Tok! Tok!
"Tika, buka! Truk udah datang. Ayo, cepat kamu berkemas. Truk itu akan bawa kamu ke tempat isolasi!" Bu Widya berteriak di depan kamar Tika. Tentu saja wanita itu kalang kabut karena ia tidak mau dipisahkan oleh Dika.; suaminya. Satu hal yang perlu dan harus segera ia lakukan adalah pergi ke dokter untuk meminta obat."Tika, buka!" Tika yang dari awal memang memiliki sifat licik, tentu saja tidak mau menyerah. Ia memasukkan beberapa helai baju ke dalam kantong totte bag, lalu ia keluar dari jendela kamar suaminya yang memang belum dipasang besi teralis. Sengaja ia memakai baju panjang dan juga penutup kepala. Selain untuk menyamarkam bau, ia juga tidak mau sampai dikenali tetangga. Untunglah saat ia melompar keluar dari jendela, tidak ada seorang tetangga pun yang melihat.Merasa tak ada jawaban dari menantunya, Bu Widya pun nekat melubangi tembok dengan mesin bor. Karena jika ia dobrak pintu, maka pintunya akan rusak. Beli pintu baru mahal, lebih murah nenambal dinding tembok dengan semen."Eh, ke mana itu orang?" tanya Bu Widya bingung. Saat ia mengintip dari lubang yang ia buat, tidak ada Tika di dalam sana."Wah, kabur itu bocah!" Bu Widya berlari keluar rumah. Ia bahkan berjalan cepat menuju jalan besar untuk mencari Tika. Namun, ia tidak menemukan jejak wanita itu."Bu, ini jadi gak ngangkut orangnya?" tanya sopir truk pada Bu Widya, saat ia kembali ke rumah."Gak jadi, udah pergi. Ini, saya ganti ongkos bensin aja." Bu Widya mengeluarkan uang seratus lima puluh ribu untuk sopir truk itu."Makasih Bu." Bu Widya masuk ke rumah untuk segera memberitahu Dika, bahwa Tika pergi dari rumah.Dua kali menelepon Dika, belum juga diangkat. Bu Widya akhirnya memutuskan untuk menghubungi putranya beberapa saat lagi saja."Fitri, kamu pesankan di aplikasi utuk bersih-bersih rumah. Kamar Dika harus dibersihkan. Saya mau ke rumah Pak Haji, minta kamar itu didoakan." Fitri tertawa melihat berapa repotnya dan gak tenangnya sang Majikan setelah memiliki menantu bernama Tika.Belum lagi makhluk buruk rupa serba hitam itu terus berjaga di depan kamar Dika. Aura rumah sangat tidak nyaman, tetapi ia tidak berani bercerita lengkap pada Bu Widya, khawatir majikannya takut."Iya, Bu, saya pesankan." Fitri pergi ke kamarnya untuk mengambil ponsel, sedangkan Bu Widya pergi ke rumah salah satu pemuka agama di tempat tinggalnya."Buru-buru amat Bu Widya, mau ke mana? Kebauan sama rumah sendiri ya?" sindir Bu Hesti, tetangga yang selisih empat rumah saja darinya."Mau ke Pak Haji, Bu Hesti. Mau minta didoakan rumah saya. Mari, Bu." Bu Widya bergegas melanjutkan kembali langkahnya. Ia sama sekali tidak marah ataupun tersinggung dengan ucapan tetangga, karena memang benar apa adanya. Wajar saja para tetangga merasa tidak nyaman dengan bau yang menguar dari dalam rumahnya. Ia saja rasanya ingin mati kebauan. Untunglah Tika pergi dengan sendirinya, sehingga ia bisa bernapas lega.Kring! Kring!Fitri berjalan cepat saat dering telepon rumahnya itu nyaring terdengar"Halo, assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam, Pak Dika ya?""Iya, Fit, mama mana? Saya mau bicara.""Ibu ke rumah Pak Haji Slamet, Pak. Mau minta didoakan kamar Pak Dika. Bu Tika udah pergi dari rumah Pak.""Apa? Tika pergi? Naik truk apa terbang?""Ha ha ha ... kabur dari jendela kamar.""Alhamdulillah akhirnya. Makasih informasinya Fitri. Nanti saya telepon balik deh. Assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam."Bukan main senangnya hati Dika, begitu mendengar istrinya akhirnya menyerah. Ia tidak perlu bertengkar hebat karena kalimat talak, cukup wanita itu tahu diri dengan penyakitnya saja. Semua pekerjaan di kantor