Di bandara.
"Shela, terima kasih telah membantuku," ucap Isabella dengan lembut. "Bella, jangan sungkan. Aku senang bisa membantu," jawab Shela sambil tersenyum. "Aku akan merindukanmu," kata Isabella lirih, menggenggam tangan Shela erat. Shela tersenyum, meski matanya sedikit berkaca-kaca. "Aku juga, Bella. Tapi ini adalah langkah terbaik untukmu. Kejar impianmu, dan jangan pernah ragu untuk kembali jika kau butuh tempat bernaung." Isabella mengangguk. Suara pengumuman keberangkatan menggema di seluruh bandara. Ia menarik napas dalam, lalu memeluk Shela erat sebelum melangkah menuju gerbang keberangkatan. Namun, langkahnya terhenti saat matanya menangkap sesuatu. Puluhan pria berbaju hitam tersebar di sekitar bandara, tampak seperti sedang mencari seseorang. Detik berikutnya, darah Isabella mendidih. Rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal kuat. "Brengsek..." gumamnya dengan geram. Shela ikut memperhatikan dan menyadari situasinya. "Mereka... orang-orang pamanku," Isabella berbisik dengan penuh kemarahan. Shela menoleh cepat. "Apa?! Kau yakin?" Isabella mengangguk, tatapannya penuh kebencian. "Aku sangat yakin. Dia benar-benar tidak bisa membiarkanku pergi begitu saja." Shela menarik napas cepat, otaknya berpacu mencari solusi. Lalu, sebuah ide terlintas di benaknya. Dengan gerakan cepat, ia membuka jaket Isabella dan mengenakannya. "Bella, percayalah padaku, sepertinya kamu tidak akan bisa pergi hari ini, pergilak keluar dari bandara" bisik Shela, lalu melangkah menuju pintu check-in. Isabella menatap sahabatnya dengan mata melebar. "Shela, tunggu! Kamu mau apa?!" Namun, semuanya sudah terlambat. Tuan Sinclair, yang baru saja tiba, langsung menangkap sosok yang berdiri di pintu check-in. Jaket itu...sosok itu semua tampak seperti Isabella. Mata Tuan Sinclair menyipit, lalu tanpa ragu, ia melangkah mendekat. Namun, saat sosok itu berbalik dan menatapnya, Tuan Sinclair terkejut. "Shela?" panggilnya. Shela juga pura-pura terkejut, tapi detik berikutnya dia tersenyum santai. "Loh. Paman Dion? Apakah paman juga akan pergi ke luar negeri?." "Dimana Isabella?" Tanya Tuan Sinclair dengan tegas. Ditanya seperti itu, Shela menjawab dengan santai "Kami sudah berpisah dari tadi paman" Tuan Sinclair mengerutkan kening, tidak sepenuhnya percaya. Ia menoleh ke anak buahnya. "Cari di seluruh bandara. Periksa dengan teliti" Sementara itu, Isabella bersembunyi di balik salah satu pilar besar dekat pintu keluar. Ia mengamati situasi dengan hati-hati, memastikan bahwa perhatian Dion masih terfokus pada Shela. "Shela… bertahanlah sedikit lagi," gumamnya dalam hati. Masih ada waktu untuk tukar posisi dengan Shela, jika orang-orang Tuan Sinclair pergi dari sana. Tapi masalah lain muncul. Dari arah yang berlawanan, sekelompok pria lain memasuki bandara. Matanya membulat. "Sial, berapa banyak bawahan yang dia punya?". Sekarang Isabella yakin, dia tidak akan bisa pergi hari ini. Jika tetap memaksakan diri, dia hanya akan tertangkap. Maka, tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk meninggalkan bandara secepat mungkin. Yang tidak Isabella sadari adalah bahwa kelompok berbaju hitam yang baru datang itu bukanlah bawahan Dion. Mereka adalah anak buah pria yang ditemuinya kemarin—Regan. Sementara itu, Leo, tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menyipitkan mata ketika ponselnya berdering. Ia