lydia memilih terusan berwarna krem dengan panjang selutut. Dia terlihat jauh lebih muda dan segar.Orang yang di luar sana sudah tampak tidak sabar. Nixon berulang kali melirik jam tangannya.
Ruang rapat semakin memanas. Ada yang setuju dan ada yang tidak, serta ada yang ikut menonton saja. Lydia menatap Nixon dan melihat mata lelaki itu memicing. Raut wajahnya tampak dingin dan seperti tidak peduli dengan perdebatan mereka.Shinta berdeham dan semua orang seketika berubah hening dan melihat sikap Nixon. Lelaki itu menatap Markus dengan dingin dan berkata, “Pak Markus begitu ingin kasih anaknya kesempatan?”Markus mencoba memberanikan diri karena jika putranya tidak membuat sebuah prestasi di perusahaan, kemungkinan Agustine Group akan mendepak putranya.“Pak Nixon, Marlo cukup memberikan banyak prestasi di kantor, saya percaya dia bisa mendapatkan proyek ini.”Nixon tersenyum dingin dan beberapa detik kemudian ekspresinya kembali seperti semula dan bertanya, “Bagaimana kalau nggak bisa mendapatkan proyek ini?”Suasana ruangan rapat mendadak menjadi tegang dan sunyi hingga membuat orang-orang sedikit gusar.Nixon mendongak dan dengan suara dingin berkata, “Proyek ini merupa