"Ehm, Kak Firman, kenalin ini temenku, namanya Tania. Tania ini kakakku, ganteng kan!"
Laras memperkenalkan temannya itu, dengan gaya centilnya, gadis itu pun bangkit dan mengulurkan tangannya di hadapan suamiku, Mas Firman pun menerima uluran tangannya.
Mas Firman hanya diam, meski Tania terlihat begitu lekat menetap Mas Firman. Hanya sekejap ia menatap ke arah Tania kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Saya, Yunita. Istrinya Mas Firman," sergahku cepat mengulurkan tangan, melihat Tania masih terus memandangi wajah suamiku, tentu aku merasa gerah melihatnya.
"Ah, iya Kak Yunita, saya Tania, teman seprofesi dengan Laras." Aku mengangguk dan tersenyum tipis. Kami berjabat tangan.
Kemudian ia kembali duduk.
"Yunita, sana kamu bikinin minum. Masa ada tamu gini di diemin aja." Ibu tiba-tiba bersuara saat kami semua sedang duduk. Suaranya terdengar seperti memerintah.
Bahkan di saat ada orang lain pun, Ibu tetap menunjukkan sikap tak sukanya padaku. Tak bisakah barang sedikit saja mengerti perasaanku.
"Iya, Bu. Tentu Yunita akan buatkan minuman spesial untuk tamu kita hari ini," ucapku tegas. Kemudian melenggang ke dapur.
"Mau kemana kamu, Firman. Kamu di sini aja duduk."
Baru beberapa langkah, terdengar Ibu mencegah Mas Firman yang hendak bangkit, mungkin ia ingin menyusulku.
"Firman mau bantuin Yunita buatkan minum, Bu." terdengar Mas Firman menyahutinya.
Benar saja tak berapa lama terdengar derap langkah Mas Firman di belakangku.
Aku mengambil beberapa gelas dan menatanya di atas nampan. Tiba-tiba terasa sepasang tangan melingkar di perutku, siapa lagi pelakunya kalau bukan Mas Firman. Aku terdiam menghentikan aktivitasku sejenak.
"Maaf ya," bisiknya tepat di telingaku. Aku hanya diam.
"Maaf atas sikap ibuku juga adikku." Lagi ia berbisik, aku membalikkan badan dan menatap wajah tampan lelakiku ini.
Aku mengangguk pelan, saat posisi kami sudah berhadapan.
Mas Firman kembali membingkai wajahku dan mengecup lembut dahi ini.
"Ayo bantuin aku." Aku mengalihkan perhatian, aku tak mau, Mas Firman jadi semakin usil, seperti biasanya. Karena sekarang di rumah ini sedang ada tamu, tak mungkin kami mesra-mesraan di dapur, malu juga kan kalau ada yang lihat.
"Hem." Mas Firman menyipitkan matanya, ia seperti tau ada penolakan pada diriku.
"Malu kalau ada yang lihat kan, kita mesra-mesraan di dapur," bisikku lirih, berharap ia mengerti dan tidak semakin parah.
"Biarin aja kalau ada yang lihat, orang mesra-mesraan sama istri sendiri kok, bukan sama istri orang," cebiknya kemudian memelukku erat dan menghujani wajahku dengan kecupan.
"Mas, sudah. Cukup. Nanti ibu bisa ngomel lagi nih kalo minumannya belum siap juga. Mas mandi dulu sana. Setelah bawa minuman ini ke depan, aku nyusul mas naik ke atas, kita salat Maghrib. Oke."
Aku melepaskan pelukannya, kemudian mengambil sirup rasa jeruk dan es batu.
"Oke. Jangan lama-lama ya, Sayang." Mas Firman berlalu kemudian naik tangga menuju kamar kami di lantai dua.
Setelah semuanya siap aku membawa tiga gelas minuman ke ruang tamu, tak lupa beberapa kue kering juga kuhidangkan.
"Bikin minum begini aja, lama banget," cetus Ibu saat aku meletakkan minuman di meja. Aku memilih tak menanggapi ucapanya.
