Kami semua tercengang menatap penampilan Tania dari ujung kaki hingga ke ujung rambut kepalanya. Mas Firman seketika menoleh ke arah lain, dan Iwan pun menundukkan kepalanya. Aku pun memijit pelan pelipisku yang terasa berdenyut.Penampilan Tania sungguh tak sopan, memakai baju yang kurang bahan, bagaimana tidak, ia mengenakan baju terbuka tanpa lengan dengan belahan dada yang rendah, dan celana jeans pendek jauh di atas lututnya."Tania apa kamu tidak ada baju yang lebih pantas lagi? Sampai mau keluar harus pake baju kurang bahan, seperti ini?" tanyaku."Tuh kan salah lagi. Huh, ini tuh baju aku beli mahal lho Kak, malah suruh ganti." Tania berdecak kesal, menghentakkan kakinya, bibirnya mengerucut. seperti biasa ia seperti itu."Tania cepat pake pakaian yang sopan, kalau terbuka seperti itu, bisa masuk angin kamu!" Kali ini Mas Firman ikut bersuara. "Kak Firman ... Bukankah kalau aku pakai pakaian seperti ini aku jadi kelihatan makin seksi Kak," ucap Tania. Bahkan dengan suara man
Seperti biasa kami akan bersiap-siap dan berangkat ke rumah makan, setelah menghabiskan roti sandwich yang aku buatkan, kami berencana berangkat ke rumah makan pusat, setelah mengantarkan aku, baru kemudian Mas Firman akan ke rumah makan cabang, sesuai dengan yang sudah kami bicarakan. Lokasi rumah makan cabang ada di luar kota, yaitu di Bogor, yang memakan waktu perjalanan hampir dua jam. Begitu sampai di rumah makan, Mas Firman hanya masuk sebentar, untuk berbicara sebentar dengan Iwan kemudian langsung pamit untuk langsung ke Bogor."Sayang Aku langsung berangkat sekarang ya! Kamu jangan lupa makan siang, nanti sore aku pulang, kalau waktunya masih cukup aku akan jemput kamu dulu, semoga tidak macet."Pamitnya sambil memelukku erat, seakan kita akan terpisah lama, padahal hanya terpisah beberapa jam saja. Ah, suamiku memang lebay, tapi aku suka itu."Kamu hati-hati ya, Sayang. Janji kamu selalu kabarin aku," sahutku sambil mengusap pelan dada bidangnya dan membenarkan kerah kemeja
POV AuthorSelepas Maghrib, setelah semua urusan di tempat rumah makan cabang itu selesai, Firman berniat untuk segera pulang ke Jakarta, ia pun tak ingin berlama-lama di sini, sebentar saja ia tak bersama istrinya, rasa rindu sudah menggelayut dalam hati dan pikirannya. Sebesar itu cinta yang terbangun di hati mereka, dalam hati Firman, ia berharap pernikahan yang telah terbangun kokoh atas nama cinta itu akan terus langgeng hingga menua dan hingga hanya terpisah oleh maut.Firman mulai melajukan kendaraannya membelah jalan penghubung antar kota yang ramai, dan macet. Melihat kemacetan sekitar, membuatnya berpikir untuk mencari jalan alternatif agar bisa segera sampai di rumah.Tak lupa Dia mengabari istrinya tadi sebelum mulai mengemudi, agar Yunita di sana tak mencemaskannya.Setelah ia mencari rute alternatif di google maps ponselnya, Firman mulai mengemudikan mobilnya sesuai arahan maps di ponsel pintarnya, jika di lihat jalur alternatif yang akan ia tempuh relatif lenggang.Tin
