"Mamaaaaaa... papaaaaa, jangan tinggalin Isabella!"
Suara jeritan gadis kecil menggema di sepanjang jalanan perbatasan kota Tenra dan Kota Lithen. Matanya membelalak, tubuhnya membeku di tempat, dan ice cream ditangannya seketika jatuh ke tanah, mencair perlahan. Jari-jarinya terangkat seolah ingin meraih sesuatu yang tak bisa disentuh. Tubuh Isabella kecil dengan paksa, ditarik ketika dia ingin bergegas mendekat. Tapi mata Isabella, tak bisa berpaling dari pemandangan mengerikan di depannya—mobil yang hancur, dan pecahan kaca mobil dimana-mana. Belum lagi kondisi kedua orang tuanya yang sangat menghawatirkan. Sebuah truk besar telah menghantam mobil sedan mereka yang menepi di pinggir jalan. Hanya beberapa menit lalu, orang tuanya masih tersenyum, menunggu Isabella yang sedang membeli es krim. Namun sekarang, senyuman itu telah sirna selamanya. "Nak, ayo menjauh dari sini!" suara seorang laki-laki dewasa tiba-tiba terdengar, tapi Isabella tetap berjuang untuk mendekati mobil yang sudah hancur. Tangannya meronta, dan air mata mengalir deras di pipinya. Orang-orang mulai berdatangan, beberapa berusaha menghubungi ambulans, sementara yang lain melihat dengan tatapan ngeri. Ketika tim penyelamat tiba, proses evakuasi dimulai, namun harapan Isabella pupus sepenuhnya. Kedua tubuh yang dulu selalu memeluknya dengan hangat kini tergeletak tak bernyawa. Darah mengalir dari luka-luka mereka, dan Isabella bisa melihat dengan jelas wajah ibunya yang masih tampak lembut meski diliputi kegelapan maut. "Mama... Papa..." bisiknya lirih. *** Tok...tok...tok. Suara ketukan pintu membangunkan Isabella yang sedang tidur. Isabella mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Dadanya naik turun, napasnya tersengal-sengal. Mimpi itu datang lagi—mimpi yang sama, mimpi yang selalu menghantuinya sejak malam tragis itu. Tok... tok... tok. Ketukan di pintu masih terdengar. Dengan malas, Isabella bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah pintu. Begitu dibuka, seorang wanita setengah baya dengan seragam pelayan berdiri di depannya. "Nona Bella, sarapan sudah siap, acara pernikahan Nona Hilda akan dimulai jam 10 pagi. Setelah anda siap sarapan, saya akan membantu anda bersiap-siap" kata wanita itu dengan sopan. Isabella hanya mengangguk, masih sedikit linglung akibat mimpi buruknya. "Aku mau mandi dulu" ucapnya sambil menutup pintu perlahan dan menghela napas panjang. Dengan langkah berat, dia menuju kamar mandi dan menatap pantulan dirinya di cermin. Seorang gadis berusia sembilan belas tahun dengan mata cokelat dan rambut hitam panjang yang terurai. Wajahnya begitu cantik, dengan kulit yang bersih dan bercahaya. Siapa pun yang melihatnya pasti akan terpana oleh pesonanya—sebuah kecantikan yang memancarkan kesan polos dan lembut. Perlahan senyum tipis muncul dibibirnya. Ia ingat hari ini adalah pernikahan Hilda, sepupunya yang jahat. Sejujurnya selama 7 tahun Isabella tinggal di Mansion keluarga Sinclair, tidak ada yang menyukainya di rumah ini kecuali- Dion Sinclair. Dion Sinclair, adik dari ayah Isabella , adalah orang yang membawanya tinggal di rumah ini semenjak kecelakaan malam itu. Meskipun Dion telah mengangkatnya sebagai putri kedua, Isabella merasa seolah-olah ia terkurung dalam penjara. Dion menerapkan aturan yang sangat ketat sehingga setiap langkah Isabella terasa terpantau dan dikendalikan. Tentu saja bukan tanpa alasan. Isabella mengerti dengan jelas maksud Om Dion yang sengaja membesarkannya menjadi gadis yang patuh. 