"Silahkan di minum, saya tinggal dulu mau salat Maghrib," ucapku karena bertepatan dengan suara adzan yang berkumandang dari masjid yang tak jauh dari rumah ini.
Aku melenggang masuk ke dalam. Masih sayup-sayup terdengar Ibu menggerutu.
"Gitu tuh, punya mantu nggak ada sopan-sopannya, ada tamu, malah di tinggal masuk."
Astaghfirullah. Hanya sebait Kalimat itu yang kerap kali kuucapkan. Entah apa yang sedang mereka bicarakan selanjutnya, terdengar gelak tawa membahana dari ruang tamu. Aku sudah tak ingin mendengar apapun lagi, lebih baik kupercepat langkahku naik ke lantai atas untuk salat berjamaah dengan suamiku.
Saat membuka pintu kamar, ternyata kosong. Hanya terdengar suara gemericik air shower dari kamar mandi, itu artinya Mas Firman masih belum selesai mandi.
Aku siapkan baju ganti untuk suamiku, dan menata sajadah untuk kami salat berjamaah.
Kemudian aku duduk di depan meja rias, melepaskan hijab yang menutupi rambutku.
Ceklek.
Terdengar pintu kamar mandi terbuka, menampakkan sosok Mas Firman. Rambutnya yang basah sesekali menetes ke tubuhnya, memperlihatkan dada bidang dengan perut kotak-kotaknya, sebagian tertutupi handuk yang melilit di pinggang hingga kebawah sebelum lututnya. Aku cukup terkesima menatap kekasih halalku yang begitu mempesona. Ia pun sepertinya sengaja menyugar rambutnya, seolah tau aku tengah terbuai pada pemandangan indah di depan mataku.
"Ehem." Mas Firman berdehem, sibuk tersenyum. Membuatku salah tingkah sudah pasti kedua pipiku tengah merona.
"Ehm ini baju gantinya ya, Mas." Aku wudhu' dulu sebentar," kilahku.
"Tak perlu malu mengakui ketampanan suamimu ini, Sayang." Seketika ucapannya itu membuat pipiku menghangat.
"Pakai bajumu, dan tunggu aku ambil wudhu' sebentar." Aku berlalu dengan tersipu, tanpa mengindahkan ucapan Mas Firman yang memang benar adanya.
Kami menikah bukan sebulan dua bulan, tapi sudah tiga tahun, namun entah mengapa setiap tatapan matanya, selalu mampu menghipnotisku, Mas Firman juga tak pernah jemu menggodaku, membuatku semakin hari semakin cinta padanya.
Usai selesai salat Maghrib aku turun untuk menyiapkan makan malam. Terlihat Ibu, Laras dan Tania sedang bercengkrama hangat di ruang tengah.
Aku langsung berjalan ke dapur menghangatkan makanan yang tadi sore kumasak, aku tak ingin di bilang enak-enakan saja di rumah, jadi di saat ibu istirahat di kamarnya aku masak untuk makan malam ini.
Tak berapa lama terdengar Mas Firman turun dari tangga, dan langsung duduk di meja makan. Setelah semuanya siap, aku melenggang hendak menghampiri Ibu dan Laras untuk makan malam, bersama Tania juga tentunya.
"Tunggu sebentar, aku panggil mereka untuk makan sama-sama ya, Mas," ucapku seraya mengusap lembut punggung suamiku yang sudah duduk, ia mengangguk tersenyum.
Makanan sudah siap di atas meja berbentuk persegi panjang dengan enam kursi yang mengelilinginya.
"Ibu, mari kita makan malam, semuanya sudah siap, Mas Firman juga sudah menunggu di meja makan," ujarku, setelah sampai di ruang tengah.
"Ayo kita makan dulu, ayo, Laras sama Tania juga kita makan sama-sama," suara Ibu renyah mengajak Laras dan temannya untuk makan, bahkan tak menanggapi ucapanku. Aku hanya tersenyum menatap mereka, meski senyum palsu yang kuperlihatkan.
Kami semua duduk mengitari meja makan, aku mengambilkan nasi untuk suamiku, beserta sayur dan ikan goreng kesukaan Mas Firman, ada juga udang goreng dan kentang balado.