ia kerjakan dengan semangat karena ia sudah memutuskan, mulai hari ini, ia akan selalu mengunjungi warung baso Nuri, sepulang ia bekerja. Pokoknya setelah masalahnya dan Tika selesai, maka ia akan terus mendekati Nuri agar mau kembali bersamanya.Sore harinya, tepatnya pukul lima lebih dua puluh menit. Dika sudah kembali memarkirkan motornya di warung baso Nuri, tetapi ia tidak melihat keberadaan mantan istrinya itu. Hanya ada karyawannya wanita dan lelaki yang tengah menyajikan baso pada pembeli."Permisi, Nuri ke mana?" tanya Dika pada Winda, sambil memandangi sekeliling warung."Oh, Bapak yang kemarin ya. Bu Nuri ada di kontrakan. Ada suaminya datang." Wajah pria itu langsung menegang. Mau apa Daniel mengunjungi Nuri? Bukankah mereka akan berpisah?"Ya sudah, saya titip motor ya. Saya mau ke kontrakan." Dika berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Winda. Pikirannya tidak menentu saat mendengar Daniel ada di rumah Nuri. Rencana rujuknya dengan Nuri bisa berantakan kalau sampai Nuri balikan lagi dengan Daniel. Semakin dekat dengan rumah Nuri, detak jantungnya semakin tidak beraturan.Dika menelan ludah saat pintu rumah wanita itu tertutup, tetapi ada sepasang sepatu mahal di depan pintu rumah kontrakan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada tetangga yang melihat dirinya. Dengan mengendap-endap, Dika berjalan menuju jendela kamar Nuri. Ia berharap tidak menemukan suara apapun di dalam sana.Dika menempelka telinga di tembok rumah Nuri dengan pelan dan hati-hati. Tentu saja ekor matanya terus mengawasi gerak-gerik tetangga yang mungkin saja saat ini tengah melihatnya.Tidak ada suara. Apa jangan-jangan, Nuri dan Daniel tidur karena kelelahan itu? Batinnya cemas. Wajahnya pun semakin berkeringat. Dika menyeka wajah basahnya dengan tangan, lalu ia pergi dari rumah Nuri untuk segera ke warung baso."Mbak, suami Nuri datang dari jam berapa?" tanya Dika tiba-tiba saat Winda sedang menuangkan kuah baso ke dalam plastik."Apa?" tanya wanita itu sembari menatap wajah Dika dengan bingung.Dika berdecak."Itu suami Nuri datangnya dari jam berapa?" tanya Dika sambil memperhatikan mobil mewah yang parkir persis di samping motornya."Baru sepuluh menit, Pak.""Kamu yakin?" tanya Dika meragukan. Pelayan Nuri itu mengangguk yakin."Wah, baru dong! Cepet banget kalau gitu, ha ha ha... " Winda semakin bingung dengan tamu bos-nya. Apa maksudnya baru dan cepat?"Oke, makasih." Dika kembali berjalan masuk ke dalam gang rumah kontrakan Nuri. Ia mengulum senyum sepanjang jalan karena menertawakan betapa loyonya Daniel yang ternyata baru lima menitan, tapi udahan. Dika kembali menempelkan telinganya di dinding kamar Nuri. Benar-benar tidak ada suara di dalam sana."Dika, apa yang kamu lakukan di situ?" suara teguran itu membuat Dika mematung. Jantungnya seperti baru saja dicabut oleh sang Maha Pencipta. Ia tidak menemukan cara lain untuk berkilah, kecuali dengan pura-pura pingsan.Brugh!"Ya Allah, malah pingsan!""Kamu ini bisa-bisanya pingsan di rumah orang. Mau apa sih?" tanya Daniel dengan wajah sebal. Di sampinga ada Nuri yang diam sambil melipat tangan di dada. Dika yang baru saja sadar, langsung bangun duduk. Lebih tepatnya pura-pura tak sadar, lalu sadarkan diri. "Saya cuma mau ketemu Nuri. Ada yang mau saya bicarakan. Karena rumahnya sepi saat saya panggil, saya berniat panggil dari jendela kamar, eh... ""Ya... ya... sudah, sekarang sudah sadar kan? Sekarang kamu bisa pulang!" Usir Daniel to the point. Tentu saja ia tidak senang dengan kehadiran mantan dari Nuri di rumah istrinya ini. "Kalian berdua pulang saja. Saya lagi gak enak badan dan lagi ngantuk banget." Nuri meminta keduanya pergi dari rumahnya dengan cara halus. "Kamu sakit?" dua pria itu mengeluarkan kalimat tanya secara serentak dan sama. Daniel dan Dika sama-sama menatap Nuri dengan tatapan khawatir. "Ya, saya bisa sakit jiwa kalau kalian berdua ada di rumah saya lebih lama lagi. Cepat pergi! Saya gak mau diganggu." N