20 menit kemudian, Isabella selesai mandi. Setelah turun sarapan, seorang pelayan mendekatinya. "Nona Bella, ini dari Tuan Sinclair, dia meminta Nona memakainya di acara nanti" pelayan itu menunjukan sebuah kotak berwarna hitam. Isabella hanya meliriknya singkat dan mengangguk. "Tolong letakan di kamarku saja, setelah sarapan aku akan langsung bersiap-siap" "Baik, nona" kemudian pelayan itu pergi. Isabella menikmati sarapan pagi dengan santai. Setelah menyelesaikan sarapannya, Isabella bergegas ke kamar dan membuka kotak hitam yang diberikan oleh pelayan. Di dalamnya terdapat gaun berwarna lavender dengan sulaman putih yang begitu anggun. Gaun itu jelas pilihan Om Dion, namun sedikit tidak cocok dengan acara pernikahan, yang mewah ini. Namun, Isabella tidak peduli dengan semua itu. Hari ini dia akan sedikit bermain-main. *** Suasana ballroom hotel, tempat pernikahan Hilda Sinclair berlangsung begitu megah. Para tamu dengan pakaian mewah bercengkerama sambil menikmati hidangan. Di atas pelaminan, Hilda berdiri anggun, dengan gaun pengantin putih berhiaskan permata. Senyumannya memancarkan kebahagiaan—atau lebih tepatnya kepalsuan. Isabella melangkah masuk dengan anggun, membawa sebuah bingkisan besar yang telah dibungkus kain beludru merah. Beberapa tamu mulai memperhatikannya, bisik-bisik terdengar di antara mereka. Sejak kecil, Isabella memang lebih banyak menghindari sorotan di keluarga ini, sehingga kehadiran nona kedua Sinclair ini membawa rasa penasaran tersendiri. Namun, dia selalu patuh, dan dia tidak pernah menyebabkan kekacauan bagi keluarga Sinclair. Siapapun akan senang melihat gadis cantik yang patuh dan berbudi luhur. Pengantin pria, putra pertama keluarga Oriza, Marcel Oriza juga menatap Isabella yang datang. Jika bukan pengaturan keluarga, dia tidak ingin menikaho Hilda Sinclair, tapi Isabella Sinclair. Melihat kedatangan Isabella, mata Hilda memicing, dia melirik ke semua orang termasuk suaminga yang sedang menjadikan Isabella sebagai pusat perhatian. Ini adalah hari pernikahannya, dia yang seharusnya menjadi pusat perhatian, tapi kenapa Isabella lagi?. Disebelah kanan, ada orang suruhannya sedang berdiri, yang siapuntuk bertindak. Melihat kode dari Hilda, pelayan wanita itu segera mengangguk dan pergi ke arah Isabella. "Nona Isabella, tolong ikuti saya" Isabella yang sedang minum wine, memandang pelayan wanita itu dengan tajam. Melihat tatapannya, pelayan wanita itu merasa takut. Bukankah nona kedua keluarga Sinclair ini sangat polos dan patuh?, tapi tatapannya terlihat seperti seorang ratu yang tidak bisa diganggu gugat. Tatapan itu begitu menusuk, hingga pelayan wanita itu merasakan bulu kuduknya berdiri. Namun, dia tetap menundukkan kepala dan mengulangi ucapannya dengan suara lebih pelan. “Nona Isabella, mohon ikut dengan saya.” Isabella tidak segera menjawab. Tatapannya beralih ke arah Hilda yang masih berdiri angkuh di tempatnya. Sudut bibirnya terangkat tipis. “Tolong tunjukan jalannya” ucap Isabella, kemudian melangkah mengikuti pelayan wanita itu dengan langkah yang tetap anggun dan tegap. *** Di lantai dua, dua orang pria berdiri menyaksikan suasana pernikahan di lantai satu. "Berani-beraninya kamu melarang aku untuk turun" Ucap Regan Foster dengan tidak senang. Leo Hayes di sebelahnya, menjawab "Kak Regan, bagaimana mungkin kamu akan pergi ke pernikahan orang, hanya dengan bathrobe