Aku meraih piring Ibu, hendak kuambilkan nasi untuknya, namun dengan cepat ia menepisnya.
"Biar Ibu ambil sendiri." Aku pun mendekatkan mangkuk nasi padanya, dan kemudian duduk.
"Firman ternyata Tania ini seorang model lho, makanya cantik, iya kan, Firman. Dia itu mandiri tinggal jauh dari orang tuanya ke kota ini demi merintis karir di dunia model." Sambil mengambil nasi dan juga lauk, ibu terus saja menyanjung Tania, apa maksudnya coba.
Mas Firman bahkan tak bergeming, ia fokus makan makanan yang aku suguhkan.
"Firman. Kamu denger Ibu ngomong nggak sih! Kamu itu harusnya cari istri yang kaya Tania gini, dia cantik, mandiri, pinter cari duit, bukan cuma bisanya nikmatin uang suami aja!"
Aku menghela napas, dari nada suaranya, jelas Ibu sedang menyindirku.
Ibu melirik tajam ke arahku. Sepertinya beliau kesal karena Mas Firman bahkan tak mengindahkan perkataannya.
"Firman!"
"Ibu, sekarang waktunya makan, sebaiknya ibu makan, jika makan sambil ngomong, bisa-bisa tersedak. Lagipula, Firman juga sudah punya istri cantik, shaleha, dan lembut, ia begitu sempurna," ucap Mas Firman tegas sambil tersenyum hangat menatapku.
Betapa bahagianya hati ini mendengar Mas Firman membelaku di depan mereka semua.
"Iya. Tapi seorang wanita belum dikatakan sempurna jika ia belum bisa hamil dan memberikan keturunan," sanggah Ibu, seakan tak mau kalah.
Aku melirik Laras dan Tania terlihat tersenyum mendengar ucapan Ibu. Apa dia mentertawakan aku karena aku belum juga hamil. Menyebalkan.
Belum lagi sedari tadi Tania terus menerus mencuri pandang ke arah Mas Firman. Kalau saja tak ada Ibu di sini, sudah kumaki-maki itu perempuan.
"Ada anak ataupun tak ada, Yunita tetap istri yang sempurna untuk Firman, Bu." Sekali lagi Mas Firman selalu mencoba membelaku di hadapan ibunya.
"Hah, memang susah ngomong sama kalian berdua. Oh ya, sebelum Tania mendapatkan tempat kos, sementara ia tinggal di sini bersama Laras."
Sejenak, aku dan Mas Firman saling pandang, kami sedikit terkejut jika Tania juga akan tinggal di sini.
"Bu–." Belum selesai Mas Firman melanjutkan ucapannya, Ibu sudah lebih dulu memotong.
"Cukup Firman! Tania ini kan baru di kota ini, apa kamu nggak kasihan kalau dia kemana-mana sendirian, kan bahaya jika ketemu sama orang jahat. Sudah! Biarkan dia sementara di sini sampai dapat tempat kos dan sedikit mengenal kota ini, lagi pula jika dia tinggal di sini kan, Laras ada temannya kalau mau berangkat kerja." Ibu terus saja nyerocos tanpa bisa di cegah, hingga pada akhirnya aku dan Mas Firman mengalah.
"Oke. Tapi hanya untuk sementara," ucap Mas Firman tegas.
Bersambung.
