Diri ini hanya manusia biasa, perempuan lemah yang begitu sangat mencintainya, pun dengan hati ini, begitu cepat terbakar api cemburu saat melihatnya tengah berdua dengan Dia, apa aku terlalu posesif, atau aku berlebihan?
🌺🌺🌺
Sejenak aku terpaku menatap mereka. Ada rasa nyeri menjalar begitu saja di dalam sini, melihat pemandangan di hadapanku.
"Saya bisa bersihkan sendiri." Terlihat Mas Firman mundur satu langkah dan meraih tisu di meja.
"Maaf Kak, aku tadi tak sengaja."
"Iya sudah nggak apa-apa. Maaf juga saya tak lihat kamu datang tadi."
"Ehem! Mas, kamu lagi ngapain?" tanyaku saat mereka belum menyadari kedatanganku. Sontak mereka berdua menoleh ke arahku.
"Sa–Sayang. Kamu bangun?" Mas Firman melangkah maju melewati Tania yang masih berdiri menatapku dengan tatapan yang sulit kumengerti.
Aku hanya memicing, menatap Mas Firman dan Tania secara bergantian. Sebisa mungkin aku tenang dan tak terpancing emosi, melihat Mas Firman tetap tenang sepertinya tak ada hal yang mengkhawatirkan.
Mas Firman menghampiriku dan mengusap lembut pucuk kepalaku.
"Kamu jangan salah paham, ya. Tadi Mas cuma bikin kopi di dapur, terus Tania ke dapur mau ambil gelas katanya, dan nggak sengaja menabrak Mas yang sedang membawa kopi, nih sampai baju Mas basah kena air kopi."
Mas Firman menjelaskan sambil merangkul pundakku dan berjalan menaiki tangga, tangan kanannya memegang cangkir kopi yang tinggal separuh.
Sesampainya di atas aku masih diam, tak menyahuti ucapan Mas Firman, hingga kami masuk ke kamar, dan duduk di tepi ranjang.
"Sayang, kamu nggak percaya sama aku?" tanya Mas Firman seraya menutup pintu kamar dan menguncinya.
Aku hanya menghela napas panjang, bukan apa-apa, sejak awal Tania datang, ia seperti menyukai Mas Firman, tentu sebagai istri ada rasa kekhawatiran saat wanita itu hadir dan tinggal di rumah kami, yang bisa kapan saja mencari kesempatan untuk menarik perhatian suamiku.
"Sayang ...." Mas Firman mendekat dan duduk di sampingku.
"Lagian kamu ngapain sih malam-malam turun bikin kopi, bukannya biasanya jam segini kamu udah tidur!" sahutku sedikit ketus, rasanya masih tak rela tadi perempuan itu sempat menyentuh dada bidang suamiku.
"Mas masih mengecek laporan uang yang masuk hari ini, Sayang. Karena mata ini sedikit ngantuk, Mas bikin kopi biar seger. Eh selesai bikin kopi, Tania masuk ke dapur dan nggak sengaja kami tubrukan di pintu dapur." jelasnya lagi.
"Sayang, kamu lihat Mas! Apa Mas terlihat sedang berbohong?"
Melihatku masih diam, dengan cepat Mas Firman membingkai wajahku dan memaksa untuk menatap netranya.
Aku menatap dalam kedua manik mata itu, tak terlihat adanya kebohongan di sana. Aku pun menggeleng. Mas Firman pun tersenyum dan mengecup keningku.
"Aku cuma takut, Mas. Jujur sejak Tania datang, aku sempat beberapa kali melihatnya tengah mencuri pandang ke arahmu, tentu Aku takut dia mencari-cari kesempatan untuk bisa dekat denganmu. Karena Aku yakin dia menyukaimu, Mas."
Tanpa terasa bulir bening lolos begitu saja bersama kekhawatiran yang tengah kurasakan.
"Sayang, yang penting kan, di hati Mas cuma ada kamu. Kamu jauh lebih cantik darinya. Aku mencintaimu. Percayalah cinta di hati Mas sudah tumbuh dan bersemi sejak awal kita berjumpa, tak akan luruh hanya dengan wanita seperti Tania." Mas Firman memelukku erat.