langsung mengangkatnya, karena itu adalah panggilan da "Kak Regan, aku rasa ada kesalahan. Gadis yang kita lihat di sana... itu bukan dia." Regan melirik Leo dengan alis terangkat. "Apa maksudmu?" Leo menghela napas. "Orang kita salah lihat. Itu adalah Shela Wijaya." Regan menghembuskan nafasnya dengsn kasar. Leo menatapnya dengan hati-hati "Kak Regan, sebenarnya berapa hutang gadis itu? Kamu cari dia segininya" "Siapa yang bilang aku mencarinya karena utang? Aku mengejarnya untuk berkencan." Ucap Regan Leo menatap kakaknya seperti baru saja melihat alien. "Tunggu... apa? Kak Regan kamu bercanda, ya?" Regan menyeringai tipis. "Apa aku tertawa? sudahlah suruh mereka tetap mencari" *** Di dalam taksi Isabella duduk diam di kursi belakang, memandangi bunga lili putih yang ia genggam. Jari-jarinya sedikit gemetar, bukan karena takut, tetapi karena campuran emosi yang sulit dijelaskan. Dia tahu Tuan Sinclair tidak akan tinggal diam jika mengetahui rencananya untuk kabur. Makanya, dia harus memastikan semuanya berjalan dengan sempurna. Tapi ternyata, semuanya berantakan. Karena itu, dia ke pemakanam, jadi dia bisa menemukan alibi nantinya. Dia menatap ke luar jendela, melihat deretan gedung yang mulai berubah menjadi pemakaman di kejauhan. "Mama... Papa... aku datang," gumamnya pelan. Saat taksi berhenti di depan gerbang pemakaman, Isabella menarik napas dalam. Dia membayar ongkos dengan cepat, lalu turun, berjalan perlahan melewati batu-batu nisan yang berbaris rapi. Langkahnya terhenti di depan dua nisan marmer putih dengan nama yang begitu familiar baginya. Namun, kedua makam orang tuanya terpisah, oleh dua makam lain. "Ma, Pa..." suaranya bergetar. "Aku merindukan kalian." Dia meletakkan bunga di atas nisan, lalu duduk di tanah, membiarkan dirinya tenggelam dalam kenangan. Namun, ketenangannya tak berlangsung lama. Langkah kaki terdengar dari belakang, dan suara seorang pria yang begitu dikenalnya menyusul.Sebuah tangan mencengkeram keras lengan Isabella, menariknya berdiri dari tempatnya..PLAK!Satu tamparan keras mendarat telak di pipinya. Tubuh Isabella terhuyung, dan rasa panas langsung menyebar di wajahnya. Ia menoleh cepat.“Theodore?” bisiknya nyaris tak terdengar.Wajah pria itu memerah, bukan karena malu, tapi karena marah yang nyaris tak tertahan. Dadanya naik turun, napasnya berat seperti menahan ledakan dalam dirinya.“Isabella… jadi kamu benar-benar di sini.” Ucap Theodore dengan suara berat, hampir seperti geraman yang ditahan.Isabella justru tersenyum sinis "Kamu kan bodoh, kenapa bisa tau aku ada di sini? Oh, pasti paman ya yang kasih tahu kamu?"Amarah Theodore kian memuncak. Jari telunjuknya teracung, menunjuk wajah Isabella dengan mata yang tajam. “Jangan pernah lagi bilang aku bodoh, Isabella.”Isabella menatapnya dingin, tanpa gentar sedikit pun. “Tapi nyatanya memang begitu, kan?” ucapnya pelan, namun penuh penekanan."Tujuan utama kalian bukan di sini, tapi di b