Setelah selesai makan malam, Mas Firman langsung beranjak naik ke atas, aku membereskan sisa makan dan piring di meja makan. "Sayang, tolong beritahu kamar untuk Laras, dan temanya di kamar bawah, dan tolong jangan keluyuran naik ke atas, boleh naik ke atas hanya untuk menjemur pakaian. Itupun di lakukan pada siang hari." Mas Firman yang baru menaiki beberapa anak tangga berhenti kemudian mengatakan itu, serentak kami yang masih berada di meja makan menoleh ke arahnya. "Baik, Mas," sahutku cepat. Aku melirik Tania dan Laras, mereka saling pandang, entah apa yang ada dipikiran mereka aku tak tau. "Firman, masa mau naik ke atas aja, nggak boleh." Ibu pun ikut bersuara. "Tolong, Bu. Hargai keputusanku, jika ingin tinggal di rumah ini, ikuti aturan di rumah ini." Semua terdiam. Begitulah suamiku, ia akan berkata lembut saat bersamaku, tapi ia juga akan tegas jika ada yang menentang keputusannya. Memang aku pikir itu memang yang terbaik, Tania bukan siapa-siapa dan bukan muhrim bag
Diri ini hanya manusia biasa, perempuan lemah yang begitu sangat mencintainya, pun dengan hati ini, begitu cepat terbakar api cemburu saat melihatnya tengah berdua dengan Dia, apa aku terlalu posesif, atau aku berlebihan? 🌺🌺🌺Sejenak aku terpaku menatap mereka. Ada rasa nyeri menjalar begitu saja di dalam sini, melihat pemandangan di hadapanku. "Saya bisa bersihkan sendiri." Terlihat Mas Firman mundur satu langkah dan meraih tisu di meja."Maaf Kak, aku tadi tak sengaja.""Iya sudah nggak apa-apa. Maaf juga saya tak lihat kamu datang tadi.""Ehem! Mas, kamu lagi ngapain?" tanyaku saat mereka belum menyadari kedatanganku. Sontak mereka berdua menoleh ke arahku. "Sa–Sayang. Kamu bangun?" Mas Firman melangkah maju melewati Tania yang masih berdiri menatapku dengan tatapan yang sulit kumengerti.Aku hanya memicing, menatap Mas Firman dan Tania secara bergantian. Sebisa mungkin aku tenang dan tak terpancing emosi, melihat Mas Firman tetap tenang sepertinya tak ada hal yang mengkhawat
Akhirnya Tania turun dari mobil dan duduk di samping Laras. Aku menoleh ke arah Mas Firman, ia tersenyum melihatku. Sepanjang perjalanan kami terdiam, Laras pun sibuk dengan ponselnya, Sedangkan Tania sibuk melihat suasana jalanan kota ini. Hingga kami sampai di depan sebuah hotel, dan mereka turun, kami memutar balik arah menuju Rumah makan. "Aku nggak nyangka kamu bisa galak kaya tadi," ucap Mas Firman di sela-sela kesibukan mengemudinya. Aku hanya meliriknya. "Ya bisalah, masa ada cewek ganjen yang mau deket-deket suamiku, aku harus diem aja. Nanti yang ada lama-lama Mas kesenengen," cebikku. "Ya nggak lah. Aku senengnya kalau kamu yang deket-deket Mas." "Beneran ya. Pokoknya aku nggak mau sampai Tania deket-deket Mas lagi. Aku nggak suka. Dia kelihatan banget pengin deketin kamu." Aku terus berbicara mengeluarkan kekesalanku. "Iya, iyaa, Sayang. Lagian aku juga jadi takut sendiri lihat cewek model Tania begitu. Bener lho." "Halah, takut apa malah seneng?!" Aku masih merajuk