ini?" "Memangnya kenapa?" Tanya Regan Foster acuh tak acuh sambil mengangkat gelas anggur di tangannya. Leo Hayes mengusap wajahnya, merasa frustrasi dengan sikap santai sahabatnya. "Kak, ini pernikahan keluarga Sinclair. Kalau kamu turun seperti itu, kamu hanya akan menarik perhatian yang tidak perlu." Regan Foster mengangkat bahu. "Bukankah itu lebih baik? Aku tidak suka acara yang membosankan. Kalau aku membuat sedikit keributan, setidaknya ada hiburan. Lagipula aku tampan, siapa yang akan memarahiku?" Leo "..." memangnya orang tampan tidak akan dimarahi? Tapi Leo tetap menggelengkan kepala. "Sebaiknya kita tidak menarik perhatian di kota Lithen" Lalu, matanya melirik ke arah ballroom di bawah. "Tapi ada sesuatu yang lebih menarik daripada pernikahan ini." Regan mengikuti arah pandangannya dan melihat Isabella berjalan dengan anggun, mengikuti seorang pelayan wanita. "Kak Regan, gadis itu sangat cantik dan kalem, tapi gaunnya kurang cocok" Regan tak merespon, tatapannya masih jatuh kepada Isabella. Detik berikutnya, sebuah panggilan masuk ke telepon Leo "Kak Regan, aku angkat telepon dulu, sepertinya ada sesuatu yang penting" Setelah mengatakan itu, Leo langsung pergi. *** Pelayan wanita itu membawa Isabella melewati koridor panjang menuju sebuah ruangan di lantai dua. "Nona, di dalam ada peralatan melukis, nona Hilda ingin hadiah lukisan di hari pernikahannya" "Tapi aku sudah membawa hadiah besar, dan tanganku sedang sakit" Jawab Isabella pura-pura bingung. Dia tahu ini rencana Hilda yang tidak ingin dia menghadiri pesta pernikahannya. Dia berani melakukannya karena om Dion sedang sibuk dengan para tamu. "Nona, anda sangat berbakat dalam melukis, Nona Hilda secara khusus meminta anda melakukannya, tolong Nona Isabella bersedia." Ucap pelayan itu sedikit ada nada mendesak. Isabella terlihat keberatan pada awalnya tapi kemudian dia tersenyum "Baiklah, ini hari special buat dia, aku akan melakukannya" Mendengar persetujuannya pelayan itu sangat senang karena ia berhasil, memang benar Nona kedua Sinclair ini sangat patuh. Tidak peduli tangannya sakit dia akan tetap melakukannya. Jika itu gadis lain mungkin sudah membrontak. Tanpa diduga Regan Foster mendengar semua percakapan itu "Sangat patuh, membosankan" ucapnya pelan.Setengah jam kemudian acara pernikahan akan berakhir, acara inti sudah dilewati. Saat ini Isabella sudah hampir selesai melukis. "Kesenangan sudah berakhir. Aku akan kembali ke kamar" Ucap Regan dan segera membalikan badan. Seketika langkahnya berhenti ketika melihat seorang gadis melukis dengan duduk tegak di depan kanvasnya, goresan kuasnya begitu tegas dan penuh makna. Cahaya lilin di ruangan itu menciptakan bayangan samar di wajahnya, tetapi ekspresinya tetap terlihat jelas—serius dan penuh konsentrasi. Perlahan, Regan melangkah mendekat. Mata tajamnya menangkap setiap detail dari lukisan yang sedang dikerjakan Isabella. Semakin jelas ia melihat, semakin dalam alisnya berkerut. "Apa yang kamu lukis?" tanyanya dengan suara rendah, nyaris berbisik. Isabella menoleh sekilas, lalu tersenyum tipis. "Sebuah kebenaran." Regan menajamkan pandangan. Lukisan itu sangat bagus, di bagian bawah lukisan ada foto sepasang pengantin, tapi di bagian atas menampilkan sosok seorang pria
