"Kamu yang bawa ini, Ka? Berarti kemarin kamu mampir ke warung baso Nuri? Anak Mama gercep juga," tanya Bu Widya saat mereka tengah sarapan berdua. Ya, hanya berdua saja karena Tika gak boleh sarapan bersama mereka karena aroma busuk Tika sangat pekat.
"Iya, Ma, mampir lihat Nuri. Kayaknya udah bisa nerima keadaan dan mungkin karena saya juga yang memberikan perhatian sebagai mantan. Dika yakin sekali, sebentar lagi Nuri akan kembali pada Dika." Bu Widya tertawa cekikikan mendengar ucapan putra sulungnya yang sangat konyol. Dika belum pernah se-alay ini sebelumnya. Untuk itu Bu Widya merasa lucu."Kenapa Mama ketawa? Orang saya jujur," tanya Dika heran."Mama geli lihat kamu ngomong gitu. Bukan kamu banget kayaknya. Apa kamu kesambet Tika?" Bu Widya menyantap baso Nuri yang rasanya masih tetap enak, meskipun buatan kemarin dan menurutnya tidak ada baso enak yang pernah ia makan seperti enaknya baso buatan mantan menantunya itu."Nih, Ma, ngomong-ngomong soal Tika, katanya hari ini Tika katanya mau ke dokter untuk mengobati baunya," ujar Dika memberitahu. Sekilas Bu Widya menoleh ke kamar yang ditempati menantunya itu."Terus, apa hubungannya dengan Mama?" tanya Bu Widya sambil menekan hidungnya."Mama mau gak nemenin Tika? Tanya yang jelas gitu ke dokter kenapa bau sekali badan si Tika? Minta obat paten sekalian, Ma.""Ogah, Mama bisa mati kebauan kalau berdekatan dengan Tika. Pokoknya gak maulah!" Bu Widya menolak tegas. Wanita itu bergidik ngeri karena semakin hari, aroma tubuh menantu Jadi-jadianya itu semakin bau saja."Harusnya istri kamu itu diisolasi mandiri di rumah sakit. Di wisma atlet juga bisa kayaknya. Dari pada begini, semua menderita karena baunya. Ck, kamu ini entah bikin dosa apa Dika, istri pertama minta cerai karena kamu galak dan gak cinta. Sekarang udah nikah lagi, istri kamu malah bau bangkai. Astaghfirullah, aduh ... baso Nuri jadi bikin Mama eneg karena sambil bayangin aromanya Tika." Dika hanya menghela napas berat mendengar omelan mamanya.Sebagai suami dan lelaki, ia pun sudah tidak tahan dengan aroma tubuh Tika, tetapi ia belum ingin menalak Tika. Ia ingin wanita itu sendiri yang pergi darinya karena marah dan menyerah."Dika, denger gak?!" Suara Bu Wodya meninggi."Eh, i-iya, Ma. Nanti akan saya tanyakan tempat isolasi yang pas untuk Tika. Tapi biar Tika ke rumah sakit dulu saja." Bu Widya mencebik."Terserah kamu saja, pokoknya Mama gak mau istri kamu itu ada di rumah Mama! Dan jangan pulang juga ke rumah kamu, nanti dia keenakan!" Dika mengangguk paham.Tanpa berpamitan pada Tika, Dika pun langsung berangkat ke kantornya yang ada di kebun binatang dengan sepeda motor. Meskipun ia memiliki kendaraan roda empat, tetapi Dika lebih nyaman ke sana-kemari dengan kendaraan roda dua matic itu.Sesampainya di kantor, ia bertanya pada teman-temannya tentang tempat isolasi yang ada di Jakarta Selatan. Tidak banyak yang tahu. Diantara mereka mengarahkannya untuk pergi ke wisma atlet."Siapa yang kena HIV, Pak Dika?" tanya Elis, staf pendataan satwa yang kebetulan ikutan gabung rumpi di mejanya. Ada empat orang di sana dan Elis satu-satujya staf wanita."HIV?" Dika menatap Elis dengan bingung."Itu nyari tempat isolasi bukan untuk pasien HIV?" tanya Elis yang juga ikutan bingung. Dika tertawa, kemudian ia menggeleng."Untuk pasien bau, ha ha ha.... " staf yang lain akhirnya ikut tertawa. Dika memperhatikan satu per satu wajah segar staf-nya. Ada sepuluh orang di