"Sungguh?"
"Ehm. Apa perlu aku carikan tempat kos untuk Tania agar dia tak tinggal di rumah ini?" tanyanya sambil meregangkan pelukannya.
Seketika membuat kedua mataku membeliak.
"Tak perlulah Mas, nanti Ibu jadi salah paham lagi sama aku," sanggahku.
"Yah abisnya kalau ada Dia di rumah ini, bikin istri Mas dilanda cemburu, ya kan?"
"Iya, yaa ... Maaf ya, Mas. Kalau aku berlebihan."
"Nggak apa-apa Sayang, itu artinya kamu cinta sama Mas," ujarnya sambil mengangkat daguku dan tersenyum, perlahan kurasakan tangannya mulai jahil, dan matanya terlihat mulai berkabut, aku tersenyum menatapnya, dan kulakukan sepenuh hati.
Aku sadar dengan segala pesona dan kelebihan yang dimiliki suamiku, tentu ada banyak wanita di luar sana yang menginginkannya. Aku tak ingin ia terpancing oleh mereka di luaran.
Kami pun merajut cinta malam ini dengan begitu indah, Mas Firman selalu memperlakukanku dengan baik, penuh kelembutan, hingga mampu membawaku terbuai menyelami lautan cinta, hingga kami sama-sama terlelap usai mereguk nikmatnya surga dunia, yang telah Allah halalkan bagi kami.
Aku terjaga saat mendengar lantunan shalawat Tahrim dari masjid komplek ini, pertanda sebentar lagi adzan subuh berkumandang.
Aku membuka mata, dan melirik ke samping, Mas Firman masih terlelap sambil memelukku dari belakang, aku pun mengusap lembut wajahnya yang tampan, ia pun mengerejap, dan mengeratkan pelukannya kemudian perlahan membuka matanya dan tersenyum.
"Makasih ya," ucapnya lirih.
Aku mengangguk kemudian membenamkan kepalaku dalam dekapannya.
"Aku mandi dulu ya, Mas." Mas Firman mengangguk. Perlahan aku melonggarkan pelukannya dan bangkit menuju kamar mandi.
"Nggak bareng aja, biar cepet? Hem?"
"Nggak Mas, yang ada nanti makin tambah lama." Aku berjalan cepat dan masuk ke kamar mandi, sebelum omesnya timbul lagi. Terdengar ia terkekeh mendengar jawabanku.
*
"Mas hari ini aku ikut ke Rumah makan, Ya?" pintaku saat ia sedang mengeringkan rambutku.
"Kamu capek nggak? Kalau capek mending istirahat di rumah," sahutnya.
"Nggak aku nggak capek kok."
"Oke."
Setelah rambutku di rasa setengah kering, aku turun ke bawah dan menyiapkan sarapan pagi ini. Di bawah masih sepi, mungkin Ibu dan Laras belum juga bangun.
Aku memasak capcay dan telur dadar yang cepat, dan praktis untuk sarapan pagi ini.
Saat tengah menyiapkan piring di meja, terlihat Tania keluar kamar dan masuk ke kamar mandi.
Aku pun mengetuk pintu kamar Ibu dan Laras mengajak mereka sarapan bersama. Ibu pun keluar kamar sudah rapi sepertinya beliau akan pulang pagi ini.
Laras pun keluar kamar, terlihat ia masih ngantuk, sesekali masih menguap sambil berjalan menuju meja makan. Tak berapa lama Mas Firman juga turun sudah rapi mengenakan kemeja yang tadi sudah kusiapkan.
Kami pun sarapan pagi, Tania juga ikut gabung sarapan setelah ia selesai mandi.
"Ibu, sudah rapi?" tanya Mas Firman.
Aku isi piring Mas Firman dengan nasi dan sayur.
"Iya, hari ini Ibu akan pulang, kamu jaga baik-baik adikmu di sini."
"Firman antar ya, Bu."
