"Assalamualaikum, Bro.""Wa'alaikumsalam, Dimas, Alhamdulillah akhirnya lu sampai juga Bro. Thanks ya." Dimas sahabatnya itu, telah sampai di rumah sakit, ia memang tadi sempat menghubungi sahabatnya itu dan menceritakan semuanya."Iya, sama-sama. Gila lu, Bro. Gue satu aja belum, lu udah mau dua. Apa lu nggak mikirin gimana nanti Yunita, kasian dia Bro. Gue kalo jadi lu, udah gue kabur pergi aja daripada gue harus nikahin anaknya, Yunita itu cantik, baik, pinter, istri idaman banget pokoknya lah. Apa lu yakin?" Dimas yang baru datang karena diminta datang oleh Firman itu, langsung mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. Dimas juga kenal baik sama Yunita, mereka pasangan yang sangat cocok dan serasi, bisa dibilang pasangan mereka membuatnya ingin memiliki istri idaman yang karakternya seperti istri sahabatnya ini.Firman hanya membuang napas kasar, bukannya ia tidak memikirkan bagaimana Yunita, tapi ini soal sebuah tanggung jawab atas kesalahan yang sudah ia lakukan, dan kesalahan i
Firman meraih pergelangan tangan kiri Pak Wiryo, tapi tak merasakan adanya denyut nadi di sana.Tak berapa lama seorang dokter dan suster masuk ke dalam ruangan."Silahkan Bapak-bapak tunggu di luar sebentar ya, Pak," ucap Suster pada mereka yang tadi telah menggelar pernikahan mendadak itu. Firman dan Dimas pun ikut keluar ruangan, membiarkan dokter memeriksa keadaan Pak Wiryo di dalam."Innalilahi waa Inna ilaihi Raji'un. Maaf Pak Wiryo sudah tak ada," ucap Dokter yang memeriksa pada Wina yang memang tak mau keluar ruangan, ia ingin melihat ayahnya kembali membuka mata saat dokter memeriksa, tapi kenyataan menyakitkan justru yang di dengarnya."Tidak. Itu tidak mungkin Dok, Bapaakk ... Bangun Paak!" Suster melepas semua alat yang menempel pada tubuh Pak Wiryo, Wina berlari mendekat memeluk erat tubuh renta itu.Ia menangis pilu, meraung dengan kencang. hingga suaranya terdengar ke luar ruangan. Firman yang tengah menunggu di luar seketika saling pandang dengan Dimas, di hati mereka
POV FirmanPagi itu aku berangkat ke kota Bogor dengan hati tenang, setelah mengantar Yunita ke Rumah makan utama kini aku injak dalam pedal gas untuk ke rumah makan cabang.Meski ada sedikit heran akan tatapan Yunita sesaat sebelum aku masuk mobil itu sedikit berbeda, terlihat gurat kecemasan pada mimik wajahnya dan pancaran matanya.Namun, segera aku meyakinkan istriku, jika semua akan baik-baik saja, terlebih sekarang Tania sudah tidak tinggal di rumah kami lagi, hati ini sudah tenang sekarang, setelah beberapa hari kemarin sempat membuatku tak nyaman tinggal di rumah sendiri.Aku Muhammad Firman, yang kini telah memperistri Yunita Safitri, seorang wanita tinggi semampai, cantik nan lembut yang kukenal saat kami kuliah, aku memang menaruh hati padanya saat pandangan pertama, sosoknya yang periang dan hatinya baik tentunya, membuatku jatuh cinta padanya.Tiga tahun sudah usai pernikahan kita, namun hingga saat ini, belum ada tanda-tanda kehadiran janin di rahimnya, tapi aku tak pern