Dalam hatinya begitu gundah, kemana ia harus mencari kabar tentang suaminya itu.Sudah ia coba menghubungi Rendi, salah satu karyawan kepercayaan suaminya di rumah makan cabang itu, Rendi bilang Firman sudah jalan selepas Maghrib tadi. Tapi mengapa hingga dini hari Mas Firman belum juga sampai di rumah.Perasaannya semakin tak menentu, firasat tak enak yang telah dirasakan sejak pagi tadi, semakin menguat jika telah terjadi sesuatu pada lelakinya itu.Wanita cantik itu tampak frustasi, berkali-kali ia mengusap wajahnya dengan kasar, mengapa tidak ia terima saja ajakan suaminya untuk ikut bersamanya tadi pagi, pastilah sekarang ia tak gundah seperti sekarang ini.Bahkan sudah puluhan kali ia mencoba menghubungi nomor suaminya, namun tetap hasilnya sama, tak tersambung. Hingga la lemparkan ponsel itu di sofa ruang tengah itu, namun beberapa detik kemudian ia meraihnya kembali. *Mobil yang dilajukan Firman telah sampai di depan di depan ruang IGD, Rumah Sakit Harapan Sehat, dua orang
Firman semakin tak tega, karena kesalahannya, secara tak langsung ia telah menambah beban yang begitu berat pada gadis di depannya itu."Sekali lagi Saya minta maaf, saya janji akan bertanggung jawab penuh atas pengobatan Bapak kamu." Mendengar ucapan Firman di sampingnya, gadis dua puluh satu tahun itu melirik tajam, ke arah laki-laki yang duduk di sampingnya. Mereka saling terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Hingga adzan Subuh berkumandang, bergegas Firman pamit ke Mushalla rumah sakit untuk menunaikan salat subuh, usai melaksanakan kewajibannya, ia baru teringat, jika ia belum mengabari istrinya. 'Astaghfirullah, aku bahkan sampai lupa mengabari Yunita', gumamnya. Ia merogoh saku celananya hanya ada kunci mobil dan dompetnya. Kemudian teringat terakhir ia menggunakan benda pipih itu, adalah ketika di mobil sebelum kecelakaan terjadi. Dengan setengah berlari ia menuju area parkiran dan mencari ponselnya di dasbor mobil, namun tak menemukannya. Ia pun membungkukkan tubuhnya,
Pagi ini Yunita memilih untuk tidak ke rumah makan, dan baru saja ia menghubungi Iwan untuk menghandle semuanya. Yunita lebih memilih di rumah, untuk menyambut suaminya pulang. Ia tahu pasti suaminya kini begitu sangat lelah setelah semua kejadian yang menimpanya. Ceklek.Laras keluar pintu kamar saat Yunita tengah memanggang roti untuk sarapan."Sarapan dulu, Ras," sapa Yunita."Iya, Kak. Aku cuci muka dulu bentar." Gadis itu terlihat masih mengantuk, berjalan ngontai masuk ke kamar mandi."Kak Firman kemana, Kak? Kok sepi dari semalam?" tanyanya saat sudah duduk dan siap sarapan. Yunita hanya menghembuskan napas berat."Kakakmu belum pulang, Ras. Semoga hari ini benar dia akan pulang," ucap Yunita sambil menatap liris ke depan dengan tatapan nanar."Hah?! Kok bisa? Nggak biasanya Kak Firman sampai nggak pulang. Kalian pasti sedang berantem ya?" Pertanyaan Laras itu lebih terdengar seperti ledekan. "Nggak, bukan itu," sahut Yunita singkat. Ia sendiri masih ragu menceritakan pada a
"Bapak ingin saya menikahi Wina. Itu tidak mungkin Pak, saya sudah punya istri Pak. Tak mungkin saya menikah lagi dengan wanita lain, saya tidak mau menyakiti hati istri saya, Pak. Apa tak ada cara lain yang harus saya lakukan, selain ini Pak?" Firman begitu syok mendengar permintaan Pak Wiryo. Ini semua sungguh di luar keinginannya.Ditengah kekalutan yang dirasakan, ia memang merasa bersalah pada Pak Wiryo, tapi sebagai bentuk tanggung jawabnya apa harus dengan cara menikahi putrinya. Firman masih belum mengiyakan permintaan itu. Ia masih ingin bernegosiasi untuk mencari cara lain."Sa–Saya mohon, agar kamu mau menikah dengan Wina, dia sedang dalam masalah, saya sendiri rasanya ini sudah tak lama lagi." Lagi Pak Wiryo berkata terbata, kali ini dengan napas yang tersegal-segal."Pak! Bapak! Sudah Pak, jangan bicara begitu, Wina mohon." Melihat kondisi Pak Wiryo yang tiba-tiba sesak napas, Firman kembali mendekat."Pak, katakan apa yang harus saya lakukan, tapi tolong jangan paksa sa