"Makanya, Mbak kalo kerja itu yang bener donk! Mbak tau nggak, saya ini calon istrinya Kak Firman, kamu tau?! Saya bisa laporkan ini ke Kak Firman, biar di pecat aja kamu!" "Sekali lagi saya mohon maaf kakak, tolong jangan laporkan ke Pak Firman, saya sangat butuh pekerjaan ini." Lagi Fitri memohon. Tanpa membuang waktu aku segera berjalan menemui mereka yang tengah menjadi tontonan pengunjung lain. "Vita, tolong kamu panggilkan Pak Firman di ruangannya ya, cepat!" titahku pada Vita karyawan bagian kebersihan untuk memanggil Mas Firman, sebelum aku melangkah menuju Fitri dan Tania. Aku lihat sekeliling, Tania hanya sendiri dimana Laras. "Kamu tau nggak, baju ini harganya berapa, gaji kamu sebulan juga nggak akan cukup buat gantiin baju ini." Tania dengan suara lantang menghardik Fitri yang hanya terdiam. "Tania, Fitri, ada apa ini ribut-ribut? Kalian itu mengganggu ketenangan orang-orang yang lagi makan tau! Kita bicara di dalam, kalian ikut saya," ucapku. "Lihat aja nih Kak, di
Aku hanya menghela napas, setelah kejadian ini, aku harus lebih hati-hati lagi dengan Tania, apalagi tadi aku sempat mendengar ia mengucapkan kata 'calon istrinya Pak Firman' melihat sikapnya tadi, aku bisa menyimpulkan dia bisa saja berbuat nekat untuk mencapai tujuannya.Entah apa yang disampaikan Ibu pada Tania, sehingga ia kini begitu berani berkata ia calon istrinya Mas Firman. Apa Ibu berniat menjodohkan Tania dengan Mas Firman, seperti yang beliau katakan jika aku tak kunjung hamil, Mas Firman harus bersedia menikah lagi ?"Kamu nggak apa-apa kan, Sayang? Tania benar-benar arogan," Mas Firman menggeleng, kemudian menggandeng tanganku dan masuk ke ruangannya.Aku duduk dengan pikiran entah berantah. "Kamu kenapa? Kok diam? Aku minta Iwan membawakan makan siang kita kemari ya!" Melihatku terdiam, Mas Firman mendekat, raut wajahnya melukiskan kekhawatiran yang begitu tersirat dari tatapan matanya. Perlahan tangan lembutnya menyapu lembut pipiku, hingga kedua netra kami bertemu."
"Calon Istrinya siapa dia bilang?!" tiba-tiba Mas Firman sudah ada di belakangku dan ikut bersuara, aku sedikit terkejut jika Mas Firman ternyata mendengar penuturan Wati."Calon istri Pak Firman." Wati melanjutkan bicaranya yang tadi sempat terputus dengan menunjuk ke arah Mas Firman dengan ibu jarinya."Bicara apa kamu, Tania itu bukan siapa-siapa saya, jadi jangan membesar-besarkan suatu berita tak bermutu seperti ini. Paham kamu!" ucap Mas Firman tegas."Ma–Maafkan saya Pak Firman, saya sendiri pun tak akan setuju, perempuan itu tidak cocok samasekali sama Bapak." Lagi Wati menambahkan."Lalu cocoknya sama siapa? Sama kamu?!" tukasku."Bukan Bu, Pak Firman dan Ibu Yunita itu sudah pasangan yang sangat cocok, sangat serasi," jawabnya, membuat kedua alisku bertaut."Bukanya kamu tadi bilang kamu lebih cocok daripada Tania itu. Hem?!"
Semburat warna keemasan memancar dengan gagah, menyinari alam fana ini, memperlihatkan langit senja sore ini yang begitu indah. Sang Surya yang mulai meredup, menandakan sebentar lagi tergantikan oleh pekatnya malam. *Baru saja kami hendak masuk ke dalam rumah, Indra pendengaranku sedikit terganggu saat mendengar suara alunan musik yang cukup keras, saat pintu masih tertutup tidak terlalu terdengar, tapi saat kami membuka pintu, suara musik itu begitu keras terdengar, lebih mirip seperti orang yang sedang hajatan, jika di orang hajatan itu adalah musik dangdut, yang ini genre musik pop luar negeri, membuat bising telinga, kepalaku pun berdenyut.Siapa lagi pelakunya kalau bukan Laras dan Tania. Mentang-mentang kami sedang tidak ada di rumah, mereka seenaknya memutar musik dengan begitu kerasnya. "Astaghfirullah, berisik sekali. Laras benar-benar," gumam Mas Firman seraya melangkah masuk ke dalam menuju kamar Laras. Aku menutup pintu dan menyusul Mas Firman.Klik.Mas Firman memati