Aku menghubungi Dimas sahabatku untuk datang kemari dan menyiapkan semual dokumen pendukung untuk pernikahan siri ini, semua ini aku lakukan tak lebih dari sebuah tanggung jawab, bukan karena suka, apalagi cinta, bukan.Akan tapi lebih kepada rasa kemanusiaan, mengingat Pak Wiryo jadi seperti ini juga karena aku yang menabraknya.Dimas datang dengan raut wajah yang begitu sulit di artikan, aku paham, pasti ia tak percaya aku melakukan ini, ia tahu betapa aku sangat-sangat mencintai istriku. Sungguh semua ini pun sebuah keputusan yang begitu berat untukku.Hingga pernikahan di langsungkan sederhana, di rumah sakit ini. Beberapa menit setelah selesai ijab kabul kuucapkan, Pak Wiryo menghembuskan napas terakhirnya.Betapa hatiku pun terluka ia pergi karena sebuah kesalahanku. Satu pesannya yang ia sampaikan padaku, agar aku menjaga Wina putrinya, aku tak paham bagaimana bisa ia yang baru bertemu denganku, dengan mudahnya beliau ingin aku menikahi putrinya, apa ia tidak takut jika nanti y
Dengan sigap, anak buah juragan Dadang itu menarik paksa tangan Wina dan menyeretnya masuk.Aku sudah tak tahan lagi melihat penindasan terjadi di depan mataku. "Lepaskan dia!" teriakku lantang. Seketika pandangan mereka beralih ke arahku.Laki-laki yang yang bernama juragan Dadang itu pun menatap tajam ke arahku, kemudian tersenyum miring, senyuman yang lebih mirip di katakan seringai."Jangan ikut campur urusan kami, Bung." Juragan Dadang itu bangkit dan mengucapkan itu padaku."Tentu aku harus ikut campur," sahutku."Mas, saya ucapkan terimakasih atas sumbangan yang tadi Mas berikan, tapi Mas tak perlu ikut campur urusan kami." Bu Warsih ikut bicara."Lepaskan! Jangan kasar sama perempuan," desis Dimas tepat di samping telinga pengawal Juragan Dadang itu.Namun laki-laki tegap itu tetap bergeming, ia mencengkram erat tangan Wina. Hingga Wina meringis pasti ia merasakan sakit di pergelangan tangannya."Lepaskan dia! Aku bilang!" Lagi aku berkata lantang.Sontak wajah Juragan Dadan
Wina mengangguk. Sontak membuat wajah ibunya itu semakin murka."Tidak itu tidak mungkin. Kamu pasti bohong! Beraninya kamu membohongi Ibu?! Hah?!" bentaknya lagi."Wina tidak bohong, Bu," jawab Wina lemah.Cih!Juragan Dadang itu meludah sembarangan, wajahnya memerah, kemudian menoleh ke arah Bu Warsih, melihat tatapan juragan Dadang, Bu Warsih pun menciut."Kamu pikir, saya percaya dengan kata-kata kamu." Juragan Dadang itu meminta pembuktian ternyata."Saya punya buktinya, kami memang menikah di rumah sakit, Pak Wiryo yang meminta saya menikahi putrinya sebagai bentuk tanggung jawab atas kecelakaan yang terjadi, pak RT dan Ustadz Ghofur serta Pak Andi dan Pak Toni, juga sahabat saya Dimas ini yang menjadi saksinya, dan satu lagi, kami punya bukti tertulis untuk itu. Dimas tunjukkan surat bukti pernikahan itu padanya," titahku, tanpa menoleh sedikitpun ke arah Dimas, pandanganku tetap pada laki-laki arogan di depanku ini.Tanpa bersuara, Dimas mengambil secarik kertas itu dan mendek
Pov YunitaKepergian Mas Firman ke rumah makan cabang kali ini sungguh membuatku begitu khawatir, terlebih saat aku menerima kabar kalau Mas Firman telah menabrak seseorang di jalan, pikiranku semakin tak karuan.Hari ini rencananya Mas Firman akan pulang, tapi hingga sore menjelang, belum tampak batang hidungnya, terlebih Ibu yang datang sejak pagi tadi, kembali berbagai cercaan aku dengar dari mulut Ibu mertuaku."Mana ini, si Firman, kenapa belum sampai juga hingga sore begini?" Ibu tampak risau menunggu anak lelakinya pulang."Mungkin lagi di jalan, Bu. Kita tunggu semoga sebentar lagi Mas Firman sampai" sahutku. Ibu hanya melirik sinis ke arahku."Saya udah nggak sabar denger penjelasan dari dia, kenapa dia sampai mengusir Tania." Lagi Ibu terlihat kesal atas pengusiran Tania dari rumah ini."Pokoknya, saya nggak mau tau, kalau perlu Firman segera nikahi Tania, dia itu cantik, pinter, dan yang pasti dia pasti segera bisa kasih cucu buat ibu," desisnya dengan menekan kata-kata 'cu