"Nggak perlu lah, kamu kan juga harus berangkat ke resto, ibu bisa naik taksi nanti. Oh ya sekalian kamu berangkat, kamu antar Laras dan Tania ke tempat lokasi fashion show ya, lokasinya di hotel tak jauh dari Resto kamu itu.
"Iya, Bu."
Setelah sarapan Ibu pun pamit pulang.
"Ingat ya Firman, kalau Yunita tak juga hamil, kamu harus mau menikah lagi dengan Tania, dia cantik Ibu yakin dia bisa kasih cucu buat Ibu." Ibu berkata sambil melirik ke arahku.
"Ibu apa-apaan sih! Kita hanya perlu bersabar, Bu. Tak perlu lah ibu bicara seperti itu," sahut Mas Firman.
"Sabar, Sabar! Sampai kapan? Memangnya hidup berumah tangga hanya bisa makan cinta? Rumah tangga itu juga perlu adanya keturunan. Kalau nggak ada anak buat apa!" Lagi Ibu berkata seolah tak lagi memperdulikan perasaanku yang kini semakin tercabik.
Aku melirik ke arah Laras, dan Tania mereka tersenyum simpul.
"Sudahlah, Bu. Jangan ngomong yang aneh-aneh."
"Kamu ini, selalu begitu kalau di kasih tau orang tua! Ya sudah, Ibu pamit."
Mas Firman meraih punggung tangan ibunya dan menciumnya takzim. Kemudian bergantian denganku dan juga pada Laras dan Tania. Bahkan Ibu terlihat begitu dekat saat memeluk dan cipika cipiki dengan Tania yang baru di kenalnya kemarin.
Ibu pun berlalu memasuki mobil taksi yang sudah di pesan oleh Mas Firman.
Kemudian kami pun bersiap untuk berangkat untuk ke resto.
"Lokasi fashion shownya di mana Ras?" tanya Mas Firman pada adik semata wayangnya itu.
"Itu di hotel seberang Restorannya Kakak," sahutnya sambil tangannya sibuk membenarkan tatanan rambutnya.
Saat kami sudah sampai di samping mobil, tiba-tiba Tania menyerobot masuk ke dalam mobil, dan duduk di samping kemudi. Aku sedikit tersentak melihat sikapnya.
"Tania, kamu duduk di belakang sama Laras." Mas Firman yang sudah membuka pintu kemudi itu menunda duduk dan memerintahkan Tania untuk pindah ke jok belakang.
"Ta–Tapi Kak, aku kalau duduk di belakang, aku suka mabuk perjalanan, jadi biarkan aku duduk di depan yah," kilahnya.
Aku hanya menggeleng, sungguh suatu alasan yang amat sangat tidak masuk akal, memangnya dia belum pernah naik mobil, sampai membuat alasan seperti itu.
Laras memasuki mobil dan duduk di jok belakang.
Mendengar alasan Laras, tentu membuatku muak.
"Silahkan pindah ke belakang, atau aku seret paksa ke belakang!" ucapku dengan penuh penekanan.
Tania terlihat pucat menatapku, jangan kira aku akan terus diam saja, melihat sikapnya yang diam-diam ingin mendekati suamiku. Tidak. Itu tidak akan terjadi.
Bersambung.