Bahkan Tania dengan beraninya berkata seperti itu pada suamiku, dengan nada suaranya yang di buat manja. Dasar tak tau diri. Mas Firman masih fokus dengan ponselnya tak sedikitpun ia melirik wanita itu.Aku berdecak kesal, geram sungguh aku kesal melihat sikap wanita ganjen itu. Satu demi satu aku menuruni anak tangga sambil kedua netraku fokus memperhatikan polah Tania yang tengah berusaha mencari perhatian suamiku."Hmm, Kak kenapa kamu begitu dingin padaku. Bukankah aku jauh lebih cantik dari Kak Yunita." Tania masih berusaha mendekati Mas Firman."Aku bahkan bisa memberimu lebih dari apa yang Kak Yunita berikan padamu, Kak." Bahkan Tania semakin berani, ia bangkit dan mencoba menyentuh pipi suamiku."Stop! Tolong jaga sikap kamu!" bentak Mas Firman. Sambil menjauhkan tubuhnya dari Tania yang kian mengikis jarak. Jika saja aku tak melihat sikapnya dari awal, mungkin aku akan salah paham.Aku percepat langkahku mendekati mereka. Aku yang memang sudah kesal melihat tingkah Tania, Ta
Mengapa rasa sakit ini melebihi rasanya sakit hati ketika putus cinta? Aku seakan tengah berlayar di lautan tenang tiba-tiba di terjang badai ombak yang begitu dahsyat hingga kapal yang kukemudikan terombang-ambing.Aku melajukan mobilku menuju ke pemakaman dimana Bapak beristirahat dengan tenang, teringat saat aku masih anak-anak dulu, Aku pernah di ajak Bapak ke pemakaman, namun aku yang masih kecil pun tak bertanya itu makam siapa, dan Bapak juga tak bicara apapun soal makam itu. Aku yang sejak kecil tak pernah kekurangan kasih sayang dari orang tua pun tak sedikitpun aku mengira akan seperti ini kenyataannya.Terlihat sepele, aku ternyata bukanlah anak kandung Ibu, tapi Ibu menyayangiku seperti anak kandungnya, tapi tetap saja hati ini terkoyak, ada rasa sakit menelusup ke dalam sini. Air mataku luruh begitu saja, di sepanjang jalan aku mengemudi. Sakit. Aku mengetahui kenyataan ini di saat Bapak sudah tiada, andaikan saja mereka menceritakan ini jauh sebelum Bapak pergi, mungki
POV Firman"Ehm, Bu. Alhamdulillah tebakan Ibu benar!" ucapku sumringah pada Ibu yang sudah menatap kami penuh tanya."Alhamdulillah! Akhirnya. Ibu mau punya Cucu!" Ibu menghambur ke arah Yunita dan memeluknya erat."Selamat ya Yun, Ibu seneng banget dengernya akhirnya kamu bisa hamil dan kasih cucu untuk Ibu. Maafkan Ibu yang kemarin-kemarin begitu angkuh dan nyakitin kamu! Ibu minta maaf Nak!" ucap Ibu dengan suara parau, Punggungnya bergetar. Ibu menangis dalam pelukan istriku.Aku hanya menatap haru."Ini semua berkat Doa Ibu, Yunita yang harusnya bilang makasih sama Ibu, Ibu sudah bisa menerima Yunita yang banyak kekurangan ini." Lembut Yunita mengusap punggung Ibu."Nggak Sayang. Ibu yang banyak salah sama Yuni, Ibu minta maaf." Yunita mengangguk, seraya mengulum senyum."Sudah Bu. Kita lupakan semua yang sudah berlalu, kita buka lembaran baru menyambut anggota keluarga baru di rumah ini." Aku mengusap punggung Ibu."Iya, Man. Jaga baik-baik istrimu dan calon bayinya ya!""Iya,