"Bu, ini adalah rumah tangga Firman, cuma aku yang mengambil keputusan, jika Ibu ingin Tania tinggal di sini untuk teman Laras, silahkan Laras bisa ikut tinggal di kosan, menemani dia.""Firman! Jadi kamu mengusir Laras adik kamu? Iya?! Kamu semenjak nikah sama Yunita, kamu selalu melawan kata ibu.""Terserah apa kata Ibu, Firman Capek Bu. Firman mau istirahat." Hening.Sepertinya Mas Firman sudah naik ke atas meninggalnya obrolan yang terlihat belum ada ujungnya.Aku membuat dua cangkir jahe hangat untuk Mas Firman dan Ibu, berharap bisa menghangatkan di saat suasana sore yang mendung ini.Setelah semuanya siap aku membawakannya untuk Ibu yang masih duduk di ruang tengah."Ini minuman jahe, Bu. Untuk menghangatkan tubuh, karena di luar mulai gerimis." Aku meletakkan cangkir di atas meja. Ibu hanya diam, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya."Yunita tinggal ke atas dulu ya, Bu. Membawakan minuman untuk Mas Firman." Aku pun membalikkan badan hendak naik ke atas."Ini semua pasti ga
Mengapa rasa sakit ini melebihi rasanya sakit hati ketika putus cinta? Aku seakan tengah berlayar di lautan tenang tiba-tiba di terjang badai ombak yang begitu dahsyat hingga kapal yang kukemudikan terombang-ambing.Aku melajukan mobilku menuju ke pemakaman dimana Bapak beristirahat dengan tenang, teringat saat aku masih anak-anak dulu, Aku pernah di ajak Bapak ke pemakaman, namun aku yang masih kecil pun tak bertanya itu makam siapa, dan Bapak juga tak bicara apapun soal makam itu. Aku yang sejak kecil tak pernah kekurangan kasih sayang dari orang tua pun tak sedikitpun aku mengira akan seperti ini kenyataannya.Terlihat sepele, aku ternyata bukanlah anak kandung Ibu, tapi Ibu menyayangiku seperti anak kandungnya, tapi tetap saja hati ini terkoyak, ada rasa sakit menelusup ke dalam sini. Air mataku luruh begitu saja, di sepanjang jalan aku mengemudi. Sakit. Aku mengetahui kenyataan ini di saat Bapak sudah tiada, andaikan saja mereka menceritakan ini jauh sebelum Bapak pergi, mungki
POV Firman"Ehm, Bu. Alhamdulillah tebakan Ibu benar!" ucapku sumringah pada Ibu yang sudah menatap kami penuh tanya."Alhamdulillah! Akhirnya. Ibu mau punya Cucu!" Ibu menghambur ke arah Yunita dan memeluknya erat."Selamat ya Yun, Ibu seneng banget dengernya akhirnya kamu bisa hamil dan kasih cucu untuk Ibu. Maafkan Ibu yang kemarin-kemarin begitu angkuh dan nyakitin kamu! Ibu minta maaf Nak!" ucap Ibu dengan suara parau, Punggungnya bergetar. Ibu menangis dalam pelukan istriku.Aku hanya menatap haru."Ini semua berkat Doa Ibu, Yunita yang harusnya bilang makasih sama Ibu, Ibu sudah bisa menerima Yunita yang banyak kekurangan ini." Lembut Yunita mengusap punggung Ibu."Nggak Sayang. Ibu yang banyak salah sama Yuni, Ibu minta maaf." Yunita mengangguk, seraya mengulum senyum."Sudah Bu. Kita lupakan semua yang sudah berlalu, kita buka lembaran baru menyambut anggota keluarga baru di rumah ini." Aku mengusap punggung Ibu."Iya, Man. Jaga baik-baik istrimu dan calon bayinya ya!""Iya,