ruangan itu dan tidak ada satu pun yang tahu bahwa ia sudah bercerai dari Nuri. Ia masih merahasiakannya. Apalagi Tika baru ia nikahi secara siri saja, sehingga jika ia berbohong, tidak terlalu kentara."Siapa yang bau?" tanya Pak Asep."Sodara saya, Pak. Dia bau banget, udah ke dokter, udah mandi air mawar kayak batu nisan, tetap aja masih bau," jawab Dika diiringi gelak tawa orang-orang di sekitarnya."Bawa ke orang pintar coba. Siapa tahu sodara Pak Dika diguna-guna orang supaya bau," jawab Pak Asep memberikan ide. Siapa yang mau mengguna-guna Tika? Apa manfaat dan juga keuntungannya? Tika gak cantik, orang kampung, hanya tamatan SD pula."Hanya orang gila kali yang mau mengguna-guna sodara saya itu," jawab Dika tak percaya.Pembicaraan seru tentang pasien bau terus saja berlangsung, padahal mereka semua sudah membuka laptop masing-masing. Dika pun sampai tidak mendengar panggilan dari Tika. Wanita itu hendak pergi ke dokter, tetapi tidak bisa karena ojek online tidak ada yang mau membawanya ke dokter.Baru sampai di depan pagar rumah mertuanya saja, tiga ojek online yang ia pesan bergantian, langsung mual dan muntah. Ketiganya pergi begitu saja, saat mencium aroma busuk.Bukan itu saja, para tetangga kanan kiri rumah mertuanya juga pada pindah karena tidak tahan dengan bau busuk yang berasal dari rumah Bu Widya.Kring! Kring!Kali ini telepon kantornya berdering. Dika yang tengah fokus menatap laptop, memanjangkan tangannya untuk mengangkat panggilan itu."Halo.""Halo, Dika, assalamualaikum.""Eh, Mama, wa'alaykumussalam. Ada apa, Ma?""Ka, istri kamu tambah bau, Ka. Mama udah gak tahan. Pak RT juga barusan komplain, karena bau busuk dari rumah kita. Mama akhirnya pesan truk kontainer untuk menganggut Tika ke luar dari rumah Mama. Biar dibawa ke kapal aja. Siapa tahu dengan kena angin laut, bau badan Tika bisa hilang.""A-pa? Truk kontainer? Itu kan mahal, Ma.""Ya, Mama tinggal potong dari jatah warisan kamu saja. Udah ya, pokoknya truk itu sebentar lagi sampai dan Tika biar langsung diangkut saja.""Mama gak packing dulu? Nanti sopir truk muntah loh. Maksudnya apa Tika tahu kalau Mama sewa truk untuk membawanya pergi ke laut?""Mama gunakan cara halus biar Tika mau. Kamu tenang saja. Udah Mama pesan go-s3nd untuk kirim bubble wrap. Tika dibungkus itu saja biar sopir truk ga kebauan."Tok! Tok!"Tika, buka! Truk udah datang. Ayo, cepat kamu berkemas. Truk itu akan bawa kamu ke tempat isolasi!" Bu Widya berteriak di depan kamar Tika. Tentu saja wanita itu kalang kabut karena ia tidak mau dipisahkan oleh Dika.; suaminya. Satu hal yang perlu dan harus segera ia lakukan adalah pergi ke dokter untuk meminta obat."Tika, buka!" Tika yang dari awal memang memiliki sifat licik, tentu saja tidak mau menyerah. Ia memasukkan beberapa helai baju ke dalam kantong totte bag, lalu ia keluar dari jendela kamar suaminya yang memang belum dipasang besi teralis. Sengaja ia memakai baju panjang dan juga penutup kepala. Selain untuk menyamarkam bau, ia juga tidak mau sampai dikenali tetangga. Untunglah saat ia melompar keluar dari jendela, tidak ada seorang tetangga pun yang melihat. Merasa tak ada jawaban dari menantunya, Bu Widya pun nekat melubangi tembok dengan mesin bor. Karena jika ia dobrak pintu, maka pintunya akan rusak. Beli pintu baru mahal, lebih murah nenambal dinding tem