POV FirmanDi sebuah ruangan dimana ada Laras berdiri di sana, bersama seorang temannya, dan Tania terbaring di ranjang rumah sakit, terlihat tengah menangis tersedu-sedu. Kenapa Dia?"Laras!" panggilku. Laras tengah berdiri di sisi ranjang, sepertinya sedang menenangkan Tania. Laras sepertinya tidak mendengar Aku memanggilnya.Belum juga Laras menoleh ke arahku, aku sudah dibuat terkejut oleh pertanyaan seorang perawat yang sudah berdiri di belakangku."Maaf Apa Bapak suaminya Ibu Tania?" Degh!"Oh bukan Sus. Saya mau jemput adik saya Laras," tegasku seraya mengibaskan tangan pada perawat itu.Seketika Laras menoleh ke arahku, mungkin karena mendengar namanya kusebut."Kak Firman!""Ayo pulang!" ajakku."Oh saya kira, suaminya pasien. Maaf ya Pak!""Iya gak apa-apa, Sus. Saya permisi!"Aku mendekati Laras dan menggandeng tangannya. Aku bahkan tak melirik sedikit pun ke arah Tania."Kak Firman!" panggil Tania lirih, namun masih jelas terdengar olehku."Ehm Tania, Gue pamit pulang dul
POV FirmanAku dan Yunita pun saling pandang, mendengar percakapan Laras di telepon, terdengar kata kalau Tania pingsan. Pingsan kenapa Dia, kenapa pula menghubunginya pada Laras, kenapa tidak langsung di bawa ke rumah sakit, berbagai pertanyaan muncul dalam benakku."Udah Yuk, Sayang kita ke klinik sekarang!" ajakku pada Yunita, aku juga tak ingin di pusingkan dengan urusan Tania yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga kami."Ya udah Ayo!" Yunita pun mengamit lenganku dan bergelayut manja menuju ke luar rumah."Wah ini motornya, Sayang." Yunita menyentuh dan mengitari motor itu ketika kami sampai di teras rumah."Iya, bagus ya, Sayang. Pilihan kamu memang tak pernah salah." Aku memujinya, karena motor itu memang Dia yang memilih.Beberapa saat Yunita memperhatikan motor itu."Udah Yuk, Sayang. Nanti keburu malam, jadi makin ngantri di klinik." Aku mengingatkan, karena jika semakin malam juga khawatir kliniknya tutup. Malam ini juga malam Minggu, tentu di jalan juga
POV FirmanSetelah menyelesaikan semuanya. Aku pun pamit pulang. Karena sebentar lagi pasti pihak dealer akan mengantarkan motor yang aku beli siang tadi. "Pulang sekarang, Yuk Sayang.""Ayo!"Kami pun berjalan bersisian menuju ke mobil yang terparkir di parkiran Rumah makan."Kira-kira udah diantar belum ya Mas, motornya?" tanya Yunita"Kayaknya sih belum, Laras juga nggak ada telpon Mas. Kalo udah datang pasti Dia kaget dan bingung, kan pasti telpon Mas.""Iya juga Ya." Yunita terlihat begitu bersemangat, meski wajahnya masih terlihat pucat, tapi tidak menutupi rona bahagia yang terpancarkan."Sayang, kamu beneran nggak apa-apa. Wajah kamu pucat lho." "Nggak apa-apa, Mas. Cuma sedikit pusing sih. Nanti aku sampai rumah langsung istirahat aja. Mas nggak usah khawatir, ya!" Meskipun Yunita bicara dengan tenang dan seakan Ia benar-benar baik-baik saja. Tapi tetap saja aku mengkhawatirkannya. Tak biasanya Dia seperti ini.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota
Pov FirmanTak ada yang lebih membahagiakan selain melihat Ibu dan adikku bisa akur dengan istriku. Itu adalah harapan yang selalu aku langitkan di setiap sujudku. Akhirnya Allah menjawab semuanya sekarang. Ibuku sudah kembali seperti dulu, wanita cinta pertamaku sudah kembali lembut dan hangat padaku.Meskipun beberapa tahun belakangan ini, Ibu lebih menunjukkan rasa tak sukanya pada Yunita, istriku. Tapi itu sama artinya juga untukku. Karena istriku adalah cerminan diriku. Jika ada yang mencela atau tidak menyukainya, itu sama saja mencelaku. Aku hanya mampu membesarkan hati Yunita, menghiburnya, dan meminta maaf padanya atas nama Ibu. Hanya itu yang bisa kulakukan, meski dalam hatiku juga merasakan sakit yang sama.Alhamdulillah setelah acara makan malam di restoran itu sikap Ibu banyak berubah. Entah apa yang melatarbelakangi perubahan sikap Ibu pada kami, terutama padaku dan Yunita. Ibu menjadi begitu baik dan tidak lagi memintaku menikahi Tania.Sungguh sebuah keajaiban yang beg