Regan bersiap untuk mandi dan membuka pintu kamar mandi. Sementara itu, Isabell pergi diam-diam untuk pulang tanpa memberi tahu siapa pun. 30 menit kemudian, Regan keluar dan berkata "Ayo kita makan malam... mau di resto apa..." belum siap Regan bicara, ia mengernyit saat menyadari ruangan itu kosong. Wanita itu tidak ada di sana. Awalnya, dia berpikir mungkin wanita itu hanya keluar sebentar, tapi firasatnya berkata lain. Regan mendengus, "Setelah pakai, langsung di tinggal? Berani-beraninya" Dengan cepat, ia meraih ponselnya dan menghubungi Leo “Leo, bantu aku mencari seseorang. Ya, seorang wanita”. *** Keesokan harinya, di rumah keluarga Sinclair. Hilda terisak di ruang tamu keluarga Sinclair, wajahnya basah oleh air mata. Hari ini ia pulang ke rumah orang tuanya untuk mengadu. "Ma, sepertinya Marcel sangat marah. Dia memandangku dengan tatapan jijik" Hilda menangis disertai segugukan. "Ma, Marcel sangat marah. Dia melihatku seolah aku menjijikan" tangisnya pecah, bahuny
Detik berikutnya, terdengar ketukan di pintu ruang kerja. "Masuk," ujar Tuan Sinclair tanpa mengalihkan pandangannya dari Isabella. Pintu terbuka, memperlihatkan sosok Theodore yang berdiri dengan ekspresi tenang. "Ada apa?" tanya Tuan Sinclair. "Pa, Shela ada di depan. Dia ingin mengajak Isabella jalan-jalan," jawab Theodore. Mendengar itu, Isabella tersenyum kecil. Ia segera membalikkan tubuhnya menghadap Tuan Sinclair, menatap pria itu dengan ekspresi tenang. "Om Dion, bolehkah aku keluar?" tanyanya dengan lembut. Tuan Sinclair menyipitkan matanya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Keluarga Wijaya termasuk keluarga terpandang di kota Lithen. Sangat bagus jika kita tetap menjaga hubungan baik dengan mereka." Isabella menahan kelegaan yang muncul di hatinya. Dengan senyum manis, ia berkata, "Terima kasih, Om Dion." Namun, sebelum ia bisa berbalik, suara dingin Tuan Sinclair kembali terdengar. "Tapi ingat, hanya dua jam. Jika lewat dari itu, pengawalku akan menjemputm
"Bella, lihat! Mereka sudah dekat." Shela menunjuk ke arah luar sambil membuka kaca mobilnya. Shela telah memerintahkan sopirnya untuk berhenti sejak diipinggir jalan. Khusus untuk melihat konvoi itu. Isabella baru saja ingin menoleh ketika ponselnya tiba-tiba bergetar. Pandangannya langsung tertuju pada layar, dan begitu melihat ID peneleponnya, napasnya tertahan sesaat. Theodore. Baru satu jam pergi, dan pria itu sudah mengganggunya lagi. Dengan kesal, Isabella menonaktifkan ponselnya, melemparkannya ke dalam tas tanpa peduli. "Bella, apa kamu tadi lihat mereka?" Tanya Shela. Bella hanya mengangguk singkat sambil tersenyum. "Shella, ayo kita cepat pergi, kita tidak punya banyak waktu" "Oh iya, kamu benar. Pak ayo cepat ke bandara" perintahnya kepada sopirnya untuk segera melaju. Di sisi lain, Regan yang duduk di dalam mobil memperhatikan kendaraan yang melaju bersisian dengan mereka. Pandangannya tertarik pada dua gadis di dalamnya, tetapi hanya satu yang bisa ia lihat deng
Di bandara. "Shela, terima kasih telah membantuku," ucap Isabella dengan lembut. "Bella, jangan sungkan. Aku senang bisa membantu," jawab Shela sambil tersenyum. "Aku akan merindukanmu," kata Isabella lirih, menggenggam tangan Shela erat. Shela tersenyum, meski matanya sedikit berkaca-kaca. "Aku juga, Bella. Tapi ini adalah langkah terbaik untukmu. Kejar impianmu, dan jangan pernah ragu untuk kembali jika kau butuh tempat bernaung." Isabella mengangguk. Suara pengumuman keberangkatan menggema di seluruh bandara. Ia menarik napas dalam, lalu memeluk Shela erat sebelum melangkah menuju gerbang keberangkatan. Namun, langkahnya terhenti saat matanya menangkap sesuatu. Puluhan pria berbaju hitam tersebar di sekitar bandara, tampak seperti sedang mencari seseorang. Detik berikutnya, darah Isabella mendidih. Rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal kuat. "Brengsek..." gumamnya dengan geram. Shela ikut memperhatikan dan menyadari situasinya. "Mereka... orang-orang pamanku," Isabella