"Kamu ini bisa-bisanya pingsan di rumah orang. Mau apa sih?" tanya Daniel dengan wajah sebal. Di sampinga ada Nuri yang diam sambil melipat tangan di dada. Dika yang baru saja sadar, langsung bangun duduk. Lebih tepatnya pura-pura tak sadar, lalu sadarkan diri. "Saya cuma mau ketemu Nuri. Ada yang mau saya bicarakan. Karena rumahnya sepi saat saya panggil, saya berniat panggil dari jendela kamar, eh... ""Ya... ya... sudah, sekarang sudah sadar kan? Sekarang kamu bisa pulang!" Usir Daniel to the point. Tentu saja ia tidak senang dengan kehadiran mantan dari Nuri di rumah istrinya ini. "Kalian berdua pulang saja. Saya lagi gak enak badan dan lagi ngantuk banget." Nuri meminta keduanya pergi dari rumahnya dengan cara halus. "Kamu sakit?" dua pria itu mengeluarkan kalimat tanya secara serentak dan sama. Daniel dan Dika sama-sama menatap Nuri dengan tatapan khawatir. "Ya, saya bisa sakit jiwa kalau kalian berdua ada di rumah saya lebih lama lagi. Cepat pergi! Saya gak mau diganggu." N
"Mas, saya sudah tidak bau," ujar Tika semangat sambil berputar-putar di depan suaminya. "Hidung kamu lagi polip, makanya gak bisa nyium bau. Kamu masih bau busuk. Keluar dari kamar saya!" Dika menarik kasar tangan istrinya untuk segera turun. "Mas, pelan-pelan!" Tika berusaha menahan tubuhnya, tetapi tenaga suaminya terlalu kuat, sehingga ia terpaksa pasrah saat ditarik masuk ke kamar pembantu yang dulunya ia tempati. "Mas, kamu gila! Masa istri kamu ditaruh di kamar pembantu! Yang benar saja!" Tika berteriak tidak terima dengan perlakuan suaminya, tetapi Dika masa bodoh. Selagi bau busuk dari tubuh istrinya belum hilang, maka ia tidak mau berdekatan dengan wanita itu. "Biasanya juga kamu di kamar ini. Aku bilang, obati bau badan kamu, Tika! Kenapa malah kamu pergi ke rumahku. Masuk tanpa ijin. Sama aja kamu itu maling! Ngerti gak?!" Blam! Cklek"Mas, buka! Saya jangan dikunciin!" Teriak Tika panik karena Dika menguncinya dari luar. Wanita itu terus menggedor pintu dengan kuat,
Raungan Tika, diiringi suara dentum jatuhnya benda ke lantai, sama sekali tidak ia pedulikan. Pria itu memilih sarapan di kamar, agar suara Tika hanya terdengar samar saja sampai ke atas. Ditambah lagi, ia menyetel TV dengan kuat agar suara mengamuknya Tika tidak terdengar. Dika menikmati sarapan seadanya karena memang stok bahan makanan di rumahnya tersisa nuget saja. Untunglah beras dan bumbu dapur lainnya masih ada, sehingga ia bisa memasak alakadarnya untuk mengisi perut yang lapar. Kring! Kring! Dika meraih ponsel yang ada di atas ranjang. Nama Budi tertera di layar ponsel. "Halo, assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam, maaf Pak Dika, semalam saya sudah tidur. Ada apa ya, Pak?"Budi belum bisa memanggil Dika dengan sebutan 'Pak' karena memang awalnya sudah dengan sebutan itu. Jika memanggil namanya saja, dirasa tidak sopan. "Oh, iya Mas Budi, begini, saya mau cerita sedikit. Setelah saya menikah dengan Tika, saya tidak tahu apa yang terjadi dengan istri saya itu. Badannya bau
"Ibu gak perlu ikut campur urusan rumah tangga saya!" Daniel menatap Bu Widya dengan marah. Suaranya menggelegar membuat Bu Widya sempat ciut, tetapi ia mencoba berani menantang tatapan Daniel yang seperti ingin menerkam mangsa. "Saya pengganti ibu Nuri selama Bu Fatma tidak di Jakarta. Tentu saja ini menjadi urusan saya. Pasti Bu Fatma setuju anaknya minta cerai, jika modelam suaminya seperti kamu!" Balas Bu Widya tidak mau kalah. Daniel tertawa remeh. "Ibu gak berkaca bagaimana anak lelaki Ibu yang menyia-nyiakan Nuri? Kenapa bru berisik sekarang?" "Karena kemarin itu anak saya ketempongan jin. Jadinya nakal. Sekarang jin-nya udah pergi. Udah sana, perempuan kalau udah gak mau jangan dipaksa!" Bu Widya mengusir Daniel. Pria itu tidak punya pilihan, selain pergi dari rumah Nuri. Percuma juga berdebat dengan ibu-ibu tua, ia pasti kalah. Ditambah lagi, Nuri sama sekali tidak keluar saat ia berdebat dengan orang tuanya Dika. "Nunggu apa lagi? Cepat sana pergi!" Bu Widya mendelik pad