Theodore mengusap darah di sudut bibirnya. Matanya menatap tajam ke arah Isabella, yang kini berdiri tegak tanpa rasa bersalah sedikit pun. Ia tahu, gadis ini dengan sengaja menmpar pipinya sediri untuk membuatnya dalam masalah."Pa!" bentak Thedore sambil menahan amarah. "Aku bisa jelaskan-"Tuan Sinclair mengangkat tangan, menghentikan ucapan putranya. "Tidak perlu! Sudah cukup jelas apa yang aku lihat""Tapi pa, Isabella-""Diam, Theodore. satu kata lagi aku akan mengambil semua fasilitasmu" bentak Tuan Sinclair. Kemudian matanya menoleh ke arah Isabella lagi, dan berkata "Bella, ikut paman ke ruang kerja". Kemudian melangkahkan kakinya pergi meninggalkan ruang tamu.Di ruang kerja."Bella, sepertinya aku terlalu memberimu kebebasan ya" Ujar Tuan Sinclair sambil tertawa kecil. Isabella berdiri tegak di hadapan pria paruh baya itu, ekspresinya masih tenang sampai Tuan Sinclair melanjutkan kata-katanya."Nenekmu masuk ICU." Ucap Tuan Sinclair. "Apa?" Mata Isabella membesar "Kenapa
"Mamaaaaaa... papaaaaa, jangan tinggalin Isabella!" Suara jeritan gadis kecil menggema di sepanjang jalanan perbatasan kota Tenra dan Kota Lithen. Matanya membelalak, tubuhnya membeku di tempat, dan ice cream ditangannya seketika jatuh ke tanah, mencair perlahan. Jari-jarinya terangkat seolah ingin meraih sesuatu yang tak bisa disentuh. Tubuh Isabella kecil dengan paksa, ditarik ketika dia ingin bergegas mendekat. Tapi mata Isabella, tak bisa berpaling dari pemandangan mengerikan di depannya—mobil yang hancur, dan pecahan kaca mobil dimana-mana. Belum lagi kondisi kedua orang tuanya yang sangat menghawatirkan. Sebuah truk besar telah menghantam mobil sedan mereka yang menepi di pinggir jalan. Hanya beberapa menit lalu, orang tuanya masih tersenyum, menunggu Isabella yang sedang membeli es krim. Namun sekarang, senyuman itu telah sirna selamanya. "Nak, ayo menjauh dari sini!" suara seorang laki-laki dewasa tiba-tiba terdengar, tapi Isabella tetap berjuang untuk mendekati mobil
Setengah jam kemudian acara pernikahan akan berakhir, acara inti sudah dilewati. Saat ini Isabella sudah hampir selesai melukis. "Kesenangan sudah berakhir. Aku akan kembali ke kamar" Ucap Regan dan segera membalikan badan. Seketika langkahnya berhenti ketika melihat seorang gadis melukis dengan duduk tegak di depan kanvasnya, goresan kuasnya begitu tegas dan penuh makna. Cahaya lilin di ruangan itu menciptakan bayangan samar di wajahnya, tetapi ekspresinya tetap terlihat jelas—serius dan penuh konsentrasi. Perlahan, Regan melangkah mendekat. Mata tajamnya menangkap setiap detail dari lukisan yang sedang dikerjakan Isabella. Semakin jelas ia melihat, semakin dalam alisnya berkerut. "Apa yang kamu lukis?" tanyanya dengan suara rendah, nyaris berbisik. Isabella menoleh sekilas, lalu tersenyum tipis. "Sebuah kebenaran." Regan menajamkan pandangan. Lukisan itu sangat bagus, di bagian bawah lukisan ada foto sepasang pengantin, tapi di bagian atas menampilkan sosok seorang pria
Regan bersiap untuk mandi dan membuka pintu kamar mandi. Sementara itu, Isabell pergi diam-diam untuk pulang tanpa memberi tahu siapa pun. 30 menit kemudian, Regan keluar dan berkata "Ayo kita makan malam... mau di resto apa..." belum siap Regan bicara, ia mengernyit saat menyadari ruangan itu kosong. Wanita itu tidak ada di sana. Awalnya, dia berpikir mungkin wanita itu hanya keluar sebentar, tapi firasatnya berkata lain. Regan mendengus, "Setelah pakai, langsung di tinggal? Berani-beraninya" Dengan cepat, ia meraih ponselnya dan menghubungi Leo “Leo, bantu aku mencari seseorang. Ya, seorang wanita”. *** Keesokan harinya, di rumah keluarga Sinclair. Hilda terisak di ruang tamu keluarga Sinclair, wajahnya basah oleh air mata. Hari ini ia pulang ke rumah orang tuanya untuk mengadu. "Ma, sepertinya Marcel sangat marah. Dia memandangku dengan tatapan jijik" Hilda menangis disertai segugukan. "Ma, Marcel sangat marah. Dia melihatku seolah aku menjijikan" tangisnya pecah, bahuny
