BAB 5 Isabella Ada Di Bandara

"Bella, lihat! Mereka sudah dekat." Shela menunjuk ke arah luar sambil membuka kaca mobilnya. Shela telah memerintahkan sopirnya untuk berhenti sejak diipinggir jalan. Khusus untuk melihat konvoi itu.

Isabella baru saja ingin menoleh ketika ponselnya tiba-tiba bergetar. Pandangannya langsung tertuju pada layar, dan begitu melihat ID peneleponnya, napasnya tertahan sesaat. Theodore.

Baru satu jam pergi, dan pria itu sudah mengganggunya lagi. Dengan kesal, Isabella menonaktifkan ponselnya, melemparkannya ke dalam tas tanpa peduli.

"Bella, apa kamu tadi lihat mereka?" Tanya Shela.

Bella hanya mengangguk singkat sambil tersenyum. "Shella, ayo kita cepat pergi, kita tidak punya banyak waktu"

"Oh iya, kamu benar. Pak ayo cepat ke bandara" perintahnya kepada sopirnya untuk segera melaju.

Di sisi lain, Regan yang duduk di dalam mobil memperhatikan kendaraan yang melaju bersisian dengan mereka. Pandangannya tertarik pada dua gadis di dalamnya, tetapi hanya satu yang bisa ia lihat dengan jelas. Gadis yang satunya lagi menunduk, wajahnya tersembunyi. Regan mengerutkan kening. Sejak kemarin, dia lebih memperhatikan setiap orang dengan saksama, berharap menemukan gadis yang terus menghantui pikirannya.

***

"Sialan, Bella!" Theodore mendengus frustrasi, menatap layar ponselnya yang menampilkan nada sambungan terputus.

Berani-beraninya dia menonaktifkan ponselnya sekarang?

Theodore melempar ponselnya ke meja, lalu berdiri. Rasa gelisah menjalar di dadanya. Dia berfirasat gadis itu memiliki pemikiran lain.

Rahangnya mengeras. Dia harus menemukan Isabella. Tanpa pikir panjang, Theodore.

“Pa.”

Suara Theodore memecah keheningan ruangan.

Tuan Sinclair yang tengah sibuk membaca dokumen tidak langsung menoleh. Tanpa mengangkat kepalanya, pria paruh baya itu menghela napas panjang, seolah kehadiran putranya hanyalah gangguan yang tidak diinginkan.

“Apa kamu akan terus menggangguku, Theo?” suaranya terdengar dingin dan tajam, jelas menunjukkan ketidaksabarannya.

Namun, Theodore tetap berdiri tegak, tidak terpengaruh oleh sikap ayahnya. Matanya menatap lurus ke arah pria itu sebelum berkata dengan nada serius, “Ponsel Bella mati.”

Sekilas, itu terdengar seperti pernyataan biasa. Tapi Theodore tahu betul bagaimana reaksi ayahnya setiap kali menyangkut Isabella.

Tuan Sinclair, yang sejak awal terlihat tidak peduli, tiba-tiba menghentikan gerakan tangannya. Jemarinya yang semula dengan tenang membolak-balik dokumen kini terhenti di tengah jalan. Napasnya sedikit tertahan, nyaris tidak kentara, namun cukup untuk ditangkap oleh Theodore.

Dugaan Theodore benar.

Matanya menyipit, menatap perubahan ekspresi ayahnya yang mulai tegang. Untuk seseorang yang selalu bersikap dingin terhadap keluarganya sendiri, sikap ini terlalu mencolok.

"Kenapa bisa mati?" suara Tuan Sinclair terdengar rendah, hampir seperti gumaman, tetapi jelas mengandung ketegangan.

Theodore mengepalkan tangan. "Itu yang aku ingin tahu."

Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan. Tatapan Tuan Sinclair yang tajam bertemu dengan mata Theodore yang menyala penuh emosi.

"Temukan dia," perintah Tuan Sinclair akhirnya, suaranya tak terbantahkan.

Theodore tersenyum tipis, tapi tidak ada kehangatan di sana. "Aku sudah memerintahkan orang kita."

Tanpa menunggu jawaban, dia berbalik, melangkah keluar dengan langkah cepat.

Di belakangnya, Tuan Sinclair bersandar ke kursinya, menatap kosong ke arah dokumen yang terbuka di hadapannya. Jemarinya mengetuk meja, pikirannya jelas sedang berputar cepat.

Bella…

Apakah gadis itu berniat kabur?

Setelah Theodore meninggalkan ruang kerja, Tuan Sinclair benar-benar kehilangan kesabaran. Dengan kemarahan yang tak terbendung, ia menghempaskan semua dokumen dan barang di atas mejanya hingga berjatuhan ke lantai. Suara dentingan kaca pecah memenuhi ruangan, namun ia tak peduli.

Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan irama yang tidak teratur. Rahangnya mengeras, jemarinya mengepal kuat.

Dengan cepat, ia meraih ponselnya dan langsung menekan nomor bawahannya. Begitu panggilan tersambung, ia menggeram penuh kemarahan.

“Lakukan apa pun untuk menemukannya! Aku tidak peduli bagaimana caranya, cari dia sekarang juga!”

Suaranya menggema di seluruh ruangan, penuh perintah dan ancaman. Tak ada yang berani membantah Tuan Sinclair saat ia sudah berada dalam kondisi seperti ini.

Namun, di tengah amarah yang membara, sebuah ide melintas di benaknya. Perlahan, ekspresinya berubah. Sebuah senyum samar muncul di wajah tegangnya. Ia tahu ada cara lain untuk mendapatkan informasi.

Tuan Sinclair segera mencari nomor kontak yang diinginkannya. Begitu menemukan nama Roni Wijaya, ia langsung menekan tombol panggil.

Setelah beberapa nada sambung, suara berat dari seberang sana terdengar. "Halo?"

Tuan Sinclair mengatur napasnya sebelum berbicara, kali ini suaranya terdengar lebih tenang, namun tetap mengandung ketegasan.

"Roni, aku tahu Shela dan Bella adalah sahabat baik. Tapi neneknya Bella sedang sakit dan ingin bertemu dengannya segera. Aku khawatir ponselnya mungkin kehabisan baterai, dan aku tidak bisa menghubunginya. Bisa kah kau mencari tahu di mana mereka sekarang? Biar aku yang menjemput Bella secara pribadi."

Terdengar jeda beberapa detik dari seberang. Roni Wijaya tampaknya sedang mencerna permintaan itu.

“Neneknya sakit?” suara Roni terdengar sedikit ragu.

“Ya, kondisinya memburuk,” Tuan Sinclair menambahkan dengan nada lebih meyakinkan. “Aku hanya ingin memastikan Bella bisa bertemu dengannya secepat mungkin.”

Roni menghela napas. "Baiklah, aku akan mencoba menghubungi Shela. Kalau aku tahu sesuatu, aku akan memberitahumu."

"Bagus." Tuan Sinclair mengakhiri panggilan, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.

Matanya menyipit, pikirannya bekerja cepat. Jika Roni bisa mendapatkan lokasi Bella, maka semuanya akan jauh lebih mudah.

Tak butuh waktu lama, sebuah panggilan masuk. Begitu mengangkatnya, suara Roni terdengar di seberang, "Shela dan Bella ada di bandara."

Tuan Sinclair menyeringai tipis. Akhirnya.

Tanpa membuang waktu, ia segera memberi perintah. Dalam hitungan menit, Tuan Sinclair, Theodore, dan belasan pengawal mereka sudah bersiap di depan kediaman keluarga Sinclair, mobil-mobil hitam berjajar rapi, menunggu perintah untuk melaju.

Namun, sebelum memasuki mobilnya, Tuan Sinclair menoleh ke arah Theodore.

"Kamu pergi ke pemakaman orang tua Bella." Tuan Sinclair tersenyum tipis, penuh arti dan melanjutkan kata-katanya "Bawa dia kembali. Dengan cara apa pun."

Theodore tidak perlu mendengar lebih banyak. Ia hanya mengangguk sekali sebelum masuk ke dalam mobilnya. Mesin mobil meraung, dan dalam hitungan detik, konvoi kendaraan mereka melaju dengan kecepatan tinggi menuju bandara.

***

Di sisi lain, di dalam mobil yang melaju kencang, Leo tiba-tiba menerima panggilan. Saat melihat ID peneleponnya, alisnya berkerut, tetapi begitu mendengar isi laporan dari seberang, matanya langsung membesar.

"Kak Regan! Orang kita sepertinya melihat gadis yang sesuai dengan ciri-ciri yang kamu sebutkan!" katanya dengan nada setengah terkejut.

Regan, yang sebelumnya duduk bersandar dengan mata terpejam, langsung membuka matanya. Rasa kantuk yang sempat menyerangnya lenyap dalam sekejap, digantikan oleh antusiasme yang membara.

"Di mana?" suaranya terdengar tajam, penuh ketegangan.

"Di bandara," jawab Leo cepat.

Tanpa ragu, Regan mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap sopir dengan mata penuh perintah.

"Putar arah. Kita ke bandara, sekarang!"

Sopir langsung menginjak pedal gas lebih dalam, dan mobil mereka berbelok tajam, melaju dengan kecepatan tinggi menuju bandara.