Akhirnya Tania turun dari mobil dan duduk di samping Laras. Aku menoleh ke arah Mas Firman, ia tersenyum melihatku. Sepanjang perjalanan kami terdiam, Laras pun sibuk dengan ponselnya, Sedangkan Tania sibuk melihat suasana jalanan kota ini. Hingga kami sampai di depan sebuah hotel, dan mereka turun, kami memutar balik arah menuju Rumah makan. "Aku nggak nyangka kamu bisa galak kaya tadi," ucap Mas Firman di sela-sela kesibukan mengemudinya. Aku hanya meliriknya. "Ya bisalah, masa ada cewek ganjen yang mau deket-deket suamiku, aku harus diem aja. Nanti yang ada lama-lama Mas kesenengen," cebikku. "Ya nggak lah. Aku senengnya kalau kamu yang deket-deket Mas." "Beneran ya. Pokoknya aku nggak mau sampai Tania deket-deket Mas lagi. Aku nggak suka. Dia kelihatan banget pengin deketin kamu." Aku terus berbicara mengeluarkan kekesalanku. "Iya, iyaa, Sayang. Lagian aku juga jadi takut sendiri lihat cewek model Tania begitu. Bener lho." "Halah, takut apa malah seneng?!" Aku masih merajuk
"Makanya, Mbak kalo kerja itu yang bener donk! Mbak tau nggak, saya ini calon istrinya Kak Firman, kamu tau?! Saya bisa laporkan ini ke Kak Firman, biar di pecat aja kamu!" "Sekali lagi saya mohon maaf kakak, tolong jangan laporkan ke Pak Firman, saya sangat butuh pekerjaan ini." Lagi Fitri memohon. Tanpa membuang waktu aku segera berjalan menemui mereka yang tengah menjadi tontonan pengunjung lain. "Vita, tolong kamu panggilkan Pak Firman di ruangannya ya, cepat!" titahku pada Vita karyawan bagian kebersihan untuk memanggil Mas Firman, sebelum aku melangkah menuju Fitri dan Tania. Aku lihat sekeliling, Tania hanya sendiri dimana Laras. "Kamu tau nggak, baju ini harganya berapa, gaji kamu sebulan juga nggak akan cukup buat gantiin baju ini." Tania dengan suara lantang menghardik Fitri yang hanya terdiam. "Tania, Fitri, ada apa ini ribut-ribut? Kalian itu mengganggu ketenangan orang-orang yang lagi makan tau! Kita bicara di dalam, kalian ikut saya," ucapku. "Lihat aja nih Kak, di
Aku hanya menghela napas, setelah kejadian ini, aku harus lebih hati-hati lagi dengan Tania, apalagi tadi aku sempat mendengar ia mengucapkan kata 'calon istrinya Pak Firman' melihat sikapnya tadi, aku bisa menyimpulkan dia bisa saja berbuat nekat untuk mencapai tujuannya.Entah apa yang disampaikan Ibu pada Tania, sehingga ia kini begitu berani berkata ia calon istrinya Mas Firman. Apa Ibu berniat menjodohkan Tania dengan Mas Firman, seperti yang beliau katakan jika aku tak kunjung hamil, Mas Firman harus bersedia menikah lagi ?"Kamu nggak apa-apa kan, Sayang? Tania benar-benar arogan," Mas Firman menggeleng, kemudian menggandeng tanganku dan masuk ke ruangannya.Aku duduk dengan pikiran entah berantah. "Kamu kenapa? Kok diam? Aku minta Iwan membawakan makan siang kita kemari ya!" Melihatku terdiam, Mas Firman mendekat, raut wajahnya melukiskan kekhawatiran yang begitu tersirat dari tatapan matanya. Perlahan tangan lembutnya menyapu lembut pipiku, hingga kedua netra kami bertemu."
"Calon Istrinya siapa dia bilang?!" tiba-tiba Mas Firman sudah ada di belakangku dan ikut bersuara, aku sedikit terkejut jika Mas Firman ternyata mendengar penuturan Wati."Calon istri Pak Firman." Wati melanjutkan bicaranya yang tadi sempat terputus dengan menunjuk ke arah Mas Firman dengan ibu jarinya."Bicara apa kamu, Tania itu bukan siapa-siapa saya, jadi jangan membesar-besarkan suatu berita tak bermutu seperti ini. Paham kamu!" ucap Mas Firman tegas."Ma–Maafkan saya Pak Firman, saya sendiri pun tak akan setuju, perempuan itu tidak cocok samasekali sama Bapak." Lagi Wati menambahkan."Lalu cocoknya sama siapa? Sama kamu?!" tukasku."Bukan Bu, Pak Firman dan Ibu Yunita itu sudah pasangan yang sangat cocok, sangat serasi," jawabnya, membuat kedua alisku bertaut."Bukanya kamu tadi bilang kamu lebih cocok daripada Tania itu. Hem?!"