Detik berikutnya, terdengar ketukan di pintu ruang kerja. "Masuk," ujar Tuan Sinclair tanpa mengalihkan pandangannya dari Isabella. Pintu terbuka, memperlihatkan sosok Theodore yang berdiri dengan ekspresi tenang. "Ada apa?" tanya Tuan Sinclair. "Pa, Shela ada di depan. Dia ingin mengajak Isabella jalan-jalan," jawab Theodore. Mendengar itu, Isabella tersenyum kecil. Ia segera membalikkan tubuhnya menghadap Tuan Sinclair, menatap pria itu dengan ekspresi tenang. "Om Dion, bolehkah aku keluar?" tanyanya dengan lembut. Tuan Sinclair menyipitkan matanya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Keluarga Wijaya termasuk keluarga terpandang di kota Lithen. Sangat bagus jika kita tetap menjaga hubungan baik dengan mereka." Isabella menahan kelegaan yang muncul di hatinya. Dengan senyum manis, ia berkata, "Terima kasih, Om Dion." Namun, sebelum ia bisa berbalik, suara dingin Tuan Sinclair kembali terdengar. "Tapi ingat, hanya dua jam. Jika lewat dari itu, pengawalku akan menjemputm
"Bella, lihat! Mereka sudah dekat." Shela menunjuk ke arah luar sambil membuka kaca mobilnya. Shela telah memerintahkan sopirnya untuk berhenti sejak diipinggir jalan. Khusus untuk melihat konvoi itu. Isabella baru saja ingin menoleh ketika ponselnya tiba-tiba bergetar. Pandangannya langsung tertuju pada layar, dan begitu melihat ID peneleponnya, napasnya tertahan sesaat. Theodore. Baru satu jam pergi, dan pria itu sudah mengganggunya lagi. Dengan kesal, Isabella menonaktifkan ponselnya, melemparkannya ke dalam tas tanpa peduli. "Bella, apa kamu tadi lihat mereka?" Tanya Shela. Bella hanya mengangguk singkat sambil tersenyum. "Shella, ayo kita cepat pergi, kita tidak punya banyak waktu" "Oh iya, kamu benar. Pak ayo cepat ke bandara" perintahnya kepada sopirnya untuk segera melaju. Di sisi lain, Regan yang duduk di dalam mobil memperhatikan kendaraan yang melaju bersisian dengan mereka. Pandangannya tertarik pada dua gadis di dalamnya, tetapi hanya satu yang bisa ia lihat deng
Theodore mengusap darah di sudut bibirnya. Matanya menatap tajam ke arah Isabella, yang kini berdiri tegak tanpa rasa bersalah sedikit pun. Ia tahu, gadis ini dengan sengaja menmpar pipinya sediri untuk membuatnya dalam masalah."Pa!" bentak Thedore sambil menahan amarah. "Aku bisa jelaskan-"Tuan Sinclair mengangkat tangan, menghentikan ucapan putranya. "Tidak perlu! Sudah cukup jelas apa yang aku lihat""Tapi pa, Isabella-""Diam, Theodore. satu kata lagi aku akan mengambil semua fasilitasmu" bentak Tuan Sinclair. Kemudian matanya menoleh ke arah Isabella lagi, dan berkata "Bella, ikut paman ke ruang kerja". Kemudian melangkahkan kakinya pergi meninggalkan ruang tamu.Di ruang kerja."Bella, sepertinya aku terlalu memberimu kebebasan ya" Ujar Tuan Sinclair sambil tertawa kecil. Isabella berdiri tegak di hadapan pria paruh baya itu, ekspresinya masih tenang sampai Tuan Sinclair melanjutkan kata-katanya."Nenekmu masuk ICU." Ucap Tuan Sinclair. "Apa?" Mata Isabella membesar "Kenapa