Sebuah tangan mencengkeram keras lengan Isabella, menariknya berdiri dari tempatnya..PLAK!Satu tamparan keras mendarat telak di pipinya. Tubuh Isabella terhuyung, dan rasa panas langsung menyebar di wajahnya. Ia menoleh cepat.“Theodore?” bisiknya nyaris tak terdengar.Wajah pria itu memerah, bukan karena malu, tapi karena marah yang nyaris tak tertahan. Dadanya naik turun, napasnya berat seperti menahan ledakan dalam dirinya.“Isabella… jadi kamu benar-benar di sini.” Ucap Theodore dengan suara berat, hampir seperti geraman yang ditahan.Isabella justru tersenyum sinis "Kamu kan bodoh, kenapa bisa tau aku ada di sini? Oh, pasti paman ya yang kasih tahu kamu?"Amarah Theodore kian memuncak. Jari telunjuknya teracung, menunjuk wajah Isabella dengan mata yang tajam. “Jangan pernah lagi bilang aku bodoh, Isabella.”Isabella menatapnya dingin, tanpa gentar sedikit pun. “Tapi nyatanya memang begitu, kan?” ucapnya pelan, namun penuh penekanan."Tujuan utama kalian bukan di sini, tapi di b
Theodore mengusap darah di sudut bibirnya. Matanya menatap tajam ke arah Isabella, yang kini berdiri tegak tanpa rasa bersalah sedikit pun. Ia tahu, gadis ini dengan sengaja menmpar pipinya sediri untuk membuatnya dalam masalah."Pa!" bentak Thedore sambil menahan amarah. "Aku bisa jelaskan-"Tuan Sinclair mengangkat tangan, menghentikan ucapan putranya. "Tidak perlu! Sudah cukup jelas apa yang aku lihat""Tapi pa, Isabella-""Diam, Theodore. satu kata lagi aku akan mengambil semua fasilitasmu" bentak Tuan Sinclair. Kemudian matanya menoleh ke arah Isabella lagi, dan berkata "Bella, ikut paman ke ruang kerja". Kemudian melangkahkan kakinya pergi meninggalkan ruang tamu.Di ruang kerja."Bella, sepertinya aku terlalu memberimu kebebasan ya" Ujar Tuan Sinclair sambil tertawa kecil. Isabella berdiri tegak di hadapan pria paruh baya itu, ekspresinya masih tenang sampai Tuan Sinclair melanjutkan kata-katanya."Nenekmu masuk ICU." Ucap Tuan Sinclair. "Apa?" Mata Isabella membesar "Kenapa
Theodore mengusap darah di sudut bibirnya. Matanya menatap tajam ke arah Isabella, yang kini berdiri tegak tanpa rasa bersalah sedikit pun. Ia tahu, gadis ini dengan sengaja menmpar pipinya sediri untuk membuatnya dalam masalah."Pa!" bentak Thedore sambil menahan amarah. "Aku bisa jelaskan-"Tuan Sinclair mengangkat tangan, menghentikan ucapan putranya. "Tidak perlu! Sudah cukup jelas apa yang aku lihat""Tapi pa, Isabella-""Diam, Theodore. satu kata lagi aku akan mengambil semua fasilitasmu" bentak Tuan Sinclair. Kemudian matanya menoleh ke arah Isabella lagi, dan berkata "Bella, ikut paman ke ruang kerja". Kemudian melangkahkan kakinya pergi meninggalkan ruang tamu.Di ruang kerja."Bella, sepertinya aku terlalu memberimu kebebasan ya" Ujar Tuan Sinclair sambil tertawa kecil. Isabella berdiri tegak di hadapan pria paruh baya itu, ekspresinya masih tenang sampai Tuan Sinclair melanjutkan kata-katanya."Nenekmu masuk ICU." Ucap Tuan Sinclair. "Apa?" Mata Isabella membesar "Kenapa