Semburat warna keemasan memancar dengan gagah, menyinari alam fana ini, memperlihatkan langit senja sore ini yang begitu indah. Sang Surya yang mulai meredup, menandakan sebentar lagi tergantikan oleh pekatnya malam. *Baru saja kami hendak masuk ke dalam rumah, Indra pendengaranku sedikit terganggu saat mendengar suara alunan musik yang cukup keras, saat pintu masih tertutup tidak terlalu terdengar, tapi saat kami membuka pintu, suara musik itu begitu keras terdengar, lebih mirip seperti orang yang sedang hajatan, jika di orang hajatan itu adalah musik dangdut, yang ini genre musik pop luar negeri, membuat bising telinga, kepalaku pun berdenyut.Siapa lagi pelakunya kalau bukan Laras dan Tania. Mentang-mentang kami sedang tidak ada di rumah, mereka seenaknya memutar musik dengan begitu kerasnya. "Astaghfirullah, berisik sekali. Laras benar-benar," gumam Mas Firman seraya melangkah masuk ke dalam menuju kamar Laras. Aku menutup pintu dan menyusul Mas Firman.Klik.Mas Firman memati
Bahkan Tania dengan beraninya berkata seperti itu pada suamiku, dengan nada suaranya yang di buat manja. Dasar tak tau diri. Mas Firman masih fokus dengan ponselnya tak sedikitpun ia melirik wanita itu.Aku berdecak kesal, geram sungguh aku kesal melihat sikap wanita ganjen itu. Satu demi satu aku menuruni anak tangga sambil kedua netraku fokus memperhatikan polah Tania yang tengah berusaha mencari perhatian suamiku."Hmm, Kak kenapa kamu begitu dingin padaku. Bukankah aku jauh lebih cantik dari Kak Yunita." Tania masih berusaha mendekati Mas Firman."Aku bahkan bisa memberimu lebih dari apa yang Kak Yunita berikan padamu, Kak." Bahkan Tania semakin berani, ia bangkit dan mencoba menyentuh pipi suamiku."Stop! Tolong jaga sikap kamu!" bentak Mas Firman. Sambil menjauhkan tubuhnya dari Tania yang kian mengikis jarak. Jika saja aku tak melihat sikapnya dari awal, mungkin aku akan salah paham.Aku percepat langkahku mendekati mereka. Aku yang memang sudah kesal melihat tingkah Tania, Ta
Kami semua tercengang menatap penampilan Tania dari ujung kaki hingga ke ujung rambut kepalanya. Mas Firman seketika menoleh ke arah lain, dan Iwan pun menundukkan kepalanya. Aku pun memijit pelan pelipisku yang terasa berdenyut.Penampilan Tania sungguh tak sopan, memakai baju yang kurang bahan, bagaimana tidak, ia mengenakan baju terbuka tanpa lengan dengan belahan dada yang rendah, dan celana jeans pendek jauh di atas lututnya."Tania apa kamu tidak ada baju yang lebih pantas lagi? Sampai mau keluar harus pake baju kurang bahan, seperti ini?" tanyaku."Tuh kan salah lagi. Huh, ini tuh baju aku beli mahal lho Kak, malah suruh ganti." Tania berdecak kesal, menghentakkan kakinya, bibirnya mengerucut. seperti biasa ia seperti itu."Tania cepat pake pakaian yang sopan, kalau terbuka seperti itu, bisa masuk angin kamu!" Kali ini Mas Firman ikut bersuara. "Kak Firman ... Bukankah kalau aku pakai pakaian seperti ini aku jadi kelihatan makin seksi Kak," ucap Tania. Bahkan dengan suara man