Sebuah tangan mencengkeram keras lengan Isabella, menariknya berdiri dari tempatnya..PLAK!Satu tamparan keras mendarat telak di pipinya. Tubuh Isabella terhuyung, dan rasa panas langsung menyebar di wajahnya. Ia menoleh cepat.“Theodore?” bisiknya nyaris tak terdengar.Wajah pria itu memerah, bukan karena malu, tapi karena marah yang nyaris tak tertahan. Dadanya naik turun, napasnya berat seperti menahan ledakan dalam dirinya.“Isabella… jadi kamu benar-benar di sini.” Ucap Theodore dengan suara berat, hampir seperti geraman yang ditahan.Isabella justru tersenyum sinis "Kamu kan bodoh, kenapa bisa tau aku ada di sini? Oh, pasti paman ya yang kasih tahu kamu?"Amarah Theodore kian memuncak. Jari telunjuknya teracung, menunjuk wajah Isabella dengan mata yang tajam. “Jangan pernah lagi bilang aku bodoh, Isabella.”Isabella menatapnya dingin, tanpa gentar sedikit pun. “Tapi nyatanya memang begitu, kan?” ucapnya pelan, namun penuh penekanan."Tujuan utama kalian bukan di sini, tapi di b
Di bandara. "Shela, terima kasih telah membantuku," ucap Isabella dengan lembut. "Bella, jangan sungkan. Aku senang bisa membantu," jawab Shela sambil tersenyum. "Aku akan merindukanmu," kata Isabella lirih, menggenggam tangan Shela erat. Shela tersenyum, meski matanya sedikit berkaca-kaca. "Aku juga, Bella. Tapi ini adalah langkah terbaik untukmu. Kejar impianmu, dan jangan pernah ragu untuk kembali jika kau butuh tempat bernaung." Isabella mengangguk. Suara pengumuman keberangkatan menggema di seluruh bandara. Ia menarik napas dalam, lalu memeluk Shela erat sebelum melangkah menuju gerbang keberangkatan. Namun, langkahnya terhenti saat matanya menangkap sesuatu. Puluhan pria berbaju hitam tersebar di sekitar bandara, tampak seperti sedang mencari seseorang. Detik berikutnya, darah Isabella mendidih. Rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal kuat. "Brengsek..." gumamnya dengan geram. Shela ikut memperhatikan dan menyadari situasinya. "Mereka... orang-orang pamanku," Isabella
"Bella, lihat! Mereka sudah dekat." Shela menunjuk ke arah luar sambil membuka kaca mobilnya. Shela telah memerintahkan sopirnya untuk berhenti sejak diipinggir jalan. Khusus untuk melihat konvoi itu. Isabella baru saja ingin menoleh ketika ponselnya tiba-tiba bergetar. Pandangannya langsung tertuju pada layar, dan begitu melihat ID peneleponnya, napasnya tertahan sesaat. Theodore. Baru satu jam pergi, dan pria itu sudah mengganggunya lagi. Dengan kesal, Isabella menonaktifkan ponselnya, melemparkannya ke dalam tas tanpa peduli. "Bella, apa kamu tadi lihat mereka?" Tanya Shela. Bella hanya mengangguk singkat sambil tersenyum. "Shella, ayo kita cepat pergi, kita tidak punya banyak waktu" "Oh iya, kamu benar. Pak ayo cepat ke bandara" perintahnya kepada sopirnya untuk segera melaju. Di sisi lain, Regan yang duduk di dalam mobil memperhatikan kendaraan yang melaju bersisian dengan mereka. Pandangannya tertarik pada dua gadis di dalamnya, tetapi hanya satu yang bisa ia lihat deng
Detik berikutnya, terdengar ketukan di pintu ruang kerja. "Masuk," ujar Tuan Sinclair tanpa mengalihkan pandangannya dari Isabella. Pintu terbuka, memperlihatkan sosok Theodore yang berdiri dengan ekspresi tenang. "Ada apa?" tanya Tuan Sinclair. "Pa, Shela ada di depan. Dia ingin mengajak Isabella jalan-jalan," jawab Theodore. Mendengar itu, Isabella tersenyum kecil. Ia segera membalikkan tubuhnya menghadap Tuan Sinclair, menatap pria itu dengan ekspresi tenang. "Om Dion, bolehkah aku keluar?" tanyanya dengan lembut. Tuan Sinclair menyipitkan matanya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Keluarga Wijaya termasuk keluarga terpandang di kota Lithen. Sangat bagus jika kita tetap menjaga hubungan baik dengan mereka." Isabella menahan kelegaan yang muncul di hatinya. Dengan senyum manis, ia berkata, "Terima kasih, Om Dion." Namun, sebelum ia bisa berbalik, suara dingin Tuan Sinclair kembali terdengar. "Tapi ingat, hanya dua jam. Jika lewat dari itu, pengawalku akan menjemputm