Sebuah tangan mencengkeram keras lengan Isabella, menariknya berdiri dari tempatnya..PLAK!Satu tamparan keras mendarat telak di pipinya. Tubuh Isabella terhuyung, dan rasa panas langsung menyebar di wajahnya. Ia menoleh cepat.“Theodore?” bisiknya nyaris tak terdengar.Wajah pria itu memerah, bukan karena malu, tapi karena marah yang nyaris tak tertahan. Dadanya naik turun, napasnya berat seperti menahan ledakan dalam dirinya.“Isabella… jadi kamu benar-benar di sini.” Ucap Theodore dengan suara berat, hampir seperti geraman yang ditahan.Isabella justru tersenyum sinis "Kamu kan bodoh, kenapa bisa tau aku ada di sini? Oh, pasti paman ya yang kasih tahu kamu?"Amarah Theodore kian memuncak. Jari telunjuknya teracung, menunjuk wajah Isabella dengan mata yang tajam. “Jangan pernah lagi bilang aku bodoh, Isabella.”Isabella menatapnya dingin, tanpa gentar sedikit pun. “Tapi nyatanya memang begitu, kan?” ucapnya pelan, namun penuh penekanan."Tujuan utama kalian bukan di sini, tapi di b
Di bandara. "Shela, terima kasih telah membantuku," ucap Isabella dengan lembut. "Bella, jangan sungkan. Aku senang bisa membantu," jawab Shela sambil tersenyum. "Aku akan merindukanmu," kata Isabella lirih, menggenggam tangan Shela erat. Shela tersenyum, meski matanya sedikit berkaca-kaca. "Aku juga, Bella. Tapi ini adalah langkah terbaik untukmu. Kejar impianmu, dan jangan pernah ragu untuk kembali jika kau butuh tempat bernaung." Isabella mengangguk. Suara pengumuman keberangkatan menggema di seluruh bandara. Ia menarik napas dalam, lalu memeluk Shela erat sebelum melangkah menuju gerbang keberangkatan. Namun, langkahnya terhenti saat matanya menangkap sesuatu. Puluhan pria berbaju hitam tersebar di sekitar bandara, tampak seperti sedang mencari seseorang. Detik berikutnya, darah Isabella mendidih. Rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal kuat. "Brengsek..." gumamnya dengan geram. Shela ikut memperhatikan dan menyadari situasinya. "Mereka... orang-orang pamanku," Isabella
"Bella, lihat! Mereka sudah dekat." Shela menunjuk ke arah luar sambil membuka kaca mobilnya. Shela telah memerintahkan sopirnya untuk berhenti sejak diipinggir jalan. Khusus untuk melihat konvoi itu. Isabella baru saja ingin menoleh ketika ponselnya tiba-tiba bergetar. Pandangannya langsung tertuju pada layar, dan begitu melihat ID peneleponnya, napasnya tertahan sesaat. Theodore. Baru satu jam pergi, dan pria itu sudah mengganggunya lagi. Dengan kesal, Isabella menonaktifkan ponselnya, melemparkannya ke dalam tas tanpa peduli. "Bella, apa kamu tadi lihat mereka?" Tanya Shela. Bella hanya mengangguk singkat sambil tersenyum. "Shella, ayo kita cepat pergi, kita tidak punya banyak waktu" "Oh iya, kamu benar. Pak ayo cepat ke bandara" perintahnya kepada sopirnya untuk segera melaju. Di sisi lain, Regan yang duduk di dalam mobil memperhatikan kendaraan yang melaju bersisian dengan mereka. Pandangannya tertarik pada dua gadis di dalamnya, tetapi hanya satu yang bisa ia lihat deng
Detik berikutnya, terdengar ketukan di pintu ruang kerja. "Masuk," ujar Tuan Sinclair tanpa mengalihkan pandangannya dari Isabella. Pintu terbuka, memperlihatkan sosok Theodore yang berdiri dengan ekspresi tenang. "Ada apa?" tanya Tuan Sinclair. "Pa, Shela ada di depan. Dia ingin mengajak Isabella jalan-jalan," jawab Theodore. Mendengar itu, Isabella tersenyum kecil. Ia segera membalikkan tubuhnya menghadap Tuan Sinclair, menatap pria itu dengan ekspresi tenang. "Om Dion, bolehkah aku keluar?" tanyanya dengan lembut. Tuan Sinclair menyipitkan matanya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Keluarga Wijaya termasuk keluarga terpandang di kota Lithen. Sangat bagus jika kita tetap menjaga hubungan baik dengan mereka." Isabella menahan kelegaan yang muncul di hatinya. Dengan senyum manis, ia berkata, "Terima kasih, Om Dion." Namun, sebelum ia bisa berbalik, suara dingin Tuan Sinclair kembali terdengar. "Tapi ingat, hanya dua jam. Jika lewat dari itu, pengawalku akan menjemputm
