Dika yang tengah menonton televisi di kamarnya, menoleh ke kiri saat ponselnya bergetar. Ia enggan meraih benda pipih itu karena khawatir Tika yang mengirimkan pesan padanya. Sejak Tika ia pulangkan, ada banyak nomor tidak dikenal yang mengirimkan pesan WA ataupun miscall tidak jelas. Bu Widya keluar dari kamar dan melihat putranya sedang termenung di depan TV yang menyala. Ia berjalan mendekati Dika, lalu duduk di sampingnya. "Eh, Mama, kaget saya!" Dika mengusap dadanya. "Kamu kenapa belum tidur? Biasanya jam delapan udah merem," tanya Bu Widya. "Kangen Nuri, Ma. Warungnya belum buka juga. Padahal saya pengen ketemu. Sayang sekali kesempatan saya bisa balikan dengan Nuri semakin tipis," jawab Dika tanpa semangat. Bu Widya tersenyum mafhum. "Kenapa tidak cari yang lain?" tanya Bu Widya. "Nggak ah, kalau yang lain mah, takut kayak Tika. Saya udah kapok salah pilih." "Kalau begitu, jangan bengong terus. Kucing tetangga sebelah, kebanyakan bengong, besokannya hamil." Dika tertawa
Nuri benar-benar tidak membiarkan suaminya masuk ke dalam kamar. Pintu kamar tidak pernah ia buka, bahkan hingga pagi harinya. Nuri melakukan boikot pada Daniel, agar suaminya itu menyadari kesalahannya. Namun, orang seperti suaminya bukan tipe mau teris membujuk.. Daniel tipe lelaki yang membiarkan semuanya berlalu, sehingga semua masalah, dapat selesai dengan sendirinya.Daniel berteriak minta dibukakan pintu, tetapi Nuri bergeming. Baginya, ini adalah salah satu hukuman untuk suaminya karena telah sangat keterlaluan membiarkan Angel ikut tinggal satu rumah dengannya."Nuri, buka Sayang, aku mau ambil baju untuk kerja!" Seru Daniel. "Buka atau aku dobrak!" Nuri mengabaikan suaminya. Jika memang harus didobrak, maka suaminya sendiri yang akan repot memperbaikinya."Nuri, aku serius!""Aku gak mau buka pintu kalau demit bernama Angel masih di rumah ini. Kamu udah tahu obatnya biar aku buka pintu!" Balas Nuri tidak kalah tegasnya.Brak!Brak!Daniel membuktikan ucapannya. Pria itu ber
"Halo, assalamualaikum, Nuri.""Halo, wa'alaykumussalam, Mas.""MasyaAllah, belum juga selingkuh, saya udah dipanggil, Mas. Jadi makin semangat ini. Jadi, kapan kita check in?""Ha ha ha ... ngaco! Selingkuh yang saya maksud, selingkuh bohongan.""Loh, selingkuh bohongan itu gimana maksudnya, Nuri? Gini deh, apa kita bisa bicara? Kapan kamu ada waktu? Kita ketemu di rumah mama aja untuk membicarakan teknis perselingkuhan kita, setelah itu, baru kita ketemuannya di hotel atau villa, gimana?""Mas, kita bukan mau bikin acara seminar, jadi gak perlu pake teknis."Kali ini, Dika yang tertawa."Oke, kapan jadinya kita mau bertemu? Apa saya ke warung baso kamu lagi?""Gak bisa, Mas, saya gak jualan. Nanti saya alasan deh, kita ketemu di rumah mama aja, sore jam empat. Gimana?""Ya udah, oke."Dika melompat kegirangan setelah menutup panggilannya dengan Nuri. Hati mana yang tidak bahagia dan gegap gembira, karena Nuri sebentar lagi, akan dekat dengannya. Dia sendiri juga tidak mengerti kenap
"Nuri, kamu jangan kurang ajar! Itu mertua kamu, Nuri! Ada apa sih dengan kamu ini? Gak bisa, masuk! Masuk dan jangan pernah keluar!" "Mas, sakit!" Nuri terseret-seret mengikuti langkah lebar milik suaminya. Tangannya dicengkeram kuat, sehingga rasa sakit dan pedih begitu terasa. Belum lagi pipi yang masih terasa pedas. Air mata pun kini turun membasahi pipinya. Nuri tidak percaya suaminya melakukan ini padanya. Daniel yang ia kenal dulu, bukanlah Daniel yang kini menjadi suaminya."Mas, sakit! Aduh," rengek Nuri saat kakinya tersandung karpet menuju dapur. "Mau apa membawa saya ke sini, saya mau keluar, saya mau belanja bahan baso. Mas, hentikan!" Daniel tidak peduli, memaksa Nuri masuk ke kamar produksi baso milik wanita itu. "Mas, tas saya!"Blam!Terlambat. Nuri sudah dikurung dalam kamar produksi baso oleh Daniel, tanpa peduli dengan permohonan wanita itu. Nisa yang sedang sibuk di dapur, tentu saja begitu terperanjat melihat majikan lelakinya begitu tega dengan istrinya. Maji
