"Halo, halo, putus-putus suaranya, Bu." Fitri langsung menutup panggilan dari Daniel."Siapa,Fit?" tanya Bu Widya."Suaminya Mbak Nuri. Pak Daniel, Bu. Tapi saya bilang suaranya putus-putus." Bu Widya menatap Nuri dengan penuh iba. "Ma, saya bawa ke tempat lain saja bagaimana? Kalau Mas Daniel menemukan saya di sini, saya pasti dipaksa tinggal di rumahnya dan saya pasti dikurung lagi. Saya gak mau, Ma. Mas Dika, tolong saya." Nuri sudah menangis sesegukan dengan tubuh gemetar. Ia takut pada Daniel dan semua orang di rumah itu. Hanya Luna saja yang membelanya, tetapi Luna hanyalah remaja yang tidak mungkin ia libatkan dalam masalahnya."Ma, gimana kalau?" belum lagi Dika meneruskan ucapannya, Bu Widya sudah masuk ke dalam kamar, lalu keluar lagi sambil memberikan kunci rumah."Bawa Nuri ke villa kita yang di Bogor." Bu Widya juga membawakan totte bag untuk Dika."Ini pakaian ganti, daster Mama. Barangkali bisa kamu pakai sebelum kamu membeli pakaian." "Ma, terima kasih." Nuri berdiri
Dika memandangi wajah Nuri yang tidur dengan begitu lelap. Garis hitam di bawah mata dapat ia lihat dengan jelas karena mereka duduk berdekatan. Dika menyalakan lampu dalam mobil untuk memastikan penglihatannya. Garis hitam itu nampak pekat, seperti orang yang banyak pikiran dan masalah.Pria itu memadamkan kembali lampu dalam mobil. Ia meneruskan perjalanan. Dika merasa perutnya lapar, sehingga memutuskan untuk berhenti di restoran cepat saji untuk membeli ayam."Mas, mau ke mana?" tanya Nuri yang tiba-tiba saja terbangun karena mendengar suara buka pintu."Alhamdulillah, yuk, makan dulu!" Dika berbalik, lalu membukakan pintu untuk Nuri. Wanita itu masih menggeliat. Meluruskan otot kaki dan tangannya yang kamu karena lama tidur di mobil. "Tapi saya gak lapar, Mas aja yang makan." Nuri menggeleng tanpa semangat. "Kalau gak mau makan, saya antar ke rumah Daniel!" Ancaman Dika ternyata berefek pada Nuri. Wanita itu melompat keluar dari mobil karena merasa trauma dengan nama Daniel. "
"Siapa bilang mau tidur satu ranjang. Di sebelah sana ada sofa. Mas Dika tidurnya di sana saja!" Nuri menunjuk sofa panjang yang nampak sudah lama, tetapi sepertinya masih empuk. Pria itu menyeringai, lalu kemudian ia mengangguk. Mana bisa juga ia sembarangan pada Nuri, mereka harus menikah lagi agar ia bisa menyentuh mantan istrinya itu."Ya sudah, kamu istirahat duluan. Saya mau ngecek ruangan yang lain," kata Dika hendak berbalik meninggalkan Nuri."Mas di sini saja dulu, saya gak mau sendirian." Nuri melirik ke kanan dan ke kiri dengan takut. "Ya sudah kalau begitu, saya rebahan di sofa aja deh." Dika mengalah. Ia berjalan ke arah sofa dan langsung menghempaskan tubuhnya di tempat empuk itu. Nuri pun berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar. Aroma pekat bangkai tikus menyeruak saat pintu kamar mandi itu ia buka lebar "Mas, ada bangkai tikus!" Teriak Nuri sambil berlari menghampiri sofa. Dika bangun untuk melihat apa yang dikatakan oleh Nuri. Benar saja, ada bangkai ti
Suara azan subuh berkumandang, Dika terbangun dan mendapati Nuri masih terlelap di sampingnya sambil memakai selimut. Untuk sesaat, pria itu takjub dengan wajah polos Nuri yang amat sedehana, tetapi tetap manis. Ada banyak ujian hidunya, termasuk saat menikah dengan pria bernama Dika. Sekarang, ia mendapatkan ujian saat menikah dengan Daniel. Dika meraba ponsel yang ia letakkan di bawah, lalu ia ambil potret Nuri beberapa kali. Setelah itu, barulah ia mandi sekalian berwudhu.Tidak dipungkiri, cuaca di Puncak memang sudah tidak sedingin dulu, tetapi bagi kita yang biasa dengan udara Jakarta, tetap saja merasa kedinginan saat subuh seperti ini."Nuri, bangun! Sudah subuh," ujar Dika berbisik di telinga Nuri. "Sebentar lagi, Mas," jawab Nuri serak masih dengan mata terpejam. Dika pun maklum, mungkin saja Nuri semalam tidak hisa cepat tidur karena takut dengan suasana rumah. Pria itu memutuskan solat subuh duluan, barulah ia membuat sarapan. Sarapan kali ini, Dika memasak nasi. Ada min