POV FirmanDi sebuah ruangan dimana ada Laras berdiri di sana, bersama seorang temannya, dan Tania terbaring di ranjang rumah sakit, terlihat tengah menangis tersedu-sedu. Kenapa Dia?"Laras!" panggilku. Laras tengah berdiri di sisi ranjang, sepertinya sedang menenangkan Tania. Laras sepertinya tidak mendengar Aku memanggilnya.Belum juga Laras menoleh ke arahku, aku sudah dibuat terkejut oleh pertanyaan seorang perawat yang sudah berdiri di belakangku."Maaf Apa Bapak suaminya Ibu Tania?" Degh!"Oh bukan Sus. Saya mau jemput adik saya Laras," tegasku seraya mengibaskan tangan pada perawat itu.Seketika Laras menoleh ke arahku, mungkin karena mendengar namanya kusebut."Kak Firman!""Ayo pulang!" ajakku."Oh saya kira, suaminya pasien. Maaf ya Pak!""Iya gak apa-apa, Sus. Saya permisi!"Aku mendekati Laras dan menggandeng tangannya. Aku bahkan tak melirik sedikit pun ke arah Tania."Kak Firman!" panggil Tania lirih, namun masih jelas terdengar olehku."Ehm Tania, Gue pamit pulang dul
POV FirmanAku dan Yunita pun saling pandang, mendengar percakapan Laras di telepon, terdengar kata kalau Tania pingsan. Pingsan kenapa Dia, kenapa pula menghubunginya pada Laras, kenapa tidak langsung di bawa ke rumah sakit, berbagai pertanyaan muncul dalam benakku."Udah Yuk, Sayang kita ke klinik sekarang!" ajakku pada Yunita, aku juga tak ingin di pusingkan dengan urusan Tania yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga kami."Ya udah Ayo!" Yunita pun mengamit lenganku dan bergelayut manja menuju ke luar rumah."Wah ini motornya, Sayang." Yunita menyentuh dan mengitari motor itu ketika kami sampai di teras rumah."Iya, bagus ya, Sayang. Pilihan kamu memang tak pernah salah." Aku memujinya, karena motor itu memang Dia yang memilih.Beberapa saat Yunita memperhatikan motor itu."Udah Yuk, Sayang. Nanti keburu malam, jadi makin ngantri di klinik." Aku mengingatkan, karena jika semakin malam juga khawatir kliniknya tutup. Malam ini juga malam Minggu, tentu di jalan juga
POV FirmanSetelah menyelesaikan semuanya. Aku pun pamit pulang. Karena sebentar lagi pasti pihak dealer akan mengantarkan motor yang aku beli siang tadi. "Pulang sekarang, Yuk Sayang.""Ayo!"Kami pun berjalan bersisian menuju ke mobil yang terparkir di parkiran Rumah makan."Kira-kira udah diantar belum ya Mas, motornya?" tanya Yunita"Kayaknya sih belum, Laras juga nggak ada telpon Mas. Kalo udah datang pasti Dia kaget dan bingung, kan pasti telpon Mas.""Iya juga Ya." Yunita terlihat begitu bersemangat, meski wajahnya masih terlihat pucat, tapi tidak menutupi rona bahagia yang terpancarkan."Sayang, kamu beneran nggak apa-apa. Wajah kamu pucat lho." "Nggak apa-apa, Mas. Cuma sedikit pusing sih. Nanti aku sampai rumah langsung istirahat aja. Mas nggak usah khawatir, ya!" Meskipun Yunita bicara dengan tenang dan seakan Ia benar-benar baik-baik saja. Tapi tetap saja aku mengkhawatirkannya. Tak biasanya Dia seperti ini.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota
Pov FirmanTak ada yang lebih membahagiakan selain melihat Ibu dan adikku bisa akur dengan istriku. Itu adalah harapan yang selalu aku langitkan di setiap sujudku. Akhirnya Allah menjawab semuanya sekarang. Ibuku sudah kembali seperti dulu, wanita cinta pertamaku sudah kembali lembut dan hangat padaku.Meskipun beberapa tahun belakangan ini, Ibu lebih menunjukkan rasa tak sukanya pada Yunita, istriku. Tapi itu sama artinya juga untukku. Karena istriku adalah cerminan diriku. Jika ada yang mencela atau tidak menyukainya, itu sama saja mencelaku. Aku hanya mampu membesarkan hati Yunita, menghiburnya, dan meminta maaf padanya atas nama Ibu. Hanya itu yang bisa kulakukan, meski dalam hatiku juga merasakan sakit yang sama.Alhamdulillah setelah acara makan malam di restoran itu sikap Ibu banyak berubah. Entah apa yang melatarbelakangi perubahan sikap Ibu pada kami, terutama padaku dan Yunita. Ibu menjadi begitu baik dan tidak lagi memintaku menikahi Tania.Sungguh sebuah keajaiban yang beg