Regan bersiap untuk mandi dan membuka pintu kamar mandi. Sementara itu, Isabell pergi diam-diam untuk pulang tanpa memberi tahu siapa pun. 30 menit kemudian, Regan keluar dan berkata "Ayo kita makan malam... mau di resto apa..." belum siap Regan bicara, ia mengernyit saat menyadari ruangan itu kosong. Wanita itu tidak ada di sana. Awalnya, dia berpikir mungkin wanita itu hanya keluar sebentar, tapi firasatnya berkata lain. Regan mendengus, "Setelah pakai, langsung di tinggal? Berani-beraninya" Dengan cepat, ia meraih ponselnya dan menghubungi Leo “Leo, bantu aku mencari seseorang. Ya, seorang wanita”. *** Keesokan harinya, di rumah keluarga Sinclair. Hilda terisak di ruang tamu keluarga Sinclair, wajahnya basah oleh air mata. Hari ini ia pulang ke rumah orang tuanya untuk mengadu. "Ma, sepertinya Marcel sangat marah. Dia memandangku dengan tatapan jijik" Hilda menangis disertai segugukan. "Ma, Marcel sangat marah. Dia melihatku seolah aku menjijikan" tangisnya pecah, bahuny
Setengah jam kemudian acara pernikahan akan berakhir, acara inti sudah dilewati. Saat ini Isabella sudah hampir selesai melukis. "Kesenangan sudah berakhir. Aku akan kembali ke kamar" Ucap Regan dan segera membalikan badan. Seketika langkahnya berhenti ketika melihat seorang gadis melukis dengan duduk tegak di depan kanvasnya, goresan kuasnya begitu tegas dan penuh makna. Cahaya lilin di ruangan itu menciptakan bayangan samar di wajahnya, tetapi ekspresinya tetap terlihat jelas—serius dan penuh konsentrasi. Perlahan, Regan melangkah mendekat. Mata tajamnya menangkap setiap detail dari lukisan yang sedang dikerjakan Isabella. Semakin jelas ia melihat, semakin dalam alisnya berkerut. "Apa yang kamu lukis?" tanyanya dengan suara rendah, nyaris berbisik. Isabella menoleh sekilas, lalu tersenyum tipis. "Sebuah kebenaran." Regan menajamkan pandangan. Lukisan itu sangat bagus, di bagian bawah lukisan ada foto sepasang pengantin, tapi di bagian atas menampilkan sosok seorang pria
"Mamaaaaaa... papaaaaa, jangan tinggalin Isabella!" Suara jeritan gadis kecil menggema di sepanjang jalanan perbatasan kota Tenra dan Kota Lithen. Matanya membelalak, tubuhnya membeku di tempat, dan ice cream ditangannya seketika jatuh ke tanah, mencair perlahan. Jari-jarinya terangkat seolah ingin meraih sesuatu yang tak bisa disentuh. Tubuh Isabella kecil dengan paksa, ditarik ketika dia ingin bergegas mendekat. Tapi mata Isabella, tak bisa berpaling dari pemandangan mengerikan di depannya—mobil yang hancur, dan pecahan kaca mobil dimana-mana. Belum lagi kondisi kedua orang tuanya yang sangat menghawatirkan. Sebuah truk besar telah menghantam mobil sedan mereka yang menepi di pinggir jalan. Hanya beberapa menit lalu, orang tuanya masih tersenyum, menunggu Isabella yang sedang membeli es krim. Namun sekarang, senyuman itu telah sirna selamanya. "Nak, ayo menjauh dari sini!" suara seorang laki-laki dewasa tiba-tiba terdengar, tapi Isabella tetap berjuang untuk mendekati mobil