"Mas, saya sudah tidak bau," ujar Tika semangat sambil berputar-putar di depan suaminya. "Hidung kamu lagi polip, makanya gak bisa nyium bau. Kamu masih bau busuk. Keluar dari kamar saya!" Dika menarik kasar tangan istrinya untuk segera turun. "Mas, pelan-pelan!" Tika berusaha menahan tubuhnya, tetapi tenaga suaminya terlalu kuat, sehingga ia terpaksa pasrah saat ditarik masuk ke kamar pembantu yang dulunya ia tempati. "Mas, kamu gila! Masa istri kamu ditaruh di kamar pembantu! Yang benar saja!" Tika berteriak tidak terima dengan perlakuan suaminya, tetapi Dika masa bodoh. Selagi bau busuk dari tubuh istrinya belum hilang, maka ia tidak mau berdekatan dengan wanita itu. "Biasanya juga kamu di kamar ini. Aku bilang, obati bau badan kamu, Tika! Kenapa malah kamu pergi ke rumahku. Masuk tanpa ijin. Sama aja kamu itu maling! Ngerti gak?!" Blam! Cklek"Mas, buka! Saya jangan dikunciin!" Teriak Tika panik karena Dika menguncinya dari luar. Wanita itu terus menggedor pintu dengan kuat,
Raungan Tika, diiringi suara dentum jatuhnya benda ke lantai, sama sekali tidak ia pedulikan. Pria itu memilih sarapan di kamar, agar suara Tika hanya terdengar samar saja sampai ke atas. Ditambah lagi, ia menyetel TV dengan kuat agar suara mengamuknya Tika tidak terdengar. Dika menikmati sarapan seadanya karena memang stok bahan makanan di rumahnya tersisa nuget saja. Untunglah beras dan bumbu dapur lainnya masih ada, sehingga ia bisa memasak alakadarnya untuk mengisi perut yang lapar. Kring! Kring! Dika meraih ponsel yang ada di atas ranjang. Nama Budi tertera di layar ponsel. "Halo, assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam, maaf Pak Dika, semalam saya sudah tidur. Ada apa ya, Pak?"Budi belum bisa memanggil Dika dengan sebutan 'Pak' karena memang awalnya sudah dengan sebutan itu. Jika memanggil namanya saja, dirasa tidak sopan. "Oh, iya Mas Budi, begini, saya mau cerita sedikit. Setelah saya menikah dengan Tika, saya tidak tahu apa yang terjadi dengan istri saya itu. Badannya bau
"Ibu gak perlu ikut campur urusan rumah tangga saya!" Daniel menatap Bu Widya dengan marah. Suaranya menggelegar membuat Bu Widya sempat ciut, tetapi ia mencoba berani menantang tatapan Daniel yang seperti ingin menerkam mangsa. "Saya pengganti ibu Nuri selama Bu Fatma tidak di Jakarta. Tentu saja ini menjadi urusan saya. Pasti Bu Fatma setuju anaknya minta cerai, jika modelam suaminya seperti kamu!" Balas Bu Widya tidak mau kalah. Daniel tertawa remeh. "Ibu gak berkaca bagaimana anak lelaki Ibu yang menyia-nyiakan Nuri? Kenapa bru berisik sekarang?" "Karena kemarin itu anak saya ketempongan jin. Jadinya nakal. Sekarang jin-nya udah pergi. Udah sana, perempuan kalau udah gak mau jangan dipaksa!" Bu Widya mengusir Daniel. Pria itu tidak punya pilihan, selain pergi dari rumah Nuri. Percuma juga berdebat dengan ibu-ibu tua, ia pasti kalah. Ditambah lagi, Nuri sama sekali tidak keluar saat ia berdebat dengan orang tuanya Dika. "Nunggu apa lagi? Cepat sana pergi!" Bu Widya mendelik pad
