Dua hari sejak Tika dibawa pulang ke kampungnya dan dua hari juga Dika belum menghubungi atau berkunjung ke warung baso Nuri. Ia sedang ada tugas seminar di Bandung, sehingga masih fokus pada pekerjaannya. Hari ini ia sudah kembali ke Jakarta dan tempat yang langsung dituju adalah warung baso Nuri. Mobil yang ia kemudikan melaju pelan sampai mendekati warung. Matanya memicing untuk memastikan keberadaan Nuri, tetapi ia tidak melihat Nuri sedang sibuk di depan gerobak baso. "Nurinya mana, Mbak?" tanya Dika pada karyawan yang sedang menuangkan kuah ke dalam mangkuk. "Bu Nuri udah pulang ke rumah suaminya. Tadi di sini dari pagi sampai jam dua siang." Bahu pria itu melemah. Berarti ucapan mamanya waktu itu benar. Nuri benar rujuk dengan Dika. "Sejak kapan?" tanyanya lagi. "Sejak hari ini, Pak. Jadi mulai hari ini sampai seterusnya, Bu Nuri di warung baso hanya dari pagi sampai jam dua siang. Sebentar, saya tinggal antar pesanan ini." Karyawan Nuri yang bernama Winda itu meninggalkan
Nuri masih sesegukan menangis di kamar mandi. Ia terus saja menggosok kuat bibirnya agar bekas cairan milik suaminya yang ia terpaksa telan,bisa hilang tak berbekas. Nuri bahkan mencolok mulutnya, agar apa yang sudah ia telan, bisa kembali ia muntahkan, tetapi percuma. Hingga rasa perih menyerang perutnya, wanita itu tidak mengeluarkan apa-apa. "Nuri, kamu kenapa?" tanya Daniel dari luar. Nuri tidak menyahut. Air pancuran hangat yang membasahi tubuhnya sengaja ia besarkan. Agar suara suaminya tidak terdengar. Apakah memang seperti ini menikah, lalu berhubungan suami istri? Kenapa rasanya jijik sekali. Batin Nuri. Uek! Uek! "Nuri, buka!" "Saya gak papa, masuk angin saja." Nuri menyahut dengan suara bergetar. "Ya sudah kalau gitu, cepat mandinya, saya juga mau mandi. Ini sudah mau magrib." Nuri lekas menyikat gigi sampai ke langit-langit mulut. Meskipun sudah bersih, tetapi ia masih merasa sangat lengket. "Nuri, cepat, Sayang!" Nuri buru-buru memakai handuknya. Wanita itu membuk
"Mbak, tebak tadi saya ketemu siapa di rumah sakit?" tanya Bu Mila yang baru saja turun dari taksi online. Bu Cici yang tengah memeriksa tanamannya langsung menoleh pada adiknya itu. "Siapa? Artis?" tanya Bu Cici tak begitu penasaran. Ia malah kembali fokus pada tanamannya. "Bukan, Mbak, tapi Nuri." Kegiatan menggunting tanaman itu pun ia hentikan. "Nuri, sakit apa?" tanya Bu Cici kali ini dengan menunjukkan raut penasaran. "Gak tahu, tapi berobatnya ke spesialis alat kelamin." Kening Bu Cici semakin berkerut dalam. "Ya ampun, sakit apa? Kelamin? HIV? Kamu yakin gak salah lihat?""Ya gak tahu sakitnya apa, Mbak, tapi yang jelas Nuri masuk ke ruangan itu. Coba Mbak tanyakan saja ke Daniel. Bukannya mereka udah rujuk. Anunya bau kali, Mbak atau bisa juga dingin hi hi hi.... ""Ya ampun, kasihan sekali putraku. Ya sudah, saya telepon Daniel dulu deh." Bu Cici bergegas masuk ke dalam rumah. Ia mengangkat gagang telepon rumah, lalu menekan nomor kantor anaknya. Panggilannya tidak kun
"Kamu jadi ke dokter tadi, Sayang?" tanya Daniel saat mereka sudah duduk di ranjang dan bersiap-siap tidur. "Sudah, Mas. Mata dokter mau cek bagian dalam dan jika memang nanti perlu dibedah kecil, maka akan dibedah.""Alhamdulillah, bagus kalau begitu, Nuri. Akhirnya penderitaan suami kamu ini akan sirna. Terus, katanya kapan bisa dibedah?" Daniel begitu penasaran. Senyumnya terus terbit saat mendengar bahwa ada solusi untuk masalah kewanitaan istrinya. "Dokter minta kota berdua datang ke rumah sakit, lalu tanda tangan. Persetujuan Mas dibutuhkan untuk itu." Daniel mengangguk paham. "Besok saja, biar saya ijin. Kalau bisa, besok kaku langsung operasi kecil gak papa. Semakin cepat semakin baik. Terima kasih Nuri, kamu sudah melakukan yang terbaik untuk suami kamu ini." Daniel mendaratkan ciuman di bibir Nuri dengan lembut. "Ya sudah, kita tidur yuk!" Daniel sudah berbaring sambil menarik pelan tubuh sang Istri untuk masuk ke dalam dekapannya. Satu menit baru berlalu dan dengkuran s