"Halo, Angel, ada apa, Nak?" "Mama lagi di mana?" "Mama lagi di rumah. Biasa, baru selesai beresin tanaman. Ada apa?""Angel mau belikan Mama cincin, tapi Angel gak tahu ukuran jari Mama. Sore ini Angel jemput ya. Kita ke toko emas yang di mal, terus makan-makan deh.""Ya, ampun menantu Mama baik sekali. Oke, Ma tunggu ya."Angel meletakkan ponselnya di atas ranjang. Ia hari ini sengaja ijin kantor karena ada hal yang mau ia bereskan. Salah satunya adalah memastikan Nuri untuk tidak mau lagi kembali ke rumah suaminya. Angel keluar dari kamar, lalu menuju dapur. Ruangan bersih itu tidak ada orang. Nia; ART suaminya mungkin sedang keluar karena ruang setrika pun kosong. Angel tersenyum licik. Dengan gerakan amat cepat, ia masuk ke halaman belakang untuk mencari kecoa. Jika kebanyakan wanita itu takut kecoa atau lebih tepatnya jijik dan juga geli, maka ia tidak. Ada empat kecoa di yang berhasil ia dapat dan masukkan binatang itu ke dalam plastik bening. Lalu tidak lupa karbol pun ia
"Bu, permisi saya numpang tanya, rumahnya Bu Widya yang mana ya?" tanya Daniel pada salah seorang ibu muda yang tengah menggendong putri kecilnya. Ibu muda itu mengerutkan kening sambil menggelengkan kepala."Oh, baiklah, makasih." Daniel kembali berjalan mencari rumah besar dengan pagar hitam, sesuai keterangan tukang tadi, tetapi ia tidak menemukan rumah besar dengan pagar hitam di daerah tempat tinggal Nuri. Hanya ada rumah tipe sederhana layaknya model rumah perumnas. Daniel tidak mau menyerah, ia kembali bertanya pada pemilik warung yang tengah menatap toples dagangannya."Permisi, Bu, saya numpang tanya, di mana rumah Bu Widya ya?" tanya Daniel ramah. Ia sangat berharap mendapatkan jawaban karena ia sudah bingung keliling gang dan tidak menemukan rumah Bu Widya."Gak ada yang nama Widya di sini, Mas," jawab ibu pemilik warung santai. Daniel menghela napas berat. "Oh, gak ada ya. Baik, Bu, terima kasih." Daniel kembali ke rumah Nuri, tetapi tidak ada tukang di sana. Pekerjaan di
"Oh, Bu Nuri gak ada kemari, Mbak," jawab Fitri cepat. Ia ingat akan pesan majikannya bahwa tidak boleh ada yang tahu di mana Nuri bersembunyi saat ini."Mbak gak bohong'kan? Soalnya perawat rumah sakit bilang, bunda saya keluar bersama dengan Oma Widya dan Om Dika. Oleh karena itu saya kemari. Apa benar bunda saya gak kemari? Saya hanya ingin tahu kabarnya?" wajah Luna nampak kecewa. Remaja itu jelas mengkhawatirkan ibu sambungnya.Fitri pun sebenarnya tidak tega. Apalagi ekspresi Luna jelas sekali sedih dan juga kecewa, tetapi demi kebaikan bersama, terutama Bu Nuri. Maka ia harus menurut perintah majikannya."Saya gak tahu soal itu, Mbak. Bu Widya dan Pak Dika pulang ke sini gak bawa siapa-siapa. Coba aja Mbak masuk kalau gak percaya. Mari, silakan!" Fitri mempersilakan tamunya masuk. Siang ini, Bu Widya tidak ada di rumah karena sedang berputar mengecek laundry miliknya, sedangkan Pak Dika masih berada bersama Bu Nuri yang alamat lengkapnya juga ia tidak tahu. Luna masuk setelah
"Kebakaran gimana, Win? Kamu jangan bercanda!""Mana berani saya bercanda, Bu. Kebakaran yang pakai api itu, Bu. Kebakaran kan namanya? Aduh, kenapa say jadi bingung ini? Pokoknya warung kebakaran karena toko ikan di sebelah sedang kosleting listrik, Bu. Jadi kesamber warung Ibu. Ini saya lagi di lokasi, tapi saya gak bisa video call karena kemera depan saya rusak. Ibu bisa ke sini? Barang Ibu habis semua.""Ada korban jiwa gak?""Gak ada, Bu, adanya korban kerjaan saya, Bu. Mana mau puasa, mau lebaran, kalau gak kerja, gimana saya bisa tenang puasa.""Alhamdulillah kalau gak ada korban jiwa. Maafin saya ya, Winda. Saya lagi ada masalah sehingga belum bisa buka warung, tapi nanti sodara saya mungkin akan bantu saya ke sana.""Baik, Bu, itu saja ya Bu. Semoga masalah Ibu lekas selesai. Terus, saya gimana, Bu?""Ya udah, gaji kamu dan Eko nanti saya bayar ya, tapi gak full.""Alhamdulillah, makasih Bu."Sambungan itu pun terputus. Nuri terdiam dengan kedua kaki yang tiba-tiba merasa tid