"Baik, Mas saya akan panggil Pak Ustadz yang biasa menikahkan secara siri, dan juga saya panggil Pak RT ya, Mas," sahut Andi."Terimakasih banyak, Pak. Ini saya ada sedikit uang untuk ongkos Bapak bolak balik kemari pak." Firman menyerahkan beberapa lembar uang berwarna merah. Keduanya pun bergegas meninggalkan rumah sakit.Firman kembali mendekati Pak Wiryo. Melihat Wina yang masih tertunduk, di iringi suara isakan. Ia tak mampu membantah keinginan Bapaknya, juga merasa sedih meratapi nasibnya."Saya, akan penuhi permintaan Bapak, tapi saya mohon Bapak bertahan, ya Pak," bisik Firman.Pak Wiryo hanya tersenyum dan mengangguk pelan.Firman pun keluar ruangan itu, mendaratkan bobotnya di kursi ruang tunggu. Pikirannya melayang, mengapa semuanya jadi begini. Firman menyugar rambutnya. Lelah, rasanya ingin ia pergi dari tempat ini dan pulang ke rumah memeluk tubuh istrinya. Tapi rasa bersalah yang menghantui, menjadikannya seakan terpaku di sini mempertanggungjawabkan semua yang sudah
Mengapa rasa sakit ini melebihi rasanya sakit hati ketika putus cinta? Aku seakan tengah berlayar di lautan tenang tiba-tiba di terjang badai ombak yang begitu dahsyat hingga kapal yang kukemudikan terombang-ambing.Aku melajukan mobilku menuju ke pemakaman dimana Bapak beristirahat dengan tenang, teringat saat aku masih anak-anak dulu, Aku pernah di ajak Bapak ke pemakaman, namun aku yang masih kecil pun tak bertanya itu makam siapa, dan Bapak juga tak bicara apapun soal makam itu. Aku yang sejak kecil tak pernah kekurangan kasih sayang dari orang tua pun tak sedikitpun aku mengira akan seperti ini kenyataannya.Terlihat sepele, aku ternyata bukanlah anak kandung Ibu, tapi Ibu menyayangiku seperti anak kandungnya, tapi tetap saja hati ini terkoyak, ada rasa sakit menelusup ke dalam sini. Air mataku luruh begitu saja, di sepanjang jalan aku mengemudi. Sakit. Aku mengetahui kenyataan ini di saat Bapak sudah tiada, andaikan saja mereka menceritakan ini jauh sebelum Bapak pergi, mungki
POV Firman"Ehm, Bu. Alhamdulillah tebakan Ibu benar!" ucapku sumringah pada Ibu yang sudah menatap kami penuh tanya."Alhamdulillah! Akhirnya. Ibu mau punya Cucu!" Ibu menghambur ke arah Yunita dan memeluknya erat."Selamat ya Yun, Ibu seneng banget dengernya akhirnya kamu bisa hamil dan kasih cucu untuk Ibu. Maafkan Ibu yang kemarin-kemarin begitu angkuh dan nyakitin kamu! Ibu minta maaf Nak!" ucap Ibu dengan suara parau, Punggungnya bergetar. Ibu menangis dalam pelukan istriku.Aku hanya menatap haru."Ini semua berkat Doa Ibu, Yunita yang harusnya bilang makasih sama Ibu, Ibu sudah bisa menerima Yunita yang banyak kekurangan ini." Lembut Yunita mengusap punggung Ibu."Nggak Sayang. Ibu yang banyak salah sama Yuni, Ibu minta maaf." Yunita mengangguk, seraya mengulum senyum."Sudah Bu. Kita lupakan semua yang sudah berlalu, kita buka lembaran baru menyambut anggota keluarga baru di rumah ini." Aku mengusap punggung Ibu."Iya, Man. Jaga baik-baik istrimu dan calon bayinya ya!""Iya,