Pov Laras"Bu, Laras seneng deh, sekarang Ibu bisa akur sama Kak Yunita, ternyata Dia baik ya Bu." Aku mulai membuka percakapan malam ini. Aku merebahkan tubuhku di samping Ibu, sudah cukup lama juga aku tidak tidur dengan Ibu. Aroma wangi tubuhnya yang selalu menenangkan. Hangat dan nyaman yang selalu aku rasakan jika berada di dekatnya.Malam ini aku begitu senang bisa bersembunyi di dekat ketiaknya."Iya, Ibu yang salah. Ibu terlalu egois, hanya karena termakan omongan teman-teman Ibu, secara tak sadar Ibu telah menyiksa batin menantu Ibu. Ibu sangat merasa bersalah, Ras."Ibu menatap langit-langit kamar ini, berucap tanpa menoleh menatapku. Ibu sudah menyadari kesalahannya. Sejenak terdiam."Ibu lihat juga kamu banyak berubah, Ras. Nggak ada lagi Laras yang manja yang selalu memaksa untuk dipenuhi semua keinginannya. Sekarang Ibu lihat anak gadis Ibu ini jauh lebih dewasa, lebih sopan, dan ramah, terutama pada Kakak iparnya," sindir Ibu."Bukankah setiap orang itu memiliki hak untu
Pov LarasAku pun memilih tak menanggapinya lagi, dan melangkah cepat untuk pulang. Tania masih berdiri di tempatnya.Setelah tiba di ujung gang tempat kos Tania, aku menunggu sebentar ojek online yang tadi kupesan.Kemudian aku langsung pulang ke rumah karena siang tadi Kak Firman mengabarkan, jika Ibu sudah di ijinkan pulang hari ini, jadi sekarang ini kemungkinan Ibu sudah ada di rumah Kak Firman. Kami sepakat untuk sementara Ibu tinggal di rumah Kak Firman, sampai kondisi Ibu benar-benar membaik.Dengan tinggal di rumah Kak Firman, di saat aku ke kantor dan Kak Firman sibuk di rumah makannya, ada Kak Yunita yang dengan telaten merawat Ibu. Aku bersyukur di saat aku sudah mulai dekat dengan Kak Yunita, Ibu mulai menyadari kesalahannya. Semoga hubungan baik diantara kami ini bisa terus seperti ini. Aku yang paling merasa bersalah pada Kakak iparku itu. Aku yang terlambat menyadari semuanya. Kini aku sadar pilihan Kak Firman memang yang terbaik, wajar saja jika Dia begitu bucin deng
Pov Laras.Hari terus bergulir, hingga hari ini, aku mendapatkan pesan dari Ibu, kalau hari ini beliau meminta kami. Aku, Kak Firman dan juga Kak Yunita untuk makan malam disebuah restoran. Aku sedikit heran karena tak biasa Ibu mengajak kami makan di luar, Padahal biasanya, jika Aku atau Kak Firman mengajak Ibu makan keluar, Ibu sering menolak, beliau lebih suka makan di rumah, lebih leluasa katanya.Walaupun dalam hati ini meragu karena ternyata Ibu juga mengajak serta Tania, aku pun menyanggupinya untuk datang, sepulang dari kantor aku langsung menuju ke restoran yang sudah ditentukan Ibu. Dalam hati ini juga ada rasa was-was. Takut Ibu akan membahas rencananya yaitu menjodohkan Kak Firman dengan Tania.Jika benar itu yang akan Ibu katakan, aku akan langsung bersuara. Tidak setuju. Bahkan saat itu juga aku akan langsung bongkar tabiat asli Tania itu seperti apa. Agar Ibu tidak terus menerus harus menekan Kak Firman lagi.Aku berusaha untuk menyelesaikan pekerjaanku agar lebih cepat