"Astaghfirullah, bau apa ini?" pria bernama Budi langsung menekan hidungnya sesaat baru turun dari mobil ambulan. "Bau Tika, Mas Budi. Ayo, mari masuk!" Dika menjabat tangan pria yang sudah tidak menjadi iparnya lagi. "Minum dulu, Mas, mau teh atau kopi?" tanya Dika ramah. Meskipun ia telah menceraikan Tika, tetapi ia tetap baik pada Budi karena memang masalahnya hanya pada Tika saja. "Saya gak sanggup baunya, Pak Dika. Saya langsung bawa Tika pergi aja deh, tapi bau begini, baiknya dibungkus apa ya?" Budi menggaruk kepalanya. "Mungkin pakai mukena." Dika mengusulkan. "Wah, kayaknya adik saya gak punya mukena, Pak.""Kenapa?" Dika mengerutkan kening terheran. "Adik saya mana mau solat, Pak. Udah dari kecil. Lebaran aja gak solat, apalagi solat lima waktu." Dika manggut-manggut paham, sedangkan Bu Widya sudah bergidik ngeri. Punya menantu yang tidak solat, mau apa jadinya rumah tangga anaknya nanti. Untunglah tiba-tiba wanita itu bau, jika tidak, maka selamanya bisa dipastikan i
Dua hari sejak Tika dibawa pulang ke kampungnya dan dua hari juga Dika belum menghubungi atau berkunjung ke warung baso Nuri. Ia sedang ada tugas seminar di Bandung, sehingga masih fokus pada pekerjaannya. Hari ini ia sudah kembali ke Jakarta dan tempat yang langsung dituju adalah warung baso Nuri. Mobil yang ia kemudikan melaju pelan sampai mendekati warung. Matanya memicing untuk memastikan keberadaan Nuri, tetapi ia tidak melihat Nuri sedang sibuk di depan gerobak baso. "Nurinya mana, Mbak?" tanya Dika pada karyawan yang sedang menuangkan kuah ke dalam mangkuk. "Bu Nuri udah pulang ke rumah suaminya. Tadi di sini dari pagi sampai jam dua siang." Bahu pria itu melemah. Berarti ucapan mamanya waktu itu benar. Nuri benar rujuk dengan Dika. "Sejak kapan?" tanyanya lagi. "Sejak hari ini, Pak. Jadi mulai hari ini sampai seterusnya, Bu Nuri di warung baso hanya dari pagi sampai jam dua siang. Sebentar, saya tinggal antar pesanan ini." Karyawan Nuri yang bernama Winda itu meninggalkan
Nuri masih sesegukan menangis di kamar mandi. Ia terus saja menggosok kuat bibirnya agar bekas cairan milik suaminya yang ia terpaksa telan,bisa hilang tak berbekas. Nuri bahkan mencolok mulutnya, agar apa yang sudah ia telan, bisa kembali ia muntahkan, tetapi percuma. Hingga rasa perih menyerang perutnya, wanita itu tidak mengeluarkan apa-apa. "Nuri, kamu kenapa?" tanya Daniel dari luar. Nuri tidak menyahut. Air pancuran hangat yang membasahi tubuhnya sengaja ia besarkan. Agar suara suaminya tidak terdengar. Apakah memang seperti ini menikah, lalu berhubungan suami istri? Kenapa rasanya jijik sekali. Batin Nuri. Uek! Uek! "Nuri, buka!" "Saya gak papa, masuk angin saja." Nuri menyahut dengan suara bergetar. "Ya sudah kalau gitu, cepat mandinya, saya juga mau mandi. Ini sudah mau magrib." Nuri lekas menyikat gigi sampai ke langit-langit mulut. Meskipun sudah bersih, tetapi ia masih merasa sangat lengket. "Nuri, cepat, Sayang!" Nuri buru-buru memakai handuknya. Wanita itu membuk
"Mbak, tebak tadi saya ketemu siapa di rumah sakit?" tanya Bu Mila yang baru saja turun dari taksi online. Bu Cici yang tengah memeriksa tanamannya langsung menoleh pada adiknya itu. "Siapa? Artis?" tanya Bu Cici tak begitu penasaran. Ia malah kembali fokus pada tanamannya. "Bukan, Mbak, tapi Nuri." Kegiatan menggunting tanaman itu pun ia hentikan. "Nuri, sakit apa?" tanya Bu Cici kali ini dengan menunjukkan raut penasaran. "Gak tahu, tapi berobatnya ke spesialis alat kelamin." Kening Bu Cici semakin berkerut dalam. "Ya ampun, sakit apa? Kelamin? HIV? Kamu yakin gak salah lihat?""Ya gak tahu sakitnya apa, Mbak, tapi yang jelas Nuri masuk ke ruangan itu. Coba Mbak tanyakan saja ke Daniel. Bukannya mereka udah rujuk. Anunya bau kali, Mbak atau bisa juga dingin hi hi hi.... ""Ya ampun, kasihan sekali putraku. Ya sudah, saya telepon Daniel dulu deh." Bu Cici bergegas masuk ke dalam rumah. Ia mengangkat gagang telepon rumah, lalu menekan nomor kantor anaknya. Panggilannya tidak kun