Regan bersiap untuk mandi dan membuka pintu kamar mandi. Sementara itu, Isabell pergi diam-diam untuk pulang tanpa memberi tahu siapa pun. 30 menit kemudian, Regan keluar dan berkata "Ayo kita makan malam... mau di resto apa..." belum siap Regan bicara, ia mengernyit saat menyadari ruangan itu kosong. Wanita itu tidak ada di sana. Awalnya, dia berpikir mungkin wanita itu hanya keluar sebentar, tapi firasatnya berkata lain. Regan mendengus, "Setelah pakai, langsung di tinggal? Berani-beraninya" Dengan cepat, ia meraih ponselnya dan menghubungi Leo “Leo, bantu aku mencari seseorang. Ya, seorang wanita”. *** Keesokan harinya, di rumah keluarga Sinclair. Hilda terisak di ruang tamu keluarga Sinclair, wajahnya basah oleh air mata. Hari ini ia pulang ke rumah orang tuanya untuk mengadu. "Ma, sepertinya Marcel sangat marah. Dia memandangku dengan tatapan jijik" Hilda menangis disertai segugukan. "Ma, Marcel sangat marah. Dia melihatku seolah aku menjijikan" tangisnya pecah, bahuny
Setengah jam kemudian acara pernikahan akan berakhir, acara inti sudah dilewati. Saat ini Isabella sudah hampir selesai melukis. "Kesenangan sudah berakhir. Aku akan kembali ke kamar" Ucap Regan dan segera membalikan badan. Seketika langkahnya berhenti ketika melihat seorang gadis melukis dengan duduk tegak di depan kanvasnya, goresan kuasnya begitu tegas dan penuh makna. Cahaya lilin di ruangan itu menciptakan bayangan samar di wajahnya, tetapi ekspresinya tetap terlihat jelas—serius dan penuh konsentrasi. Perlahan, Regan melangkah mendekat. Mata tajamnya menangkap setiap detail dari lukisan yang sedang dikerjakan Isabella. Semakin jelas ia melihat, semakin dalam alisnya berkerut. "Apa yang kamu lukis?" tanyanya dengan suara rendah, nyaris berbisik. Isabella menoleh sekilas, lalu tersenyum tipis. "Sebuah kebenaran." Regan menajamkan pandangan. Lukisan itu sangat bagus, di bagian bawah lukisan ada foto sepasang pengantin, tapi di bagian atas menampilkan sosok seorang pria
"Mamaaaaaa... papaaaaa, jangan tinggalin Isabella!" Suara jeritan gadis kecil menggema di sepanjang jalanan perbatasan kota Tenra dan Kota Lithen. Matanya membelalak, tubuhnya membeku di tempat, dan ice cream ditangannya seketika jatuh ke tanah, mencair perlahan. Jari-jarinya terangkat seolah ingin meraih sesuatu yang tak bisa disentuh. Tubuh Isabella kecil dengan paksa, ditarik ketika dia ingin bergegas mendekat. Tapi mata Isabella, tak bisa berpaling dari pemandangan mengerikan di depannya—mobil yang hancur, dan pecahan kaca mobil dimana-mana. Belum lagi kondisi kedua orang tuanya yang sangat menghawatirkan. Sebuah truk besar telah menghantam mobil sedan mereka yang menepi di pinggir jalan. Hanya beberapa menit lalu, orang tuanya masih tersenyum, menunggu Isabella yang sedang membeli es krim. Namun sekarang, senyuman itu telah sirna selamanya. "Nak, ayo menjauh dari sini!" suara seorang laki-laki dewasa tiba-tiba terdengar, tapi Isabella tetap berjuang untuk mendekati mobil