POV FirmanDi sebuah ruangan dimana ada Laras berdiri di sana, bersama seorang temannya, dan Tania terbaring di ranjang rumah sakit, terlihat tengah menangis tersedu-sedu. Kenapa Dia?"Laras!" panggilku. Laras tengah berdiri di sisi ranjang, sepertinya sedang menenangkan Tania. Laras sepertinya tidak mendengar Aku memanggilnya.Belum juga Laras menoleh ke arahku, aku sudah dibuat terkejut oleh pertanyaan seorang perawat yang sudah berdiri di belakangku."Maaf Apa Bapak suaminya Ibu Tania?" Degh!"Oh bukan Sus. Saya mau jemput adik saya Laras," tegasku seraya mengibaskan tangan pada perawat itu.Seketika Laras menoleh ke arahku, mungkin karena mendengar namanya kusebut."Kak Firman!""Ayo pulang!" ajakku."Oh saya kira, suaminya pasien. Maaf ya Pak!""Iya gak apa-apa, Sus. Saya permisi!"Aku mendekati Laras dan menggandeng tangannya. Aku bahkan tak melirik sedikit pun ke arah Tania."Kak Firman!" panggil Tania lirih, namun masih jelas terdengar olehku."Ehm Tania, Gue pamit pulang dul
POV FirmanAku dan Yunita pun saling pandang, mendengar percakapan Laras di telepon, terdengar kata kalau Tania pingsan. Pingsan kenapa Dia, kenapa pula menghubunginya pada Laras, kenapa tidak langsung di bawa ke rumah sakit, berbagai pertanyaan muncul dalam benakku."Udah Yuk, Sayang kita ke klinik sekarang!" ajakku pada Yunita, aku juga tak ingin di pusingkan dengan urusan Tania yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga kami."Ya udah Ayo!" Yunita pun mengamit lenganku dan bergelayut manja menuju ke luar rumah."Wah ini motornya, Sayang." Yunita menyentuh dan mengitari motor itu ketika kami sampai di teras rumah."Iya, bagus ya, Sayang. Pilihan kamu memang tak pernah salah." Aku memujinya, karena motor itu memang Dia yang memilih.Beberapa saat Yunita memperhatikan motor itu."Udah Yuk, Sayang. Nanti keburu malam, jadi makin ngantri di klinik." Aku mengingatkan, karena jika semakin malam juga khawatir kliniknya tutup. Malam ini juga malam Minggu, tentu di jalan juga
POV FirmanSetelah menyelesaikan semuanya. Aku pun pamit pulang. Karena sebentar lagi pasti pihak dealer akan mengantarkan motor yang aku beli siang tadi. "Pulang sekarang, Yuk Sayang.""Ayo!"Kami pun berjalan bersisian menuju ke mobil yang terparkir di parkiran Rumah makan."Kira-kira udah diantar belum ya Mas, motornya?" tanya Yunita"Kayaknya sih belum, Laras juga nggak ada telpon Mas. Kalo udah datang pasti Dia kaget dan bingung, kan pasti telpon Mas.""Iya juga Ya." Yunita terlihat begitu bersemangat, meski wajahnya masih terlihat pucat, tapi tidak menutupi rona bahagia yang terpancarkan."Sayang, kamu beneran nggak apa-apa. Wajah kamu pucat lho." "Nggak apa-apa, Mas. Cuma sedikit pusing sih. Nanti aku sampai rumah langsung istirahat aja. Mas nggak usah khawatir, ya!" Meskipun Yunita bicara dengan tenang dan seakan Ia benar-benar baik-baik saja. Tapi tetap saja aku mengkhawatirkannya. Tak biasanya Dia seperti ini.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota
Pov FirmanTak ada yang lebih membahagiakan selain melihat Ibu dan adikku bisa akur dengan istriku. Itu adalah harapan yang selalu aku langitkan di setiap sujudku. Akhirnya Allah menjawab semuanya sekarang. Ibuku sudah kembali seperti dulu, wanita cinta pertamaku sudah kembali lembut dan hangat padaku.Meskipun beberapa tahun belakangan ini, Ibu lebih menunjukkan rasa tak sukanya pada Yunita, istriku. Tapi itu sama artinya juga untukku. Karena istriku adalah cerminan diriku. Jika ada yang mencela atau tidak menyukainya, itu sama saja mencelaku. Aku hanya mampu membesarkan hati Yunita, menghiburnya, dan meminta maaf padanya atas nama Ibu. Hanya itu yang bisa kulakukan, meski dalam hatiku juga merasakan sakit yang sama.Alhamdulillah setelah acara makan malam di restoran itu sikap Ibu banyak berubah. Entah apa yang melatarbelakangi perubahan sikap Ibu pada kami, terutama padaku dan Yunita. Ibu menjadi begitu baik dan tidak lagi memintaku menikahi Tania.Sungguh sebuah keajaiban yang beg