"Maaf, Pak, tekanan darah istri Bapak harus normal, baru bisa dilakukan tindakan operasi. Apalagi membutuhkan bius. Masih sayang istri'kan?" dokter lain yang dikunjungi Daniel dan Nuri pun mengatakan hal yang serupa. Daniel menghela napas berat . Jelas sekali pria itu kecewa. "Jangan ajari saya tentang sayang istri atau tidak, karena saya yang paling tahu. Justru karena saya sayang istri saya, makanya saya mau dia sehat.""Tapi tidak dengan memaksakan melakukan operasi di saat tekanan darah tinggi. Bapak bisa menjadi duda, istri Bapak bisa ada di dalam tanah. Jadi, tolong pikirkan. Bapak bisa membaca artikel kesehatan yang menerangkan tentang ini.""Baik, Dok, terima kasih atas penjelasannya. Kalau begitu kami permisi!" Nuri menyela pembicaraan antara suaminya dan dokter pria itu. Nuri bangun lebih dahulu, lalu bergegas keluar ruangan tanpa menoleh pada Daniel. Wanita itu berjalan cepat menuju lobi. Ia memutuskan untuk naik taksi saja yang kebetulan baru saja menurunkan penumpang di
"Permisi, kamar saya ada di mana ya?" wanita bernama Angel itu, masuk ke dalam rumah tanpa basa-basi, sambil menarik kopernya. Tubuh Nuri sedikit tersentak karena pundaknya disenggol Angel. "Tunggu! Kamu gak bisa masuk seenaknya ke rumah saya?" Nuri berhasil menahan tangan Angel. Wanita muda berusia dua puluh empat tahun itu menepis tangan Nuri dengan sedikit memaksa, karena Nuri mencengkram dengan kuat. "Ini juga rumah saya, Mbak Nuri. Posisi kita satu sama bukan? Mbak Nuri dinikahi siri, saya pun sama. Kita berdua punya hak yang sama di rumah ini. Kenapa? Keberatan? Silakan telepon suami kita." Dengan gaya angkuhnya, Angel memberikan ponsel miliknya pada Nuri. Nuri terdiam, ia tahu, tidak ada wanita senekat Angel, jika ini adalah sebuah kebohongan. Angel pasti benar, bahwa suaminya sudah menikahi gadis di depannya ini. "Mbak, bisa jawab pertanyaan saya tadi? Kamar saya di mana?" tanya Angel. "Mana saya tahu! Di sini hanya ada kamar saya dan Daniel. Kamar Luna, dan kamar produksi
"Halo, assalamualaykum, Bu. Ini Winda, besok jualan gak, Bu?""Oh, iya, Win. Besok jualan ya. Kamu siap-siapin aja warung. Minta Eko ke rumah saya untuk bawa amunisi jualan. Kita buka jam sebelas aja ya.""Baik, Bu, segera saya kabarin Eko. Oh, iya, tadi Pak Dika juga ke warung Bu. Saya diberitahu Mang Ujo tukang parkir.""Oh, iya, makasih infonya, Win." Nuri menutup panggilan dari Winda. Mendengar nama Dika, ia kembali teringat akan masa lalunya bersama pria itu. Jika sudah tiada, baru terasa. Sekarang diuber kayak orang dimabuk cinta. Batin Nuri sambil tersenyum tipis. Suara mobil dan juga pagar yang dibuka, membuat Nuri bergegas menuju jendela. Bukan Daniel yang tiba, melainkan Bu Cici; mertuanya. Pasti Angel yang memangil mertuanya ke sini. Batin Nuri lagi.Wanita itu memasang head set, sambil menyetel lagu remix. Ia sengaja melakukan itu agar tidak perlu mendengar suara ketus mertuanya.KringDaniel meneleponnya, sehingga musik remix itu berhenti sejenak."Halo.""Halo, Nuri, ka
"Sayang, udah pulang?" Angel langsung menghampiri Daniel dengan suara mendayu, lemah, lembut yang seperti dibuat-buat. Daniel hanya menoleh sekilas, sambil menghela napas. "Kita perlu bicara, Mas!" Nuri menarik tangan Daniel menuju kamar mereka. "Ada apa? Aku capek, jangan ajak berdebat!" Daniel melepas cengkeraman tangan Nuri sesecara hati-hati, karena ia tidak mau menyakiti istrinya itu. "Harusnya aku yang capek. Aku harusnya yang menghancurkan isi rumah ini saat ada istri muda suaminya dengan berani dan tidak tahu malu, datang ke sini!" Nuri menatap Angel dengan sengit. "Ini rumahku, Nuri. Siapapun boleh tinggal di sini!" Ujar Daniel tegas. "Kalau begitu, aku yang pergi, Mas. Talak saja aku. Aku gak akan mati patah hati kalau kamu cerai!" Suara Nuri mulai bergetar. Ia tahu saat ini menjadi tontonan oleh mertua dan juga wanita yang berhasil masuk ke rumah tangganya. Ekor matanya dapat menangkap kedua orang itu sedang tersenyum penuh kemenangan. Mungkinkah ia salah strategi? "G