"Luna, Papa bilang tolong sopan!" Daniel meninggikan suaranya. "Wanita ini juga tidak sopan karena merebut suami orang!" Luna berlari masuk ke kamarnya. Namun, tiba-tiba langkahnya berhenti. Kamar produksi Nuri ia pandangi lama. Jika bundanya di dalam sana, pastilah wanita itu berteriak minta tolong. Lalu ke mana Nuri?Luna bergegas masuk ke kamar. Ia mengambil ponsel untuk menelepon Nia."Halo, Mbak Nia, apa Mbak Nia tahu, bunda saya di mana?" "Eh, itu ... Non, ini ...""Mbak, bilang di mana bunda saya!" "Mm... dimasukkan ke kamar produksi oleh Pak Daniel. Memangnya belum keluar, Non?""Astaghfirullah, papa benar-benar keterlaluan! tapi di kamar produksi baso gak ada suara Mbak. Harusnya bunda berteriak minta tolong.""Ya Allah, barangkali pingsan, Non. Dari pagi belum makan. Pagi awal dimasukin sempat teriak, tapi sejam kemudian berhenti. Cepat lihat, Non! Khawatir Bu Nuri kenapa-napa. Pasti ada di CCTV, Non. Non harus percaya kalau saya gak bohong.""Oke, makasih Nia." Luna pun
Mendidih hati dan kepalanya begitu mengetahui bahwa Daniel sudah menikah dengan Angel. Dari mana ia tahu tentang Angel, padahal Nuri tidak pernah bercerita atau mengeluh apapun tentang rumah tangganya? Tentu saja dari mamanya. Bu Widya banyak mengetahui masalah yang sedang dihadapi Nuri, termasuk saat suaminya Nuri tanpa sengaja tidur dengan wanita bernama Angel.Dika tidak bisa tidur semalaman, karena ingin segera mengunjungi Nuri. Ia benar-benar khawatir pada mantannya itu. Sebuah penyesalan merasuk di hatinya, kenapa baru sekarang ia mati-matian mengkhawatirkan Nuri? Ke mana saja ia dulu? Harusnya Nuri bisa ia pertahankan sambil terus belajar mencintai wanita itu. ***"Dika, kamu lihat HP Mama gak?" tanyq Bu Widya sambil sedikit berjongkok; mencari ponsel di kolong kursi."Ada sama Dika, Ma. Sebentar, Dika ambilkan!" Pria itu kembali masuk ke kamar untuk mengambil ponsel mamanya. "Tumben kamu pinjam ponsel Mama? Kamu gak ada pulsa?" tanya Bu Widya heran sembari menerima ponselnya
"Siapa, saya dengar seperti ada tamu di depan?" tanya Daniel pada Nia."Oh, orang nanya alamat Pak Lukman, blok C, Pak." "Oh, kirain siapa? Tadi pagi, Angel berangkat jam berapa?" tanyanya lagi sambil mulai menyendokkan selai di atas roti."Bu Angel berangkat jam enam, Pak, katanya mau keluar kota." Daniel mengangguk. Istri keduanya itu memang kemarin sudah ijin tentang perjalanannya ke Malang untuk urusan kerjaan dan wanita itu pula sempat sungguh-sungguh tidak berangkat bila dirinya sebagai suami tidak mengijinkan."Pak, maaf, saya nanti ijin ke kamar Bapak untuk mengambilkan baju Bu Nuri ya," ucap Nia sembari meletakkan kopi susu di atas meja makan untuk Daniel."Oh, iya, bawakan sedikit saja. Nuri gak lama di rumah sakitnya," jawab Daniel membolehkan. "Baik, Pak, terima kasih." Nia pun kembali melanjutkan kegiatan menjemur pakaiannya di halaman belakang. Sementara itu, Bu Widya dan Dika sudah berada di rumah sakit, tempat Nuri dirawat. Keduanya berada di kamar VIP, menunggu wan
"Halo, halo, putus-putus suaranya, Bu." Fitri langsung menutup panggilan dari Daniel."Siapa,Fit?" tanya Bu Widya."Suaminya Mbak Nuri. Pak Daniel, Bu. Tapi saya bilang suaranya putus-putus." Bu Widya menatap Nuri dengan penuh iba. "Ma, saya bawa ke tempat lain saja bagaimana? Kalau Mas Daniel menemukan saya di sini, saya pasti dipaksa tinggal di rumahnya dan saya pasti dikurung lagi. Saya gak mau, Ma. Mas Dika, tolong saya." Nuri sudah menangis sesegukan dengan tubuh gemetar. Ia takut pada Daniel dan semua orang di rumah itu. Hanya Luna saja yang membelanya, tetapi Luna hanyalah remaja yang tidak mungkin ia libatkan dalam masalahnya."Ma, gimana kalau?" belum lagi Dika meneruskan ucapannya, Bu Widya sudah masuk ke dalam kamar, lalu keluar lagi sambil memberikan kunci rumah."Bawa Nuri ke villa kita yang di Bogor." Bu Widya juga membawakan totte bag untuk Dika."Ini pakaian ganti, daster Mama. Barangkali bisa kamu pakai sebelum kamu membeli pakaian." "Ma, terima kasih." Nuri berdiri