Seperti biasa kami akan bersiap-siap dan berangkat ke rumah makan, setelah menghabiskan roti sandwich yang aku buatkan, kami berencana berangkat ke rumah makan pusat, setelah mengantarkan aku, baru kemudian Mas Firman akan ke rumah makan cabang, sesuai dengan yang sudah kami bicarakan. Lokasi rumah makan cabang ada di luar kota, yaitu di Bogor, yang memakan waktu perjalanan hampir dua jam. Begitu sampai di rumah makan, Mas Firman hanya masuk sebentar, untuk berbicara sebentar dengan Iwan kemudian langsung pamit untuk langsung ke Bogor."Sayang Aku langsung berangkat sekarang ya! Kamu jangan lupa makan siang, nanti sore aku pulang, kalau waktunya masih cukup aku akan jemput kamu dulu, semoga tidak macet."Pamitnya sambil memelukku erat, seakan kita akan terpisah lama, padahal hanya terpisah beberapa jam saja. Ah, suamiku memang lebay, tapi aku suka itu."Kamu hati-hati ya, Sayang. Janji kamu selalu kabarin aku," sahutku sambil mengusap pelan dada bidangnya dan membenarkan kerah kemeja
Mengapa rasa sakit ini melebihi rasanya sakit hati ketika putus cinta? Aku seakan tengah berlayar di lautan tenang tiba-tiba di terjang badai ombak yang begitu dahsyat hingga kapal yang kukemudikan terombang-ambing.Aku melajukan mobilku menuju ke pemakaman dimana Bapak beristirahat dengan tenang, teringat saat aku masih anak-anak dulu, Aku pernah di ajak Bapak ke pemakaman, namun aku yang masih kecil pun tak bertanya itu makam siapa, dan Bapak juga tak bicara apapun soal makam itu. Aku yang sejak kecil tak pernah kekurangan kasih sayang dari orang tua pun tak sedikitpun aku mengira akan seperti ini kenyataannya.Terlihat sepele, aku ternyata bukanlah anak kandung Ibu, tapi Ibu menyayangiku seperti anak kandungnya, tapi tetap saja hati ini terkoyak, ada rasa sakit menelusup ke dalam sini. Air mataku luruh begitu saja, di sepanjang jalan aku mengemudi. Sakit. Aku mengetahui kenyataan ini di saat Bapak sudah tiada, andaikan saja mereka menceritakan ini jauh sebelum Bapak pergi, mungki
POV Firman"Ehm, Bu. Alhamdulillah tebakan Ibu benar!" ucapku sumringah pada Ibu yang sudah menatap kami penuh tanya."Alhamdulillah! Akhirnya. Ibu mau punya Cucu!" Ibu menghambur ke arah Yunita dan memeluknya erat."Selamat ya Yun, Ibu seneng banget dengernya akhirnya kamu bisa hamil dan kasih cucu untuk Ibu. Maafkan Ibu yang kemarin-kemarin begitu angkuh dan nyakitin kamu! Ibu minta maaf Nak!" ucap Ibu dengan suara parau, Punggungnya bergetar. Ibu menangis dalam pelukan istriku.Aku hanya menatap haru."Ini semua berkat Doa Ibu, Yunita yang harusnya bilang makasih sama Ibu, Ibu sudah bisa menerima Yunita yang banyak kekurangan ini." Lembut Yunita mengusap punggung Ibu."Nggak Sayang. Ibu yang banyak salah sama Yuni, Ibu minta maaf." Yunita mengangguk, seraya mengulum senyum."Sudah Bu. Kita lupakan semua yang sudah berlalu, kita buka lembaran baru menyambut anggota keluarga baru di rumah ini." Aku mengusap punggung Ibu."Iya, Man. Jaga baik-baik istrimu dan calon bayinya ya!""Iya,
POV FirmanDi sebuah ruangan dimana ada Laras berdiri di sana, bersama seorang temannya, dan Tania terbaring di ranjang rumah sakit, terlihat tengah menangis tersedu-sedu. Kenapa Dia?"Laras!" panggilku. Laras tengah berdiri di sisi ranjang, sepertinya sedang menenangkan Tania. Laras sepertinya tidak mendengar Aku memanggilnya.Belum juga Laras menoleh ke arahku, aku sudah dibuat terkejut oleh pertanyaan seorang perawat yang sudah berdiri di belakangku."Maaf Apa Bapak suaminya Ibu