"Astaghfirullah, bau apa ini?" pria bernama Budi langsung menekan hidungnya sesaat baru turun dari mobil ambulan. "Bau Tika, Mas Budi. Ayo, mari masuk!" Dika menjabat tangan pria yang sudah tidak menjadi iparnya lagi. "Minum dulu, Mas, mau teh atau kopi?" tanya Dika ramah. Meskipun ia telah menceraikan Tika, tetapi ia tetap baik pada Budi karena memang masalahnya hanya pada Tika saja. "Saya gak sanggup baunya, Pak Dika. Saya langsung bawa Tika pergi aja deh, tapi bau begini, baiknya dibungkus apa ya?" Budi menggaruk kepalanya. "Mungkin pakai mukena." Dika mengusulkan. "Wah, kayaknya adik saya gak punya mukena, Pak.""Kenapa?" Dika mengerutkan kening terheran. "Adik saya mana mau solat, Pak. Udah dari kecil. Lebaran aja gak solat, apalagi solat lima waktu." Dika manggut-manggut paham, sedangkan Bu Widya sudah bergidik ngeri. Punya menantu yang tidak solat, mau apa jadinya rumah tangga anaknya nanti. Untunglah tiba-tiba wanita itu bau, jika tidak, maka selamanya bisa dipastikan i
Dua hari sejak Tika dibawa pulang ke kampungnya dan dua hari juga Dika belum menghubungi atau berkunjung ke warung baso Nuri. Ia sedang ada tugas seminar di Bandung, sehingga masih fokus pada pekerjaannya. Hari ini ia sudah kembali ke Jakarta dan tempat yang langsung dituju adalah warung baso Nuri. Mobil yang ia kemudikan melaju pelan sampai mendekati warung. Matanya memicing untuk memastikan keberadaan Nuri, tetapi ia tidak melihat Nuri sedang sibuk di depan gerobak baso. "Nurinya mana, Mbak?" tanya Dika pada karyawan yang sedang menuangkan kuah ke dalam mangkuk. "Bu Nuri udah pulang ke rumah suaminya. Tadi di sini dari pagi sampai jam dua siang." Bahu pria itu melemah. Berarti ucapan mamanya waktu itu benar. Nuri benar rujuk dengan Dika. "Sejak kapan?" tanyanya lagi. "Sejak hari ini, Pak. Jadi mulai hari ini sampai seterusnya, Bu Nuri di warung baso hanya dari pagi sampai jam dua siang. Sebentar, saya tinggal antar pesanan ini." Karyawan Nuri yang bernama Winda itu meninggalkan
Nuri masih sesegukan menangis di kamar mandi. Ia terus saja menggosok kuat bibirnya agar bekas cairan milik suaminya yang ia terpaksa telan,bisa hilang tak berbekas. Nuri bahkan mencolok mulutnya, agar apa yang sudah ia telan, bisa kembali ia muntahkan, tetapi percuma. Hingga rasa perih menyerang perutnya, wanita itu tidak mengeluarkan apa-apa. "Nuri, kamu kenapa?" tanya Daniel dari luar. Nuri tidak menyahut. Air pancuran hangat yang membasahi tubuhnya sengaja ia besarkan. Agar suara suaminya tidak terdengar. Apakah memang seperti ini menikah, lalu berhubungan suami istri? Kenapa rasanya jijik sekali. Batin Nuri. Uek! Uek! "Nuri, buka!" "Saya gak papa, masuk angin saja." Nuri menyahut dengan suara bergetar. "Ya sudah kalau gitu, cepat mandinya, saya juga mau mandi. Ini sudah mau magrib." Nuri lekas menyikat gigi sampai ke langit-langit mulut. Meskipun sudah bersih, tetapi ia masih merasa sangat lengket. "Nuri, cepat, Sayang!" Nuri buru-buru memakai handuknya. Wanita itu membuk