Pov Laras"Bu, Laras seneng deh, sekarang Ibu bisa akur sama Kak Yunita, ternyata Dia baik ya Bu." Aku mulai membuka percakapan malam ini. Aku merebahkan tubuhku di samping Ibu, sudah cukup lama juga aku tidak tidur dengan Ibu. Aroma wangi tubuhnya yang selalu menenangkan. Hangat dan nyaman yang selalu aku rasakan jika berada di dekatnya.Malam ini aku begitu senang bisa bersembunyi di dekat ketiaknya."Iya, Ibu yang salah. Ibu terlalu egois, hanya karena termakan omongan teman-teman Ibu, secara tak sadar Ibu telah menyiksa batin menantu Ibu. Ibu sangat merasa bersalah, Ras."Ibu menatap langit-langit kamar ini, berucap tanpa menoleh menatapku. Ibu sudah menyadari kesalahannya. Sejenak terdiam."Ibu lihat juga kamu banyak berubah, Ras. Nggak ada lagi Laras yang manja yang selalu memaksa untuk dipenuhi semua keinginannya. Sekarang Ibu lihat anak gadis Ibu ini jauh lebih dewasa, lebih sopan, dan ramah, terutama pada Kakak iparnya," sindir Ibu."Bukankah setiap orang itu memiliki hak untu
Pov LarasAku pun memilih tak menanggapinya lagi, dan melangkah cepat untuk pulang. Tania masih berdiri di tempatnya.Setelah tiba di ujung gang tempat kos Tania, aku menunggu sebentar ojek online yang tadi kupesan.Kemudian aku langsung pulang ke rumah karena siang tadi Kak Firman mengabarkan, jika Ibu sudah di ijinkan pulang hari ini, jadi sekarang ini kemungkinan Ibu sudah ada di rumah Kak Firman. Kami sepakat untuk sementara Ibu tinggal di rumah Kak Firman, sampai kondisi Ibu benar-benar membaik.Dengan tinggal di rumah Kak Firman, di saat aku ke kantor dan Kak Firman sibuk di rumah makannya, ada Kak Yunita yang dengan telaten merawat Ibu. Aku bersyukur di saat aku sudah mulai dekat dengan Kak Yunita, Ibu mulai menyadari kesalahannya. Semoga hubungan baik diantara kami ini bisa terus seperti ini. Aku yang paling merasa bersalah pada Kakak iparku itu. Aku yang terlambat menyadari semuanya. Kini aku sadar pilihan Kak Firman memang yang terbaik, wajar saja jika Dia begitu bucin deng
Pov Laras.Hari terus bergulir, hingga hari ini, aku mendapatkan pesan dari Ibu, kalau hari ini beliau meminta kami. Aku, Kak Firman dan juga Kak Yunita untuk makan malam disebuah restoran. Aku sedikit heran karena tak biasa Ibu mengajak kami makan di luar, Padahal biasanya, jika Aku atau Kak Firman mengajak Ibu makan keluar, Ibu sering menolak, beliau lebih suka makan di rumah, lebih leluasa katanya.Walaupun dalam hati ini meragu karena ternyata Ibu juga mengajak serta Tania, aku pun menyanggupinya untuk datang, sepulang dari kantor aku langsung menuju ke restoran yang sudah ditentukan Ibu. Dalam hati ini juga ada rasa was-was. Takut Ibu akan membahas rencananya yaitu menjodohkan Kak Firman dengan Tania.Jika benar itu yang akan Ibu katakan, aku akan langsung bersuara. Tidak setuju. Bahkan saat itu juga aku akan langsung bongkar tabiat asli Tania itu seperti apa. Agar Ibu tidak terus menerus harus menekan Kak Firman lagi.Aku berusaha untuk menyelesaikan pekerjaanku agar lebih cepat