Tania?" Degh!"Oh bukan Sus. Saya mau jemput adik saya Laras," tegasku seraya mengibaskan tangan pada perawat itu.Seketika Laras menoleh ke arahku, mungkin karena mendengar namanya kusebut."Kak Firman!""Ayo pulang!" ajakku."Oh saya kira, suaminya pasien. Maaf ya Pak!""Iya gak apa-apa, Sus. Saya permisi!"Aku mendekati Laras dan menggandeng tangannya. Aku bahkan tak melirik sedikit pun ke arah Tania."Kak Firman!" panggil Tania lirih, namun masih jelas terdengar olehku."Ehm Tania, Gue pamit pulang dul
POV FirmanAku dan Yunita pun saling pandang, mendengar percakapan Laras di telepon, terdengar kata kalau Tania pingsan. Pingsan kenapa Dia, kenapa pula menghubunginya pada Laras, kenapa tidak langsung di bawa ke rumah sakit, berbagai pertanyaan muncul dalam benakku."Udah Yuk, Sayang kita ke klinik sekarang!" ajakku pada Yunita, aku juga tak ingin di pusingkan dengan urusan Tania yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga kami."Ya udah Ayo!" Yunita pun mengamit lenganku dan bergelayut manja menuju ke luar rumah."Wah ini motornya, Sayang." Yunita menyentuh dan mengitari motor itu ketika kami sampai di teras rumah."Iya, bagus ya, Sayang. Pilihan kamu memang tak pernah salah." Aku memujinya, karena motor itu memang Dia yang memilih.Beberapa saat Yunita memperhatikan motor itu."Udah Yuk, Sayang. Nanti keburu malam, jadi makin ngantri di klinik." Aku mengingatkan, karena jika semakin malam juga khawatir kliniknya tutup. Malam ini juga malam Minggu, tentu di jalan juga
POV FirmanSetelah menyelesaikan semuanya. Aku pun pamit pulang. Karena sebentar lagi pasti pihak dealer akan mengantarkan motor yang aku beli siang tadi. "Pulang sekarang, Yuk Sayang.""Ayo!"Kami pun berjalan bersisian menuju ke mobil yang terparkir di parkiran Rumah makan."Kira-kira udah diantar belum ya Mas, motornya?" tanya Yunita"Kayaknya sih belum, Laras juga nggak ada telpon Mas. Kalo udah datang pasti Dia kaget dan bingung, kan pasti telpon Mas.""Iya juga Ya." Yunita terlihat begitu bersemangat, meski wajahnya masih terlihat pucat, tapi tidak menutupi rona bahagia yang terpancarkan."Sayang, kamu beneran nggak apa-apa. Wajah kamu pucat lho." "Nggak apa-apa, Mas. Cuma sedikit pusing sih. Nanti aku sampai rumah langsung istirahat aja. Mas nggak usah khawatir, ya!" Meskipun Yunita bicara dengan tenang dan seakan Ia benar-benar baik-baik saja. Tapi tetap saja aku mengkhawatirkannya. Tak biasanya Dia seperti ini.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota
Pov FirmanTak ada yang lebih membahagiakan selain melihat Ibu dan adikku bisa akur dengan istriku. Itu adalah harapan yang selalu aku langitkan di setiap sujudku. Akhirnya Allah menjawab semuanya sekarang. Ibuku sudah kembali seperti dulu, wanita cinta pertamaku sudah kembali lembut dan hangat padaku.Meskipun beberapa tahun belakangan ini, Ibu lebih menunjukkan rasa tak sukanya pada Yunita, istriku. Tapi itu sama artinya juga untukku. Karena istriku adalah cerminan diriku. Jika ada yang mencela atau tidak menyukainya, itu sama saja mencelaku. Aku hanya mampu membesarkan hati Yunita, menghiburnya, dan meminta maaf padanya atas nama Ibu. Hanya itu yang bisa kulakukan, meski dalam hatiku juga merasakan sakit yang sama.Alhamdulillah setelah acara makan malam di restoran itu sikap Ibu banyak berubah. Entah apa yang melatarbelakangi perubahan sikap Ibu pada kami, terutama padaku dan Yunita. Ibu menjadi begitu baik dan tidak lagi memintaku menikahi Tania.Sungguh sebuah keajaiban yang beg