Pov Laras"Bu, Laras seneng deh, sekarang Ibu bisa akur sama Kak Yunita, ternyata Dia baik ya Bu." Aku mulai membuka percakapan malam ini. Aku merebahkan tubuhku di samping Ibu, sudah cukup lama juga aku tidak tidur dengan Ibu. Aroma wangi tubuhnya yang selalu menenangkan. Hangat dan nyaman yang selalu aku rasakan jika berada di dekatnya.Malam ini aku begitu senang bisa bersembunyi di dekat ketiaknya."Iya, Ibu yang salah. Ibu terlalu egois, hanya karena termakan omongan teman-teman Ibu, secara tak sadar Ibu telah menyiksa batin menantu Ibu. Ibu sangat merasa bersalah, Ras."Ibu menatap langit-langit kamar ini, berucap tanpa menoleh menatapku. Ibu sudah menyadari kesalahannya. Sejenak terdiam."Ibu lihat juga kamu banyak berubah, Ras. Nggak ada lagi Laras yang manja yang selalu memaksa untuk dipenuhi semua keinginannya. Sekarang Ibu lihat anak gadis Ibu ini jauh lebih dewasa, lebih sopan, dan ramah, terutama pada Kakak iparnya," sindir Ibu."Bukankah setiap orang itu memiliki hak untu
Pov LarasAku pun memilih tak menanggapinya lagi, dan melangkah cepat untuk pulang. Tania masih berdiri di tempatnya.Setelah tiba di ujung gang tempat kos Tania, aku menunggu sebentar ojek online yang tadi kupesan.Kemudian aku langsung pulang ke rumah karena siang tadi Kak Firman mengabarkan, jika Ibu sudah di ijinkan pulang hari ini, jadi sekarang ini kemungkinan Ibu sudah ada di rumah Kak Firman. Kami sepakat untuk sementara Ibu tinggal di rumah Kak Firman, sampai kondisi Ibu benar-benar membaik.Dengan tinggal di rumah Kak Firman, di saat aku ke kantor dan Kak Firman sibuk di rumah makannya, ada Kak Yunita yang dengan telaten merawat Ibu. Aku bersyukur di saat aku sudah mulai dekat dengan Kak Yunita, Ibu mulai menyadari kesalahannya. Semoga hubungan baik diantara kami ini bisa terus seperti ini. Aku yang paling merasa bersalah pada Kakak iparku itu. Aku yang terlambat menyadari semuanya. Kini aku sadar pilihan Kak Firman memang yang terbaik, wajar saja jika Dia begitu bucin deng
Pov Laras.Hari terus bergulir, hingga hari ini, aku mendapatkan pesan dari Ibu, kalau hari ini beliau meminta kami. Aku, Kak Firman dan juga Kak Yunita untuk makan malam disebuah restoran. Aku sedikit heran karena tak biasa Ibu mengajak kami makan di luar, Padahal biasanya, jika Aku atau Kak Firman mengajak Ibu makan keluar, Ibu sering menolak, beliau lebih suka makan di rumah, lebih leluasa katanya.Walaupun dalam hati ini meragu karena ternyata Ibu juga mengajak serta Tania, aku pun menyanggupinya untuk datang, sepulang dari kantor aku langsung menuju ke restoran yang sudah ditentukan Ibu. Dalam hati ini juga ada rasa was-was. Takut Ibu akan membahas rencananya yaitu menjodohkan Kak Firman dengan Tania.Jika benar itu yang akan Ibu katakan, aku akan langsung bersuara. Tidak setuju. Bahkan saat itu juga aku akan langsung bongkar tabiat asli Tania itu seperti apa. Agar Ibu tidak terus menerus harus menekan Kak Firman lagi.Aku berusaha untuk menyelesaikan pekerjaanku agar lebih cepat