Pov Laras"Bu, Laras seneng deh, sekarang Ibu bisa akur sama Kak Yunita, ternyata Dia baik ya Bu." Aku mulai membuka percakapan malam ini. Aku merebahkan tubuhku di samping Ibu, sudah cukup lama juga aku tidak tidur dengan Ibu. Aroma wangi tubuhnya yang selalu menenangkan. Hangat dan nyaman yang selalu aku rasakan jika berada di dekatnya.Malam ini aku begitu senang bisa bersembunyi di dekat ketiaknya."Iya, Ibu yang salah. Ibu terlalu egois, hanya karena termakan omongan teman-teman Ibu, secara tak sadar Ibu telah menyiksa batin menantu Ibu. Ibu sangat merasa bersalah, Ras."Ibu menatap langit-langit kamar ini, berucap tanpa menoleh menatapku. Ibu sudah menyadari kesalahannya. Sejenak terdiam."Ibu lihat juga kamu banyak berubah, Ras. Nggak ada lagi Laras yang manja yang selalu memaksa untuk dipenuhi semua keinginannya. Sekarang Ibu lihat anak gadis Ibu ini jauh lebih dewasa, lebih sopan, dan ramah, terutama pada Kakak iparnya," sindir Ibu."Bukankah setiap orang itu memiliki hak untu
Pov LarasAku pun memilih tak menanggapinya lagi, dan melangkah cepat untuk pulang. Tania masih berdiri di tempatnya.Setelah tiba di ujung gang tempat kos Tania, aku menunggu sebentar ojek online yang tadi kupesan.Kemudian aku langsung pulang ke rumah karena siang tadi Kak Firman mengabarkan, jika Ibu sudah di ijinkan pulang hari ini, jadi sekarang ini kemungkinan Ibu sudah ada di rumah Kak Firman. Kami sepakat untuk sementara Ibu tinggal di rumah Kak Firman, sampai kondisi Ibu benar-benar membaik.Dengan tinggal di rumah Kak Firman, di saat aku ke kantor dan Kak Firman sibuk di rumah makannya, ada Kak Yunita yang dengan telaten merawat Ibu. Aku bersyukur di saat aku sudah mulai dekat dengan Kak Yunita, Ibu mulai menyadari kesalahannya. Semoga hubungan baik diantara kami ini bisa terus seperti ini. Aku yang paling merasa bersalah pada Kakak iparku itu. Aku yang terlambat menyadari semuanya. Kini aku sadar pilihan Kak Firman memang yang terbaik, wajar saja jika Dia begitu bucin deng
Pov Laras.Hari terus bergulir, hingga hari ini, aku mendapatkan pesan dari Ibu, kalau hari ini beliau meminta kami. Aku, Kak Firman dan juga Kak Yunita untuk makan malam disebuah restoran. Aku sedikit heran karena tak biasa Ibu mengajak kami makan di luar, Padahal biasanya, jika Aku atau Kak Firman mengajak Ibu makan keluar, Ibu sering menolak, beliau lebih suka makan di rumah, lebih leluasa katanya.Walaupun dalam hati ini meragu karena ternyata Ibu juga mengajak serta Tania, aku pun menyanggupinya untuk datang, sepulang dari kantor aku langsung menuju ke restoran yang sudah ditentukan Ibu. Dalam hati ini juga ada rasa was-was. Takut Ibu akan membahas rencananya yaitu menjodohkan Kak Firman dengan Tania.Jika benar itu yang akan Ibu katakan, aku akan langsung bersuara. Tidak setuju. Bahkan saat itu juga aku akan langsung bongkar tabiat asli Tania itu seperti apa. Agar Ibu tidak terus menerus harus menekan Kak Firman lagi.Aku berusaha untuk menyelesaikan pekerjaanku agar lebih cepat